Ujung jari kaki wanita di dekatku menggelitik permukaan paha. Sesekali ia menggigit puncak bahu, tapi tetap sulit rasakan. Perasaan untuknya memang sudah tumbuh, tapi keinginan melakukan itu sebenarnya hanya untuk menyenangkan dia. Cuma sekadar harus keluar, kan?
Ya. Basah dan berkeringat. Mungkin berulang kali, tapi enggak ada kepuasan. Sepanjang permainan aku hanya berpura-pura, mungkin. Seperti candu yang terus inginkan lagi.
"Masih mau?" tanyaku padanya tanpa membuka kedua mata.
Dia menggeleng, tapi masih bergerak menggoda. Kekenyalan miliknya melekat, bergoyang di punggungku. Lucu. Aku telah terpejam. Masih sadar. Mata aja yang enggak bisa toleransi.
"Mengapa harus aku yang selalu memelukmu lebih dulu?"
Aku berbalik, membuka mata untuk membalas tatapannya. Sekadar menyatukan jemari kami di udara.
"Maaf sebelumnya. Aku emosi. Aku cemburu."
"Enggak! Aksa cuma mastiin semuanya kembali pada Garini, Ma! Garini enggak mau pisah sama Aksa!"Teriakan ibu dan anak di dekatku terdengar mengerikan. Padahal lagi di rumah sakit. Aku bahkan harus menjadi tembok di antara mereka berdua dan menghadapi pukulan bertubi-tubi sampai petugas keamanan tiba.Sakit. Meski pukulan wanita enggak seberapa, tetap aja berulang-ulang itu enggak enak.Mama langsung pergi setelah melotot padaku. Sedangkan Sara terduduk di lantai, bersandar pada dinding luar ruang ICCU."Jangan kayak gini, Ra. Kita kan niatnya jenguk Papa. Ayo! Masuk dulu." Kutarik lengannya untuk bersandar padaku sambil berjalan masuk ruangan. Jam besuk yang tersedia tidak lama karena pasien ICCU memang harus istirahat total, ruangan yang enggak boleh ditungguin keluarga pasien karena bisa mengganggu penghuni lain yang juga memiliki masalah jantung.Bisa kulihat pria yang selalu
"Dari mana? Kok sudah ganti baju?" Sara nanya pas aku balik ke kamar. Dia seperti anjing yang mengendus aroma di sekitar leherku dan terus menyerocos. "Kamu minum?""Berenang," jawabku singkat sambil merogoh saku jas yang sebelum pergi kugantung dalam lemari dekat pintu keluar. Ketemu. Kotak putih yang menjadi canduku semenjak mengenal rasanya berikut pemantik api."Tadi kamu masih pakai kemeja," protes Sara yang terus mengekor langkah santaiku menyusuri ruangan."Tinggal minta beliin pelayan.""Kamu abis ketemu cewek lain?" tuduhnya.Aku spontan berbalik dan mendapati Sara menabrak tubuhku. "Ra, please!""Buat aku percaya." Mata Sara yang lebar seolah hampir keluar ketika melotot. Kedua tangannya mengacak pinggang dengan dada membusung. Pose yang sebenarnya sangat aku sukai kalau aja dia lagi dalam keadaan percaya diri, bukan menguarkan amarah.
"Enggak diangkat teleponnya?" tanyaku ketika mendengar lagu dari penyanyi jazz lokal mengalun dari ponsel di meja depan sofa panjang yang kami duduki. Sara menggeleng. Dia lebih betah bersandar di lenganku sembari mengganti-ganti siaran televisi setiap kali menemukan berita tentang kami. Kedua ponsel di atas meja terabaikan karena tidak satu pun dari kami berniat menjawab panggilan. "Soal ketemu di lokasi syuting atau nginap di rumah Abah?" tanyaku kemudian, mengingat foto yang disodorkan Kak Via, manajer Sara. Katanya sih ada wartawan yang melakukan pemerasan dengan ancaman penyebaran foto kayak gitu. "Tiga. Di hotel juga. Kamu juga sih pake eksperimen di balkon! Biarpun rumah Abah enggak banyak tetangga, kan, ketangkep foto juga." Sara menggerutu sambil memukul bahuku. Kebiasaan. "Yang mulai kamu juga." Aku menangkap kedua tangan Sara dan menyimpannya di belakang tubuhku. Sangat dekat sampa
"Ngapain lo ke sini?" Aku kaget nemu anak manusia muncul di depan pintu rumah. Meski statusnya udah berubah jadi istri orang, tetep aja gaya berpakaiannya enggak berubah. Kaus dan jin panjang dilengkapi sepatu kets. Kea banget, udah."Kangen." Kalau Sara yang ngomong gini, pasti udah meluk. Tapi ini Kea, yang ngomong kangen pake nyandarin lengan di bahuku. Berat. Hidup udah berat, ditambahin beban kayak dia lagi.Aku terkekeh mendengar pengakuan Kea saat muncul di depan pintu rumah. Sorot matanya enggak secerah lengkung bibirnya. Mungkin aku terlihat acak-acakan, tapi enggak bisa juga tertidur."Ceileh kangen." Kuturunkan pundak yang menopangnya dan tertawa mendapati Kea hampir jatuh karena oleng. "Enggak telepon dulu?" tanyaku sekalian menutup pintu setelah Kea berada di dalam rumah."Gue kepikiran aja pas lewat. Lo baru bangun?" Kea lebih dulu masuk ke area dapur dan membuka lemari pendingin kayak
"Brengsek! Setan! Bisa-bisanya lo punya anak sama orang lain?" Aku merasa terbakar setelah menahan diri sepanjang pertemuan Kea dengan wanita yang melahirkan anak Nabas. Enggak kebayang sakitnya adikku itu jika merasa dikhianati.Seperti saat pertama kali bertemu Abah, aku sulit sekali menahan amarah tiap kali bertemu Kea. Aku butuh waktu dan menjaga jarak.Lalu, Kea?Penerimaan yang dia lakukan membuatku panas. Aku enggak bisa berlaku sama untuk beberapa tahun awal mengenal keluarga Abah.Pukulan demi pukulan kulontarkan ke wajah rekan lamaku yang pernah menganggap hubungan kami seperti saudara. Saudara apaan? "Ta*!"Aku dulu udah pernah bilang sama Nabas buat lepasin Kea. Enggak cuma sekali. Berkali-kali. Kejadian juga kan kayak gini?Biarpun Kea yang ngejar, biarpun semua orang mengarahkan dia tetap harus sama Kea. Apa kenyataan soal dia punya anak dengan
Masuk tahun berikutnya, aku bisa lebih leluasa menunggui Sara. Pembicaraan dengan mama mertua sebelumnya ternyata bisa sedikit mengetuk izin buat tetap sama Sara. Kayaknya sekarang malah aku yang ngebucin, ya? "Bayar aku untuk satu malam lagi, Ra. Enggak mahal. Hanya beri tanda. Satu senyuman atau satu kedipan." Bodohnya. Buat apa aku terus bicara sendirian? Dokter emang bilang mengenai kemungkinan pasien yang mendengar setiap pembicaraan dalam ruangan kalau lihat dari keaktifan kinerja otaknya, tetapi ... enggak ada yang nanggepin, sepi. "Enggak. Aku enggak mau cuma satu malam bersamamu. Aku mau seluruh sisa hidupmu tetap di sisiku." Kepalaku menggeleng kuat.Enggak ada balasan. Tangan yang kugenggam masih terdiam. Namun, ketika bersandar pada pipinya, terasa basah mengaliri. Dia berkedip? Aku enggak salah lihat, kan? Sampai kuusap kedua mat
"Bukannya dulu kamu selalu ingin bersamaku?"Sara mendorongku agar menjauhi kursi roda. Senyumannya begitu lebar ketika aku justru membungkuk, mulai menciumi wajahnya.Mungkin, kalau dia sudah bisa bicara, bakal teriak-teriak kayak biasa. Minimal bilang, "Malu dilihat orang."Kuraih telapak tangannya yang bergeming di pangkuan, menekan jemari di permukaan kulitnya perlahan. "Terasa?"Sara menggeleng. Suara yang sempat keluar seperti serak tanpa makna.Aku kuat. Semoga.Ada dirinya menemani pun sudah mampu mengisi kekosongan.Jemarinya kugerakkan untuk saling mengisi sela, menggenggam dan bertatapan. Lengkung pada binar matanya menunjukkan Sara menyukai perlakuanku."Mamamu minta maaf padaku. Beliau terlalu takut kalau kamu patah hati seperti dia."Aku juga terkejut mengenai kenyataan bahwa masa lalu sese
"Kinar siapa?" tanya Sara.Siapa? Aku bergegas menyelesaikan rutinitas mandiku di bawah pancuran setelah menyadari nama yang dia sebutkan. "Apa aku harus cerita semua?" teriakku sambil meraih handuk dari kabinet di samping wastafelAku baru keluar kamar mandi ketika menangkap tangan Sara yang hampir membanting ponselku. Mungkin dia menemukan panggilan tidak terjawab dan pesan-pesan lama yang belum sempat dihapus. Bisa kulihat kedua bahu Sara naik turun, bernapas cepat dengan raut mengerut."Inget temen sekelasmu yang pernah nembak aku?" Kurebut benda persegi empat dari genggaman Sara yang menguat."Aku enggak nanya itu. Dia siapanya kamu sampai nelepon berulang kali?" Kedua tangan Sara memukul sisi kursi roda seakan enggak cukup hanya berteriak.Aku menarik napas dalam-dalam, berjongkok di depan Sara agar mampu menatap lurus padanya. Tanpa kebohongan."Dengerin ya. Jangan ny