Masuk tahun berikutnya, aku bisa lebih leluasa menunggui Sara. Pembicaraan dengan mama mertua sebelumnya ternyata bisa sedikit mengetuk izin buat tetap sama Sara. Kayaknya sekarang malah aku yang ngebucin, ya?
"Bayar aku untuk satu malam lagi, Ra. Enggak mahal. Hanya beri tanda. Satu senyuman atau satu kedipan."
Bodohnya. Buat apa aku terus bicara sendirian? Dokter emang bilang mengenai kemungkinan pasien yang mendengar setiap pembicaraan dalam ruangan kalau lihat dari keaktifan kinerja otaknya, tetapi ... enggak ada yang nanggepin, sepi.
"Enggak. Aku enggak mau cuma satu malam bersamamu. Aku mau seluruh sisa hidupmu tetap di sisiku." Kepalaku menggeleng kuat. Enggak ada balasan. Tangan yang kugenggam masih terdiam. Namun, ketika bersandar pada pipinya, terasa basah mengaliri.
Dia berkedip?
Aku enggak salah lihat, kan?
Sampai kuusap kedua mat
"Bukannya dulu kamu selalu ingin bersamaku?"Sara mendorongku agar menjauhi kursi roda. Senyumannya begitu lebar ketika aku justru membungkuk, mulai menciumi wajahnya.Mungkin, kalau dia sudah bisa bicara, bakal teriak-teriak kayak biasa. Minimal bilang, "Malu dilihat orang."Kuraih telapak tangannya yang bergeming di pangkuan, menekan jemari di permukaan kulitnya perlahan. "Terasa?"Sara menggeleng. Suara yang sempat keluar seperti serak tanpa makna.Aku kuat. Semoga.Ada dirinya menemani pun sudah mampu mengisi kekosongan.Jemarinya kugerakkan untuk saling mengisi sela, menggenggam dan bertatapan. Lengkung pada binar matanya menunjukkan Sara menyukai perlakuanku."Mamamu minta maaf padaku. Beliau terlalu takut kalau kamu patah hati seperti dia."Aku juga terkejut mengenai kenyataan bahwa masa lalu sese
"Kinar siapa?" tanya Sara.Siapa? Aku bergegas menyelesaikan rutinitas mandiku di bawah pancuran setelah menyadari nama yang dia sebutkan. "Apa aku harus cerita semua?" teriakku sambil meraih handuk dari kabinet di samping wastafelAku baru keluar kamar mandi ketika menangkap tangan Sara yang hampir membanting ponselku. Mungkin dia menemukan panggilan tidak terjawab dan pesan-pesan lama yang belum sempat dihapus. Bisa kulihat kedua bahu Sara naik turun, bernapas cepat dengan raut mengerut."Inget temen sekelasmu yang pernah nembak aku?" Kurebut benda persegi empat dari genggaman Sara yang menguat."Aku enggak nanya itu. Dia siapanya kamu sampai nelepon berulang kali?" Kedua tangan Sara memukul sisi kursi roda seakan enggak cukup hanya berteriak.Aku menarik napas dalam-dalam, berjongkok di depan Sara agar mampu menatap lurus padanya. Tanpa kebohongan."Dengerin ya. Jangan ny
Isakan dari wanita di sisi membangunkanku. Aku sendiri masih ngerasa pengar, berat di bagian belakang kepala saat membuka mata.Aku menyamping, menatap wanita yang memunggungiku, mengeratkan pelukan seraya menciumi punggung polosnya yang tidak tertutupi selimut."Maafkan aku. Maafkan aku, Ra." Berulang kukatakan hal yang sama. Belum juga ada tanda darinya untuk berhenti menangis atau berbagi duka bersamaku. Dadaku pun sesak, tetapi mau mengeluhkan pada siapa?Semua terasa menjauh meski tubuh saling bertaut. Sara bahkan belum lepaskan penyatuan kami meski semalam telah berlalu.Pertama kali sejak kecelakaan yang menimpa Sara. Enggak sadar kalau aku telah memaksa."Apa aku menyakitimu?"Sara menggeleng cepat. Keping ingatanku memang tidak menunjukkan perlakuan kasar apalagi kekerasan. Namun, memaksa Sara memenuhi kemauanku dalam keadaan lumpuh, rasanya keterlaluan."Segitu pengennya
Balik ke bisnis kotorku yang lain, soal perjanjian pembagian saham dari informasi dan jalan mulus yang Nyonya sediakan. Aku datang sendiri ke kantor Nyonya dan memberikan beberapa lembar kesepakatan yang telah ditandatangani notaris."Bisa sekalian kelola, kan?" Aku mengambil posisi duduk di kursi kebesaran Nyonya ketika wanita itu berdiri untuk menyalamiku. Empuk seperti kebanyakan kursi kepemimpinan yang nyaman sementara pekerja di luaran harus berusaha keras. Setara dengan banyaknya pikiran yang menggelayuti seorang pimpinan."Kenapa enggak lo aja, Ga?" Si Nyonya menyandarkan pinggulnya pada pinggiran meja menghadapiku. Terusan brukat lengan panjang yang menyelimuti tubuhnya membentuk lekuk menggoda seperti biasa.Emang pikiranku aja kali ya lagi ngeres?It's a normal mind.Aku memajukan kursi, sengaja menabraknya hingga jatuh di atasku. "Gue bukan orang yang suka kerja, tapi g
Kirain bakal berapa hari doang ditahan sementara, ternyata akunya dapet hukuman juga meski bisa dihitung beberapa bulan ke depan. Tau ngeselinnya pas awal masuk kamar tahanan?Dikirakucing yang bisa jadi korban rame-rame. Enggak tau aja mereka kalau aku bisa ngelawan dengan naklukin bos tahanan yang besar badan doang. Mungkin kebanyakan makan jatah preman dari tahanan lemah.Siapa tahu, kan, sistem dalam sini sama di luar enggak beda soal yang kuat mangsa yang lemah. Seenggaknya aku enggak perlu mikir kerjaan atau urusan luar.Khawatir Sara aja lagi. Dia tampak begitu khawatir ketika jumpa di ruang temu. Tenang aja, ini enggak seseram di film yang ketemuannya kudu terpisahkan dinding kaca atau jeruji. Aku masih bisa memeluknya dan bicara sambil duduk ditengahi meja persegi."Kea enggak ikutan?" tanyaku setelah melihat kehadiran Abah yang sepertinya dapat panggilan dadakan dari ponselny
"Sudah selesai kunjungannya?" Yang nanya punya badan besar, kekar, tapi kalah teknik pas ketemu di hari pertama aku pindah ke penjara.Aku masih ingat banget waktu dia bilang aku "Kucing yang tertangkap". Mungkin efek kelamaan di penjara dan enggak punya pelampiasan kali ya makanya nyarikucing?Kucing dalam bahasa pergaulan kami di kalangan penjajaan tubuh bisa dibilang para cowok yang mau jadi piaraan om-om, alias jadi homo.Ada banyak macamnya. Kebanyakan yang nyandang predikatkucingini justru kaum setengah, cowok melambai. Yang macho juga ada. Cuma ... enggak pernah dan enggak mau nyoba."As you see."Aku menyambut tinjuannya di udara dengan tinjuan juga. Teman baru karena dia ternyata mikir bisa belajar sedikit teknik dariku. Kayaknya bisa jadi lapangan kerja baru kalau entar keluar dari penjara."Anak-anak pada minta dilatih sama lo." Dia ik
"Maafin Aksa, Bah." Aku benar-benar menyesal karena Abah jadi kembali lagi menjengukku karena laporan pemukulan."Mau gimana lagi?" Abah menyodorkan kotak kecil yang kutahu berisi tube salep untuk memar. Aku juga memiliki merek serupa di rumahku. "Usahakan bertingkah baik di dalam sana biar cepat keluar, Sa.""Dia ngancam ngebuka aib Abah. Soal Ambu, soal Aksa," protesku, sadar menaikkan nada bicara hanya untuk menegaskan pembelaan di dalam sel tahanan. Detik berikutnya kuusap wajah dengan kedua tangan sambil mengucap lirih, "Aksa minta maaf."Abah meletakkan ponselnya ke permukaan meja, menarik kedua tanganku sambil menggeleng. "Kalian bukan aib.""Abah ....""Tunggu kamu benar-benar keluar dari sini." Genggaman yang kurasakan menguat. Abah melihat lekat padaku. "Abah akan berusaha menempatkan kamu di posisi seharusnya.""Maksud Abah?" tanyaku tidak mengerti
"Jelas aja dibebasin. Kejadian itu jauhhhh waktu aku masih di bawah umur kali. Artinya aku juga termasuk korban," jelasku begitu masuk dalam mobil penjemputan di luar gerbang penjara, menanggapi pertanyaan Sara yang heran dengan kebebasanku dalam jangka waktu kurang dari satu bulan.Sering banget terlibat perkelahian di dalam sana. Beberapa kali menang, beberapa kali kalah. Tapi jadinya aku punya beberapa kenalan."Aku bau loh, Ra." Kucegah dia mendekat dengan memberi dorongan di bahunya."Enggak peduli." Sara yang terlihat jauh lebih dewasa dengan pakaian terusan floralnya memelukku lebih lama dibanding ketika berada di depan gerbang tadi. Aromanya masih sama, anggur yang memikat. Manis dan memabukkan di saat yang sama."Kangen mandi yang bersihan," ungkapku setelah memastikan lagi aroma ketiak dari luar kemejaku.Sara langsung menjaga jarak. "Jadi, enggak kangen aku?"&n