Tiba di rumahnya, Lady membuka sosial media dari smartphone yang layarnya sudah retak.
Namaku Rain. Lady mengetikkan nama Rain di tab pencarian. Muncullah sebuah akun centang biru dengan lebih dari lima juta pengikut. Akun tersebut bagaikan galeri yang memamerkan foto-foto Rain. Mulai dari prestasi hingga sensasi. Jujur saja, Lady tidak mengingkari jika Rain tampak gagah dalam kostum balapnya. Rain mengundang decak kagum banyak orang karena memenangkan berbagai kompetisi balap, tidak terkecuali Lady. Namun kekagumannya lekas berganti dengan rasa tidak suka saat Lady melihat foto-foto mesra Rain dengan perempuan yang berbeda. Selain arogan, ternyata Rain juga suka gonta-ganti wanita, membuat pikiran Lady pada laki-laki itu hanya dipenuhi oleh pikiran negatif. *** Setiap pagi Lady meninggalkan rumah untuk kemudian menuju rumah sakit. Ia melaksanakan tugasnya seperti biasa. Mulai dari mengepel lantai, membersihkan langit-langit, membersihkan kaca jendela, membuang sampah domestik, sampah medis dan sampah tajam, membersihkan toilet, hingga memastikan bahwa lantainya tetap kering. Lady berpapasan dengan Kanayya tepat di depan pintu toilet. Perempuan itu agaknya juga akan menggunakan tempat itu. “Selamat pagi, Dok,” sapa Lady sopan. ”Pagi.” Sang dokter tersenyum hangat. “Dy, klappertaart yang kamu kasih ke saya kemarin itu buatan kamu ya?” “Iya, Dok.” Kemarin saat ke rumah Kanayya Lady memang membawanya seloyang. “Wah, kebetulan kalau begitu. Rain itu suka banget lho sama klappertaart, katanya enak. Saya bisa pesen kan buat Rain?” Lady agak tercengang mendengar penuturan Kanayya. Masa sih? Ia hampir tidak yakin. Seingatnya, saat ia berada di sana malam itu Rain tidak menyentuh sedikit pun klappertaart tersebut. ”Bisa, Dok, tentu saja bisa.” Kanayya merogoh saku, bermaksud mengambil uang dan memberikan pada Lady. Namun Lady menolak. “Nggak usah, Dok.” “Tapi kamu kan butuh buat beli bahan-bahan.” “Bahan-bahannya kebetulan masih ada. Kalau boleh tahu, Dokter pesennya untuk kapan ya?” “Kalau untuk besok bisa?” “Bisa banget, Dok, kebetulan besok saya off.” Kanayya lantas tersenyum sebelum akhirnya meninggalkan Lady, masuk ke dalam toilet. Malam itu, Rain sempat mencicipi klappertaart setelah Lady pulang. Hanya saja Kanayya tidak mengatakan jika klappertaart tersebut Lady yang membawanya. *** Satu loyang besar klappertaart sudah siap sejak tadi. Sesuai dengan pesanan Kanayya kemarin, hari ini Lady akan mengantarnya. ”Lady, tolong kamu antar ke apartemen Rain ya, ini alamatnya.” Selama sepersekian detik Lady termangu begitu ia datang ke rumah sakit mengantarkan klappertaart, namun Kanayya malah meminta mengantar langsung ke apartemen Rain. Lady menggaruk leher belakang, kebingungan. Ia merasa enggan bertemu dengan Rain yang arogan. Namun di saat bersamaan ia juga tidak enak untuk menolak permintaan Kanayya. ”Dok, saya--” ”Kamu keberatan, Dy? Kamu ada kerjaan lain?” tanya Kanayya menyadari ekspresi yang ditunjukkan Lady. “Bisa kok, Dok, saya akan antar ke sana.” Lady buru-buru menyahut. Ia belum pernah menemukan alasan yang tepat untuk menolak apa pun keinginan Kanayya. Dan lagi-lagi ia tidak mau menerima saat Kanayya memberikan uang untuk pembelian makanan tersebut darinya. *** Sudah sejak tadi bel di depan sana terus berdenting. Suaranya menggema memenuhi setiap sudut apartemen. Awalnya Rain membiarkan saja. Namun karena lama kelamaan terasa kian mengganggu, Rain terpaksa harus beranjak dari ranjang setelah mengumpat kesal. Membuka pintu apartemennya, Rain tidak bisa untuk tidak terkejut saat menyaksikan sendiri siapa sosok pengganggunya siang itu. Lady kini berdiri tepat di hadapannya dengan sebelah tangan menjinjing kantong plastik yang entah apa isinya. “Ngapain lo ke sini?” tanya Rain galak. Matanya memancarkan sorot tidak suka pada Lady. “Maaf mengganggu, tapi saya hanya mengantar pesanan ibu anda.” Lady menjawab seraya menyodorkan kantong di tentengannya pada Rain. Alih-alih akan menerima, Rain malah memandang sinis dengan sebelah mata. “Apa itu?” “Ini isinya klappertaart. Dokter Kanayya bilang kalau anda sangat suka klappertaart. Dokter Kanayya pesan sama saya dan minta buat antar ke sini.” “Jadi ini lo yang bikin?” Lady menganggukkan pelan kepalanya. Rain dengan angkuh bersedekap dan bicara dengan ketus pada perempuan menyebalkan di hadapannya. “Oh, jadi lo tukang kue? Gue emang suka klappy, tapi bukan klappy kaleng-kaleng kayak punya lo gini. Bawa lagi pulang!” “Terserah anda mau suka apa tidak, tapi saya hanya melaksanakan pesan dari ibu anda agar mengantar ke sini. Itu saja.” “Gue kan udah bilang nggak mau. Kalo gue mau, gue bisa beli di Delicious,” sengit Rain sembari menyebut nama sebuah toko kue ternama langganannya. Ia mengucapkan kata-kata tersebut sambil menjatuhkan kotak kue ke lantai. Lady terkesiap. Terbayang betapa susahnya ia membuat seloyang klappertaart. Ia bahkan rela membeli bahan-bahan kue premium hanya karena mengingat makanan tersebut adalah pesanan Kanayya. Padahal biasanya ia hanya menggunakan tepung kiloan. Rasa sedih, kecewa dan sakit hati atas sikap Rain berbaur menjadi satu. “Saya tahu kalau anda memang arogan. Tapi saya tidak menyangka kalau ternyata anda tidak hanya sekadar angkuh, tapi anda juga tidak bisa menghargai orang lain.” Lalu Lady memutar tubuh, ia ingin lenyap dari tempat orang sombong itu sesegera mungkin. Sebelum ia benar-benar menarik langkah, suara lantang Rain terdengar mencegahnya. “Dengerin gue! Jangan sekali-kali lo menjilat dan mendekati Bunda. Gue tahu lo itu nggak tulus. Lo cuma mau harta gue doang. Iya kan? Gue udah biasa ngadepin drama murahan kayak lo gini. Tapi gue bakal pastiin kalau rencana busuk lo nggak bakal berhasil.” Rain tersenyum asimetris di ujung kalimatnya. Telinga Lady memanas mendengar tudingan Rain padanya. Ia telan semua penghinaan tersebut. Lady memutar tubuh mengarah pada Rain. Ia menemukan tatapan angkuh laki-laki itu. “Jangan menuduh sembarangan. Saya sama sekali tidak mau uang atau harta anda. Kalau anda memang tidak setuju dengan perjodohan ini kenapa tidak bilang saja langsung pada orang tua anda? Kenapa tidak menolak?” Rain terdiam dan merasa kalah telak. Ia sudah menolak, namun nyatanya ia tetap harus menerima perjodohan itu. Semua demi bundanya. ”Lo sendiri kenapa nggak menolak? Kenapa iya-iya aja dijodohin sama gue?” balas Rain pada Lady yang menantangnya. ”Saya punya alasan untuk itu. Dan alasannya bukan seperti yang ada di pikiran picik anda.” Lady membungkukkan badan, mengambil kantong berisi klappertaart dari lantai dan memberikan pada Rain. Sebelum pergi ia masih sempat berkata, “Ini dari ibu anda, bukan saya, jadi terimalah.” ***Lady memasukkan dua potong pakaian ke dalam tas. Blouse berbelahan dada rendah serta rok mini sepaha. Nanti setelah pulang kuliah ia akan langsung ke Romantic—kelab malam tempatnya bekerja sebagai pelayan.Setelah kuliah berakhir biasanya Lady akan mengganti bajunya di toilet dulu, tak lupa melapisinya dengan jaket. Teman-temannya sesama mahasiswa sudah tahu pekerjaan sampingan Lady. Berbagai respon ia terima. Ada yang memandangnya dengan rendah, dan ada pula yang biasa-biasa saja. Tapi Lady tidak ambil pusing. Ia hanya mencoba menjalani pekerjaan yang menurutnya halal untuk tetap bertahan hidup.Lady memasuki Romantic melalui pintu khusus para karyawan. Membuka jaket dan meletakkannya di loker, Lady berkaca sesaat, memulas ulang sapuan bedak di pipinya, kemudian membubuhkan blush on dengan sedikit tebal. Sebenarnya ia tidak suka dengan riasannya ini. Menurut Lady, dandanannya terlalu menor. Namun atasannya mewajibkan berpenampilan begitu dengan alasan agar indah dipandang dan menarik
Terbangun pagi itu, Rain menemukan dirinya di sebuah ruang asing. Ia merasa belum pernah berada di sana sebelumnya. Rain juga tahu persis bahwa ini bukanlah kamar di apartemennya, apalagi kamar di rumah bundanya.Sembari memegang kepalanya yang terasa berat, Rain mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi sehingga ia berada di tempat itu. Begitu nyawanya terkumpul, Rain segera terduduk.”Oh, shit! Gue ngapain semalam?”Pelan tapi pasti Rain berhasil mengumpulkan serpihan ingatannya. Sial. Ternyata tadi malam ia hampir saja meniduri seorang perempuan. Rain tidak ingat siapa perempuan itu karena blackout. Yang jelas bukan Sydney. Karena perempuan yang akan ditidurinya masih virgin. Rain batal menidurinya. Bagi Rain, ia tidak akan pernah meniduri perempuan yang masih perawan. Perempuan perawan adalah wanita yang akan dijadikannya istri suatu saat nanti. Bukan untuk teman tidur.Bobby. Nama itu adalah orang kedua yang melintas di benaknya. Di sela-sela ingatannya yang samar, Rain ber
Lady baru saja menyadari sesuatu. Dompet serta segenap isinya termasuk kartu identitas diri miliknya raib tanpa ia sadari. ‘Astaga! Di mana dia? Di mana dompetku?’Dalam keadaan badannya yang tidak nyaman Lady yang panik berusaha keras mencari dompet tersebut. Ia membongkar apa pun yang berada di kamarnya, namun tetap tidak menemukan apa-apa.Lady semakin cemas. Uang yang berada di dalam dompet tersebut mungkin tidak seberapa. Namun ia tidak akan bisa apa-apa tanpa kartu tanda pengenal yang turut hilang.Lama mencari dan mulai putus asa, Lady merebahkan tubuhnya ke pembaringan. Seakan deritanya belum cukup, kini ia harus diberi ujian lain. Kenapa cobaan bertubi-tubi datang menimpanya? Seolah hidupnya memang ditakdirkan untuk menderita.Air matanya hampir menetes lagi ketika ia mendengar suara ketukan di pintu rumah. Ada seseorang di depan sana. Tapi siapa? Nia sudah berangkat kerja sejak tadi setelah membelikan obat sakit kepala untuknya. Apa mungkin teman serumahnya itu balik lagi?
Menyetir sendiri, Rain pergi meninggalkan rumah kontrakan Lady. Perempuan itu meninggalkan begitu banyak kesan. Jika selama ini banyak wanita yang berebutan ingin tidur dengannya dan menggadaikan harga diri mereka, maka tidak dengan Lady. Malah dia terang-terangan menolak uang pemberian Rain.“Udah susah, masih sombong,” kecam Rain kesal. Tapi Rain bersyukur karena keadaan Lady baik-baik saja setelah kejadian malam itu. Setidaknya perempuan itu masih sehat walafiat dan masih bernapas hingga saat ini.“Lo di mana, Rain?” tanya Ale, sahabat sekaligus manajernya begitu Rain menerima telepon darinya.“Gue on the way, mau balik. Lo ke mana aja sih, nyet? Kenapa ninggalin gue semalem?” Rain balas bertanya. Hingga saat ini ia masih kesal pada ketiga temannya, terutama pada Bobby yang sudah menjebaknya.“Heh, lo duluan yang ngilang, malah bilang ninggalin.”“Ck! Kampret ya lo pada. Gue nggak ninggalin tapi--”“Udah, udah, ntar aja ceritanya. Gue mau kasih tahu, ada job buat lo, mau terima ngg
Tempat itu masih sama seperti biasanya. Sunyi dan menguarkan kesedihan. Meskipun begitu terawat, rapi dan bersih, tapi tetap saja auranya tidak akan pernah berubah.Rain melangkah di samping Kanayya sambil merangkul perempuan itu. Sementara Lady berjalan sendiri di belakang. Sejak awal ia sudah diberitahu kalau mereka akan ke tempat ini. Mengunjungi pusara ayahnya Rain yang meninggal di usia muda.Sekilas yang Lady dengar dari Kanayya, ayahnya itu tidak pernah tahu jika istrinya sedang mengandung anaknya. Menyedihkan. Rain dan Kanayya duduk bersisian menghadap makam. Sedangkan Lady di seberang mereka. Tidak ada suara yang terdengar, termasuk irama napas sekalipun. Ketiganya tampak khusyu’ berdoa.Hingga sesaat kemudian ketika Lady mengangkat muka ia mendapati muka Kanayya yang basah. Perempuan baik yang sangat diseganinya itu menangis.”Nis, aku datang sama anak kita. Sekarang Rain sudah besar. Dia beneran udah jadi pembalap meneruskan cita-cita kamu yang dulu,” isak Kanayya.“Nda, u
Rain menunggu di depan fitting room, sedangkan Lady masih berada di dalam ruangan itu. "Ngapain aja sih dia di dalam sampai selama itu?" gerutu Rain sendiri.Kehabisan rasa sabar, Rain mengetuk pintu fitting room."Hei, lo ngapain aja?" Tidak ada sahutan dari Lady yang membuat Rain bertambah kesal. Ia mengetuk pintu sekali lagi. Sebelum tangannya sempat beradu dengan daun pintu, pintu berwarna putih itu dibuka dari dalam. Sosok Lady kini berdiri tegak di hadapannya."Saya nggak cocok ya pakai baju ini?" tanya perempuan itu pada Rain. Terlihat jelas kalau dia tidak percaya diri.Rain terkesima hingga untuk detik-detik yang lama kehilangan kemampuan mengerjapkan mata."Gimana menurut anda?""Cantik banget, Dy." Suara itu berasal dari seseorang di belakang Rain. Kanayya. "Iya kan, Rain?""B aja," sahut Rain datar. "Ya udah, Nda, aku tunggu di mobil. Sumpek di sini." Lelaki itu lalu pergi meninggalkan keduanya."Dia memang begitu orangnya. Kamu nggak usah ambil hati." Kanayya tersenyum
“Rain, akhirnya kamu datang juga. Tadi Bunda kamu bilang ke Tante kalau nggak bisa datang. Jadinya kamu yang mewakili.”“Iya, Tante, Bunda yang minta aku datang ke sini,” jawab Rain pada Tiwi, teman sang bunda. Keduanya kemudian saling mendekap hangat.Tiwi kemudian mengamati perempuan yang berdiri di sebelah Rain. “Ini pacar baru kamu, Rain?”“Bukan, Tante, ini temenku.”“Temennya cantik banget,” komentar Tiwi saat melihat Lady yang berdiri kaku di sebelah Rain. Lady tersenyum tipis merespon sanjungan yang ditujukan padanya. Masa sih dirinya secantik itu? Ia merasa biasa-biasa saja. Dan selama ini belum pernah ada yang menyanjungnya dengan berlebihan.“Pembalap kita akhirnya datang juga. Tumben nih, lagi nggak sibuk?” River datang ke tengah-tengah mereka.”Nggak, Om, jadwalku kebetulan lagi kosong, makanya bisa ke sini.” Rain beralasan.River kemudian menepuk pelan pundak Rain. “Om bangga sama kamu, Rain. Nggak nyangka di umur semuda ini tapi prestasi kamu udah nggak kehitung lagi.
Rain dan Lady pulang sebelum acara pesta berakhir. Nyaris di sepanjang acara Rain tidak memedulikan dan membiarkan Lady sendirian. Sementara ia sibuk dengan teman-teman yang ditemuinya di tempat itu."Biar aku naik taksi aja," putus Lady saat Rain berniat mengantarnya pulang."Nggak, gue anter lo sampe rumah." Rain menolak ide Lady. Ia tidak mungkin membiarkan perempuan itu pulang sendirian malam-malam begini."Nggak usah kalau nggak ikhlas. Aku lebih baik naik taksi aja.""Lo tuh nggak tau terima kasih banget. Tinggal duduk diam apa salahnya? Masuk!" perintah Rain setelah membuka pintu mobil.Terpaksa Lady mengikuti kemauan laki-laki itu setelah tidak punya alasan lagi untuk menolak. Dengan cepat Rain beralih ke bangku pengemudi dan menyalakan mesin. Dalam diam, Lady mencuri pandang ke arah Rain. Lelaki itu gagah, juga terlihat angkuh di saat bersamaan. Hidungnya yang tinggi semakin menambah kesan arogan apalagi jika dilihat dari samping begini."Lo kenapa ngeliat gue kayak gitu?"
“Duh, capek banget.” Rain menggeliat, meregangkan otot-ototnya yang kaku. Penerbangan panjang yang baru saja dijalaninya membuat tubuhnya lelah. Hal yang paling diinginkannya saat ini hanyalah beristirahat melepas penat.Rain meminta Lady yang baru saja masuk ke kamar agar mendekat padanya. “Lad, pijitin dong, aku capek banget.”Lady mengabaikan kondisi tubuhnya sendiri dan memenuhi apa yang diinginkan Rain. Tangannya memijit bagian tubuh lelaki itu. Mulai dari pundak, punggung hingga betisnya.“Enak banget pijitan kamu, Lad, bikin nagih.” Rain bergumam pelan di sela-sela kantuk yang mulai mendatanginya.Lady tersenyum tipis. “Dasar modus.””Lad, aku tidur ya, nggak apa-apa kan? Udah ngantuk nih.”“Tumben pake minta izin.”“Ntar kamunya marah kalau aku tinggal tidur.”“Ngapain juga aku marah? Orang ngantuk kok dilarang tidur.”“Sini, aku maunya tidur ditemenin sama kamu.””Katanya mau dipijit.””Pijitnya sambil rebahan bareng aku.” Rain merengkuh Lady hingga jatuh berbaring di sebelah
“Welcome home…”Lady berbisik sendiri begitu pesawat yang ditumpanginya baru saja berada di bawah langit Jakarta. Tiga hari mungkin terlalu singkat untuk menjelajah seisi Amsterdam. Tapi apa yang dialaminya selama lebih kurang sepuluh hari ini di sebagian wilayah eropa memberi kesan yang mendalam.Pemberitahuan yang mengudara di seantero pesawat agar para penumpang bersiap-siap dan memasang sabuk pengaman menandakan bahwa sesaat lagi mereka akan mendarat.Alana sudah standby di terminal kedatangan penerbangan internasional. Sudah sejak tadi ia menanti kedatangan ponakan dan istrinya.Terasa ada yang berbeda kali ini. Jika biasanya Ale yang mengantar dan menjemput ke mana-mana, maka kali ini tidak. Rain merasakan ada yang kurang tanpa Ale.“Cieee… yang baru pulang honeymoon.” Ledekan Alana menyambut kedatangan Rain dan Lady. “Mana cucu aku?”Rain terkekeh. “Dipikir bikin anak kayak bikin kue putu apa? Habis cetak langsung mateng.”Alana juga tertawa menimpali kekehan Rain. Ia kemudian
Hari pertama setelah tiba di Amsterdam Rain dan Lady mengisi waktu dengan mengelilingi kota itu.Mereka menggunakan sepeda menyusuri jalan-jalan di Amsterdam yang tidak begitu lebar. Bangunan yang mereka lihat di kanan dan kiri jalan masih mempertahankan bentuk aslinya. Terlihat klasik dan bernilai seni tinggi.Kehadiran kanal merupakan hal lain yang mereka saksikan di sana. Meskipun airnya tidak terlalu jernih namun perahu yang berlalu lalang merupakan daya tarik tersendiri yang membuat mata betah memandang.Saat ini sudah memasuki musim semi di Amsterdam. Udara yang baru saja menghangat di sana membuat banyak orang menghabiskan waktu di pinggir kanal. Mereka membaca buku sambil menikmati secangkir kopi dan bercengkrama dengan sesama. Ada juga yang datang ke sana hanya untuk berjemur sambil merenung.Bersepeda di Amsterdam bukan lagi hal yang luar biasa dan membuat tercengang. Bahkan area pedestrian di sana lebih mendapat perhatian khusus dari pemerintah setempat.Rain dan Lady menep
Rain dan Lady duduk di ruang tamu menanti sang empunya rumah. Semestinya Rain bisa langsung menerobos ke dalam karena rumah tersebut adalah rumah kakek neneknya sendiri. Namun Rain masih menjunjung tata krama dengan memilih menunggu di ruang tamu.Selagi menanti, Lady mulai menebak-nebak seperti apa penampakan orang yang akan mereka temui. Debaran jantungnya kian mengencang. Perasaan cemas tidak bisa diterima dengan baik kembali menghantuinya meskipun Rain sudah meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.Tak lama kemudian sepasang suami istri yang tidak lagi muda muncul dari arah dalam. Wajah keduanya begitu semringah begitu melihat langsung sosok yang mereka rindukan kini berada tepat di depan mata mereka.Rain dan Lady sama-sama berdiri.“Rain…”“Papa…”Rain dan Rasya saling berpelukan melepas rindu yang selama ini tertahan. Selama hitungan menit keduanya saling mendekap.Ingat pada istrinya yang juga sangat merindukan sang cucu, Rasya mengurai pelukan dari Rain dan memberi kesempa
Lady diam saja saat Rain terus menceramahinya. Justru sekarang pikirannya hanya tertuju pada seseorang yang jauh berada di benua sana. Lady sudah tidak sabar ingin menceritakan pada Ale mengenai pertemuannya dengan perempuan gipsi tadi. Lady yakin, hanya Ale yang akan memahaminya mengenai pergipsian ini. Sedangkan Rain sudah antipati duluan. Rain bukan pendengar yang baik untuk hal ini.“Kenapa diam aja?” tanya Rain yang baru menyadari jika Lady bungkam sejak tadi dan tidak merespon apa pun yang ia katakan.“Kan aku lagi dengerin kamu ngomong,” balas Lady.“Emang orang tadi bilang apa aja sih sama kamu?” Meskipun tidak pernah memercayai hal semacam itu namun Rain merasa penasaran juga dan tidak tahan untuk tidak bertanya.Lady ingin berterus terang, tapi merasa ragu. Ia khawatir akan penilaian negatif Rain nanti. Alhasil ia pun mendustai suaminya.”Dia cuma nanya nama aku.”“Terus?””Dia nanya aku berasal dari mana.”“Next?”Lady terdiam untuk sesaat. Apa ya tanggapan Rain jika tahu r
lLady terkikik geli ketika Rain menceritakan padanya mengenai obrolan dengan orang tua Reza. Siapa pun yang tidak mengenal pria itu pasti tidak akan menyangka kalau Reza mengalami gangguan jiwa. Secara kasat mata Reza tampak gagah, sehat, segar bugar dan baik-baik saja.”Bangke emang, bisa-bisanya gue dikerjain orang sakit,” rutuk Rain antara geli serta jengkel.Tawa Lady bertambah keras. Geli melihat Rain saat ini. “Pantes aja dia lebay banget ke aku. Gombalan-gombalannya bikin aku eneg, untung aja aku nggak muntah di depan dia.”Rain menimpali tawa Lady. “Emang dia bilang apa ke kamu?” tanyanya ingin tahu.”Dia bilang aku cantik, mandiri, aku perempuan istimewa, pokoknya ya gitu deh. Kamu ngeliat nggak kemarin waktu di restoran banyak banget makanan di atas meja aku? Itu semua dia yang suruh. Padahal jatah sarapan aku udah habis. Tapi emang enak-enak sih makanannya.”“Aku nggak lihat.”“Gimana mau lihat, kamu-nya udah keburu emosi. Nggak tahu aja dia yang dicemburui orang sakit. Hah
Matahari sudah tenggelam sempurna ketika Rain dan Lady tiba di hotel. Syukurlah mereka tidak bertemu dengan Reza. Cowok gesrek dengan mulut tanpa filter yang super duper menyebalkan.Setibanya di kamar keduanya sama-sama merebahkan tubuh ke pembaringan. Hari ini terasa sangat melelahkan ketimbang hari-hari sebelumnya.“Gimana? Ada berasa sakit?” tanya Rain ingin tahu keadaan Lady setelah merajah tato tadi.Lady menggelengkan kepala. “Udah enggak.” Tadi saat dirajah ia hanya merasakan sedikit rasa perih. Jika setelahnya mereka mengalami efek samping seperti alergi, gatal-gatal atau pun ruam pada kulit, mereka diharuskan untuk datang kembali.Tangan Rain lantas terulur mengusap-usap kepala Lady yang berbaring miring menghadap padanya. Keduanya tidak habis pikir pada apa yang mereka lakukan berdua.“Lad, udah yuk rebahannya. Kita check out sekarang,” cetus Rain tiba-tiba ketika ingat rencananya tadi untuk check out sorenya. Bahkan sekarang hari sudah malam.“Duh, Rain, aku capek banget,
Oh, shit!Rain dan Lady bertemu lagi dengan Reza di lobi kala mereka melintas sebelum keluar dari hotel. Pria itu sedang duduk di sofa dan berbicara dengan seseorang yang entah siapa. Mungkin salah tamu di hotel itu.Reza melempar senyum pada keduanya yang disambut Rain dengan lengosan kepala, pun dengan Lady yang buru-buru memalingkan muka. Diabaikan seperti itu bukannya sadar diri jika Rain sedang marah padanya, Reza malah berseru.“Rain! Lady! Cuaca teduh begini saya sarankan kalian ke Piazza San Marco.”Lady akhirnya memutar kepala, sekadar menghargai pria itu. “Terima kasih.”Reza balas tersenyum. Dari tempatnya duduk ia memandangi punggung Lady lekat-lekat hingga menghilang dari pandangannya. Kemudian, ia pun bangkit mengakhiri obrolan dengan lawan bicaranya.Setelah keluar dari hotel Rain mengajak Lady berjalan kaki seperti kebanyakan para wisatawan di sana. Meskipun menyimpan magnet dan cerita bagi ribuan turis yang terus membanjir setiap hari, namun sebenarnya Venice sangat
“Kamu sudah lama menikah dengan Rain?”“Baru, belum sampai dua bulan. Aku pikir kamu tahu soalnya kemarin kamu sendiri yang bilang tidak ada honeymoon suite di sini,” ungkap Lady menyatakan keheranannya.“Oh iya juga ya, aku hampir saja lupa. Bicara dengan perempuan secantik kamu membuatku melupakan banyak hal.” Reza menatap Lady dengan sorot mata yang membuat perempuan itu merasa tidak nyaman.Ya ampun, manis sekali mulutnya.Lady buru-buru menyesap cappuccino di dalam cangkir guna menutupi kegugupan. Mungkin sebaiknya ia kembali ke kamar dan tidak usah berlama-lama di sini.”Reza, saya kembali ke kamar dulu, mungkin Rain sudah bangun, takutnya nanti dia mencari saya,” kata Lady berpamitan.“Oh, begitu. By the way, setelah ini apa rencana kalian? Mau jalan-jalan?”“Iya.””Jalan ke mana?”“Saya kurang tahu, Rain yang tahu.”“Kalian tidak pakai tour guide?”Lady gelengkan kepala. Sejak awal keduanya tidak menggunakan jasa pemandu wisata. Rain sebelumnya bercerita sering mengunjungi beb