"Kenapa, Ra?"
Sara terlihat bingung. Kedua matanya berkaca saat menerima panggilan di ponselnya. Aku segera menariknya menyingkir dari kerumunan. Rumah Abah masih ramai dengan tamu yang datang.
"Papa, Sa .... Papa syok, masuk rs, Sa!"
Sara langsung meledak, berteriak dan menangis di hadapanku begitu pintu kamar yang kami gunakan ditutup.
Aku diam, membisu, menunggu respon berikutnya.
Ponsel di tangan Sara menunjukkan panggilan sudah berakhir. Mungkin Mama yang menelepon.
"Mama bilang Papa bangkrut, Sa."
Aku menggaruk sudut pelipis. Nggak tahu harus berbuat apa. Cuma nanya, "Kamu mau ke sana?"
"Boleh?"
"Aku antar."
"Tapi, keluargamu?"
"Nanti aku bilang sama Abah."
Sara masih sesenggukan ketika kuraih tubuhnya dalam pelukan. Tidak ada ka
"Eh? Aksa?"Aku menoleh pada pintu yang terbuka. Buku di tangan langsung kukembalikan pada rak di dinding saat melihat gadis yang kukenal sebagai saudari beda ibu masuk ke dalam rumah."Sudah lama?""Lumayan."Kea langsung menyampirkan tas selempangnya di sofa dan mengambil air mineral dari lemari pendingin untuk dituang pada gelas kosong. Sesekali jemarinya menggeser layar ponsel yang digeletakkan di atas meja."Bapak bilang elo nginap. Tumben?""Diusir bini."Tawa Kea pecah seketika. Sedetik kemudian, tatapannya menyipit. "Lagi?"Aku mengangguk. Saat dekat, kurebut gelas dari tangan Kea untuk diminum."Punya gue, njir. Ambil sendiri ngapa.""Seret atuh. Diambilin mah gratis. Nih."Kubalikin gelasnya Kea dalam keadaan kosong sampai dia mendengkus, lalu menyerapa
Hai! Salam kenal! Terima kasih sudah mampir di "Semalam Bersamamu" untuk 80 bab terakhir. FYI, aku mau revisi banyak bab sebelumnya karena ternyata ada beberapa rentang waktu yang enggak sesuai. Selain itu, aku cuma mau ngabarin nih kalau ada beberapa cerita lagi yang aku rewrite di Goodnovel. Bisa cek judul"Dokter Tampan Pemikat Wanita" tentang Nathanael Abraham si dokter kaya yang ketemu cinta pertamanya lagi. Atau bisa juga mampir ke"Born Eau Commander" buat yang suka fantasi-aksi. Dua judul tadi bukan plagiat ataupun fiksi penggemar. Catat, ya. Penulisnya aku juga, tetapi dengan nama pena yang lama. Tinggal kisaran 20 ribu kata lagi, kita akan berpisah dari Aksa. Mohon kritik, saran, atau kesannya buat cerita ini, ya. Terima kasih.
"Aksa! Elo enggak sarapan?" Teriakan Kea di luar kamar memekakkan telinga. Belum termasuk gedoran kencangnya yang berbahaya buat keutuhan pintu.Jadi ingat Sara di awal-awal kenal. Aku refleks membuka mata dan keluar dari kamar, mengikuti langkah Kea menuju meja makan sambil mengenakan kaus.Keluarga yang lengkap, tersenyum saat aku tiba di meja yang sama. Terkadang aku tuh ngerasa bersalah karena meminta hak sama Abah. Seperti kata Kea, mereka terlalu baik."Enggak kerja, Sa?" Kea memulai pertanyaan setelah Abah dan Ibu selesai membicarakan tentang masakan hari ini. Sampai selesai urusan kuliah pun dia masih betah minum susu stroberi, bahkan enggak nyadar bentukan kumis susu di atas bibirnya.Aku menggeleng, menahan tawa dengan memotong-motong roti panggang di piring yang tersedia. Benar. "Aksa baru resign." Ya, berhenti lagi setelah mendapatkan bagian saham yanglumayan besar
Hujan. Deras banget di luar jendela. Aku hanya mengamati rintik yang mengenai kaca jendela di hadapan ketika berhenti mengerjakan kurva untuk tesis terkait evaluasi audit perusahaan yang menjadi bahasan utama. Keisenganku beberapa tahun terakhir menyusup dari perusahaan satu ke perusahaan lain ternyata sangat berguna dalam penyusunan argumen.Suntuk. Ya. Setelah bertemu dengan Sara siang tadi, perjuangannya terus memanggilku bahkan menghentikan pergerakanku di depan publik sebenarnya sangat menyentuh.Maksudku, dia enggak malu tampak menghentikanku yang bukan siapa-siapa.Jemariku memainkan pulpen di tangan, memutar seperti batang tembakau yang belum lagi kusentuh semenjak menginap di rumah Abah. Ibu enggak bisa dekat dengan perokok."Aksa!" Sudah terbiasa dipanggil Kea dengan teriakan, seolah semua jarak di rumah ini terlalu jauh, padahal dia muncul di ambang pintu yang terbuka.
Ujung jari kaki wanita di dekatku menggelitik permukaan paha. Sesekali ia menggigit puncak bahu, tapi tetap sulit rasakan.Perasaan untuknya memang sudah tumbuh, tapi keinginan melakukan itu sebenarnya hanya untuk menyenangkan dia. Cuma sekadar harus keluar, kan?Ya. Basah dan berkeringat. Mungkin berulang kali, tapi enggak ada kepuasan. Sepanjang permainan aku hanya berpura-pura, mungkin. Seperti candu yang terus inginkan lagi."Masih mau?" tanyaku padanya tanpa membuka kedua mata.Dia menggeleng, tapi masih bergerak menggoda. Kekenyalan miliknya melekat, bergoyang di punggungku. Lucu. Aku telah terpejam. Masih sadar. Mata aja yang enggak bisa toleransi."Mengapa harus aku yang selalu memelukmu lebih dulu?"Aku berbalik, membuka mata untuk membalas tatapannya. Sekadar menyatukan jemari kami di udara."Maaf sebelumnya. Aku emosi. Aku cemburu."
"Enggak! Aksa cuma mastiin semuanya kembali pada Garini, Ma! Garini enggak mau pisah sama Aksa!"Teriakan ibu dan anak di dekatku terdengar mengerikan. Padahal lagi di rumah sakit. Aku bahkan harus menjadi tembok di antara mereka berdua dan menghadapi pukulan bertubi-tubi sampai petugas keamanan tiba.Sakit. Meski pukulan wanita enggak seberapa, tetap aja berulang-ulang itu enggak enak.Mama langsung pergi setelah melotot padaku. Sedangkan Sara terduduk di lantai, bersandar pada dinding luar ruang ICCU."Jangan kayak gini, Ra. Kita kan niatnya jenguk Papa. Ayo! Masuk dulu." Kutarik lengannya untuk bersandar padaku sambil berjalan masuk ruangan. Jam besuk yang tersedia tidak lama karena pasien ICCU memang harus istirahat total, ruangan yang enggak boleh ditungguin keluarga pasien karena bisa mengganggu penghuni lain yang juga memiliki masalah jantung.Bisa kulihat pria yang selalu
"Dari mana? Kok sudah ganti baju?" Sara nanya pas aku balik ke kamar. Dia seperti anjing yang mengendus aroma di sekitar leherku dan terus menyerocos. "Kamu minum?""Berenang," jawabku singkat sambil merogoh saku jas yang sebelum pergi kugantung dalam lemari dekat pintu keluar. Ketemu. Kotak putih yang menjadi canduku semenjak mengenal rasanya berikut pemantik api."Tadi kamu masih pakai kemeja," protes Sara yang terus mengekor langkah santaiku menyusuri ruangan."Tinggal minta beliin pelayan.""Kamu abis ketemu cewek lain?" tuduhnya.Aku spontan berbalik dan mendapati Sara menabrak tubuhku. "Ra, please!""Buat aku percaya." Mata Sara yang lebar seolah hampir keluar ketika melotot. Kedua tangannya mengacak pinggang dengan dada membusung. Pose yang sebenarnya sangat aku sukai kalau aja dia lagi dalam keadaan percaya diri, bukan menguarkan amarah.
"Enggak diangkat teleponnya?" tanyaku ketika mendengar lagu dari penyanyi jazz lokal mengalun dari ponsel di meja depan sofa panjang yang kami duduki. Sara menggeleng. Dia lebih betah bersandar di lenganku sembari mengganti-ganti siaran televisi setiap kali menemukan berita tentang kami. Kedua ponsel di atas meja terabaikan karena tidak satu pun dari kami berniat menjawab panggilan. "Soal ketemu di lokasi syuting atau nginap di rumah Abah?" tanyaku kemudian, mengingat foto yang disodorkan Kak Via, manajer Sara. Katanya sih ada wartawan yang melakukan pemerasan dengan ancaman penyebaran foto kayak gitu. "Tiga. Di hotel juga. Kamu juga sih pake eksperimen di balkon! Biarpun rumah Abah enggak banyak tetangga, kan, ketangkep foto juga." Sara menggerutu sambil memukul bahuku. Kebiasaan. "Yang mulai kamu juga." Aku menangkap kedua tangan Sara dan menyimpannya di belakang tubuhku. Sangat dekat sampa