"Kenapa hari ini aku sial sekali? Baru saja dipertemukan dengan rubah betina, sekarang harus bertemu dengan rubah jantan," gumam Emily, suaranya bergetar dengan frustrasi yang terpendam."Apa yang kamu katakan?" tanya Sean, alisnya berkerut dalam kebingungan."Menyingkirlah, kamu menutupi jalanku," ucap Emily."Aku tidak menyangka, aku pikir kamu adalah gadis yang baik dan polos. Ternyata kamu bisa menjadi seliar ini juga," kata Sean dengan nada sinis, matanya menyapu tubuh Emily dengan tatapan yang mengukur.Emily merasakan tatapan itu seperti sentuhan fisik, membuat kulitnya merinding dalam ketidaknyamanan. Dia merapatkan lengan atas dadanya, berusaha melindungi diri dari pandangan Sean yang terasa menjijikkan. Namun, Sean, dengan kejahilannya, meraih kacamata Emily dan menariknya perlahan."Hei, apa yang kamu lakukan? Kembalikan kacamataku!" seru Emily, suaranya meninggi dalam kepanikan."Ternyata kamu cukup cantik kalau tanpa
"Gila? Berani sekali kamu menyebut Mia gila?" Zoe membela dengan nada yang bergetar, takjub bahwa Emily berani melontarkan kata-kata itu pada Mia."Bagaimana bisa tantanganku terasa lebih berat daripada Emma? Aku harus mencium salah satu pengunjung, sementara dia hanya perlu menelepon mantan kekasihnya," keluh Emily, suaranya penuh dengan rasa tidak adil."Apa kamu pikir semudah itu menelepon mantan?" tantang Emma. "Coba saja kalau begitu. Apa kamu juga bisa melakukannya? Jika mantanmu tidak mau mengangkat teleponmu, apa kamu siap menerima hukuman dari kami?"Pertanyaan itu menggantung di udara, berat dengan implikasi. Apakah Ethan akan mengangkat telepon dariku? batin Emily, bertanya-tanya dalam hati, ingatannya melayang ke pertemuan terakhir mereka yang penuh ketegangan.Kesabaran Mia habis. Dengan gerakan cepat, dia menarik rambut Emily, membuatnya merintih kesakitan. "Dengar, Em," bisik Mia. "Aku yang membuat aturan di sini. Kamu hanya perlu m
"Jangan Mia... Aku mohon..." Suara Emily terus mengigau dalam tidurnya, tangannya terangkat seolah-olah berusaha menghalau bayangan buruk yang hanya dia yang bisa melihat. Daniel, yang menyaksikan Emily bergumul dengan mimpi buruknya, segera meraih tangan yang terulur itu. Kebingungan melanda pikiran Daniel, tidak mengerti apa yang telah terjadi pada dirinya sendiri. Hanya dengan melihat Emily seperti kesakitan, membuatnya tidak tega, padahal selama ini dia yang paling mengharapkan Emily terluka dan kesakitan seperti di hadapannya saat ini. "Tenanglah, aku di sini..." bisik Daniel, suaranya mengalun begitu lembut, meresap ke dalam alam bawah sadar Emily, tangan mereka tergenggam erat.Seketika, seolah ada sihir yang bekerja, ketenangan menyelimuti Emily. Kerutan di wajahnya menghilang, dan dengan perlahan, dia kembali ke pelukan mimpi tanpa bayang-bayang kelam. Beberapa menit berlalu, dan seperti ada aliran listrik yang mengalir antara mereka, tubuh mere
Alis Emily mengerut, bayangan kebingungan yang semakin pekat terlukis di wajahnya. Dengan gerakan tangan yang tergesa-gesa, Daniel mencoret-coret sesuatu di atas kertas."Aku akan... menjelaskan semuanya nanti, di rumah," kata Emily dengan suara gemetar, matanya berusaha menangkap setiap goresan pena Daniel yang tergesa-gesa di atas kertas putih itu.Tanpa menjawab, kakek Daniel segera memutuskan sambungan telepon. Degup jantung Emily berpacu, tak beraturan, pikirannya menjadi sangat kacau saat ini. "Bagaimana ini, Pak? Apa yang akan terjadi pada kita?" suara Emily bergetar, penuh keraguan. "Sepertinya kakek Bapak tidak akan menyukaiku. Apakah kita benar-benar siap untuk melangkah sejauh ini... untuk menikah?"Kemudian, dengan nada yang lebih rendah, hampir berbisik, Emily menambahkan, "Dan media... Bagaimana media sampai tahu kita berencana untuk menikah?" "Karena saya yang mengatakan itu kepada media," ucap Daniel dengan suara yang te
Mia menatap dengan mata yang menyala, api kemarahan berkobar di dalamnya. "Aku tidak pernah menyangka kamu akan berani mengancamku," katanya, suaranya bergetar bukan karena takut, tetapi karena amarah yang memuncak. "Aku mencoba bernegosiasi denganmu," balas Daniel, suaranya tegas. "Jika aku bisa memastikan video itu terhapus di tanganku sendiri, aku juga akan memastikan bahwa tidak ada satu pun rahasiamu yang akan bocor," jelas Daniel. "Dan jika aku menolak?" tantang Mia, alisnya terangkat. Daniel tersenyum tipis. "Coba pertimbangkan, siapa yang akan lebih dirugikan dalam hal ini jika videoku dan rahasiamu bocor?" tanya Daniel.Rahang Mia mengeras, menahan gelombang amarah yang meluap di dalam dirinya. Dengan gerakan tegas, ia mengeluarkan ponsel dan memberikannya kepada Daniel. "Kamu boleh menghapusnya, tetapi jika informasi tentangku tersebar, aku tidak akan tinggal diam, Em," ucapnya tajam.Daniel menerima ponsel dari tan
Tangan Emily terasa seolah-olah diselimuti es, ketakutan merayap dalam setiap serat sarafnya. Dengan hati yang berdebar, dia membuka pintu mobil dan turun dengan langkah yang tak pasti. Mereka berdua disambut oleh asisten rumah tangga saat melihat Daniel. Dengan senyuman hangat, dia mengajak mereka berdua untuk masuk."Kakek Anda menunggu di ruang makan, Tuan. Bibi dan Paman Anda juga telah tiba," kata asisten rumah tangga dengan suara yang menenangkan.Emily merasakan jantungnya berdegup kencang, bukan hanya kakek Daniel yang ada di sana, tapi seluruh keluarga besar Daniel berkumpul. Dia menelan ludah, yang terasa seperti menelan batu, sambil mengikuti Daniel yang memberikan petunjuk menuju ruang makan."Semua keluarga Bapak ada di sini, apa yang harus kita lakukan?" bisik Emily dengan suara yang bergetar."Tetap tenang dan ingatlah semua yang telah kita persiapkan," Daniel berbisik kembali, mencoba menenangkan."Apakah kita bisa meyakin
Alis Daniel mengkerut dalam kebingungan. "Ke mana?" tanyanya. Mobil mewah Daniel meluncur dengan mulus melalui jalanan New York yang sibuk, menuju ke salah satu gedung pencakar langit yang paling terkenal di kota itu."Ke sini," ujar Emily, menarik tangan Daniel menuju pintu masuk yang megah.Mereka melangkah masuk ke lobi yang dipenuhi dengan kilauan lampu dan hiasan yang mewah, mencerminkan kemegahan kota itu sendiri. Lift yang cepat membawa mereka naik, melampaui lantai demi lantai, hingga akhirnya berhenti di observatorium yang terletak di puncak gedung.Dek observasi itu menyambut mereka dengan angin malam yang sejuk dan pemandangan yang memukau. Pagar kaca yang tinggi memberikan pandangan tak terhalang ke seluruh kota, dengan lampu-lampu yang berkelip-kelip seperti bintang di bawah mereka, membentuk mozaik warna yang hidup dan bergerak.Daniel menatap Emily dengan tatapan yang masih mempertanyakan. "Untuk apa kita ke sini?" tanyany
Kursi itu terjatuh dengan suara dentuman yang suram, menggema di ruangan yang sepi. Jake terkapar di lantai, nafasnya tersengal-sengal, matanya terpejam rapat, seolah-olah dia sedang berjuang melawan rasa sakit yang tak terlihat."Tuan Besar!" teriak asisten rumah tangga itu, suaranya memecah kesunyian malam. Dia berlari ke arah Jake, lututnya hampir terbentur lantai saat dia berjongkok di sampingnya. "Astaga, Tuhan, Anda tidak apa-apa?" tanyanya, suaranya penuh dengan rasa takut yang mendalam.Jake, dengan usaha yang terakhir, berbisik pelan, "O-obat..." suaranya hampir tidak terdengar, seolah-olah setiap kata adalah sebuah perjuangan hidup dan mati.Asisten itu, dengan mata yang melebar karena kepanikan, bertanya lagi, "Mohon maaf Tuan, apa yang Anda katakan?" Dia mendekatkan telinganya ke bibir Jake, berusaha menangkap setiap bisikan yang lemah."O-obat... laci..." kata-kata Jake terputus-putus, nafasnya tersengal.Mengerti akan keadaa