Setelah beberapa saat, mobil Daniel akhirnya tiba di salah satu restoran elit di New York. Daniel membantu Emily membukakan pintu mobil dan mempersilahkannya keluar. "Terima kasih," ucap Emily sambil tersenyum manis. Saat melangkah masuk ke dalam restoran, mereka disambut oleh interior yang elegan dan modern, dipenuhi dengan sentuhan Art Deco yang khas. Ruang makan yang luas dan terbuka memberikan pemandangan yang memukau ke seluruh kota New York.Saat mereka duduk di meja yang dihiasi dengan cahaya lembut dan bunga segar, pelayan dengan sopan membawakan menu makanan khas restoran. Daniel dan Emily memulai makan malam dengan hidangan pembuka berupa foie gras terrine dengan chutney buah persik dan brioche panggang. "Sepertinya sangat lezat," ucap Emily kagum, matanya bersinar melihat hidangan di depannya. Namun, sebelum menyantap hidangan, seperti biasa dia akan mengabadikan momen tersebut ke dalam ponselnya. Daniel hanya tersenyum tipis melihat tingkah laku Emily yang penuh keceri
Setelah Jake menanyakan tentang dokumen surat wasiatnya, Matthew menjawab dengan penuh keyakinan, "Semuanya telah disiapkan sesuai instruksi yang Anda berikan. Semua detail telah dipertimbangkan dengan cermat."Jake mengangguk puas, "Terima kasih, Matthew. Saya percaya Anda telah menangani hal ini dengan baik."Matthew menanggapi, "Tentu saja, Tuan. Ini adalah bagian dari tanggung jawab saya untuk memastikan semuanya berjalan lancar dan sesuai dengan keinginan Anda."Pertemuan pun berlanjut dengan diskusi detail mengenai isi surat wasiat dan langkah-langkah selanjutnya yang perlu diambil. Setelah diskusi yang panjang dengan Matthew, pengacara keluarga Johnson, mengenai isi surat wasiat dan langkah-langkah selanjutnya, Matthew pun pamit untuk undur diri. Tatapan Jake terasa kosong, dipenuhi dengan pemikiran yang dalam. Dia menyadari bahwa penyakitnya mungkin akan semakin parah, dan langkah yang tepat adalah segera menentukan ahli waris dari sekarang.***Sementara itu, Emily baru saja
Daniel menggendong tubuh Emily dengan lembut, menempatkannya dengan hati-hati di atas kasur. Nafas keduanya berdesir dengan irama yang semakin cepat, seiring dengan detak jantung yang semakin terasa. "Tunggu," ucap Emily, menghentikan tangan Daniel yang hendak membuka gaun yang dipakainya. "Kita akan terlambat ke pesta ulang tahun Grandpa," lanjut Emily dengan nada cemas."Apa kamu tidak menginginkannya?" bisik Daniel, suaranya memberikan getaran aneh namun menyenangkan untuk indra pendengaran Emily. Getaran itu semakin meyakinkannya bahwa dia juga menginginkan penyatuan cinta mereka malam itu."Apa tidak apa-apa jika kita terlambat?" tanya Emily, mencari kepastian dalam keputusannya.Daniel melirik arlojinya yang menghiasi pergelangan tangannya. "Lima belas menit cukup untuk menyelesaikan semuanya," ucapnya sambil tersenyum.Dengan hasrat yang membara di antara mereka, bibir mereka bertemu dalam ciuman penuh kelembutan. Akhirnya, malam itu menjadi saksi dari penyatuan cinta dan gai
Kejadian saat Jake berlutut di hadapan sosok misterius membuat Olivia sangat terkejut hingga tubuhnya bergetar. Tanpa berpikir panjang, dia segera mencari tempat persembunyian. Kedua tangan menutup mulutnya erat, takut mengeluarkan suara yang akan membuat orang itu sadar akan keberadaannya. Perlahan, Olivia mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Sosok misterius itu telah keluar dari ruang kerja Jake. Olivia berusaha menahan nafasnya agar keberadaannya tidak diketahui. Setiap langkah kaki itu semakin terdengar jelas beriringan dengan detak jantungnya yang semakin terasa. Tangannya juga semakin erat menutup mulutnya. Tiba-tiba langkah kaki itu berhenti tepat di dekat persembunyian Olivia. Nafasnya semakin tidak teratur, khawatir orang itu mengetahui keberadaannya. Namun, tidak lama kemudian langkah kaki itu kembali bergerak melewati persembunyian Olivia hingga akhirnya tidak terdengar lagi. Mata Olivia memerah hingga tubuhnya bergetar hebat. Setelah memastikan orang itu pergi, di
Dokter Thompson dengan penuh kehati-hatian mengungkapkan, "Dengan rasa duka yang mendalam, saya harus menyampaikan kabar bahwa Tuan Jake telah meninggal dunia akibat serangan jantung yang disertai dengan komplikasi yang parah, termasuk infark miokardium yang meluas." Kabar itu mengejutkan semua orang yang hadir di ruangan tunggu itu, termasuk Daniel dan Emily. "Tidak, ini tidak mungkin!" seru Sophia sambil menangis mendengar kabar yang sangat mengejutkan baginya. Dia menangis tersedu-sedu di ruangan itu. Emily memegang tangan Daniel dengan erat, berusaha menguatkan perasaan Daniel. Seperti bayangan hitam yang menghantui Daniel, matanya menjadi semakin kelam. Dia harus kehilangan beberapa orang yang sangat dicintainya dalam hidupnya. Setelah kehilangan kedua orang tuanya, saat ini dia harus kembali menghadapi kenyataan bahwa dia harus kembali kehilangan orang yang sangat dicintainya lagi. Tatapan mata Emily tidak pernah lepas dari Daniel. Dia sangat mengkhawatirkan Daniel di hadap
Daniel terdiam sejenak, matanya terpaku pada kilauan yang memantul dari anting berkilau yang tergeletak di sudut tembok dekat ruang kerja kakeknya. Daniel meraih anting itu dengan hati-hati. Tiba-tiba, suara langkah ringan asisten rumah tangga memecah keheningan ruangan. Daniel segera menghentikannya, matanya menatap tajam ke arah asisten tersebut. "Apakah semalam ada tamu yang datang menemui Grandpa?" tanya Daniel. "Maaf, Tuan Muda. Semalam, Tuan Besar memerintahkan kami semua untuk membantu persiapan ulang tahunnya, jadi tidak ada seorang pun yang tinggal," jawab asisten rumah tangga itu dengan suara lembut."Tidak ada seorang pun yang tinggal?" tanya Daniel. "Tuan Besar memerintahkan kami semua untuk mengosongkan rumah ini," jawab asisten rumah tangga itu dengan suara yang penuh kepatuhan dan rasa hormat. 'Mengosongkan rumah ini? Tapi, untuk apa?' batin Daniel merasa bingung. Daniel menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Baiklah, aku mengerti. Kamu boleh kemb
Saat malam tiba, jiwa Daniel yang telah kembali ke tubuh aslinya tampak duduk tegak di sofa ruang tamu, matanya terfokus pada layar televisi yang menampilkan film lama diputar. Namun, pikirannya jauh dari adegan film tersebut. Pertanyaan tentang keberadaan Olivia di kediaman kakeknya terus menghantuinya. "Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" tanya Emily membuyarkan lamunan Daniel yang duduk di sampingnya. "Em, sepertinya aku harus pergi malam ini," ucap Daniel dengan suara pelan. "Pergi ke mana?" tanya Emily dengan nada penasaran. "Ada sesuatu yang harus aku selesaikan," jawab Daniel, mencoba menyembunyikan rasa gelisahnya di balik senyum samar. "Sesuatu?" gumam Emily, mencoba membaca ekspresi Daniel yang tersembunyi di balik senyumnya. Daniel mengangguk pelan sebelum menjawab, "Iya, ada sesuatu yang harus aku selesaikan."Emily merasakan kekhawatiran yang tak terucapkan, namun dia memilih untuk tidak menanyakan lebih lanjut. "Pergilah, jangan pulang terlalu malam," uc
Olivia kembali terhanyut dalam kenangan saat dia bersembunyi dari sosok misterius itu. Ketika langkah kaki orang itu berhenti tepat di dekat tempat persembunyiannya, Olivia merasa detak jantungnya semakin cepat. Dia hanya bisa berdiri dalam diam, takut akan terbongkar keberadaannya. Sosok itu terbungkus dalam jubah hitam yang menutupi identitasnya sepenuhnya. Meskipun tidak bisa melihat wajahnya, suara berat dan tegasnya menusuk ke dalam hati Olivia saat dia tertawa dengan begitu keras sebelum akhirnya berkata. "Selamat tinggal, Dad."Perkataan orang misterius itu segera disampaikan oleh Olivia kepada Daniel. Wajah Daniel terpancar kegelisahan dan kekhawatiran yang tak mampu dia sembunyikan. "Baiklah, aku mengerti," ucap Daniel dengan suara yang hampir tidak kedengaran. "Kamu pasti akan tetap mendukung perusahaanku, kan?" tanya Olivia penuh kecemasan. Daniel menoleh tajam ke arah Olivia "Apakah kamu siap jika aku membutuhkan kesaksian darimu?" tanyanya dengan suara tegas.Olivia te