Daniel selalu membawa beban kenangan pahit dari masa lalunya yang tak bisa ia lupakan. Masa lalu yang membuatnya membenci Emily. Namun, takdir seolah-olah mempermainkannya dengan keadaan yang tak terduga ini. Jiwa mereka yang tertukar menjadi sebuah ironi yang sulit dipahami. Dan ironisnya, jiwa mereka hanya bisa kembali ke tempat semula jika salah satu dari mereka menyelamatkan yang lain dari sebuah kecelakaan.
Lamunan Daniel harus terhenti saat mendengar langkah kaki yang mendekat dan pintu yang terbuka. Saat mendongak, dia melihat Emily berjalan masuk ke kamar dengan langkah tertatih. Kecerobohannya membuatnya jatuh pada saat hendak menuruni tangga."Apa yang terjadi padamu?" tanya Daniel dengan sikap dingin.Saya tidak sengaja terjatuh dari tangga," jelas Emily, suaranya bergetar sedikit karena rasa sakit dan malu.Tatapan Emily beralih pada sofa yang sedang diduduki oleh Daniel. "Saya akan tidur di sini malam ini," katanya, menunjuk ke soSejenak, kepanikan melanda pikirannya, "Astaga, apa yang sudah kulakukan?" bisiknya pada diri sendiri. Dengan hati-hati, dia mulai melepaskan pelukannya, berusaha sebaik mungkin untuk tidak membangunkan Daniel. "Apakah saya tidur dengan seorang manusia semalam?" tanya Daniel memecah keheningan yang membuat Emily tersentak kaget. "Apa saya melakukan kesalahan semalam?" tanya Emily sambil berusaha mengingat apa yang telah dilakukannya."Saya seperti tidur dengan seekor beruang buas yang siap menerkam saya kapan saja. Belum lagi kamu yang selalu mendengkur," ujar Daniel, suaranya datar namun tajam.Emily yang terkejut dengan komentar itu, hanya bisa memberikan senyum kecil yang gugup. "Maafkan saya, saya tidak menyadarinya," jawabnya, mencoba menyembunyikan rasa malu. Daniel memandang Emily dengan tatapan yang tegas dan langsung. "Bersiaplah, kita akan segera pulang," ujarnya, suaranya tidak memberikan ruang untuk protes. Daniel
Emily terpaku, matanya membesar dalam kepanikan. "Astaga! Saya... saya minta maaf, Pak! Saya tidak sengaja," ucapnya dengan suara gemetar, ketakutan akan konsekuensi dari kesalahannya."Ini sangat panas," omel Sean, sambil meraba pakaian yang basah dan noda kopi yang sekarang merusak penampilannya.Emily, dengan cepat mengambil beberapa tisu dan mulai membersihkan noda dari baju Sean. Tetapi noda yang dihapus menjadi semakin melebar. Tangan Sean menahan tangan Emily dengan begitu kencang dan erat dan tatapannya berubah menjadi semakin menakutkan. "Sakit, Pak. Tolong lepaskan saya," ucap Emily berusaha melepaskan diri. Daniel memijat pertengahan alisnya yang berkerut, dia benar-benar terganggu saat ini."Kamu bilang seseorang yang bekerja di sini memiliki kemampuan, bukan? Lihat sekretarismu ini," katanya sambil melirik Emily dengan pandangan yang meremehkan. "Dia tampak begitu ceroboh. Dia bahkan tidak layak mencapai posisi sekretaris di sini. Bagaimana mungkin orang seperti dia bis
"Pak Daniel, Anda baik-baik saja?" suara penuh kekhawatiran itu terdengar memecah kesunyian, menggema di dinding-dinding ruangan.Emily menelan saliva, merasakan pipinya memanas dalam malu yang menyengat. Ah, memalukan sekali! Ini benar-benar memalukan. Astaga! pikirannya berkecamuk, mencari jalan keluar dari situasi yang tak terduga ini. Tiba-tiba, sebuah suara tenang dan berwibawa memecah keheningan, "Biar saya yang membantu Pak Daniel. Silahkan lanjutkan pekerjaan kalian," terdengar sebuah suara memecah keheningan. Seolah-olah terhipnotis oleh perintah yang tak terduga itu, semua orang mulai bergerak, satu demi satu, meninggalkan ruangan. Saat Emily mendongak, dia terkejut melihat Daniel yang memberikan tatapan tajam padanya."Te-terima kasih, Pak," ucap Emily, merasa berterima kasih atas bantuan Daniel.Daniel memijat pertengahan alisnya yang berkerut. "Kamu hampir mengacaukan pertemuan ini dan kamu sudah berhasil membuat saya malu." "Maaf, Pak," ucap Emily. "Cepatlah bersiap
Emily yang berada di tubuh Daniel akhirnya duduk di hadapan salah satu mitra bisnis W Company. Emily, yang masih menyesuaikan diri di tubuh Daniel, merasa gugup. Dia mengenal Mr. Tanaka sebagai mitra yang cerdas dan tajam. Sebagai sekretaris, dia hanya terbiasa dengan tugas-tugas administratif, bukan keputusan eksekutif.Mr. Tanaka dengan penampilannya yang rapi dan sikapnya yang tegas membuka pembicaraan. "Jadi, bagaimana kita akan meningkatkan kerja sama di tahun mendatang?" tanyanya. Emily merasakan getaran ringan di telinganya, tanda bahwa Daniel sedang berbicara melalui earpiece. "Kita perlu memfokuskan pada integrasi sistem AI kita dengan infrastruktur logistik yang ada," bisik Daniel dengan tenang. Emily mengulangi kata-katanya dengan percaya diri, berusaha memperbaiki dirinya agar tidak melakukan kesalahan seperti sebelumnya. Emily kembali menambahkan dengan kata-katanya sendiri. "Dengan cara ini, kita dapat memprediksi tren pasar dan menyesuaikan distribusi kita secara real-
Emily perlahan membuka matanya, berkedip beberapa kali untuk mengusir kabut tidur yang masih melekat. Cahaya lembut menyinari wajahnya, dan di sana, tepat di hadapannya, adalah Daniel. Bukan sekadar Daniel, atasannya yang selalu tampak serius, tetapi Daniel yang sedang tertawa dengan suara rendah yang hangat dan lembut meskipun jiwa Daniel masih terperangkap dalam tubuhnya. Daniel, yang terkejut melihat Emily terbangun, segera menghentikan tawanya. Ada kilauan yang tak terduga di matanya, sebuah kilatan kegembiraan yang cepat berlalu.Kesadaran Emily kembali dan dia menyadari kepalanya yang bertumpu di telapak tangan Daniel sehingga dia pun cepat-cepat memperbaiki duduknya kembali. "Maaf, Pak. Saya tertidur," ucap Emily, suaranya bergetar sedikit karena malu. "Sebaiknya kita melanjutkan pelajarannya besok," ucap Daniel dengan suara yang lembut, namun tetap berwibawa. Emily, yang masih terpaku pada perubahan halus dalam ekspresi Daniel
Di tengah hujan salju yang turun perlahan, Emily melangkah keluar dari mobil dengan hati yang berat. Pandangannya tertuju pada pemandangan yang memilukan di depannya. Ethan, mantan kekasih yang masih dia cintai dengan sepenuh hati, kini tertawa bahagia bersama wanita lain. Mereka berdua tampak begitu serasi, bibir mereka bertemu dalam ciuman yang singkat namun mengandung makna, sebuah pemandangan yang terjadi tepat di hadapan Emily. Nafas Emily tercekat, dan seketika itu juga, dunianya seakan runtuh. Air mata mulai membasahi pipinya, berlomba dengan butiran salju yang menempel di kulitnya. Daniel, yang telah mengikuti Emily keluar dari mobil, berdiri di sampingnya, akhirnya menyadari apa yang telah membuat Emily begitu terguncang."Emily?" suara Ethan terdengar terkejut. Matanya membulat saat melihat sosok yang dia kira adalah Emily. Namun, yang dia tidak tahu, itu bukanlah Emily yang dia kenal. Itu adalah Daniel, yang kini terjebak dalam tubuh Emily. Em
Daniel menatap Sean dengan pandangan tajam dan dingin, suaranya sehalus es namun menusuk, "Kamu bahagia melakukan ini?" Sean mengangkat bahu dan tersenyum santai. "Hei, tenanglah. Aku hanya menekan pedal gas sedikit lebih dalam. Wanita itu? Dia muncul tiba-tiba jadi bukan salahku kalau aku hampir menabraknya," jawabnya. "Sean," Daniel memulai, suaranya tetap tenang. "Kamu memahami aturan, bukan? Aturan bukanlah mainan. Terutama di area parkir, di mana kecepatan harus dikontrol. Sebagai asisten manajer baru, kamu harusnya menjadi teladan, bukan pemicu kekacauan." "Pemicu kekacauan? Siapa? Aku?" Sean tertawa kecil, suaranya penuh dengan keangkuhan yang tak tersembunyi. "Aku tidak melakukan kesalahan." "Kali ini, aku akan mengabaikan insiden ini," suaranya tenang namun ada getaran tegas di dalamnya. "Namun, jika perilaku ini terulang kembali, aku tidak akan ragu untuk mengambil tindakan disipliner yang diperlukan. Anggap ini sebagai peringatan terakhirmu dan kesempatan untuk memper
Mia memberikan senyum yang lembut dan penuh arti. "Sampai jumpa nanti malam," katanya.Emily terdiam sejenak, merenungkan makna di balik kata-kata Mia tetapi akhirnya Emily memilih tidak mengambil pusing dan pergi dari kantin itu. Sambil berjalan menuju ruangannya, Emily tidak bisa menghilangkan perkataan Mia dari pikirannya. Apakah Pak Daniel tahu sesuatu tentang ini? Mungkin saja, saat Pak Daniel berada di tubuhku, mereka ada menjanjikan sesuatu?Emily mengeluarkan ponselnya, jemarinya lincah mengetikkan pertanyaan untuk Daniel seputar Mia. Namun, setiap kata yang terbentuk hanya berakhir dihapus kembali. Pesan itu tak pernah benar-benar terkirim. "Ah, sudahlah. Gak usah dipikirkan lagi," ucapnya, mencoba meyakinkan diri sendiri sambil menarik nafas dalam-dalam.Hari ini merupakan hari yang cukup sibuk untuk Emily. Sambil menyesap kopi yang telah dingin, dia memeriksa tumpukan dokumen yang harus ia arsipkan. Kontrak-kontrak baru, prop
"Apa?" Daniel terkesiap, matanya membulat karena terkejut mendengar ucapan Emily tetapi sesaat kemudian senyum tipis terukir di bibirnya. Dia mendekat, berjongkok di hadapan Emily yang duduk di kursi roda, hingga pandangan mereka bertemu.Daniel menjentikkan jari telunjuknya, menyentuh kening Emily. "Ah, sakit! Apa yang kamu lakukan?" Emily mengerutkan kening, sedikit kesal."Menghukum seseorang yang selalu berpikiran tidak-tidak," jawab Daniel. "Dari mana kamu mendengar bahwa aku telah menikah dengan Alice?" tanya Daniel, tatapan mata birunya yang dalam dan teduh membuat jantung Emily berdebar kencang. Daniel memang sangat tampan, pesonanya tak pernah pudar.Emily terdiam, terpana sesaat. "Ehmm," gumamnya, berusaha membasahi kerongkongannya yang terasa kering. "Aku mendengarnya ketika Alice mengunjungiku saat itu. Maria memberikan selamat pada Alice atas pernikahannya."Mendengar ucapan Emily, Daniel tertawa begitu lebar, suaranya bergema di ruangan itu. "Kamu berpikir bahwa aku yan
Sinar matahari pagi menyelinap melalui celah tirai saat Emily perlahan membuka matanya. Kelopak matanya terasa berat. Dia mengerjap, mencoba menyesuaikan penglihatannya. Perlahan, dia bisa melihat dinding berwarna putih bersih.'Di mana aku? Apa yang terjadi?' batin Emily. Sebuah perasaan aneh mencengkeram hatinya. Dia merasa kosong, seperti kehilangan sesuatu yang penting. Air mata membasahi pipinya, kesedihan terasa menyesakkannya, tetapi dia tidak mengerti apa yang terjadi padanya. Dia tidak lagi mengingat dirinya yang tersesat di hutan dan bertemu dengan ayah kandungnya, Thomas. Mesin-mesin di samping tempat tidurnya berdengung pelan, bunyi bipnya yang berirama menjadi pengingat konstan akan keadaannya yang rapuh. Grafik di monitor melacak naik turun detak jantungnya. Sebuah infus terpasang di lengannya, cairan bening mengalir perlahan, membantu tubuhnya yang lemah. Alat bantu pernapasan menyertai setiap hela napasnya yang terasa berat. "Selamat atas pernikahanmu, Nyonya Alice,
Entah sudah berapa lama Emily berjalan mengitari hutan itu, tak tentu arah. Tidak ada satu pun yang menjawabnya, tidak ada satu pun yang mendengarnya, tidak ada satu pun yang mengenalnya. Air mata terus membasahi pipi Emily. Dia ingin kembali, ingin mengakhiri semua penderitaan yang terasa menyesakkan di hatinya. Dia kelelahan, tetapi dia terus memaksa dirinya untuk berjalan maju tanpa tujuan. "Emily," suara kasar seorang pria memecah kesunyian. Akhirnya ada yang mengenalnya di hutan itu dan memanggilnya. Emily menoleh, jantungnya berdebar kencang, dan melihat sesosok pria muncul dari balik pepohonan. Mata pria itu menyimpan kesedihan yang mendalam. Wajahnya, kasar tetapi menyimpan kelembutan yang familiar. Saat mata mereka bertemu, Emily terbelalak tak percaya karena apa yang dilihat di depan matanya tak lain adalah ayah kandungnya sendiri, Thomas. "Bagaimana... bagaimana kamu bisa ada di sini?" Rasa terkejut dan kebingungan berputar-putar di kepala Emily. Dia tak mampu memahami a
Hawa dingin rumah sakit mencengkeram Daniel, menusuknya hingga ke tulang. Sudah berjam-jam Emily terbaring di ruang gawat darurat, menyiksa Daniel dengan ketakutan dan ketidakpastian. Pandangannya tertuju pada pintu ruang gawat darurat, berharap sebuah keajaiban akan muncul dari baliknya. "Aku mohon bertahanlah, Emily," bisik Daniel, suaranya serak menahan kepedihan. "Takdir itu tidak boleh terjadi," gumam Daniel, tangannya mengepal erat. "Kamu tidak boleh meninggalkanku."Bayangan masa depan yang suram menelan Daniel, mencekiknya dengan rasa takut. Tujuh tahun hidup tanpa Emily sudah menjadi siksaan baginya, bagaimana jika dia harus kehilangannya selamanya? Daniel tidak bisa membayangkan itu, sebuah mimpi buruk yang tak ingin dia jalani. Dia terjebak dalam kesedihan dan penyesalan, terhantui oleh kenangan indah yang kini terasa begitu jauh. "Bagaimana keadaan Emily?" Suara itu, panik dan cemas, mengagetkannya. Daniel mengangkat kepalanya, matanya berkaca-kaca, tatapannya kosong.
Anthony dengan keringat dingin yang menetes di pelipisnya, berlari menuju pintu belakang. Dia berhasil mencapai mobil yang sudah disiapkan, jantungnya berdebar kencang. Dia langsung melompat masuk dan menghidupkan mesin mobil. Mobil itu melesat meninggalkan gudang yang kini dipenuhi asap dan teriakan. Mobil polisi dengan lampu merah-biru berkedip-kedip seperti mata predator, mengejarnya dari belakang. Sirene meraung-raung, mengiris keheningan."Sial!" desis Anthony, tangannya menggenggam setir erat, keringat dingin membasahi telapak tangannya. Dia menginjak pedal gas, mobilnya meraung, melaju kencang di jalan yang lumayan ramai. Anthony melirik spion, melihat mobil polisi yang mengejarnya semakin dekat. Jantungnya berdebar kencang, namun dia harus mengendalikan dirinya agar tidak panik. Dia harus lolos. Matahari sore menyinari jalanan, membuat bayangan panjang di aspal. Anthony meliuk-liuk di jalanan, menghindari mobil-mobil lain yang melaju dengan kecepatan normal.Setelah beberap
"Bos!" teriak salah satu anak buah Anthony, wajahnya pucat pasi setelah menerima telepon dan mendengar suara di seberang yang terdengar panik, memberitahukan tentang penangkapan operasi mereka. "Barang-barang kita... polisi sudah mengamankan semuanya!""Sialan!" Anthony menggeram.Tatapan Anthony lurus menusuk ke arah Daniel yang berdiri tenang di hadapannya, senyum kemenangan jelas terukir di bibirnya. "Apakah ini juga kerjaanmu?" desis Anthony, suaranya bergetar menahan amarah yang siap meledak. Daniel mengangkat bahu, senyumnya tipis, sebuah ejekan dingin yang terukir di bibirnya. Tindakannya, penuh penghinaan, seolah membenarkan bahwa dia adalah dalang di balik kehancuran rencana Anthony. "Kamu sebaiknya pensiun dari bisnis gelapmu. Beristirahatlah dan terima hukumanmu sekarang."Anthony mengepalkan tangannya, urat-urat di tangannya menonjol. Kebencian membara di matanya, menggerogoti sisa-sisa kesabarannya.Sementara itu, di luar gudang, petugas polisi, bersenjata senapan dan p
Sean mengangkat kayu itu, matanya berkilat dengan amarah. Dia menyerbu ke arah Daniel, kayu itu mengarah ke tubuhnya. Bunyi gedebuk menggelegar menggema di ruangan itu saat kayu itu menghantam Daniel, tubuhnya terbanting ke lantai. Pandangan Daniel berputar, dunia di sekelilingnya menjadi kabur. Rasa sakit itu menjalar ke seluruh tubuhnya, menusuk tulang rusuknya, membuat setiap ototnya bergetar. "Sean, hentikan!" teriak Emily, suaranya terputus-putus. "Aku mohon, jangan lakukan ini!""Diam!" raungan pria berpakaian hitam itu menggema di ruangan. Pisaunya yang mengkilap dan dingin semakin menempel lekat di leher Emily, membuat Emily terdiam. Tubuhnya gemetar, keringat dingin membasahi kulitnya, dan napasnya terengah-engah. Anthony menyeringai, matanya berkilat jahat. "Pukul lagi!" teriaknya, suaranya dingin dan penuh ancaman. Mendengar perintah Anthony, Sean kembali mengayunkan kayu itu ke arah Daniel, memukulnya berkali-kali. Sementara air mata Emily mengalir deras di pipinya, tub
Emily diseret hingga dipaksa berlutut, kakinya lemas di bawah tekanan. Tangannya terikat, tergantung tak berdaya. Rahang Daniel mengeras, amarah membara dalam dadanya. Salah satu pria berpakaian hitam, mengeluarkan pisau yang berkilauan. Pisau itu menempel mengancam di leher Emily yang halus."Hentikan! Jangan sakiti dia!" raung Daniel, suaranya serak karena keputusasaan. "Aku akan membunuhmu," Sean menggeram, tubuhnya memberontak dalam cengkeraman para pria berpakaian hitam. Daniel menatap Anthony dengan tatapan dingin. "Lepaskan dia," katanya, suaranya penuh otoritas, "Atau kau akan menyesalinya."Air mata mengalir di pipi Emily, meskipun dia berusaha menahannya. Dia tampak begitu ketakutan tetapi berusaha tampak tegar. "Menarik sekali," Anthony mencibir, senyumnya merekah seperti pisau tajam. "Dua pria mencintai wanita yang sama." "Melihat ini," Anthony berkata, senyumnya mengejek, "mengingatkanku pada masa lalu. Bukan begitu, Sophia?" Sophia mengerutkan kening. "Apa maksudmu?
"Richard, bajingan itu kembali. Dia masih hidup. Jika terjadi sesuatu padaku, tolong lakukan seperti yang kita bicarakan. Tolong lindungi Grace dan Emily." Kata-kata Daniel masih bergema di kepala Richard. Jantungnya berdebar kencang, rasa takut merayap di dalam dirinya. Hilangnya Emily terasa aneh, seperti ada kaitannya dengan mantan sopir Daniel. Richard menginjak pedal gas, mobilnya melaju cepat di jalanan. Dia harus segera sampai ke rumah sakit. Dia harus tahu apa yang terjadi, apa yang membuat Emily menghilang begitu mendadak. Beberapa saat kemudian, rumah sakit tampak di depan matanya. Richard memarkirkan mobilnya dengan perasaan tidak karuan.Richard melangkah cepat ke ruang rawat inap Emily, jantungnya berdebar kencang. Di sana, dia melihat Maria, wajahnya pucat dan penuh kekhawatiran. Beberapa perawat berdiri di dekatnya, berbisik dengan serius, tidak ada yang menyadari kehadiran Richard. "Apa yang terjadi?" tanya Richard. "Pak Richard, Nyonya Emily... dia menghilang," u