Dengan ponsel Emily tergeletak di meja, Daniel semakin yakin bahwa Mia memiliki keterkaitan dengan menghilangnya Emily."Berbicaralah, Mia," desak Daniel, suaranya rendah namun setiap kata terukir dengan kekuatan yang tak terbantahkan. "Di mana Emily?" Api kemarahan dan kekhawatiran menyala di dalam matanya yang gelap.Mia, yang merasa terjepit oleh tatapan Daniel, merasakan detak jantungnya yang semakin kencang. Mia, dengan jari-jarinya yang gemetar, berjuang untuk menemukan nomor yang dia cari. Setelah beberapa saat, dia menemukan nomor itu dan dengan cepat menekan tombol panggil. "John, di mana kamu?" tanya Mia pada temannya di ujung sambungan. "Nyalakan speaker," perintah Daniel, suaranya tegas dan tidak terbantahkan. Awalnya Mia ragu, tetapi dia tidak punya pilihan lain saat dihadapkan oleh ancaman dan rahasianya yang berada di tangan Daniel. Dengan keraguan yang menyelimuti pikirannya, Mia tetap menekan tombol speaker di ponselnya. "Ada apa? Apa kamu ingin bersama kami menik
Emily memandang sekeliling ruangan, dan menyadari bahwa itu bukan kamarnya, melainkan sebuah kamar hotel yang asing. Dia berusaha mengingat kejadian semalam, dan perlahan-lahan, ingatannya mulai tersusun kembali. "Emily," suara Daniel memecah kesunyian, lembut namun terdengar berat. Dia baru saja bangun dari tidurnya, duduk di kasur."Aku tahu..." suara Emily bergetar, kata-kata itu terasa pahit di lidahnya. "Aku tahu apa yang terjadi semalam. Dan aku akan melupakan semua itu. Hubungan kita... hanyalah sebatas perjanjian, bukan?" Dia berusaha keras menyembunyikan getaran dalam suaranya. Daniel duduk, garis-garis kebingungan terukir di wajahnya. "Em," dia memanggilnya lagi, suaranya lebih mendesak. Emily menarik nafas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberaniannya sebelum berkata. "Aku... aku tidak mengerti kenapa aku bisa kehilangan kendali seperti itu. Tapi itu salahku. Aku tidak akan membebanimu dengan tanggung jawab atas kesalahanku," katanya. "Kamu tidak salah, Em. Semalam, k
Keterkejutan itu tergambar jelas di wajah Emily, membuat Richard yang berdiri di depannya menatap dengan raut kebingungan."Ah, maafkan saya. Baik, saya mengerti. Terima kasih telah memberitahu saya," ucap Emily, mencoba menyembunyikan kegelisahannya dengan suara yang bergetar."Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak," ucap Richard, memberikan isyarat hormat sebelum mundur perlahan dari ruangan itu.Emily menarik nafas dalam-dalam, merasakan beban yang terangkat. Mia, sosok yang selalu meresahkan pikirannya, kini tak akan lagi mengisi ruang-ruang kantor ini.Suara Daniel memecah keheningan. "Melamun apa?" tanyanya, suaranya lembut namun cukup untuk membuat Emily tersadar dari lamunannya.Emily mendongak, menatap sepasang mata yang tidak asing baginya, yang kini memandangnya dengan penuh kehangatan. "Mia terlibat dalam perdagangan obat terlarang," ungkapnya, suaranya bergetar. "Aku tidak tahu harus merasa bahagia atau bersedih untuknya. Dan aku tidak mengerti mengapa dia selalu membencik
"Di mana?" tanya salah satu rekan kerja dengan rasa ingin tahu yang terpicu."Di sana," jawab yang lain, jari terentang menunjuk langsung ke arah Daniel yang berdiri tegak tidak jauh dari mereka. Emily menahan nafas, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdetak kencang. Dengan jas Daniel yang kini menjadi perisai, dia berusaha menyembunyikan sebagian wajahnya yang terpapar cahaya lampu jalanan.Langkah mereka semakin mendekat, dan dengan setiap detik, Emily merasa hubungan mereka akan semakin terancam. Dalam keputusasaan, dia memutuskan untuk melarikan diri dari situasi itu. Namun, heels tingginya menjadi penghalang, dan dengan sebuah langkah yang salah, dia kehilangan keseimbangan.Dengan suara hentakan yang memecah kesunyian malam, Emily terjatuh ke tanah. Dia menutup matanya, berharap bumi bisa menelannya saat itu juga. Meski terjatuh, dia masih memeluk jas Daniel erat-erat untuk tetap menutupi dirinya. "Ada apa dengannya?" bisik salah satu rekan kerja dengan nada penuh keb
Emily, yang kini berada dalam tubuh Daniel, merasa bingung saat tidak melihat keberadaan Daniel. Namun, seketika itu, seorang wanita yang baru saja keluar dari kamar mandi membuatnya tersenyum lebar."Selamat pagi," sapanya pada Daniel yang kini berada dalam tubuhnya."Pagi," balas Daniel.Keduanya menyikat gigi bersama di dalam kamar mandi. Melihat wajah mereka dalam pantulan cermin, mereka tertawa bahagia. Emily yang jahil menyipratkan air ke wajah Daniel. Daniel yang tidak terima, menyipratkannya kembali. Suasana pagi itu benar-benar terasa begitu bahagia.Setelah membersihkan diri, mereka turun untuk menikmati sarapan yang sudah disiapkan oleh asisten rumah tangga Daniel. Emily dan Daniel duduk berhadapan, mata mereka saling bertemu di atas meja yang dihiasi dengan croissant yang renyah, potongan buah-buahan segar, dan secangkir kopi hangat. Daniel mengambil sepotong croissant dan memotongnya dengan hati-hati, sementara Emily memilih untuk menyobeknya dengan tangan. Pemandangan i
Beberapa rekan kerja mulai mengerumuni Daniel untuk mencari tahu sesuatu darinya yang mereka kira adalah Emily. "Kamu harus memberitahukan kami yang sebenarnya," ucap salah satu rekan kerja yang mendekati Daniel, wajahnya serius.'Apa mereka sudah mengetahui hubunganku dengan Emily?' batin Daniel dalam hati, tetapi tetap mempertahankan ekspresinya yang tenang. "Apa karena alasan ini kamu menjauhi Mia?" tanya rekan kerja lainnya. Mendengar pertanyaan itu, Daniel merasa sedikit lega karena menyadari bahwa dia keliru dalam menafsirkan bahwa mereka telah mengetahui hubungannya dengan Emily."Kami tidak menyangka bahwa di balik sikap hangatnya, dia adalah seseorang yang sangat berbahaya," ucap yang lain."Apa kamu sudah mengetahui hal ini sebelumnya?" tanya rekan itu lagi."Maaf, tapi urusan Mia bukanlah urusanku. Aku tidak mengetahui hal itu," ujar Daniel dengan suara tegas dan dingin."Kenapa kamu menjauhinya selama ini? Bukankah kalian saling mengenal satu sama lain karena kamu adalah
Saat membaca pesan itu, mata Jake kembali memerah mengingat ketika kenangan terakhir bersama David merebak dalam benaknya. Dia teringat senyuman hangat David yang terakhir kali padanya sebelum hubungan mereka berada dalam keadaan retak karena pernikahan David yang tidak pernah diakui olehnya. Jantung Jake kembali berdenyut sakit. Dengan tangan gemetar, dia membuka kemasan obat yang tergeletak di atas meja dan meminumnya dengan pahit. Dalam momen yang penuh penyesalan itu, air mata Jake tak lagi dapat ditahan dan jatuh membasahi pipinya. Suara isak tangisnya memecah keheningan ruangan, sebuah penyesalan dari seorang ayah kepada anaknya. "Maafkan aku, anakku yang malang. Jika benar isi pesan itu, aku akan memastikan bahwa pembunuh itu mendapat hukuman setimpal," ucap Jake dengan suara gemetar, diiringi oleh isak tangis yang tak terbendung.Kata-kata permohonan maaf yang terlontar dari bibir Jake mengandung beban kesedihan dan penyesalan yang begitu besar. Dengan ekspresi wajah yang pe
Setelah beberapa saat, mobil Daniel akhirnya tiba di salah satu restoran elit di New York. Daniel membantu Emily membukakan pintu mobil dan mempersilahkannya keluar. "Terima kasih," ucap Emily sambil tersenyum manis. Saat melangkah masuk ke dalam restoran, mereka disambut oleh interior yang elegan dan modern, dipenuhi dengan sentuhan Art Deco yang khas. Ruang makan yang luas dan terbuka memberikan pemandangan yang memukau ke seluruh kota New York.Saat mereka duduk di meja yang dihiasi dengan cahaya lembut dan bunga segar, pelayan dengan sopan membawakan menu makanan khas restoran. Daniel dan Emily memulai makan malam dengan hidangan pembuka berupa foie gras terrine dengan chutney buah persik dan brioche panggang. "Sepertinya sangat lezat," ucap Emily kagum, matanya bersinar melihat hidangan di depannya. Namun, sebelum menyantap hidangan, seperti biasa dia akan mengabadikan momen tersebut ke dalam ponselnya. Daniel hanya tersenyum tipis melihat tingkah laku Emily yang penuh keceri