“Move faster, Bae ..."Desahan seduktif Sydney yang berada di bawahnya berhasil menerbitkan senyum tipis di bibir Rain.”Boleh, Han, tapi teriaknya jangan kenceng-kenceng.” Rain mengecup bibir Sydney, sementara pinggulnya terus bergerak di atas perempuan itu.Sydney membalas dengan kerjapan mata. Bibirnya menerbitkan senyum malu. Setiap kali menemui pelepasan ia tidak bisa menahan diri untuk tidak berteriak.Baru akan meningkatkan ritme gerakan, fokus perhatian Rain langsung teralihkan oleh nada dering vintage yang bersumber dari ponselnya.Kring… kring… kring…Tanpa perlu melihat ke layar gawai Rain sudah tahu siapa yang menelepon. Rain memang sengaja memberi nada dering khusus untuk perempuan istimewa dalam hidupnya.Cepat, Rain mengangkat tubuh dari atas Sydney. Tidak peduli perempuan itu memandangnya penuh protes.Melangkah ke arah meja yang terletak di sudut kamar, Rain mengambil ponsel, tidak membiarkan sang penelepon menunggu lama.“Halo, Nda.” Rain menyapa dengan sopan.”Rain,
Tiba di rumahnya, Lady membuka sosial media dari smartphone yang layarnya sudah retak.Namaku Rain.Lady mengetikkan nama Rain di tab pencarian. Muncullah sebuah akun centang biru dengan lebih dari lima juta pengikut.Akun tersebut bagaikan galeri yang memamerkan foto-foto Rain. Mulai dari prestasi hingga sensasi. Jujur saja, Lady tidak mengingkari jika Rain tampak gagah dalam kostum balapnya. Rain mengundang decak kagum banyak orang karena memenangkan berbagai kompetisi balap, tidak terkecuali Lady.Namun kekagumannya lekas berganti dengan rasa tidak suka saat Lady melihat foto-foto mesra Rain dengan perempuan yang berbeda. Selain arogan, ternyata Rain juga suka gonta-ganti wanita, membuat pikiran Lady pada laki-laki itu hanya dipenuhi oleh pikiran negatif.***Setiap pagi Lady meninggalkan rumah untuk kemudian menuju rumah sakit. Ia melaksanakan tugasnya seperti biasa. Mulai dari mengepel lantai, membersihkan langit-langit, membersihkan kaca jendela, membuang sampah domestik, sampa
Lady memasukkan dua potong pakaian ke dalam tas. Blouse berbelahan dada rendah serta rok mini sepaha. Nanti setelah pulang kuliah ia akan langsung ke Romantic—kelab malam tempatnya bekerja sebagai pelayan.Setelah kuliah berakhir biasanya Lady akan mengganti bajunya di toilet dulu, tak lupa melapisinya dengan jaket. Teman-temannya sesama mahasiswa sudah tahu pekerjaan sampingan Lady. Berbagai respon ia terima. Ada yang memandangnya dengan rendah, dan ada pula yang biasa-biasa saja. Tapi Lady tidak ambil pusing. Ia hanya mencoba menjalani pekerjaan yang menurutnya halal untuk tetap bertahan hidup.Lady memasuki Romantic melalui pintu khusus para karyawan. Membuka jaket dan meletakkannya di loker, Lady berkaca sesaat, memulas ulang sapuan bedak di pipinya, kemudian membubuhkan blush on dengan sedikit tebal. Sebenarnya ia tidak suka dengan riasannya ini. Menurut Lady, dandanannya terlalu menor. Namun atasannya mewajibkan berpenampilan begitu dengan alasan agar indah dipandang dan menarik
Terbangun pagi itu, Rain menemukan dirinya di sebuah ruang asing. Ia merasa belum pernah berada di sana sebelumnya. Rain juga tahu persis bahwa ini bukanlah kamar di apartemennya, apalagi kamar di rumah bundanya.Sembari memegang kepalanya yang terasa berat, Rain mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi sehingga ia berada di tempat itu. Begitu nyawanya terkumpul, Rain segera terduduk.”Oh, shit! Gue ngapain semalam?”Pelan tapi pasti Rain berhasil mengumpulkan serpihan ingatannya. Sial. Ternyata tadi malam ia hampir saja meniduri seorang perempuan. Rain tidak ingat siapa perempuan itu karena blackout. Yang jelas bukan Sydney. Karena perempuan yang akan ditidurinya masih virgin. Rain batal menidurinya. Bagi Rain, ia tidak akan pernah meniduri perempuan yang masih perawan. Perempuan perawan adalah wanita yang akan dijadikannya istri suatu saat nanti. Bukan untuk teman tidur.Bobby. Nama itu adalah orang kedua yang melintas di benaknya. Di sela-sela ingatannya yang samar, Rain ber
Lady baru saja menyadari sesuatu. Dompet serta segenap isinya termasuk kartu identitas diri miliknya raib tanpa ia sadari. ‘Astaga! Di mana dia? Di mana dompetku?’Dalam keadaan badannya yang tidak nyaman Lady yang panik berusaha keras mencari dompet tersebut. Ia membongkar apa pun yang berada di kamarnya, namun tetap tidak menemukan apa-apa.Lady semakin cemas. Uang yang berada di dalam dompet tersebut mungkin tidak seberapa. Namun ia tidak akan bisa apa-apa tanpa kartu tanda pengenal yang turut hilang.Lama mencari dan mulai putus asa, Lady merebahkan tubuhnya ke pembaringan. Seakan deritanya belum cukup, kini ia harus diberi ujian lain. Kenapa cobaan bertubi-tubi datang menimpanya? Seolah hidupnya memang ditakdirkan untuk menderita.Air matanya hampir menetes lagi ketika ia mendengar suara ketukan di pintu rumah. Ada seseorang di depan sana. Tapi siapa? Nia sudah berangkat kerja sejak tadi setelah membelikan obat sakit kepala untuknya. Apa mungkin teman serumahnya itu balik lagi?
Menyetir sendiri, Rain pergi meninggalkan rumah kontrakan Lady. Perempuan itu meninggalkan begitu banyak kesan. Jika selama ini banyak wanita yang berebutan ingin tidur dengannya dan menggadaikan harga diri mereka, maka tidak dengan Lady. Malah dia terang-terangan menolak uang pemberian Rain.“Udah susah, masih sombong,” kecam Rain kesal. Tapi Rain bersyukur karena keadaan Lady baik-baik saja setelah kejadian malam itu. Setidaknya perempuan itu masih sehat walafiat dan masih bernapas hingga saat ini.“Lo di mana, Rain?” tanya Ale, sahabat sekaligus manajernya begitu Rain menerima telepon darinya.“Gue on the way, mau balik. Lo ke mana aja sih, nyet? Kenapa ninggalin gue semalem?” Rain balas bertanya. Hingga saat ini ia masih kesal pada ketiga temannya, terutama pada Bobby yang sudah menjebaknya.“Heh, lo duluan yang ngilang, malah bilang ninggalin.”“Ck! Kampret ya lo pada. Gue nggak ninggalin tapi--”“Udah, udah, ntar aja ceritanya. Gue mau kasih tahu, ada job buat lo, mau terima ngg
Tempat itu masih sama seperti biasanya. Sunyi dan menguarkan kesedihan. Meskipun begitu terawat, rapi dan bersih, tapi tetap saja auranya tidak akan pernah berubah.Rain melangkah di samping Kanayya sambil merangkul perempuan itu. Sementara Lady berjalan sendiri di belakang. Sejak awal ia sudah diberitahu kalau mereka akan ke tempat ini. Mengunjungi pusara ayahnya Rain yang meninggal di usia muda.Sekilas yang Lady dengar dari Kanayya, ayahnya itu tidak pernah tahu jika istrinya sedang mengandung anaknya. Menyedihkan. Rain dan Kanayya duduk bersisian menghadap makam. Sedangkan Lady di seberang mereka. Tidak ada suara yang terdengar, termasuk irama napas sekalipun. Ketiganya tampak khusyu’ berdoa.Hingga sesaat kemudian ketika Lady mengangkat muka ia mendapati muka Kanayya yang basah. Perempuan baik yang sangat diseganinya itu menangis.”Nis, aku datang sama anak kita. Sekarang Rain sudah besar. Dia beneran udah jadi pembalap meneruskan cita-cita kamu yang dulu,” isak Kanayya.“Nda, u
Rain menunggu di depan fitting room, sedangkan Lady masih berada di dalam ruangan itu. "Ngapain aja sih dia di dalam sampai selama itu?" gerutu Rain sendiri.Kehabisan rasa sabar, Rain mengetuk pintu fitting room."Hei, lo ngapain aja?" Tidak ada sahutan dari Lady yang membuat Rain bertambah kesal. Ia mengetuk pintu sekali lagi. Sebelum tangannya sempat beradu dengan daun pintu, pintu berwarna putih itu dibuka dari dalam. Sosok Lady kini berdiri tegak di hadapannya."Saya nggak cocok ya pakai baju ini?" tanya perempuan itu pada Rain. Terlihat jelas kalau dia tidak percaya diri.Rain terkesima hingga untuk detik-detik yang lama kehilangan kemampuan mengerjapkan mata."Gimana menurut anda?""Cantik banget, Dy." Suara itu berasal dari seseorang di belakang Rain. Kanayya. "Iya kan, Rain?""B aja," sahut Rain datar. "Ya udah, Nda, aku tunggu di mobil. Sumpek di sini." Lelaki itu lalu pergi meninggalkan keduanya."Dia memang begitu orangnya. Kamu nggak usah ambil hati." Kanayya tersenyum
Hal pertama yang dilakukan Rain dan Lady setibanya mereka di rumah adalah mandi, membersihkan diri setelah aktivitas manusia dewasa yang mereka lakukan di mobil tadi. Sesudahnya mereka sama-sama beristirahat.“Duh, Rain, aku capek banget, pengen tidur aja sampai minggu depan,” ujar Lady tanpa bermaksud mengeluh. Sekarang saja tubuhnya mulai terasa remuk. Ia rasa butuh waktu satu hari lagi untuk beristirahat, tapi hal lain sudah menantinya.“Ya udah, tidur gih sampai minggu depan.” Rain menimpali sambil tertawa.Lady merapat ke sisi Rain. Sedangkan laki-laki itu membiarkan pergelangannya dijadikan istrinya sebagai bantal. Seraya tangannya melingkari tubuh lady, bibirnya ikut mengecup puncak kepala sang istri dengan penuh cinta.”Aku tahu kamu kelelahan. Kita baru nyampe tapi aku udah ngajak kamu clubbing. Udah gitu aku malah minta yang iya-iya.”Senyum kecil terbit di bibir Lady. “Tumben kamu sadar?”“Aku sadar kok, tapi kalau kepengen mau diapain? Percuma juga ada istri, ya nggak sih?
Malam semakin menua, tapi justru geliat kehidupan di Broken Wings semakin menguar. Musik yang menghentak menenggelamkan setiap pemilik jiwa yang berada di dalamnya. Membuat mereka melupakan bahwa kehidupan yang sebenarnya ada di luar sana.“Ale, kita pulang yuk,” ajak Zee setelah melirik jam di pergelangannya. Perempuan itu mulai khawatir. Sepuluh menit berlalu dari pukul satu malam, dan ia masih berkeliaran di luar.“Udah nggak betah sama aku?” Ale menggoda Zee sembari menyunggingkan senyum hangat untuk perempuan itu.Zee balas melengkungkan bibir. “Bukan begitu, tapi ini udah larut malam. Udah jam satu sepuluh menit.” Meskipun hatinya masih merasa berat, tapi Ale terpaksa harus mengakhiri kebersamaan mereka malam itu. Kemudian bola matanya bergulir liar mencari Rain, namun tak menemukannya. Jangan-jangan Rain dan Lady masih berada di mobil hingga saat ini.”Zee, duduk dulu yuk, pulangnya bentar lagi.” Ale mengalihkan Zee untuk sesaat.“Kenapa? Tapi ini udah terlalu malam.” Zee agak
Rain merangkul erat pinggang Lady, membawanya berjalan menjauh dari dance floor. Rain tersenyum sekilas pada beberapa orang yang mengenalinya dan menyapanya.“Rain, kamu beneran mau kita ngelakuinnya di mobil?” Lady masih ragu sambil celingukan ke kanan dan ke kiri, memindai situasi di sekelilingnya. Lady khawatir jika nanti sedang asyik masyuk tiba-tiba saja ada yang menangkap basah mereka.“Udah, Lad, nggak usah banyak tanya, masuk aja dulu.” Rain menuntun Lady agar naik ke mobil di saat perempuan itu masih berdiri termangu.Setelah lady masuk duluan barulah Rain ikut naik dan menutup pintu. Embusan napas lepas keluar dari mulut Rain menunjukkan ia merasa lega berada di tempat ini.“Geser, Lad.” Rain meminta Lady untuk menggeser posisinya bukan agar ia bisa duduk di sebelah perempuan itu tapi untuk berbaring di pangkuannya.Lady menundukkan kepala, memandang Rain dengan tatapan sayang seraya membelai kepala laki-laki itu. Rain saat ini lebih terlihat bagaikan seorang anak yang seda
“Nyet, sekalian lo pesenin untuk Lalad ya,” ujar Rain pada Ale.Ale lantas bertanya pada Lady. “Kalau kamu mau minum apa, Dy?” Lady melirik gelas Zee dan Alana yang berisi cola sebelum memberi jawaban. “Samain kayak Zee dan Alana aja deh,” putusnya.”Oke.”Sejak kehadirannya bergabung bersama mereka, Lady melihat Alana dan Zee tidak banyak bicara. Alana yang biasanya ceria saat ini tampak murung. Hmm, dia kenapa ya?Tidak ingin mencampuri urusan keduanya, Lady tidak bertanya apa-apa. Ia memindahkan perhatiannya pada Rain di sebelahnya.”Rain, nanti minumnya jangan terlalu banyak. Inget, kita lagi tinggal di rumah Bunda, bukan apartemen,” ucap Lady. Khawatir kalau sampai Rain mabuk berat.“Iya, iya, bawel…,” jawab Rain yang untuk kesekian kali mengecup puncak kepala sang istri. “Lagian Bunda nggak bakal tahu, Bunda kan udah tidur,” sambungnya lagi.Rain kemudin beralih pada Alana yang tidak menimpalinya seperti biasa. “Tante kenapa? Aku perhatiin dari tadi cemberut kayak orang lagi sa
Rain dan Lady duduk anteng di belakang, sedangkan Ale menyetir gelisah di belakang kemudi. To be honest, Ale merasa kurang nyaman dengan kehadiran Alana di sebelahnya. Tadinya ia ingin meminta agar Rain saja yang duduk di depan bersamanya. Sayangnya sang sahabat sudah berkata duluan dan meminta agar tantenya saja yang duduk di depan.Berada sedekat ini dengan Ale sudah cukup menggetarkan hati Alana. Kebahagiaannya memang sereceh itu. Ale mungkin tidak tahu seberapa besar perasaan Alana padanya.Alana mengenal Ale dari Zee. Kala itu sahabatnya tersebut mengatakan padanya bahwa Ale adalah putra mahkota kerajaan sebelah. Sejak awal melihat laki-laki itu Alana sudah tertarik. Ale yang cuek, cool dan menyimpan banyak misteri membuatnya penasaran. Saat mengetahui bahwa Ale menjadi asisten pribadi Rain, Alana pikir ia selangkah lebih dekat dengan Ale. Nyatanya Alana salah. Mendekati lelaki itu ternyata tidaklah semudah yang ia bayangkan.Di jok belakang Rain dan Lady sedang bermesraan. Kedua
“Duh, capek banget.” Rain menggeliat, meregangkan otot-ototnya yang kaku. Penerbangan panjang yang baru saja dijalaninya membuat tubuhnya lelah. Hal yang paling diinginkannya saat ini hanyalah beristirahat melepas penat.Rain meminta Lady yang baru saja masuk ke kamar agar mendekat padanya. “Lad, pijitin dong, aku capek banget.”Lady mengabaikan kondisi tubuhnya sendiri dan memenuhi apa yang diinginkan Rain. Tangannya memijit bagian tubuh lelaki itu. Mulai dari pundak, punggung hingga betisnya.“Enak banget pijitan kamu, Lad, bikin nagih.” Rain bergumam pelan di sela-sela kantuk yang mulai mendatanginya.Lady tersenyum tipis. “Dasar modus.””Lad, aku tidur ya, nggak apa-apa kan? Udah ngantuk nih.”“Tumben pake minta izin.”“Ntar kamunya marah kalau aku tinggal tidur.”“Ngapain juga aku marah? Orang ngantuk kok dilarang tidur.”“Sini, aku maunya tidur ditemenin sama kamu.””Katanya mau dipijit.””Pijitnya sambil rebahan bareng aku.” Rain merengkuh Lady hingga jatuh berbaring di sebelah
“Welcome home…”Lady berbisik sendiri begitu pesawat yang ditumpanginya baru saja berada di bawah langit Jakarta. Tiga hari mungkin terlalu singkat untuk menjelajah seisi Amsterdam. Tapi apa yang dialaminya selama lebih kurang sepuluh hari ini di sebagian wilayah eropa memberi kesan yang mendalam.Pemberitahuan yang mengudara di seantero pesawat agar para penumpang bersiap-siap dan memasang sabuk pengaman menandakan bahwa sesaat lagi mereka akan mendarat.Alana sudah standby di terminal kedatangan penerbangan internasional. Sudah sejak tadi ia menanti kedatangan ponakan dan istrinya.Terasa ada yang berbeda kali ini. Jika biasanya Ale yang mengantar dan menjemput ke mana-mana, maka kali ini tidak. Rain merasakan ada yang kurang tanpa Ale.“Cieee… yang baru pulang honeymoon.” Ledekan Alana menyambut kedatangan Rain dan Lady. “Mana cucu aku?”Rain terkekeh. “Dipikir bikin anak kayak bikin kue putu apa? Habis cetak langsung mateng.”Alana juga tertawa menimpali kekehan Rain. Ia kemudian
Hari pertama setelah tiba di Amsterdam Rain dan Lady mengisi waktu dengan mengelilingi kota itu.Mereka menggunakan sepeda menyusuri jalan-jalan di Amsterdam yang tidak begitu lebar. Bangunan yang mereka lihat di kanan dan kiri jalan masih mempertahankan bentuk aslinya. Terlihat klasik dan bernilai seni tinggi.Kehadiran kanal merupakan hal lain yang mereka saksikan di sana. Meskipun airnya tidak terlalu jernih namun perahu yang berlalu lalang merupakan daya tarik tersendiri yang membuat mata betah memandang.Saat ini sudah memasuki musim semi di Amsterdam. Udara yang baru saja menghangat di sana membuat banyak orang menghabiskan waktu di pinggir kanal. Mereka membaca buku sambil menikmati secangkir kopi dan bercengkrama dengan sesama. Ada juga yang datang ke sana hanya untuk berjemur sambil merenung.Bersepeda di Amsterdam bukan lagi hal yang luar biasa dan membuat tercengang. Bahkan area pedestrian di sana lebih mendapat perhatian khusus dari pemerintah setempat.Rain dan Lady menep
Rain dan Lady duduk di ruang tamu menanti sang empunya rumah. Semestinya Rain bisa langsung menerobos ke dalam karena rumah tersebut adalah rumah kakek neneknya sendiri. Namun Rain masih menjunjung tata krama dengan memilih menunggu di ruang tamu.Selagi menanti, Lady mulai menebak-nebak seperti apa penampakan orang yang akan mereka temui. Debaran jantungnya kian mengencang. Perasaan cemas tidak bisa diterima dengan baik kembali menghantuinya meskipun Rain sudah meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.Tak lama kemudian sepasang suami istri yang tidak lagi muda muncul dari arah dalam. Wajah keduanya begitu semringah begitu melihat langsung sosok yang mereka rindukan kini berada tepat di depan mata mereka.Rain dan Lady sama-sama berdiri.“Rain…”“Papa…”Rain dan Rasya saling berpelukan melepas rindu yang selama ini tertahan. Selama hitungan menit keduanya saling mendekap.Ingat pada istrinya yang juga sangat merindukan sang cucu, Rasya mengurai pelukan dari Rain dan memberi kesempa