Emily merasakan kebingungan yang mendalam. Olvia, dengan tangan yang melingkar di lengannya, tiba-tiba memeluknya. Itu terjadi begitu cepat sehingga Emily tidak sempat bereaksi sebelum kilatan cahaya dari kejauhan menangkap momen tersebut. Seorang fotografer yang bersembunyi telah mengabadikan mereka. Emily, yang merasa tidak nyaman, segera melepaskan diri dari pelukan Olivia."Kenapa kamu membawa aku ke sini?" tanya Emily dengan nada yang mencari jawaban. Olivia tersenyum tipis, sebuah senyuman yang seolah menyembunyikan rahasia. "Untuk makan malam, ayo kita masuk," jawabnya ringan.Mereka melangkah menuju restoran yang telah dipilih Olivia sebagai tempat mereka bertemu. Olivia memimpin dengan percaya diri, sementara Emily mengikuti dengan langkah yang ragu. "Aku sudah mendengar beritamu yang lebih memilih untuk menikah dengan wanita dari kalangan biasa. Kalau boleh tahu, siapa wanita itu?" tanya Olivia.Emily memilih diam, t
Wanita misterius itu memutuskan sambungan telepon tanpa menjawab pertanyaan Olivia. Olivia menatap layar ponselnya yang mendadak sunyi, namun segera teralih oleh notifikasi yang berkedip. Pesan itu singkat, hanya berisi alamat yang harus dituju. Dengan langkah yang ragu, Olivia memasuki restoran yang disebutkan dalam pesan tersebut. Dia memilih duduk di salah satu meja di sudut, hatinya berdebar menanti sosok di balik panggilan tadi. Tak lama, seorang wanita berjalan menghampiri dengan langkah mantap. Wanita itu memiliki aura yang familiar, tetapi Olivia tidak dapat mengingatnya. "Apa kabar, Nona Olivia?" sapa wanita itu dengan suara yang lembut namun mengandung kekuatan. Setelah menyapa Olivia, wanita itu mengambil duduk di hadapannya. Olivia memperhatikan wanita itu, berusaha keras mengingat. Wanita di hadapannya adalah Daniel yang terjebak dalam tubuh Emily. Setelah berhasil mengingatnya, Olivia berkata. "Ah, kamu wanita yang pern
Saat mereka tiba di Mountain Creek, Daniel memimpin Emily ke pusat penyewaan. Emily mengikuti dengan tatapan penuh rasa ingin tahu, mengamati ruangan yang sibuk dengan pengunjung lain yang juga bersiap untuk hari di lereng.Daniel berbicara dengan staf penyewaan dengan suara yang tegas. "Kami membutuhkan sepasang sepatu ski dan peralatan lengkap untuk pemula," ucapnya.Setelah sepatu ski yang pas ditemukan, Emily menatapnya dengan ragu. "Bagaimana cara memakainya?" tanyanya.Daniel menoleh dengan ekspresi yang tak terbaca. "Duduklah, saya akan membantumu," katanya, suaranya dingin namun jelas.Emily menarik nafas dalam, merasakan kehangatan tangan Daniel saat menyentuh pergelangan kakinya. Dia membiarkan dirinya dipimpin oleh Daniel, yang dengan sabar mengajarkan cara memakai sepatu ski dan mengencangkan ikatannya."Seperti ini," kata Daniel, sambil menunjukkan bagaimana tali sepatu ski harus dikencangkan agar pas dan nyaman. "Jangan terlalu ketat."Emily mengangguk, memperhatikan set
Olivia mengatur konferensi pers di kantor pusat perusahaan Walton."Terima kasih atas kehadiran kalian semua," ucap Olivia, memulai pidatonya dengan suara yang jelas dan tenang. "Saya di sini untuk mengklarifikasi sebuah kesalahpahaman yang telah menyebabkan banyak spekulasi."Olivia melanjutkan, "Saya ingin menegaskan bahwa tidak pernah ada hubungan asmara antara saya dan Pak Daniel. Kami memiliki hubungan profesional yang kuat, tetapi tidak pernah melampaui batas tersebut. Saya menyesali pernyataan keliru yang telah menghebohkan publik. Itu adalah kesalahan yang disampaikan oleh pihak tertentu."Dengan tatapan tajam ke kamera, Olivia menjelaskan dengan tegas, "Saya meminta maaf atas gangguan yang mungkin ditimbulkan oleh rumor ini. Saya juga meminta maaf kepada Pak Daniel atas segala kerugian yang mungkin ditimbulkan oleh pernyataan dari pihak kami." ucapnya sambil menunduk hormat. Daniel menatap layar ponselnya di mana Olivia Walton baru saja
Olivia melangkah cepat ke kamarnya, membanting pintu dengan kekuatan penuh frustrasi. Dia terduduk lemas di balik pintu, menangis, rasa sakitnya bukan hanya fisik di pipi yang memerah, tapi juga di hatinya yang terluka.Tujuh tahun yang lalu, kehidupan Olivia berubah drastis ketika Edward Walton, ayahnya, membawa pulang seorang wanita yang kini menjadi ibu tirinya, dan anak lelakinya dari pernikahan sebelumnya. Wanita itu, yang hanya menunjukkan wajah manisnya di hadapan Edward, berubah menjadi sosok yang dingin dan tak peduli ketika hanya berdua dengan Olivia. Kehadiran mereka telah menghapus setiap jejak 'damai' dari kamus kehidupan Olivia, menggantinya dengan konflik yang tak berkesudahan.Setiap hari, pertengkaran dengan Edward menjadi ritual yang tak terhindarkan. Namun, kali ini, Olivia bertekad untuk tidak menyerah pada air mata. Dengan tangan yang gemetar, dia menghapus jejak kesedihan dari wajahnya. Kesunyian kamarnya tiba-tiba pecah oleh deringan ponselnya. Nomor yang muncul
"Di saat jiwa kita masih bertukar, menikah denganmu adalah keputusan yang tak terelakkan meskipun dengan status kita sebagai seorang pimpinan dan bawahan pasti akan sangat sulit," ujar Daniel, suaranya mengandung kepastian yang berat. Kabar pernikahan mereka yang hanya akan berlangsung selama setahun itu menekan hati Emily. Bukan pernikahan sementara di atas perjanjian seperti ini yang diinginkan olehnya, melainkan pernikahan yang bersifat selamanya atas dasar cinta. "Aku mengerti," bisik Emily, suaranya hampir tenggelam dalam desau nafas yang berat."Kalau begitu, istirahatlah. Selamat malam," kata Daniel, suaranya kini terdengar jauh dan hampa, seolah menggema dari kejauhan."Iya, selamat malam," jawab Emily, suaranya hampir tidak terdengar.***Malam berikutnya, di bawah-bawah langit yang tinggi dari convention center yang megah, perayaan ulang tahun W Company berlangsung dengan gemerlap. Wajah-wajah terkemuka dari dunia bisnis, pemimpin industri yang berpengaruh, berkumpul untuk
"Kamu akan tetap menempati kamar ini," ujar Daniel sambil menunjuk ke arah kamar pribadinya. "Aku akan menempati kamar lain," lanjut Daniel. "Baiklah," jawab Emily, sambil melangkah masuk ke dalam kamar Daniel yang sudah seperti kamarnya sendiri karena pertukaran jiwa ini. Setelah Daniel pergi, Emily berdiri sejenak, meresapi kenyataan bahwa dia kini adalah istri Daniel Winston, meskipun hanya berdasarkan perjanjian. Dia merasa lelah, bukan hanya karena hari yang panjang, tetapi juga karena beban pikiran yang kini dia pikul. Dengan langkah gontai, dia melepas sepatunya dan merebahkan diri di atas kasur. Kamar itu besar, terasa lebih luas karena sepi. "Selamat, Em. Sekarang kamu sudah menikah dan menjadi seorang istri," bisik Emily, matanya tertuju pada langit-langit dalam kamar itu. "Ah, iya. Bukan istri, tapi harusnya seorang suami, bukan? Mengingat aku berada dalam tubuh Daniel Winston. A
Saat jarak antara Emily dan Daniel semakin tidak ada, Emily perlahan menutup matanya, dengan keyakinan mempersiapkan dirinya untuk dicium oleh Daniel. Namun, ketika bibir mereka hampir bersentuhan, semua kenangan pahit masa lalu Daniel tentang kematian kedua orangtuanya tiba-tiba memenuhi pikirannya. "Mom! Dad! Jangan tinggalkan aku," teriak Daniel kecil, tangisannya memecah kesunyian malam saat tragedi itu terjadi."Supir truk yang menabrak orang tuamu melarikan diri," kata-kata itu terdengar lagi, mengingatkan Daniel pada keadilan yang belum terpenuhi."Supir truk yang kita cari ternyata memiliki seorang putri. Dia bekerja di perusahaan ini."Dengan setiap suara yang datang, dada Daniel semakin sesak, dan matanya yang memerah menunjukkan perjuangan batin yang ia alami. Tangannya mencengkeram sofa dengan kuat, mencari pegangan di tengah badai emosi. Dan dalam detik yang menentukan, Daniel memilih untuk mundur, membiarkan kenangan itu menguasai dirinya daripada melanjutkan ciuman yan
"Apa?" Daniel terkesiap, matanya membulat karena terkejut mendengar ucapan Emily tetapi sesaat kemudian senyum tipis terukir di bibirnya. Dia mendekat, berjongkok di hadapan Emily yang duduk di kursi roda, hingga pandangan mereka bertemu.Daniel menjentikkan jari telunjuknya, menyentuh kening Emily. "Ah, sakit! Apa yang kamu lakukan?" Emily mengerutkan kening, sedikit kesal."Menghukum seseorang yang selalu berpikiran tidak-tidak," jawab Daniel. "Dari mana kamu mendengar bahwa aku telah menikah dengan Alice?" tanya Daniel, tatapan mata birunya yang dalam dan teduh membuat jantung Emily berdebar kencang. Daniel memang sangat tampan, pesonanya tak pernah pudar.Emily terdiam, terpana sesaat. "Ehmm," gumamnya, berusaha membasahi kerongkongannya yang terasa kering. "Aku mendengarnya ketika Alice mengunjungiku saat itu. Maria memberikan selamat pada Alice atas pernikahannya."Mendengar ucapan Emily, Daniel tertawa begitu lebar, suaranya bergema di ruangan itu. "Kamu berpikir bahwa aku yan
Sinar matahari pagi menyelinap melalui celah tirai saat Emily perlahan membuka matanya. Kelopak matanya terasa berat. Dia mengerjap, mencoba menyesuaikan penglihatannya. Perlahan, dia bisa melihat dinding berwarna putih bersih.'Di mana aku? Apa yang terjadi?' batin Emily. Sebuah perasaan aneh mencengkeram hatinya. Dia merasa kosong, seperti kehilangan sesuatu yang penting. Air mata membasahi pipinya, kesedihan terasa menyesakkannya, tetapi dia tidak mengerti apa yang terjadi padanya. Dia tidak lagi mengingat dirinya yang tersesat di hutan dan bertemu dengan ayah kandungnya, Thomas. Mesin-mesin di samping tempat tidurnya berdengung pelan, bunyi bipnya yang berirama menjadi pengingat konstan akan keadaannya yang rapuh. Grafik di monitor melacak naik turun detak jantungnya. Sebuah infus terpasang di lengannya, cairan bening mengalir perlahan, membantu tubuhnya yang lemah. Alat bantu pernapasan menyertai setiap hela napasnya yang terasa berat. "Selamat atas pernikahanmu, Nyonya Alice,
Entah sudah berapa lama Emily berjalan mengitari hutan itu, tak tentu arah. Tidak ada satu pun yang menjawabnya, tidak ada satu pun yang mendengarnya, tidak ada satu pun yang mengenalnya. Air mata terus membasahi pipi Emily. Dia ingin kembali, ingin mengakhiri semua penderitaan yang terasa menyesakkan di hatinya. Dia kelelahan, tetapi dia terus memaksa dirinya untuk berjalan maju tanpa tujuan. "Emily," suara kasar seorang pria memecah kesunyian. Akhirnya ada yang mengenalnya di hutan itu dan memanggilnya. Emily menoleh, jantungnya berdebar kencang, dan melihat sesosok pria muncul dari balik pepohonan. Mata pria itu menyimpan kesedihan yang mendalam. Wajahnya, kasar tetapi menyimpan kelembutan yang familiar. Saat mata mereka bertemu, Emily terbelalak tak percaya karena apa yang dilihat di depan matanya tak lain adalah ayah kandungnya sendiri, Thomas. "Bagaimana... bagaimana kamu bisa ada di sini?" Rasa terkejut dan kebingungan berputar-putar di kepala Emily. Dia tak mampu memahami a
Hawa dingin rumah sakit mencengkeram Daniel, menusuknya hingga ke tulang. Sudah berjam-jam Emily terbaring di ruang gawat darurat, menyiksa Daniel dengan ketakutan dan ketidakpastian. Pandangannya tertuju pada pintu ruang gawat darurat, berharap sebuah keajaiban akan muncul dari baliknya. "Aku mohon bertahanlah, Emily," bisik Daniel, suaranya serak menahan kepedihan. "Takdir itu tidak boleh terjadi," gumam Daniel, tangannya mengepal erat. "Kamu tidak boleh meninggalkanku."Bayangan masa depan yang suram menelan Daniel, mencekiknya dengan rasa takut. Tujuh tahun hidup tanpa Emily sudah menjadi siksaan baginya, bagaimana jika dia harus kehilangannya selamanya? Daniel tidak bisa membayangkan itu, sebuah mimpi buruk yang tak ingin dia jalani. Dia terjebak dalam kesedihan dan penyesalan, terhantui oleh kenangan indah yang kini terasa begitu jauh. "Bagaimana keadaan Emily?" Suara itu, panik dan cemas, mengagetkannya. Daniel mengangkat kepalanya, matanya berkaca-kaca, tatapannya kosong.
Anthony dengan keringat dingin yang menetes di pelipisnya, berlari menuju pintu belakang. Dia berhasil mencapai mobil yang sudah disiapkan, jantungnya berdebar kencang. Dia langsung melompat masuk dan menghidupkan mesin mobil. Mobil itu melesat meninggalkan gudang yang kini dipenuhi asap dan teriakan. Mobil polisi dengan lampu merah-biru berkedip-kedip seperti mata predator, mengejarnya dari belakang. Sirene meraung-raung, mengiris keheningan."Sial!" desis Anthony, tangannya menggenggam setir erat, keringat dingin membasahi telapak tangannya. Dia menginjak pedal gas, mobilnya meraung, melaju kencang di jalan yang lumayan ramai. Anthony melirik spion, melihat mobil polisi yang mengejarnya semakin dekat. Jantungnya berdebar kencang, namun dia harus mengendalikan dirinya agar tidak panik. Dia harus lolos. Matahari sore menyinari jalanan, membuat bayangan panjang di aspal. Anthony meliuk-liuk di jalanan, menghindari mobil-mobil lain yang melaju dengan kecepatan normal.Setelah beberap
"Bos!" teriak salah satu anak buah Anthony, wajahnya pucat pasi setelah menerima telepon dan mendengar suara di seberang yang terdengar panik, memberitahukan tentang penangkapan operasi mereka. "Barang-barang kita... polisi sudah mengamankan semuanya!""Sialan!" Anthony menggeram.Tatapan Anthony lurus menusuk ke arah Daniel yang berdiri tenang di hadapannya, senyum kemenangan jelas terukir di bibirnya. "Apakah ini juga kerjaanmu?" desis Anthony, suaranya bergetar menahan amarah yang siap meledak. Daniel mengangkat bahu, senyumnya tipis, sebuah ejekan dingin yang terukir di bibirnya. Tindakannya, penuh penghinaan, seolah membenarkan bahwa dia adalah dalang di balik kehancuran rencana Anthony. "Kamu sebaiknya pensiun dari bisnis gelapmu. Beristirahatlah dan terima hukumanmu sekarang."Anthony mengepalkan tangannya, urat-urat di tangannya menonjol. Kebencian membara di matanya, menggerogoti sisa-sisa kesabarannya.Sementara itu, di luar gudang, petugas polisi, bersenjata senapan dan p
Sean mengangkat kayu itu, matanya berkilat dengan amarah. Dia menyerbu ke arah Daniel, kayu itu mengarah ke tubuhnya. Bunyi gedebuk menggelegar menggema di ruangan itu saat kayu itu menghantam Daniel, tubuhnya terbanting ke lantai. Pandangan Daniel berputar, dunia di sekelilingnya menjadi kabur. Rasa sakit itu menjalar ke seluruh tubuhnya, menusuk tulang rusuknya, membuat setiap ototnya bergetar. "Sean, hentikan!" teriak Emily, suaranya terputus-putus. "Aku mohon, jangan lakukan ini!""Diam!" raungan pria berpakaian hitam itu menggema di ruangan. Pisaunya yang mengkilap dan dingin semakin menempel lekat di leher Emily, membuat Emily terdiam. Tubuhnya gemetar, keringat dingin membasahi kulitnya, dan napasnya terengah-engah. Anthony menyeringai, matanya berkilat jahat. "Pukul lagi!" teriaknya, suaranya dingin dan penuh ancaman. Mendengar perintah Anthony, Sean kembali mengayunkan kayu itu ke arah Daniel, memukulnya berkali-kali. Sementara air mata Emily mengalir deras di pipinya, tub
Emily diseret hingga dipaksa berlutut, kakinya lemas di bawah tekanan. Tangannya terikat, tergantung tak berdaya. Rahang Daniel mengeras, amarah membara dalam dadanya. Salah satu pria berpakaian hitam, mengeluarkan pisau yang berkilauan. Pisau itu menempel mengancam di leher Emily yang halus."Hentikan! Jangan sakiti dia!" raung Daniel, suaranya serak karena keputusasaan. "Aku akan membunuhmu," Sean menggeram, tubuhnya memberontak dalam cengkeraman para pria berpakaian hitam. Daniel menatap Anthony dengan tatapan dingin. "Lepaskan dia," katanya, suaranya penuh otoritas, "Atau kau akan menyesalinya."Air mata mengalir di pipi Emily, meskipun dia berusaha menahannya. Dia tampak begitu ketakutan tetapi berusaha tampak tegar. "Menarik sekali," Anthony mencibir, senyumnya merekah seperti pisau tajam. "Dua pria mencintai wanita yang sama." "Melihat ini," Anthony berkata, senyumnya mengejek, "mengingatkanku pada masa lalu. Bukan begitu, Sophia?" Sophia mengerutkan kening. "Apa maksudmu?
"Richard, bajingan itu kembali. Dia masih hidup. Jika terjadi sesuatu padaku, tolong lakukan seperti yang kita bicarakan. Tolong lindungi Grace dan Emily." Kata-kata Daniel masih bergema di kepala Richard. Jantungnya berdebar kencang, rasa takut merayap di dalam dirinya. Hilangnya Emily terasa aneh, seperti ada kaitannya dengan mantan sopir Daniel. Richard menginjak pedal gas, mobilnya melaju cepat di jalanan. Dia harus segera sampai ke rumah sakit. Dia harus tahu apa yang terjadi, apa yang membuat Emily menghilang begitu mendadak. Beberapa saat kemudian, rumah sakit tampak di depan matanya. Richard memarkirkan mobilnya dengan perasaan tidak karuan.Richard melangkah cepat ke ruang rawat inap Emily, jantungnya berdebar kencang. Di sana, dia melihat Maria, wajahnya pucat dan penuh kekhawatiran. Beberapa perawat berdiri di dekatnya, berbisik dengan serius, tidak ada yang menyadari kehadiran Richard. "Apa yang terjadi?" tanya Richard. "Pak Richard, Nyonya Emily... dia menghilang," u