"Enggak diangkat teleponnya?" tanyaku ketika mendengar lagu dari penyanyi jazz lokal mengalun dari ponsel di meja depan sofa panjang yang kami duduki.
Sara menggeleng. Dia lebih betah bersandar di lenganku sembari mengganti-ganti siaran televisi setiap kali menemukan berita tentang kami. Kedua ponsel di atas meja terabaikan karena tidak satu pun dari kami berniat menjawab panggilan.
"Soal ketemu di lokasi syuting atau nginap di rumah Abah?" tanyaku kemudian, mengingat foto yang disodorkan Kak Via, manajer Sara. Katanya sih ada wartawan yang melakukan pemerasan dengan ancaman penyebaran foto kayak gitu.
"Tiga. Di hotel juga. Kamu juga sih pake eksperimen di balkon! Biarpun rumah Abah enggak banyak tetangga, kan, ketangkep foto juga." Sara menggerutu sambil memukul bahuku. Kebiasaan.
"Yang mulai kamu juga." Aku menangkap kedua tangan Sara dan menyimpannya di belakang tubuhku. Sangat dekat sampa
Buat yang penasaran sama ceritanya Nabas dan Kea, udah ada buku terbitnya nih di tahun 2019. Judulnya Nabastala. Bisa cek Goodreads buat lihat review dari yang udah baca. Kalau mau beli bukunya?
"Ngapain lo ke sini?" Aku kaget nemu anak manusia muncul di depan pintu rumah. Meski statusnya udah berubah jadi istri orang, tetep aja gaya berpakaiannya enggak berubah. Kaus dan jin panjang dilengkapi sepatu kets. Kea banget, udah."Kangen." Kalau Sara yang ngomong gini, pasti udah meluk. Tapi ini Kea, yang ngomong kangen pake nyandarin lengan di bahuku. Berat. Hidup udah berat, ditambahin beban kayak dia lagi.Aku terkekeh mendengar pengakuan Kea saat muncul di depan pintu rumah. Sorot matanya enggak secerah lengkung bibirnya. Mungkin aku terlihat acak-acakan, tapi enggak bisa juga tertidur."Ceileh kangen." Kuturunkan pundak yang menopangnya dan tertawa mendapati Kea hampir jatuh karena oleng. "Enggak telepon dulu?" tanyaku sekalian menutup pintu setelah Kea berada di dalam rumah."Gue kepikiran aja pas lewat. Lo baru bangun?" Kea lebih dulu masuk ke area dapur dan membuka lemari pendingin kayak
"Brengsek! Setan! Bisa-bisanya lo punya anak sama orang lain?" Aku merasa terbakar setelah menahan diri sepanjang pertemuan Kea dengan wanita yang melahirkan anak Nabas. Enggak kebayang sakitnya adikku itu jika merasa dikhianati.Seperti saat pertama kali bertemu Abah, aku sulit sekali menahan amarah tiap kali bertemu Kea. Aku butuh waktu dan menjaga jarak.Lalu, Kea?Penerimaan yang dia lakukan membuatku panas. Aku enggak bisa berlaku sama untuk beberapa tahun awal mengenal keluarga Abah.Pukulan demi pukulan kulontarkan ke wajah rekan lamaku yang pernah menganggap hubungan kami seperti saudara. Saudara apaan? "Ta*!"Aku dulu udah pernah bilang sama Nabas buat lepasin Kea. Enggak cuma sekali. Berkali-kali. Kejadian juga kan kayak gini?Biarpun Kea yang ngejar, biarpun semua orang mengarahkan dia tetap harus sama Kea. Apa kenyataan soal dia punya anak dengan
Masuk tahun berikutnya, aku bisa lebih leluasa menunggui Sara. Pembicaraan dengan mama mertua sebelumnya ternyata bisa sedikit mengetuk izin buat tetap sama Sara. Kayaknya sekarang malah aku yang ngebucin, ya? "Bayar aku untuk satu malam lagi, Ra. Enggak mahal. Hanya beri tanda. Satu senyuman atau satu kedipan." Bodohnya. Buat apa aku terus bicara sendirian? Dokter emang bilang mengenai kemungkinan pasien yang mendengar setiap pembicaraan dalam ruangan kalau lihat dari keaktifan kinerja otaknya, tetapi ... enggak ada yang nanggepin, sepi. "Enggak. Aku enggak mau cuma satu malam bersamamu. Aku mau seluruh sisa hidupmu tetap di sisiku." Kepalaku menggeleng kuat.Enggak ada balasan. Tangan yang kugenggam masih terdiam. Namun, ketika bersandar pada pipinya, terasa basah mengaliri. Dia berkedip? Aku enggak salah lihat, kan? Sampai kuusap kedua mat
"Bukannya dulu kamu selalu ingin bersamaku?"Sara mendorongku agar menjauhi kursi roda. Senyumannya begitu lebar ketika aku justru membungkuk, mulai menciumi wajahnya.Mungkin, kalau dia sudah bisa bicara, bakal teriak-teriak kayak biasa. Minimal bilang, "Malu dilihat orang."Kuraih telapak tangannya yang bergeming di pangkuan, menekan jemari di permukaan kulitnya perlahan. "Terasa?"Sara menggeleng. Suara yang sempat keluar seperti serak tanpa makna.Aku kuat. Semoga.Ada dirinya menemani pun sudah mampu mengisi kekosongan.Jemarinya kugerakkan untuk saling mengisi sela, menggenggam dan bertatapan. Lengkung pada binar matanya menunjukkan Sara menyukai perlakuanku."Mamamu minta maaf padaku. Beliau terlalu takut kalau kamu patah hati seperti dia."Aku juga terkejut mengenai kenyataan bahwa masa lalu sese
"Kinar siapa?" tanya Sara.Siapa? Aku bergegas menyelesaikan rutinitas mandiku di bawah pancuran setelah menyadari nama yang dia sebutkan. "Apa aku harus cerita semua?" teriakku sambil meraih handuk dari kabinet di samping wastafelAku baru keluar kamar mandi ketika menangkap tangan Sara yang hampir membanting ponselku. Mungkin dia menemukan panggilan tidak terjawab dan pesan-pesan lama yang belum sempat dihapus. Bisa kulihat kedua bahu Sara naik turun, bernapas cepat dengan raut mengerut."Inget temen sekelasmu yang pernah nembak aku?" Kurebut benda persegi empat dari genggaman Sara yang menguat."Aku enggak nanya itu. Dia siapanya kamu sampai nelepon berulang kali?" Kedua tangan Sara memukul sisi kursi roda seakan enggak cukup hanya berteriak.Aku menarik napas dalam-dalam, berjongkok di depan Sara agar mampu menatap lurus padanya. Tanpa kebohongan."Dengerin ya. Jangan ny
Isakan dari wanita di sisi membangunkanku. Aku sendiri masih ngerasa pengar, berat di bagian belakang kepala saat membuka mata.Aku menyamping, menatap wanita yang memunggungiku, mengeratkan pelukan seraya menciumi punggung polosnya yang tidak tertutupi selimut."Maafkan aku. Maafkan aku, Ra." Berulang kukatakan hal yang sama. Belum juga ada tanda darinya untuk berhenti menangis atau berbagi duka bersamaku. Dadaku pun sesak, tetapi mau mengeluhkan pada siapa?Semua terasa menjauh meski tubuh saling bertaut. Sara bahkan belum lepaskan penyatuan kami meski semalam telah berlalu.Pertama kali sejak kecelakaan yang menimpa Sara. Enggak sadar kalau aku telah memaksa."Apa aku menyakitimu?"Sara menggeleng cepat. Keping ingatanku memang tidak menunjukkan perlakuan kasar apalagi kekerasan. Namun, memaksa Sara memenuhi kemauanku dalam keadaan lumpuh, rasanya keterlaluan."Segitu pengennya
Balik ke bisnis kotorku yang lain, soal perjanjian pembagian saham dari informasi dan jalan mulus yang Nyonya sediakan. Aku datang sendiri ke kantor Nyonya dan memberikan beberapa lembar kesepakatan yang telah ditandatangani notaris."Bisa sekalian kelola, kan?" Aku mengambil posisi duduk di kursi kebesaran Nyonya ketika wanita itu berdiri untuk menyalamiku. Empuk seperti kebanyakan kursi kepemimpinan yang nyaman sementara pekerja di luaran harus berusaha keras. Setara dengan banyaknya pikiran yang menggelayuti seorang pimpinan."Kenapa enggak lo aja, Ga?" Si Nyonya menyandarkan pinggulnya pada pinggiran meja menghadapiku. Terusan brukat lengan panjang yang menyelimuti tubuhnya membentuk lekuk menggoda seperti biasa.Emang pikiranku aja kali ya lagi ngeres?It's a normal mind.Aku memajukan kursi, sengaja menabraknya hingga jatuh di atasku. "Gue bukan orang yang suka kerja, tapi g
Kirain bakal berapa hari doang ditahan sementara, ternyata akunya dapet hukuman juga meski bisa dihitung beberapa bulan ke depan. Tau ngeselinnya pas awal masuk kamar tahanan?Dikirakucing yang bisa jadi korban rame-rame. Enggak tau aja mereka kalau aku bisa ngelawan dengan naklukin bos tahanan yang besar badan doang. Mungkin kebanyakan makan jatah preman dari tahanan lemah.Siapa tahu, kan, sistem dalam sini sama di luar enggak beda soal yang kuat mangsa yang lemah. Seenggaknya aku enggak perlu mikir kerjaan atau urusan luar.Khawatir Sara aja lagi. Dia tampak begitu khawatir ketika jumpa di ruang temu. Tenang aja, ini enggak seseram di film yang ketemuannya kudu terpisahkan dinding kaca atau jeruji. Aku masih bisa memeluknya dan bicara sambil duduk ditengahi meja persegi."Kea enggak ikutan?" tanyaku setelah melihat kehadiran Abah yang sepertinya dapat panggilan dadakan dari ponselny
Selamat tinggal ... masa lalu. Aku kan melangkah. Maafkanlah ... segala yang pernah kulakukan padamu. Hayok, siapa yang baca di atas malah nyanyi? Enggak ada? Ah, okelah kalau begitu. Al cuma mau nyampein kalau kisahnya Aksa dan Sara bakal berakhir di sini. Masih ada pertanyaan? For your information, beberapa tokoh dalam cerita ini memiliki kisah tersendiri di judul lainnya. Untuk Nabastala, tentu aja udah terbit duluan di tahun 2019. Kisahnya Aksa ini menjadi sekuel Nabastala dan menggantung dalam draf cukup lama dalam jumlah kata kurang dari 30 ribu. Nah, keren dong di Goodnovel bisa jadi 100 ribu. Kisah lain yang juga jadi kameo di "Semalam Bersamamu"? Al punya "Dokter Tampan Pemikat Wanita", masih di Goodnovel juga. Kali inget dokter yang meriksa Sara waktu jatuh di kapal pesiar. Bener banget. Si Abra dan Natasha bakal k
"Wah, adiknya Saski ternyata kembar." Celetukan Shaka Bentala yang sudah beranjak remaja mengundang tawa ketika aku menggendong salah satu bayi di samping Sara. Benar, nama yang kusebut tadi itu anaknya Nabas sama si janda. Mungkin efek usia atau tingkat stres tinggi, ibunya si Ben lebih dulu meninggalkan dunia. Sementara ini dia diasuh sebagai anak Kea. Uh, kita enggak pernah tahu gimana proses berjalannya takdir hingga Tuhan memberi keinginan kita, tentu dengan usaha yang menjadikan hasilnya sangat berharga. Saski, anak gadis yang kudapatkan setelah enam belas tahun pernikahan. Lama juga, ya? Beda usianya terpaut sepuluh tahun dari Ben, dan sekarang punya dua adik sekaligus. "Suka sama anak kecil, Ben?" tanyaku seraya menyodorkan bayi yang kugendong ke dekatnya. Dibanding Shaka, anaknya Nabas ini lebih suka dipanggil Ben, terutama semenjak ibunya meninggal. Dia mengelus pipi anak lelakiku s
"Ya Tuhan, Sara! Cowok kayak gitu mana bisa dipercaya!" Kinar protes pas aku ceritain hasil alat tes kehamilan yang dia kasih. "Kalian emang baru tau apa bener-bener bego sih ampe enggak pake pengaman? Cepat atau lambat bakal makin banyak orang yang sadar kalau lo gemukan!"Benda kecil yang menunjukkan garis dua masih kupegang dengan bergetar. Kelebat angan berputar dalam kepala. Aku berpikir cepat mengeenai apa saja yang mungkin bisa kulakukan dalam jangka waktu beberapa bulan ke depan dan ... buntu."Terus gue harus apa?""Gugurkan." Kinar memegangi bahuku, tepatnya mencengkeram kuat, mengguncang berkali-kali hingga rasanya kepalaku turut bergerak."Kin!" teriakku, menghentikan perlakuannya dan langsung menyingkir ke depan wastafel dalam toilet sekolah. Untungnya enggak ada yang denger pas jam pelajaran gini.Hamil di usia enam belas? Aku juga enggak kebayang. Ngotot pengin tau gimana rasanya
Aku sama Aksa? Sejauh ini masih akur, enggak kayak waktu awal-awal dulu pas dia rajin banget nolak aku. Emang uang bisa ngubah segalanya, ya?Mungkin, ya. Aksa begitu manis meski aku nolak buat nerima perlakuan dia yang berubah seratus delapan puluh derajat.Enggak cuma hubungan kami yang terpengaruh dengan uang. Kayak waktu aku ngelihat Papa jalan sama cewek yang bergelayut manja di salah satu pusat perbelanjaan. Entah selingkuhan mana lagi yang morotin Papa dengan banyak tas belanja. Kenyataan benar-benar menyentak."Kin? Lo?" Aku sulit mengutarakan saat berhadapan langsung dengan sosok sahabat yang pengin langsung kudamprat ketika dia telah masuk toilet umum. Aku pikir ... keberanianku lebih dari cukup untuk marah."Mau nyalahin gue?" Seolah tanpa rasa bersalah, Kinar melewatiku dan masuk dalam salah satu bilik.Kelopak mataku sudah begitu panas membendung aliran yang siap mem
"Diliatin mulu." Teguran Kinar disertai telapak tangan terbuka yang hampir menerpa wajah membuatku refleks mundur lepaskan tumpuan tangan pada dagu di meja dan mengerjap beberapa kali. Ngeganggu aja, sih. Ngelihat Aksa dalam waktu lama itu jadi kenikmatan yang hakiki. Aku tuh jadi ngebayangin gaya dia tanpa seragam di beranda. "Salah ortunya bikin dia secakep itu." Mungkin efek olahraga juga kali, ya. Selain beberapa kali mergokin Aksa latihan di kos, kadang nemu juga dianya di tempat fitnes, meski yang ini ngelihat dia bareng wanita tua. "Cakep? Kalau gue enggak salah denger, kemarin lo bilang itu cowok brengsek banget." Tanggapan Kinar ngeganjelin aja, sih. "Abis diapain lo?" Dicipok. Perjanjian spontan di belakang sekolah kemarin tuh mengejutkan banget. Aksa nyium gue ..., demi makan siang? Brengsek! Cowok matre! Kirain cewek doang yang kayak gitu. Mana ciuman pertamaku lagi. Yah, rasa bib
Masih belum kapok sama rasa penasaran. Cowok itu kok malah nyuekin aku, sih? Abisnya aku pingsan di kamar dia malah dianterin balik ke rumah. Dia ... emang bermoral apa enggak minat, sih? Kalau waktu awal-awal jadi selebgram atau model, biasa banget tuh ketemu om-om yang sok megangin tubuhku dengan dalih enggak sengaja. Padahal jalanan luas. Kalau mau diperkarain, ancamannya bukan cuma pembatalan kontrak, tapi banyak yang bisa dijadiin kasus. Kayak yang belakangan dibikin berita. Peduli amat! Aku ngambil kamera di pojokan meja belajar. Udah dibersihin sih lensanya, lumayan buat pengaturanshot jarak jauh kalau dari jendela kamarku. Ternyata pas banget dapet beranda jemurannya si cowok baru. "Uh ...,sexy boy beraksi." Boleh melenguh enggak sih lihatin cowok dengan perut kayak roti sobek gitu? Belum termasuk lengan padatnya pas lagi angkat ker
"Garini Sarasidya!" Aku mengangkat tangan begitu Bu Anna memanggil. Wanita tua itu menunjuk tumpukan buku tugas di atas meja depan untuk dibawa ke ruang guru. Padahal masih ngantuk. Hampir aja aku nyium meja saking enggak sadarnya kalau pelajaran udah berakhir. Kenapa aku?Bu Anna biasanya bakal bilang biar aku enggak ngerasa di-anakemas-kan karena sering mendapat kompensasi izin dari sekolah buat syuting. Yah, mau gimana coba kalau kadang dapet jadwal pas jam sekolah? Mauhomeschool? Bisa-bisa digetok Papa karena ujiannya kudu ambil paket kesetaraan. Ijazah paket itu masih jadi standar rendah di kalangan orang tuaku. "Perlu dibantuin, Ra?" Tawaran-tawaran kayak gitu tuh banyak banget terdengar dari para cowok. Sayangnya, aku perlu nolak. Nerima bantuan mereka tuh bakalan jadi gosip aja buat para iri hati bin suuzon di kelas bahkan mungkin satu sekolah.
"Enggak kerja?" tanya Sara setelah kembali dari kamar mandi.Jelas, dia mandi lagi setelah pergumulan semalam penuh. Ini bahkan sudah pukul ... sepuluh siang. Apa masih bisa disebut pagi?"Kamu enggak mandi?" Dia nanya lagi begitu lemparkan handuk bersih yang langsung kusingkirkan ke sisi tubuh."Perlu mandi?" Aku beranjak dari ranjang tanpa berniat mengambil pakaian yang tergeletak asal di antara lelehan air. Lantai masih basah karena kami berulang-ulang berpindah dari ranjang, kamar mandi, ranjang lagi, dan terus ... sampai ketiduran di kasur yang lembab."Udah keringetan, Sa!" Sara berlagak menjepit ujung hidungnya seolah aku bau, padahal dia tetep aja meluk pas aku hampirin di depan lemari kaca."Entar keringetan lagi." Alasanku seperti biasa. Yah, keringetan beneran, apalagi kalau kangennya kayak semalam. Sekali enggak bakal cukup menuntaskan gairah."Ap
"Mau berulang-ulang bertengkar, akunya tetap balik sama kamu." Jemariku bergerak menyusuri setiap lekuk yang membentuk diri Sara, membusakan kekentalan beraroma buah yang sangat kuhafal darinya meski suara membentuk gema dalam ruang sempit di antara aliran air."Mau berulang-ulang cemburu, kamunya tetap sama aku." Terdengar Sara menimpali bersama kekehan serak, sisa suara setelah berjam-jam menangis dalam pelukanku yang berakhir dengan guyuran pancuran kamar mandi."Siapa yang nyuruh jatuh cinta, coba?" Kubalikkan Sara menghadapku. Mata sembabnya sangat kentara jika dilihat sangat dekat. Kedua tangannya menggantung di leherku dan melekatkan dirinya lagi. "Sudah tahu kalau dulu aku enggak bisa punya hubungan tanpa pamrih.""Emang kita tanpa pamrih?" Sara menantang dengan senyumannya.Kurasakan gerakan di bawah sana mengencang sementara aku menghindari tatapan menuntut jawab dari Sara dengan melihat la