Kursi itu terjatuh dengan suara dentuman yang suram, menggema di ruangan yang sepi. Jake terkapar di lantai, nafasnya tersengal-sengal, matanya terpejam rapat, seolah-olah dia sedang berjuang melawan rasa sakit yang tak terlihat.
"Tuan Besar!" teriak asisten rumah tangga itu, suaranya memecah kesunyian malam. Dia berlari ke arah Jake, lututnya hampir terbentur lantai saat dia berjongkok di sampingnya. "Astaga, Tuhan, Anda tidak apa-apa?" tanyanya, suaranya penuh dengan rasa takut yang mendalam.Jake, dengan usaha yang terakhir, berbisik pelan, "O-obat..." suaranya hampir tidak terdengar, seolah-olah setiap kata adalah sebuah perjuangan hidup dan mati.Asisten itu, dengan mata yang melebar karena kepanikan, bertanya lagi, "Mohon maaf Tuan, apa yang Anda katakan?" Dia mendekatkan telinganya ke bibir Jake, berusaha menangkap setiap bisikan yang lemah."O-obat... laci..." kata-kata Jake terputus-putus, nafasnya tersengal.Mengerti akan keadaa"Dad?" bisik Emily, terkejut saat melihat Fred di hadapan mereka.Langkah Fred juga terhenti, sama terkejutnya saat menyadari bahwa mobil di depannya memang benar milik Daniel. Ekspresi heran tergambar jelas di wajahnya."Bagaimana kalian bisa bersama?" tanya Fred, suaranya mencerminkan kebingungan yang mendalam."I-itu.." Emily tergagap, bingung harus menjelaskan apa kepada Fred."Kami baru saja pulang dari acara perusahaan," potong Daniel, membantu Emily menjawab pertanyaan dari Fred dengan suara yang tenang."Oh begitu, apakah Bapak tidak mau masuk ke dalam untuk minum sebentar?" tanya Fred, nada suaranya berubah menjadi lebih hangat."Masuklah terlebih dahulu, Pak," ucap Daniel, mengangguk dengan hormat kepada Emily. "Baiklah kalau begitu," ucap Emily, suaranya bergetar sedikit, mencerminkan kecemasan yang dia rasakan.Mereka bertiga akhirnya melangkah masuk ke dalam rumah yang tenang."Tunggu sebe
Daniel membeku, keheningan mendadak menyelimuti ruangan. Dia tidak menyangka akan kedatangan kakeknya ke rumah Emily yang tiba-tiba seperti ini. "Siapa itu, Em?" suara Fred terdengar mendekat, langkahnya ringan namun penuh keingintahuan. Ketika sosok asing itu muncul di ambang pintu, alis Fred berkerut, membentuk garis-garis kebingungan. "Maaf, tapi Anda ini siapa?" tanyanya, suaranya penuh kehati-hatian. "Dia adalah ketua perusahaan W, kakek Pak Daniel," jawab Daniel, suaranya teredam oleh suara Emily yang kini menjadi wadah jiwanya. "Ke-ketua?" Fred menelan ludah, terkejut. Celemek yang sebelumnya melingkar di pinggangnya kini terlepas dan jatuh ke lantai. "Si-silahkan masuk, Pak," ucap Fred, suaranya bergetar sedikit karena gugup, mempersilahkan Jake untuk masuk. Jake melangkah masuk, matanya yang tajam memindai setiap sudut ruangan, menangkap kilauan pigura foto yang menampilkan senyum bahagia Emily. Di sana juga terpam
Olivia menggeram, pegangannya pada setir mobil semakin erat. Jantungnya berdebar kencang, seolah-olah setiap detaknya adalah gema dari kemarahannya yang membara. Dia mengeluarkan ponselnya, jari-jarinya menari di atas tombol dengan tujuan yang jelas. Ketika suara di ujung sana mengangkat telepon, kata-katanya terdengar dingin namun terkendali, "Bisakah kamu melakukan sesuatu untukku?" Setelah panggilan itu, senyum licik terukir di bibir Olivia, menandakan sebuah rencana yang sedang berkecamuk. "Aku tidak akan membiarkan seseorang merebut apa yang seharusnya menjadi milikku."***Di sisi lain kota, Emily duduk di ujung meja panjang, menggantikan posisi Daniel sebagai CEO dalam sebuah meeting penting di perusahaan W. Ruangan itu dipenuhi dengan suara-suara yang berbaur menjadi satu, namun bagi Emily, itu semua terdengar seperti desauan angin yang jauh. Saat anggota dewan dengan keahliannya dalam strategi pemasaran memaparkan tentang peluang ekspansi pasar baru, Emily menemukan dirinya
Emily merasakan kebingungan yang mendalam. Olvia, dengan tangan yang melingkar di lengannya, tiba-tiba memeluknya. Itu terjadi begitu cepat sehingga Emily tidak sempat bereaksi sebelum kilatan cahaya dari kejauhan menangkap momen tersebut. Seorang fotografer yang bersembunyi telah mengabadikan mereka. Emily, yang merasa tidak nyaman, segera melepaskan diri dari pelukan Olivia."Kenapa kamu membawa aku ke sini?" tanya Emily dengan nada yang mencari jawaban. Olivia tersenyum tipis, sebuah senyuman yang seolah menyembunyikan rahasia. "Untuk makan malam, ayo kita masuk," jawabnya ringan.Mereka melangkah menuju restoran yang telah dipilih Olivia sebagai tempat mereka bertemu. Olivia memimpin dengan percaya diri, sementara Emily mengikuti dengan langkah yang ragu. "Aku sudah mendengar beritamu yang lebih memilih untuk menikah dengan wanita dari kalangan biasa. Kalau boleh tahu, siapa wanita itu?" tanya Olivia.Emily memilih diam, t
Wanita misterius itu memutuskan sambungan telepon tanpa menjawab pertanyaan Olivia. Olivia menatap layar ponselnya yang mendadak sunyi, namun segera teralih oleh notifikasi yang berkedip. Pesan itu singkat, hanya berisi alamat yang harus dituju. Dengan langkah yang ragu, Olivia memasuki restoran yang disebutkan dalam pesan tersebut. Dia memilih duduk di salah satu meja di sudut, hatinya berdebar menanti sosok di balik panggilan tadi. Tak lama, seorang wanita berjalan menghampiri dengan langkah mantap. Wanita itu memiliki aura yang familiar, tetapi Olivia tidak dapat mengingatnya. "Apa kabar, Nona Olivia?" sapa wanita itu dengan suara yang lembut namun mengandung kekuatan. Setelah menyapa Olivia, wanita itu mengambil duduk di hadapannya. Olivia memperhatikan wanita itu, berusaha keras mengingat. Wanita di hadapannya adalah Daniel yang terjebak dalam tubuh Emily. Setelah berhasil mengingatnya, Olivia berkata. "Ah, kamu wanita yang pern
Saat mereka tiba di Mountain Creek, Daniel memimpin Emily ke pusat penyewaan. Emily mengikuti dengan tatapan penuh rasa ingin tahu, mengamati ruangan yang sibuk dengan pengunjung lain yang juga bersiap untuk hari di lereng.Daniel berbicara dengan staf penyewaan dengan suara yang tegas. "Kami membutuhkan sepasang sepatu ski dan peralatan lengkap untuk pemula," ucapnya.Setelah sepatu ski yang pas ditemukan, Emily menatapnya dengan ragu. "Bagaimana cara memakainya?" tanyanya.Daniel menoleh dengan ekspresi yang tak terbaca. "Duduklah, saya akan membantumu," katanya, suaranya dingin namun jelas.Emily menarik nafas dalam, merasakan kehangatan tangan Daniel saat menyentuh pergelangan kakinya. Dia membiarkan dirinya dipimpin oleh Daniel, yang dengan sabar mengajarkan cara memakai sepatu ski dan mengencangkan ikatannya."Seperti ini," kata Daniel, sambil menunjukkan bagaimana tali sepatu ski harus dikencangkan agar pas dan nyaman. "Jangan terlalu ketat."Emily mengangguk, memperhatikan set
Olivia mengatur konferensi pers di kantor pusat perusahaan Walton."Terima kasih atas kehadiran kalian semua," ucap Olivia, memulai pidatonya dengan suara yang jelas dan tenang. "Saya di sini untuk mengklarifikasi sebuah kesalahpahaman yang telah menyebabkan banyak spekulasi."Olivia melanjutkan, "Saya ingin menegaskan bahwa tidak pernah ada hubungan asmara antara saya dan Pak Daniel. Kami memiliki hubungan profesional yang kuat, tetapi tidak pernah melampaui batas tersebut. Saya menyesali pernyataan keliru yang telah menghebohkan publik. Itu adalah kesalahan yang disampaikan oleh pihak tertentu."Dengan tatapan tajam ke kamera, Olivia menjelaskan dengan tegas, "Saya meminta maaf atas gangguan yang mungkin ditimbulkan oleh rumor ini. Saya juga meminta maaf kepada Pak Daniel atas segala kerugian yang mungkin ditimbulkan oleh pernyataan dari pihak kami." ucapnya sambil menunduk hormat. Daniel menatap layar ponselnya di mana Olivia Walton baru saja
Olivia melangkah cepat ke kamarnya, membanting pintu dengan kekuatan penuh frustrasi. Dia terduduk lemas di balik pintu, menangis, rasa sakitnya bukan hanya fisik di pipi yang memerah, tapi juga di hatinya yang terluka.Tujuh tahun yang lalu, kehidupan Olivia berubah drastis ketika Edward Walton, ayahnya, membawa pulang seorang wanita yang kini menjadi ibu tirinya, dan anak lelakinya dari pernikahan sebelumnya. Wanita itu, yang hanya menunjukkan wajah manisnya di hadapan Edward, berubah menjadi sosok yang dingin dan tak peduli ketika hanya berdua dengan Olivia. Kehadiran mereka telah menghapus setiap jejak 'damai' dari kamus kehidupan Olivia, menggantinya dengan konflik yang tak berkesudahan.Setiap hari, pertengkaran dengan Edward menjadi ritual yang tak terhindarkan. Namun, kali ini, Olivia bertekad untuk tidak menyerah pada air mata. Dengan tangan yang gemetar, dia menghapus jejak kesedihan dari wajahnya. Kesunyian kamarnya tiba-tiba pecah oleh deringan ponselnya. Nomor yang muncul
"Apa?" Daniel terkesiap, matanya membulat karena terkejut mendengar ucapan Emily tetapi sesaat kemudian senyum tipis terukir di bibirnya. Dia mendekat, berjongkok di hadapan Emily yang duduk di kursi roda, hingga pandangan mereka bertemu.Daniel menjentikkan jari telunjuknya, menyentuh kening Emily. "Ah, sakit! Apa yang kamu lakukan?" Emily mengerutkan kening, sedikit kesal."Menghukum seseorang yang selalu berpikiran tidak-tidak," jawab Daniel. "Dari mana kamu mendengar bahwa aku telah menikah dengan Alice?" tanya Daniel, tatapan mata birunya yang dalam dan teduh membuat jantung Emily berdebar kencang. Daniel memang sangat tampan, pesonanya tak pernah pudar.Emily terdiam, terpana sesaat. "Ehmm," gumamnya, berusaha membasahi kerongkongannya yang terasa kering. "Aku mendengarnya ketika Alice mengunjungiku saat itu. Maria memberikan selamat pada Alice atas pernikahannya."Mendengar ucapan Emily, Daniel tertawa begitu lebar, suaranya bergema di ruangan itu. "Kamu berpikir bahwa aku yan
Sinar matahari pagi menyelinap melalui celah tirai saat Emily perlahan membuka matanya. Kelopak matanya terasa berat. Dia mengerjap, mencoba menyesuaikan penglihatannya. Perlahan, dia bisa melihat dinding berwarna putih bersih.'Di mana aku? Apa yang terjadi?' batin Emily. Sebuah perasaan aneh mencengkeram hatinya. Dia merasa kosong, seperti kehilangan sesuatu yang penting. Air mata membasahi pipinya, kesedihan terasa menyesakkannya, tetapi dia tidak mengerti apa yang terjadi padanya. Dia tidak lagi mengingat dirinya yang tersesat di hutan dan bertemu dengan ayah kandungnya, Thomas. Mesin-mesin di samping tempat tidurnya berdengung pelan, bunyi bipnya yang berirama menjadi pengingat konstan akan keadaannya yang rapuh. Grafik di monitor melacak naik turun detak jantungnya. Sebuah infus terpasang di lengannya, cairan bening mengalir perlahan, membantu tubuhnya yang lemah. Alat bantu pernapasan menyertai setiap hela napasnya yang terasa berat. "Selamat atas pernikahanmu, Nyonya Alice,
Entah sudah berapa lama Emily berjalan mengitari hutan itu, tak tentu arah. Tidak ada satu pun yang menjawabnya, tidak ada satu pun yang mendengarnya, tidak ada satu pun yang mengenalnya. Air mata terus membasahi pipi Emily. Dia ingin kembali, ingin mengakhiri semua penderitaan yang terasa menyesakkan di hatinya. Dia kelelahan, tetapi dia terus memaksa dirinya untuk berjalan maju tanpa tujuan. "Emily," suara kasar seorang pria memecah kesunyian. Akhirnya ada yang mengenalnya di hutan itu dan memanggilnya. Emily menoleh, jantungnya berdebar kencang, dan melihat sesosok pria muncul dari balik pepohonan. Mata pria itu menyimpan kesedihan yang mendalam. Wajahnya, kasar tetapi menyimpan kelembutan yang familiar. Saat mata mereka bertemu, Emily terbelalak tak percaya karena apa yang dilihat di depan matanya tak lain adalah ayah kandungnya sendiri, Thomas. "Bagaimana... bagaimana kamu bisa ada di sini?" Rasa terkejut dan kebingungan berputar-putar di kepala Emily. Dia tak mampu memahami a
Hawa dingin rumah sakit mencengkeram Daniel, menusuknya hingga ke tulang. Sudah berjam-jam Emily terbaring di ruang gawat darurat, menyiksa Daniel dengan ketakutan dan ketidakpastian. Pandangannya tertuju pada pintu ruang gawat darurat, berharap sebuah keajaiban akan muncul dari baliknya. "Aku mohon bertahanlah, Emily," bisik Daniel, suaranya serak menahan kepedihan. "Takdir itu tidak boleh terjadi," gumam Daniel, tangannya mengepal erat. "Kamu tidak boleh meninggalkanku."Bayangan masa depan yang suram menelan Daniel, mencekiknya dengan rasa takut. Tujuh tahun hidup tanpa Emily sudah menjadi siksaan baginya, bagaimana jika dia harus kehilangannya selamanya? Daniel tidak bisa membayangkan itu, sebuah mimpi buruk yang tak ingin dia jalani. Dia terjebak dalam kesedihan dan penyesalan, terhantui oleh kenangan indah yang kini terasa begitu jauh. "Bagaimana keadaan Emily?" Suara itu, panik dan cemas, mengagetkannya. Daniel mengangkat kepalanya, matanya berkaca-kaca, tatapannya kosong.
Anthony dengan keringat dingin yang menetes di pelipisnya, berlari menuju pintu belakang. Dia berhasil mencapai mobil yang sudah disiapkan, jantungnya berdebar kencang. Dia langsung melompat masuk dan menghidupkan mesin mobil. Mobil itu melesat meninggalkan gudang yang kini dipenuhi asap dan teriakan. Mobil polisi dengan lampu merah-biru berkedip-kedip seperti mata predator, mengejarnya dari belakang. Sirene meraung-raung, mengiris keheningan."Sial!" desis Anthony, tangannya menggenggam setir erat, keringat dingin membasahi telapak tangannya. Dia menginjak pedal gas, mobilnya meraung, melaju kencang di jalan yang lumayan ramai. Anthony melirik spion, melihat mobil polisi yang mengejarnya semakin dekat. Jantungnya berdebar kencang, namun dia harus mengendalikan dirinya agar tidak panik. Dia harus lolos. Matahari sore menyinari jalanan, membuat bayangan panjang di aspal. Anthony meliuk-liuk di jalanan, menghindari mobil-mobil lain yang melaju dengan kecepatan normal.Setelah beberap
"Bos!" teriak salah satu anak buah Anthony, wajahnya pucat pasi setelah menerima telepon dan mendengar suara di seberang yang terdengar panik, memberitahukan tentang penangkapan operasi mereka. "Barang-barang kita... polisi sudah mengamankan semuanya!""Sialan!" Anthony menggeram.Tatapan Anthony lurus menusuk ke arah Daniel yang berdiri tenang di hadapannya, senyum kemenangan jelas terukir di bibirnya. "Apakah ini juga kerjaanmu?" desis Anthony, suaranya bergetar menahan amarah yang siap meledak. Daniel mengangkat bahu, senyumnya tipis, sebuah ejekan dingin yang terukir di bibirnya. Tindakannya, penuh penghinaan, seolah membenarkan bahwa dia adalah dalang di balik kehancuran rencana Anthony. "Kamu sebaiknya pensiun dari bisnis gelapmu. Beristirahatlah dan terima hukumanmu sekarang."Anthony mengepalkan tangannya, urat-urat di tangannya menonjol. Kebencian membara di matanya, menggerogoti sisa-sisa kesabarannya.Sementara itu, di luar gudang, petugas polisi, bersenjata senapan dan p
Sean mengangkat kayu itu, matanya berkilat dengan amarah. Dia menyerbu ke arah Daniel, kayu itu mengarah ke tubuhnya. Bunyi gedebuk menggelegar menggema di ruangan itu saat kayu itu menghantam Daniel, tubuhnya terbanting ke lantai. Pandangan Daniel berputar, dunia di sekelilingnya menjadi kabur. Rasa sakit itu menjalar ke seluruh tubuhnya, menusuk tulang rusuknya, membuat setiap ototnya bergetar. "Sean, hentikan!" teriak Emily, suaranya terputus-putus. "Aku mohon, jangan lakukan ini!""Diam!" raungan pria berpakaian hitam itu menggema di ruangan. Pisaunya yang mengkilap dan dingin semakin menempel lekat di leher Emily, membuat Emily terdiam. Tubuhnya gemetar, keringat dingin membasahi kulitnya, dan napasnya terengah-engah. Anthony menyeringai, matanya berkilat jahat. "Pukul lagi!" teriaknya, suaranya dingin dan penuh ancaman. Mendengar perintah Anthony, Sean kembali mengayunkan kayu itu ke arah Daniel, memukulnya berkali-kali. Sementara air mata Emily mengalir deras di pipinya, tub
Emily diseret hingga dipaksa berlutut, kakinya lemas di bawah tekanan. Tangannya terikat, tergantung tak berdaya. Rahang Daniel mengeras, amarah membara dalam dadanya. Salah satu pria berpakaian hitam, mengeluarkan pisau yang berkilauan. Pisau itu menempel mengancam di leher Emily yang halus."Hentikan! Jangan sakiti dia!" raung Daniel, suaranya serak karena keputusasaan. "Aku akan membunuhmu," Sean menggeram, tubuhnya memberontak dalam cengkeraman para pria berpakaian hitam. Daniel menatap Anthony dengan tatapan dingin. "Lepaskan dia," katanya, suaranya penuh otoritas, "Atau kau akan menyesalinya."Air mata mengalir di pipi Emily, meskipun dia berusaha menahannya. Dia tampak begitu ketakutan tetapi berusaha tampak tegar. "Menarik sekali," Anthony mencibir, senyumnya merekah seperti pisau tajam. "Dua pria mencintai wanita yang sama." "Melihat ini," Anthony berkata, senyumnya mengejek, "mengingatkanku pada masa lalu. Bukan begitu, Sophia?" Sophia mengerutkan kening. "Apa maksudmu?
"Richard, bajingan itu kembali. Dia masih hidup. Jika terjadi sesuatu padaku, tolong lakukan seperti yang kita bicarakan. Tolong lindungi Grace dan Emily." Kata-kata Daniel masih bergema di kepala Richard. Jantungnya berdebar kencang, rasa takut merayap di dalam dirinya. Hilangnya Emily terasa aneh, seperti ada kaitannya dengan mantan sopir Daniel. Richard menginjak pedal gas, mobilnya melaju cepat di jalanan. Dia harus segera sampai ke rumah sakit. Dia harus tahu apa yang terjadi, apa yang membuat Emily menghilang begitu mendadak. Beberapa saat kemudian, rumah sakit tampak di depan matanya. Richard memarkirkan mobilnya dengan perasaan tidak karuan.Richard melangkah cepat ke ruang rawat inap Emily, jantungnya berdebar kencang. Di sana, dia melihat Maria, wajahnya pucat dan penuh kekhawatiran. Beberapa perawat berdiri di dekatnya, berbisik dengan serius, tidak ada yang menyadari kehadiran Richard. "Apa yang terjadi?" tanya Richard. "Pak Richard, Nyonya Emily... dia menghilang," u