"Kamu akan tetap menempati kamar ini," ujar Daniel sambil menunjuk ke arah kamar pribadinya. "Aku akan menempati kamar lain," lanjut Daniel. "Baiklah," jawab Emily, sambil melangkah masuk ke dalam kamar Daniel yang sudah seperti kamarnya sendiri karena pertukaran jiwa ini. Setelah Daniel pergi, Emily berdiri sejenak, meresapi kenyataan bahwa dia kini adalah istri Daniel Winston, meskipun hanya berdasarkan perjanjian. Dia merasa lelah, bukan hanya karena hari yang panjang, tetapi juga karena beban pikiran yang kini dia pikul. Dengan langkah gontai, dia melepas sepatunya dan merebahkan diri di atas kasur. Kamar itu besar, terasa lebih luas karena sepi. "Selamat, Em. Sekarang kamu sudah menikah dan menjadi seorang istri," bisik Emily, matanya tertuju pada langit-langit dalam kamar itu. "Ah, iya. Bukan istri, tapi harusnya seorang suami, bukan? Mengingat aku berada dalam tubuh Daniel Winston. A
Saat jarak antara Emily dan Daniel semakin tidak ada, Emily perlahan menutup matanya, dengan keyakinan mempersiapkan dirinya untuk dicium oleh Daniel. Namun, ketika bibir mereka hampir bersentuhan, semua kenangan pahit masa lalu Daniel tentang kematian kedua orangtuanya tiba-tiba memenuhi pikirannya. "Mom! Dad! Jangan tinggalkan aku," teriak Daniel kecil, tangisannya memecah kesunyian malam saat tragedi itu terjadi."Supir truk yang menabrak orang tuamu melarikan diri," kata-kata itu terdengar lagi, mengingatkan Daniel pada keadilan yang belum terpenuhi."Supir truk yang kita cari ternyata memiliki seorang putri. Dia bekerja di perusahaan ini."Dengan setiap suara yang datang, dada Daniel semakin sesak, dan matanya yang memerah menunjukkan perjuangan batin yang ia alami. Tangannya mencengkeram sofa dengan kuat, mencari pegangan di tengah badai emosi. Dan dalam detik yang menentukan, Daniel memilih untuk mundur, membiarkan kenangan itu menguasai dirinya daripada melanjutkan ciuman yan
Mendengar pertanyaan Sean, Daniel memilih untuk tidak menjawab. Baginya, pertanyaan itu hanya trik murahan untuk mengujinya, sesuatu yang tidak layak mendapatkan perhatiannya. Namun, bagi Emily, hal itu menimbulkan rasa sakit yang tak terduga. Melihat Daniel mengabaikan pertanyaan Sean membuat hatinya bergetar, seolah ada benang tak terlihat yang menarik-narik perasaannya.Daniel bersiap untuk menghidupkan mesin mobil, namun tangan lembut Emily menahannya. "Bolehkah aku mengobatinya?" suaranya lembut namun penuh keberanian. Emily menanyakan itu hanya untuk mendengarkan jawaban penolakan dari Daniel.Daniel menoleh, matanya menangkap kilauan kepedulian di mata Emily. "Silahkan, jika itu yang kamu inginkan."Jawaban yang dilontarkan Daniel sangat berbeda dengan apa yang diharapkan oleh Emily. Dengan anggukan, akhirnya Emily bergegas keluar dari mobil dan melangkah ke kursi belakang, tempat Sean menunggu dengan tatapan penuh antisipasi."Mana obatnya
Daniel melangkah ke dalam ruang kerjanya, jantungnya berdegup kencang, tangannya terkepal tak sadar hingga buku-buku jarinya memutih. Dengan gerakan yang terkendali namun penuh kekuatan, punggung tangannya membentur permukaan meja dengan keras. Nafasnya tersengal, bukan karena lelah, melainkan pertarungan batin yang tak kunjung usai. "Mengapa setiap kali berada di dekatnya, aku tidak bisa menahan diri?" gumamnya, suara penuh kebimbangan yang tersembunyi di balik nada yang tegas. Kematian orang tuanya, tragedi yang tak terpisahkan dari nama Emily, seharusnya menjadi perisai, menguatkan tekadnya untuk tetap berjarak. Namun, setiap tatapan, setiap senyuman yang tidak sengaja terlintas dari wajah wanita itu, seolah mengikis kekuatan yang dia bangun dengan susah payah. "Bukankah kamu berniat menggunakan Emily untuk memancing keluar supir truk yang telah menghancurkan segalanya?" Daniel bertanya pada bayangannya sendiri yang terpantul di jendela, suaranya dingin, tanpa getaran e
Daniel mengalihkan pandangan dari tumpukan dokumen yang menumpuk di mejanya, menatap sosok Emily yang berdiri dengan keberanian yang tak tergoyahkan di hadapannya. "Lelucon? Apa maksudmu?" suaranya rendah namun tajam, membelah keheningan yang menegang seperti pisau. Emily, dengan nafas yang tercekat, menatap balik tatapan Daniel yang tajam, matanya tidak berkedip, mencari kebenaran. "Mengapa aku merasa bahwa kamu berusaha menghindariku?" suaranya bergetar.Daniel menanggapi dengan nada yang lebih dingin dari es, "Pergilah, Emily. Jangan menambah beban pikiranku."Namun, Emily tidak bergeming, seolah akarnya telah menancap dalam-dalam di lantai. "Apa yang membuatmu berubah sikap padaku? Apakah aku telah melakukan kesalahan yang membuatmu marah dan terganggu? Katakan padaku," kata-katanya mengalir, mencoba menembus dinding yang Daniel bangun."Pergi dari sini, Em," ujar Daniel sekali lagi, berusaha menahan gelora emosi yang mengamuk di dadanya. "Aku tidak akan pergi sebelum kamu jelas
Mia mendekati Emily yang tenggelam dalam lamunan, sambil menikmati alkohol yang telah dituangnya ke dalam gelas kristal. Rasa pahit dan panas dari cairan itu terasa membakar kerongkongan, seolah-olah mencerminkan kekacauan di hatinya."Kamu di sini rupanya," ucap Mia, suaranya lembut. Emily terkejut, matanya melebar saat melihat Mia yang tiba-tiba muncul di sebelahnya. "Jangan ganggu aku," desisnya, suaranya serak oleh emosi yang terpendam.Tanpa diundang, dengan gerakan yang seolah penuh perhatian, Mia membantu Emily menuangkan alkohol itu ke dalam gelas kosong. "Kenapa? Apa kamu sedang ada masalah?" tanyanya, suaranya seolah peduli namun matanya berkilau dengan rasa ingin tahu. Emily merasakan sakit yang menusuk di dadanya, sebuah perasaan yang terbangun saat memikirkan kejadian yang baru saja terjadi tadi. "Tidak apa-apa. Pergilah, jangan ganggu aku," ujarnya, mencoba menyembunyikan getaran dalam suaranya."Ada masalah dengan Pak Daniel?" tanya Mia."Kita tidak cukup dekat untuk
Emily, dengan pandangan yang sudah mulai kabur karena pengaruh alkohol, meraih gelas yang Mia ulurkan dengan tangan yang gemetar. Cairan itu terasa pahit di lidahnya, namun dia menelannya dengan cepat, berharap dapat menghilangkan rasa sakit yang menggigil di hatinya.Namun, seiring dengan setiap tegukan, detak jantung Emily semakin cepat, sebuah panas yang tak terdefinisi merayap di sekitar tubuhnya, disertai keringat dingin yang menetes, seolah-olah tubuhnya sendiri memberontak, menuntut sesuatu. Di dalam kegelapan klub malam, Emily tidak menyadari senyum licik yang terlintas di wajah Mia, matanya berkilauan menyaksikan rencana jahatnya berjalan sempurna.Teman pria Mia yang sempat berbicara dengannya di telepon akhirnya tiba. "Mana wanita itu?" tanyanya. Mia hanya memberikan isyarat dengan ekor matanya ke arah wanita di hadapannya. Nafas Emily yang mabuk semakin memburu, hasratnya memuncak, dan tubuhnya terasa sangat panas. "Apa yang terjadi pada wanita ini?" tanya teman Mia deng
Dengan ponsel Emily tergeletak di meja, Daniel semakin yakin bahwa Mia memiliki keterkaitan dengan menghilangnya Emily."Berbicaralah, Mia," desak Daniel, suaranya rendah namun setiap kata terukir dengan kekuatan yang tak terbantahkan. "Di mana Emily?" Api kemarahan dan kekhawatiran menyala di dalam matanya yang gelap.Mia, yang merasa terjepit oleh tatapan Daniel, merasakan detak jantungnya yang semakin kencang. Mia, dengan jari-jarinya yang gemetar, berjuang untuk menemukan nomor yang dia cari. Setelah beberapa saat, dia menemukan nomor itu dan dengan cepat menekan tombol panggil. "John, di mana kamu?" tanya Mia pada temannya di ujung sambungan. "Nyalakan speaker," perintah Daniel, suaranya tegas dan tidak terbantahkan. Awalnya Mia ragu, tetapi dia tidak punya pilihan lain saat dihadapkan oleh ancaman dan rahasianya yang berada di tangan Daniel. Dengan keraguan yang menyelimuti pikirannya, Mia tetap menekan tombol speaker di ponselnya. "Ada apa? Apa kamu ingin bersama kami menik