Beberapa rekan kerja mulai mengerumuni Daniel untuk mencari tahu sesuatu darinya yang mereka kira adalah Emily. "Kamu harus memberitahukan kami yang sebenarnya," ucap salah satu rekan kerja yang mendekati Daniel, wajahnya serius.'Apa mereka sudah mengetahui hubunganku dengan Emily?' batin Daniel dalam hati, tetapi tetap mempertahankan ekspresinya yang tenang. "Apa karena alasan ini kamu menjauhi Mia?" tanya rekan kerja lainnya. Mendengar pertanyaan itu, Daniel merasa sedikit lega karena menyadari bahwa dia keliru dalam menafsirkan bahwa mereka telah mengetahui hubungannya dengan Emily."Kami tidak menyangka bahwa di balik sikap hangatnya, dia adalah seseorang yang sangat berbahaya," ucap yang lain."Apa kamu sudah mengetahui hal ini sebelumnya?" tanya rekan itu lagi."Maaf, tapi urusan Mia bukanlah urusanku. Aku tidak mengetahui hal itu," ujar Daniel dengan suara tegas dan dingin."Kenapa kamu menjauhinya selama ini? Bukankah kalian saling mengenal satu sama lain karena kamu adalah
Saat membaca pesan itu, mata Jake kembali memerah mengingat ketika kenangan terakhir bersama David merebak dalam benaknya. Dia teringat senyuman hangat David yang terakhir kali padanya sebelum hubungan mereka berada dalam keadaan retak karena pernikahan David yang tidak pernah diakui olehnya. Jantung Jake kembali berdenyut sakit. Dengan tangan gemetar, dia membuka kemasan obat yang tergeletak di atas meja dan meminumnya dengan pahit. Dalam momen yang penuh penyesalan itu, air mata Jake tak lagi dapat ditahan dan jatuh membasahi pipinya. Suara isak tangisnya memecah keheningan ruangan, sebuah penyesalan dari seorang ayah kepada anaknya. "Maafkan aku, anakku yang malang. Jika benar isi pesan itu, aku akan memastikan bahwa pembunuh itu mendapat hukuman setimpal," ucap Jake dengan suara gemetar, diiringi oleh isak tangis yang tak terbendung.Kata-kata permohonan maaf yang terlontar dari bibir Jake mengandung beban kesedihan dan penyesalan yang begitu besar. Dengan ekspresi wajah yang pe
Setelah beberapa saat, mobil Daniel akhirnya tiba di salah satu restoran elit di New York. Daniel membantu Emily membukakan pintu mobil dan mempersilahkannya keluar. "Terima kasih," ucap Emily sambil tersenyum manis. Saat melangkah masuk ke dalam restoran, mereka disambut oleh interior yang elegan dan modern, dipenuhi dengan sentuhan Art Deco yang khas. Ruang makan yang luas dan terbuka memberikan pemandangan yang memukau ke seluruh kota New York.Saat mereka duduk di meja yang dihiasi dengan cahaya lembut dan bunga segar, pelayan dengan sopan membawakan menu makanan khas restoran. Daniel dan Emily memulai makan malam dengan hidangan pembuka berupa foie gras terrine dengan chutney buah persik dan brioche panggang. "Sepertinya sangat lezat," ucap Emily kagum, matanya bersinar melihat hidangan di depannya. Namun, sebelum menyantap hidangan, seperti biasa dia akan mengabadikan momen tersebut ke dalam ponselnya. Daniel hanya tersenyum tipis melihat tingkah laku Emily yang penuh keceri
Setelah Jake menanyakan tentang dokumen surat wasiatnya, Matthew menjawab dengan penuh keyakinan, "Semuanya telah disiapkan sesuai instruksi yang Anda berikan. Semua detail telah dipertimbangkan dengan cermat."Jake mengangguk puas, "Terima kasih, Matthew. Saya percaya Anda telah menangani hal ini dengan baik."Matthew menanggapi, "Tentu saja, Tuan. Ini adalah bagian dari tanggung jawab saya untuk memastikan semuanya berjalan lancar dan sesuai dengan keinginan Anda."Pertemuan pun berlanjut dengan diskusi detail mengenai isi surat wasiat dan langkah-langkah selanjutnya yang perlu diambil. Setelah diskusi yang panjang dengan Matthew, pengacara keluarga Johnson, mengenai isi surat wasiat dan langkah-langkah selanjutnya, Matthew pun pamit untuk undur diri. Tatapan Jake terasa kosong, dipenuhi dengan pemikiran yang dalam. Dia menyadari bahwa penyakitnya mungkin akan semakin parah, dan langkah yang tepat adalah segera menentukan ahli waris dari sekarang.***Sementara itu, Emily baru saja
Daniel menggendong tubuh Emily dengan lembut, menempatkannya dengan hati-hati di atas kasur. Nafas keduanya berdesir dengan irama yang semakin cepat, seiring dengan detak jantung yang semakin terasa. "Tunggu," ucap Emily, menghentikan tangan Daniel yang hendak membuka gaun yang dipakainya. "Kita akan terlambat ke pesta ulang tahun Grandpa," lanjut Emily dengan nada cemas."Apa kamu tidak menginginkannya?" bisik Daniel, suaranya memberikan getaran aneh namun menyenangkan untuk indra pendengaran Emily. Getaran itu semakin meyakinkannya bahwa dia juga menginginkan penyatuan cinta mereka malam itu."Apa tidak apa-apa jika kita terlambat?" tanya Emily, mencari kepastian dalam keputusannya.Daniel melirik arlojinya yang menghiasi pergelangan tangannya. "Lima belas menit cukup untuk menyelesaikan semuanya," ucapnya sambil tersenyum.Dengan hasrat yang membara di antara mereka, bibir mereka bertemu dalam ciuman penuh kelembutan. Akhirnya, malam itu menjadi saksi dari penyatuan cinta dan gai
Kejadian saat Jake berlutut di hadapan sosok misterius membuat Olivia sangat terkejut hingga tubuhnya bergetar. Tanpa berpikir panjang, dia segera mencari tempat persembunyian. Kedua tangan menutup mulutnya erat, takut mengeluarkan suara yang akan membuat orang itu sadar akan keberadaannya. Perlahan, Olivia mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Sosok misterius itu telah keluar dari ruang kerja Jake. Olivia berusaha menahan nafasnya agar keberadaannya tidak diketahui. Setiap langkah kaki itu semakin terdengar jelas beriringan dengan detak jantungnya yang semakin terasa. Tangannya juga semakin erat menutup mulutnya. Tiba-tiba langkah kaki itu berhenti tepat di dekat persembunyian Olivia. Nafasnya semakin tidak teratur, khawatir orang itu mengetahui keberadaannya. Namun, tidak lama kemudian langkah kaki itu kembali bergerak melewati persembunyian Olivia hingga akhirnya tidak terdengar lagi. Mata Olivia memerah hingga tubuhnya bergetar hebat. Setelah memastikan orang itu pergi, di
Dokter Thompson dengan penuh kehati-hatian mengungkapkan, "Dengan rasa duka yang mendalam, saya harus menyampaikan kabar bahwa Tuan Jake telah meninggal dunia akibat serangan jantung yang disertai dengan komplikasi yang parah, termasuk infark miokardium yang meluas." Kabar itu mengejutkan semua orang yang hadir di ruangan tunggu itu, termasuk Daniel dan Emily. "Tidak, ini tidak mungkin!" seru Sophia sambil menangis mendengar kabar yang sangat mengejutkan baginya. Dia menangis tersedu-sedu di ruangan itu. Emily memegang tangan Daniel dengan erat, berusaha menguatkan perasaan Daniel. Seperti bayangan hitam yang menghantui Daniel, matanya menjadi semakin kelam. Dia harus kehilangan beberapa orang yang sangat dicintainya dalam hidupnya. Setelah kehilangan kedua orang tuanya, saat ini dia harus kembali menghadapi kenyataan bahwa dia harus kembali kehilangan orang yang sangat dicintainya lagi. Tatapan mata Emily tidak pernah lepas dari Daniel. Dia sangat mengkhawatirkan Daniel di hadap
Daniel terdiam sejenak, matanya terpaku pada kilauan yang memantul dari anting berkilau yang tergeletak di sudut tembok dekat ruang kerja kakeknya. Daniel meraih anting itu dengan hati-hati. Tiba-tiba, suara langkah ringan asisten rumah tangga memecah keheningan ruangan. Daniel segera menghentikannya, matanya menatap tajam ke arah asisten tersebut. "Apakah semalam ada tamu yang datang menemui Grandpa?" tanya Daniel. "Maaf, Tuan Muda. Semalam, Tuan Besar memerintahkan kami semua untuk membantu persiapan ulang tahunnya, jadi tidak ada seorang pun yang tinggal," jawab asisten rumah tangga itu dengan suara lembut."Tidak ada seorang pun yang tinggal?" tanya Daniel. "Tuan Besar memerintahkan kami semua untuk mengosongkan rumah ini," jawab asisten rumah tangga itu dengan suara yang penuh kepatuhan dan rasa hormat. 'Mengosongkan rumah ini? Tapi, untuk apa?' batin Daniel merasa bingung. Daniel menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Baiklah, aku mengerti. Kamu boleh kemb