Terbangun pagi itu, Rain menemukan dirinya di sebuah ruang asing. Ia merasa belum pernah berada di sana sebelumnya. Rain juga tahu persis bahwa ini bukanlah kamar di apartemennya, apalagi kamar di rumah bundanya.
Sembari memegang kepalanya yang terasa berat, Rain mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi sehingga ia berada di tempat itu. Begitu nyawanya terkumpul, Rain segera terduduk. ”Oh, shit! Gue ngapain semalam?” Pelan tapi pasti Rain berhasil mengumpulkan serpihan ingatannya. Sial. Ternyata tadi malam ia hampir saja meniduri seorang perempuan. Rain tidak ingat siapa perempuan itu karena blackout. Yang jelas bukan Sydney. Karena perempuan yang akan ditidurinya masih virgin. Rain batal menidurinya. Bagi Rain, ia tidak akan pernah meniduri perempuan yang masih perawan. Perempuan perawan adalah wanita yang akan dijadikannya istri suatu saat nanti. Bukan untuk teman tidur. Bobby. Nama itu adalah orang kedua yang melintas di benaknya. Di sela-sela ingatannya yang samar, Rain berhasil mengingat bahwa lelaki itu adalah orang terakhir bersamanya sebelum ia berada di kamar ini. Bangkit dari ranjang dan bermaksud untuk ke kamar mandi. Langkah kaki Rain tiba-tiba terhenti ketika mendapati sesuatu di lantai. “Kartu ATM?” Rain mendesis pelan. Rain membungkuk untuk memungutnya. Oh tidak. Ini bukan kartu ATM, melainkan Kartu Tanda Penduduk. "Lady Queenara." Rain mengernyit ketika membaca rangkaian kata yang tertera di sana. Nama tersebut mengingatkannya pada seseorang. Lady, perempuan yang akan dijodohkan dengannya. Perempuan yang tadi malam mengantar minuman ke hadapannya dan teman-teman satu gengnya. Kalau kartu pengenal tersebut ada di sini, apa mungkin perempuan tersebut adalah wanita yang hampir saja ditidurinya tadi malam? Jika iya, berarti Lady adalah perempuan baik-baik. Bukan seperti dugaannya. Mungkin Rain terlalu picik menilai. Namun menurutnya perempuan yang mampu memelihara keperawanannya adalah perempuan yang pandai menjaga diri dan kehormatan. Rain kembali terduduk di tepi ranjang. Tidak habis pikir kenapa semua ini bisa terjadi. Yang bisa memberi penjelasan adalah Bobby, dan juga perempuan itu. Lady. *** ”Lo, Rain, masuk yuk!” Bobby yang membuka pintu apartemennya agak terkejut saat melihat kedatangan Rain yang tiba-tiba. “Kenapa gue bisa ada di kamar hotel?” tanya Rain to the point begitu baru saja melangkahkan kakinya ke dalam. Bobby tertawa lebar. ”Jangan ketawa lo, Bob. Gue butuh penjelasan dari lo. Kalau gue nggak salah inget kemarin lo kan yang anter gue ke kamar itu?” ”Lo kok jadi ngegas gini? Calm down, Man! Minum dulu gih.” Bobby mengambil bir kalengan dari lemari pendingin, memberi pada Rain. “Gue ke sini nggak mau minum. Gue cuma mau minta lo buat jelasin semuanya.” Nada suara Rain meninggi. ”Hey, dude, lo kenapa jadi emosi begini? Tuh cewek nggak oke mainnya? Dia udah ngecewain lo?” ”Bukan itu masalahnya, tapi justru karena dia masih virgin.” “Wowww, seriously?” Bobby ikut terkejut. Rain mendengkus kesal. “Kenapa lo kasih dia ke gue?” “Kan semalem gue udah janji mau kasih lo gift, ya dia gift-nya.” “Gift my ass! Gue kan udah bilang sama lo kalau nggak bakal main sama cewek random kayak gitu. Gue kan udah punya Sydney.” “Sorry deh, sorry.” ”Ck!” *** Di sebuah rumah kontrakan sederhana. “Dy, hari ini kamu lagi off ya?” tanya Nia, teman serumah Lady karena tidak biasanya jam segini Lady masih tidur-tiduran. “Bukan off, tapi aku izin, kepalaku agak pusing,” jawab Lady yang masih meringkuk di bawah selimut. Nia yang awalnya bertanya sambil berdiri di depan pintu kamar Lady memajukan langkah mendekati gadis itu. ”Kamu sakit, Dy?” tanyanya sembari meraba kening Lady. “Nggak panas,” sambungnya setelah merasakan suhu badan Lady normal dan biasa saja. “Aku nggak demam, cuma sedikit pusing.” ”Kalau gitu aku beliin obat di warung depan ya? Kamu tunggu sebentar.” Lady termenung sendiri sepeninggal Nia. Kejadian yang dialaminya kemarin malam melekat dengan kuat di benaknya. Membuatnya trauma luar biasa. Ia hampir saja diperkosa oleh orang yang tak pernah ia sangka. Bahkan orang itu melakukan kekerasan padanya dengan mengikat kedua tangannya. Bulir-bulir air mata mulai berjatuhan di pipi Lady. Ia teringat kedua orang tuanya yang sudah meninggal dunia. Andai saja mereka masih ada mungkin hidupnya tidak akan sengsara begini. Mungkin ia tidak akan bekerja serabutan demi tetap bisa bertahan hidup dan melanjutkan kuliah. Apalagi sampai bekerja di kelab malam yang begitu penuh risiko. Lady memang masih memiliki saudara. Namun mereka semua menjauh dan tidak ingin mengenalnya lagi. Mereka tidak ingin menanggung warisan utang yang ditinggalkan oleh orang tua Lady. *** Rain berusaha keras melupakan apa yang terjadi kemarin malam. Namun bayang-bayang Lady terus melintas di depan matanya. Rain tidak bisa mengabaikan begitu saja. Semestinya ia bersikap biasa-biasa saja. Toh, mereka gagal melakukannya. Nyatanya ada sekelumit rasa bersalah yang diam-diam menyelinap di hatinya. Merasa ingin tahu tentang keadaan Lady sesudah kejadian itu, setelah pulang dari apartemen Bobby, Rain langsung menuju rumah sakit. Banyak yang ingin ia ketahui dari bundanya mengenai Lady. Perempuan yang hampir ditidurinya malam itu. ”Lho, Rain, tumben ke sini?” Kanayya sedikit kaget saat Rain menemuinya di rumah sakit. ”Aku mau bicara sebentar sama Bunda, itu kalau Bunda lagi nggak sibuk,” ucap Rain serius. Kanayya sempat mengerutkan kening. Pasti ada hal penting yang ingin disampaikan Rain hingga mengejarnya ke rumah sakit. “Mau bicara apa, Rain?” ”Ini tentang cewek itu, Nda.” ”Cewek? Cewek mana?” ”Cewek yang mau Bunda jodohkan sama aku.” “Maksud kamu Lady?” “Iya, dia.” “Kenapa dengan Lady?” ”Sebenarnya siapa dia? Aku ingin tahu tentang dia yang sesungguhnya tanpa ada yang Bunda sembunyikan.” Kanayya membetulkan duduk sebelum menjawab pertanyaan Rain. Ia memandangi muka anaknya itu lekat-lekat. “Bunda kan sudah bilang sebelumnya kalau Lady kerja di sini sebagai cleaning service.” “Tapi kemarin malam aku ketemu dia di kelab malam. Dia kerja di sana. Aku nggak ngerti gimana mungkin dia bisa pura-pura polos dan baik di hadapan Bunda.” “Dia nggak pura-pura, Rain. Lady anaknya memang baik. Soal kerja di kelab malam, itu pekerjaan sampingan dia. Pekerjaan utamanya tetap di sini,” urai Kanayya memberitahu. Ia mengambil jeda sesaat untuk mengamati ekspresi Rain, kemudian meneruskan penjelasannya. “Lady itu tinggal sebatang kara setelah kedua orang tuanya meninggal. Dia harus memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, termasuk untuk membiayai kuliahnya. Dia juga menanggung banyak utang yang ditinggalkan orang tuanya.” Cukup lama Rain terdiam setelah mendengarkan penuturan Kanayya. Jadi cewek itu kuliah sambil kerja dan tidak punya orang tua lagi. Kasihan juga kalau begitu. “Memang keluarganya yang lain nggak ada, Nda?” “Ada, tapi udah nggak mau peduli. Jadi semua dia yang menanggung.” “Oh.” “Sekarang kamu mengerti kan? Itulah sebabnya Bunda ingin menjodohkan kamu dengan dia. Selain baik, dia nggak punya siapa-siapa lagi. Kasihan dia, Rain…” Rain tersenyum samar. Di dalam hatinya merasa kasihan juga. Tapi ia masih menolak mentah-mentah perjodohan itu. Namun lebih baik ia tidak memperlihatkannya pada Kanayya. “Hari ini dia nggak masuk, katanya lagi sakit.” “Sakit apa, Nda?” Suara Rain terdengar antusias. Bukan apa-apa. Jangan-jangan ada hubungannya dengan kejadian tadi malam. Sedikit yang melekat di ingatan Rain, ia mengikat kedua tangan Lady saat itu. ”Bunda kurang tahu. Dibesuk gih, kan calon jodoh,” goda Kanayya sambil tersenyum. ”Apa sih, Nda!” Rain mendelik. “Udah, kamu ke sana aja dulu, kasihan dia sendiri.” Kanayya menulis alamat rumah Lady di secarik kertas dan memberikan pada Rain. ‘Bodoh amat, dia mau sakit juga bukan urusan gue,’ cetus Rain di dalam hati. Namun anggota tubuhnya berkhianat. Rain menyetir mobilnya menuju rumah Lady. ***Lady baru saja menyadari sesuatu. Dompet serta segenap isinya termasuk kartu identitas diri miliknya raib tanpa ia sadari. ‘Astaga! Di mana dia? Di mana dompetku?’Dalam keadaan badannya yang tidak nyaman Lady yang panik berusaha keras mencari dompet tersebut. Ia membongkar apa pun yang berada di kamarnya, namun tetap tidak menemukan apa-apa.Lady semakin cemas. Uang yang berada di dalam dompet tersebut mungkin tidak seberapa. Namun ia tidak akan bisa apa-apa tanpa kartu tanda pengenal yang turut hilang.Lama mencari dan mulai putus asa, Lady merebahkan tubuhnya ke pembaringan. Seakan deritanya belum cukup, kini ia harus diberi ujian lain. Kenapa cobaan bertubi-tubi datang menimpanya? Seolah hidupnya memang ditakdirkan untuk menderita.Air matanya hampir menetes lagi ketika ia mendengar suara ketukan di pintu rumah. Ada seseorang di depan sana. Tapi siapa? Nia sudah berangkat kerja sejak tadi setelah membelikan obat sakit kepala untuknya. Apa mungkin teman serumahnya itu balik lagi?
Menyetir sendiri, Rain pergi meninggalkan rumah kontrakan Lady. Perempuan itu meninggalkan begitu banyak kesan. Jika selama ini banyak wanita yang berebutan ingin tidur dengannya dan menggadaikan harga diri mereka, maka tidak dengan Lady. Malah dia terang-terangan menolak uang pemberian Rain.“Udah susah, masih sombong,” kecam Rain kesal. Tapi Rain bersyukur karena keadaan Lady baik-baik saja setelah kejadian malam itu. Setidaknya perempuan itu masih sehat walafiat dan masih bernapas hingga saat ini.“Lo di mana, Rain?” tanya Ale, sahabat sekaligus manajernya begitu Rain menerima telepon darinya.“Gue on the way, mau balik. Lo ke mana aja sih, nyet? Kenapa ninggalin gue semalem?” Rain balas bertanya. Hingga saat ini ia masih kesal pada ketiga temannya, terutama pada Bobby yang sudah menjebaknya.“Heh, lo duluan yang ngilang, malah bilang ninggalin.”“Ck! Kampret ya lo pada. Gue nggak ninggalin tapi--”“Udah, udah, ntar aja ceritanya. Gue mau kasih tahu, ada job buat lo, mau terima ngg
Tempat itu masih sama seperti biasanya. Sunyi dan menguarkan kesedihan. Meskipun begitu terawat, rapi dan bersih, tapi tetap saja auranya tidak akan pernah berubah.Rain melangkah di samping Kanayya sambil merangkul perempuan itu. Sementara Lady berjalan sendiri di belakang. Sejak awal ia sudah diberitahu kalau mereka akan ke tempat ini. Mengunjungi pusara ayahnya Rain yang meninggal di usia muda.Sekilas yang Lady dengar dari Kanayya, ayahnya itu tidak pernah tahu jika istrinya sedang mengandung anaknya. Menyedihkan. Rain dan Kanayya duduk bersisian menghadap makam. Sedangkan Lady di seberang mereka. Tidak ada suara yang terdengar, termasuk irama napas sekalipun. Ketiganya tampak khusyu’ berdoa.Hingga sesaat kemudian ketika Lady mengangkat muka ia mendapati muka Kanayya yang basah. Perempuan baik yang sangat diseganinya itu menangis.”Nis, aku datang sama anak kita. Sekarang Rain sudah besar. Dia beneran udah jadi pembalap meneruskan cita-cita kamu yang dulu,” isak Kanayya.“Nda, u
Rain menunggu di depan fitting room, sedangkan Lady masih berada di dalam ruangan itu. "Ngapain aja sih dia di dalam sampai selama itu?" gerutu Rain sendiri.Kehabisan rasa sabar, Rain mengetuk pintu fitting room."Hei, lo ngapain aja?" Tidak ada sahutan dari Lady yang membuat Rain bertambah kesal. Ia mengetuk pintu sekali lagi. Sebelum tangannya sempat beradu dengan daun pintu, pintu berwarna putih itu dibuka dari dalam. Sosok Lady kini berdiri tegak di hadapannya."Saya nggak cocok ya pakai baju ini?" tanya perempuan itu pada Rain. Terlihat jelas kalau dia tidak percaya diri.Rain terkesima hingga untuk detik-detik yang lama kehilangan kemampuan mengerjapkan mata."Gimana menurut anda?""Cantik banget, Dy." Suara itu berasal dari seseorang di belakang Rain. Kanayya. "Iya kan, Rain?""B aja," sahut Rain datar. "Ya udah, Nda, aku tunggu di mobil. Sumpek di sini." Lelaki itu lalu pergi meninggalkan keduanya."Dia memang begitu orangnya. Kamu nggak usah ambil hati." Kanayya tersenyum
“Rain, akhirnya kamu datang juga. Tadi Bunda kamu bilang ke Tante kalau nggak bisa datang. Jadinya kamu yang mewakili.”“Iya, Tante, Bunda yang minta aku datang ke sini,” jawab Rain pada Tiwi, teman sang bunda. Keduanya kemudian saling mendekap hangat.Tiwi kemudian mengamati perempuan yang berdiri di sebelah Rain. “Ini pacar baru kamu, Rain?”“Bukan, Tante, ini temenku.”“Temennya cantik banget,” komentar Tiwi saat melihat Lady yang berdiri kaku di sebelah Rain. Lady tersenyum tipis merespon sanjungan yang ditujukan padanya. Masa sih dirinya secantik itu? Ia merasa biasa-biasa saja. Dan selama ini belum pernah ada yang menyanjungnya dengan berlebihan.“Pembalap kita akhirnya datang juga. Tumben nih, lagi nggak sibuk?” River datang ke tengah-tengah mereka.”Nggak, Om, jadwalku kebetulan lagi kosong, makanya bisa ke sini.” Rain beralasan.River kemudian menepuk pelan pundak Rain. “Om bangga sama kamu, Rain. Nggak nyangka di umur semuda ini tapi prestasi kamu udah nggak kehitung lagi.
Rain dan Lady pulang sebelum acara pesta berakhir. Nyaris di sepanjang acara Rain tidak memedulikan dan membiarkan Lady sendirian. Sementara ia sibuk dengan teman-teman yang ditemuinya di tempat itu."Biar aku naik taksi aja," putus Lady saat Rain berniat mengantarnya pulang."Nggak, gue anter lo sampe rumah." Rain menolak ide Lady. Ia tidak mungkin membiarkan perempuan itu pulang sendirian malam-malam begini."Nggak usah kalau nggak ikhlas. Aku lebih baik naik taksi aja.""Lo tuh nggak tau terima kasih banget. Tinggal duduk diam apa salahnya? Masuk!" perintah Rain setelah membuka pintu mobil.Terpaksa Lady mengikuti kemauan laki-laki itu setelah tidak punya alasan lagi untuk menolak. Dengan cepat Rain beralih ke bangku pengemudi dan menyalakan mesin. Dalam diam, Lady mencuri pandang ke arah Rain. Lelaki itu gagah, juga terlihat angkuh di saat bersamaan. Hidungnya yang tinggi semakin menambah kesan arogan apalagi jika dilihat dari samping begini."Lo kenapa ngeliat gue kayak gitu?"
“Rain, kamu kan nggak lagi ngapa-ngapain. Jemput aku nanti siang di bandara. Aku sama Zee balik duluan. Mami sama Papi masih di Sydney.”Rain menghela napas setelah membaca pesan singkat dari Sydney. Sudah seminggu ini Sydney dan keluarganya berlibur ke Sydney. Sesuai dengan namanya, perempuan itu memang lahir di Sydney saat dulu orang tuanya bermukim di sana."Oke, Han, nanti aku jemput kamu." Rain membalas pesan tersebut.Meletakkan ponsel, Rain cepat-cepat mandi. Selama tidak ada kegiatan, hidupnya memang tidak teratur. Tidak ada yang dilakukannya selain tidur-tiduran, ngerokok, minum dan main ponsel.***Wajah cemberut Sydney adalah hal pertama yang dilihat Rain ketika ia sampai di bandara."Kangen banget sama kamu, hidup aku sepi nggak ada kamu," bisik Rain di telinga Sydney ketika ia memeluk erat perempuan itu."Bohong," tuding Sydney mengurai pelukan Rain dari tubuhnya."Bohong gimana?" Kerutan kecil tercipta di dahi Rain.Sydney mengambil ponsel dari dalam tas dan menunjukkan
“Jawab aku, Rain, ini punya siapa?”Rain bangkit dari ranjang, berjalan ke arah sofa mendekati Sydney. “Oh itu. Kemarin aku nemenin Bunda ke butik, terus Bunda mampir ke sini." Rain memamerkan senyum maut yang biasanya selalu berhasil membuat Sydney luluh."Tumben banget Bunda kamu belanja baju. Udah gitu kamu juga mau nemenin." Sydney masih tak percaya pada alasan yang disampaikan Rain."Nggak ada yang aneh kok, Han. Kadang-kadang Bunda emang suka belanja baju. Karena aku lagi nggak ada kegiatan makanya Bunda minta aku buat nemenin. Udah ah, masa kayak gitu aja ngebahasnya sampe satu jam. Aku kangen nih. Ke sana yuk!" Rain mengedipkan sebelah mata menggoda Sydney seraya melirik ranjang."Aku juga mau ditemenin beli baju." Sydney merengek manja."Iya... nanti aku temenin tapi sekarang sayang-sayangan dulu dong, udah penuh nih," janji Rain sembari menarik pelan tangan Sydney menuju ranjang.Desahan halus mencuri keluar dari bibir Sydney kala Rain mengecup leher jenjangnya."Jangan kasi
Rain dan Lady duduk anteng di belakang, sedangkan Ale menyetir gelisah di belakang kemudi. To be honest, Ale merasa kurang nyaman dengan kehadiran Alana di sebelahnya. Tadinya ia ingin meminta agar Rain saja yang duduk di depan bersamanya. Sayangnya sang sahabat sudah berkata duluan dan meminta agar tantenya saja yang duduk di depan.Berada sedekat ini dengan Ale sudah cukup menggetarkan hati Alana. Kebahagiaannya memang sereceh itu. Ale mungkin tidak tahu seberapa besar perasaan Alana padanya.Alana mengenal Ale dari Zee. Kala itu sahabatnya tersebut mengatakan padanya bahwa Ale adalah putra mahkota kerajaan sebelah. Sejak awal melihat laki-laki itu Alana sudah tertarik. Ale yang cuek, cool dan menyimpan banyak misteri membuatnya penasaran. Saat mengetahui bahwa Ale menjadi asisten pribadi Rain, Alana pikir ia selangkah lebih dekat dengan Ale. Nyatanya Alana salah. Mendekati lelaki itu ternyata tidaklah semudah yang ia bayangkan.Di jok belakang Rain dan Lady sedang bermesraan. Kedua
“Duh, capek banget.” Rain menggeliat, meregangkan otot-ototnya yang kaku. Penerbangan panjang yang baru saja dijalaninya membuat tubuhnya lelah. Hal yang paling diinginkannya saat ini hanyalah beristirahat melepas penat.Rain meminta Lady yang baru saja masuk ke kamar agar mendekat padanya. “Lad, pijitin dong, aku capek banget.”Lady mengabaikan kondisi tubuhnya sendiri dan memenuhi apa yang diinginkan Rain. Tangannya memijit bagian tubuh lelaki itu. Mulai dari pundak, punggung hingga betisnya.“Enak banget pijitan kamu, Lad, bikin nagih.” Rain bergumam pelan di sela-sela kantuk yang mulai mendatanginya.Lady tersenyum tipis. “Dasar modus.””Lad, aku tidur ya, nggak apa-apa kan? Udah ngantuk nih.”“Tumben pake minta izin.”“Ntar kamunya marah kalau aku tinggal tidur.”“Ngapain juga aku marah? Orang ngantuk kok dilarang tidur.”“Sini, aku maunya tidur ditemenin sama kamu.””Katanya mau dipijit.””Pijitnya sambil rebahan bareng aku.” Rain merengkuh Lady hingga jatuh berbaring di sebelah
“Welcome home…”Lady berbisik sendiri begitu pesawat yang ditumpanginya baru saja berada di bawah langit Jakarta. Tiga hari mungkin terlalu singkat untuk menjelajah seisi Amsterdam. Tapi apa yang dialaminya selama lebih kurang sepuluh hari ini di sebagian wilayah eropa memberi kesan yang mendalam.Pemberitahuan yang mengudara di seantero pesawat agar para penumpang bersiap-siap dan memasang sabuk pengaman menandakan bahwa sesaat lagi mereka akan mendarat.Alana sudah standby di terminal kedatangan penerbangan internasional. Sudah sejak tadi ia menanti kedatangan ponakan dan istrinya.Terasa ada yang berbeda kali ini. Jika biasanya Ale yang mengantar dan menjemput ke mana-mana, maka kali ini tidak. Rain merasakan ada yang kurang tanpa Ale.“Cieee… yang baru pulang honeymoon.” Ledekan Alana menyambut kedatangan Rain dan Lady. “Mana cucu aku?”Rain terkekeh. “Dipikir bikin anak kayak bikin kue putu apa? Habis cetak langsung mateng.”Alana juga tertawa menimpali kekehan Rain. Ia kemudian
Hari pertama setelah tiba di Amsterdam Rain dan Lady mengisi waktu dengan mengelilingi kota itu.Mereka menggunakan sepeda menyusuri jalan-jalan di Amsterdam yang tidak begitu lebar. Bangunan yang mereka lihat di kanan dan kiri jalan masih mempertahankan bentuk aslinya. Terlihat klasik dan bernilai seni tinggi.Kehadiran kanal merupakan hal lain yang mereka saksikan di sana. Meskipun airnya tidak terlalu jernih namun perahu yang berlalu lalang merupakan daya tarik tersendiri yang membuat mata betah memandang.Saat ini sudah memasuki musim semi di Amsterdam. Udara yang baru saja menghangat di sana membuat banyak orang menghabiskan waktu di pinggir kanal. Mereka membaca buku sambil menikmati secangkir kopi dan bercengkrama dengan sesama. Ada juga yang datang ke sana hanya untuk berjemur sambil merenung.Bersepeda di Amsterdam bukan lagi hal yang luar biasa dan membuat tercengang. Bahkan area pedestrian di sana lebih mendapat perhatian khusus dari pemerintah setempat.Rain dan Lady menep
Rain dan Lady duduk di ruang tamu menanti sang empunya rumah. Semestinya Rain bisa langsung menerobos ke dalam karena rumah tersebut adalah rumah kakek neneknya sendiri. Namun Rain masih menjunjung tata krama dengan memilih menunggu di ruang tamu.Selagi menanti, Lady mulai menebak-nebak seperti apa penampakan orang yang akan mereka temui. Debaran jantungnya kian mengencang. Perasaan cemas tidak bisa diterima dengan baik kembali menghantuinya meskipun Rain sudah meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.Tak lama kemudian sepasang suami istri yang tidak lagi muda muncul dari arah dalam. Wajah keduanya begitu semringah begitu melihat langsung sosok yang mereka rindukan kini berada tepat di depan mata mereka.Rain dan Lady sama-sama berdiri.“Rain…”“Papa…”Rain dan Rasya saling berpelukan melepas rindu yang selama ini tertahan. Selama hitungan menit keduanya saling mendekap.Ingat pada istrinya yang juga sangat merindukan sang cucu, Rasya mengurai pelukan dari Rain dan memberi kesempa
Lady diam saja saat Rain terus menceramahinya. Justru sekarang pikirannya hanya tertuju pada seseorang yang jauh berada di benua sana. Lady sudah tidak sabar ingin menceritakan pada Ale mengenai pertemuannya dengan perempuan gipsi tadi. Lady yakin, hanya Ale yang akan memahaminya mengenai pergipsian ini. Sedangkan Rain sudah antipati duluan. Rain bukan pendengar yang baik untuk hal ini.“Kenapa diam aja?” tanya Rain yang baru menyadari jika Lady bungkam sejak tadi dan tidak merespon apa pun yang ia katakan.“Kan aku lagi dengerin kamu ngomong,” balas Lady.“Emang orang tadi bilang apa aja sih sama kamu?” Meskipun tidak pernah memercayai hal semacam itu namun Rain merasa penasaran juga dan tidak tahan untuk tidak bertanya.Lady ingin berterus terang, tapi merasa ragu. Ia khawatir akan penilaian negatif Rain nanti. Alhasil ia pun mendustai suaminya.”Dia cuma nanya nama aku.”“Terus?””Dia nanya aku berasal dari mana.”“Next?”Lady terdiam untuk sesaat. Apa ya tanggapan Rain jika tahu r
lLady terkikik geli ketika Rain menceritakan padanya mengenai obrolan dengan orang tua Reza. Siapa pun yang tidak mengenal pria itu pasti tidak akan menyangka kalau Reza mengalami gangguan jiwa. Secara kasat mata Reza tampak gagah, sehat, segar bugar dan baik-baik saja.”Bangke emang, bisa-bisanya gue dikerjain orang sakit,” rutuk Rain antara geli serta jengkel.Tawa Lady bertambah keras. Geli melihat Rain saat ini. “Pantes aja dia lebay banget ke aku. Gombalan-gombalannya bikin aku eneg, untung aja aku nggak muntah di depan dia.”Rain menimpali tawa Lady. “Emang dia bilang apa ke kamu?” tanyanya ingin tahu.”Dia bilang aku cantik, mandiri, aku perempuan istimewa, pokoknya ya gitu deh. Kamu ngeliat nggak kemarin waktu di restoran banyak banget makanan di atas meja aku? Itu semua dia yang suruh. Padahal jatah sarapan aku udah habis. Tapi emang enak-enak sih makanannya.”“Aku nggak lihat.”“Gimana mau lihat, kamu-nya udah keburu emosi. Nggak tahu aja dia yang dicemburui orang sakit. Hah
Matahari sudah tenggelam sempurna ketika Rain dan Lady tiba di hotel. Syukurlah mereka tidak bertemu dengan Reza. Cowok gesrek dengan mulut tanpa filter yang super duper menyebalkan.Setibanya di kamar keduanya sama-sama merebahkan tubuh ke pembaringan. Hari ini terasa sangat melelahkan ketimbang hari-hari sebelumnya.“Gimana? Ada berasa sakit?” tanya Rain ingin tahu keadaan Lady setelah merajah tato tadi.Lady menggelengkan kepala. “Udah enggak.” Tadi saat dirajah ia hanya merasakan sedikit rasa perih. Jika setelahnya mereka mengalami efek samping seperti alergi, gatal-gatal atau pun ruam pada kulit, mereka diharuskan untuk datang kembali.Tangan Rain lantas terulur mengusap-usap kepala Lady yang berbaring miring menghadap padanya. Keduanya tidak habis pikir pada apa yang mereka lakukan berdua.“Lad, udah yuk rebahannya. Kita check out sekarang,” cetus Rain tiba-tiba ketika ingat rencananya tadi untuk check out sorenya. Bahkan sekarang hari sudah malam.“Duh, Rain, aku capek banget,
Oh, shit!Rain dan Lady bertemu lagi dengan Reza di lobi kala mereka melintas sebelum keluar dari hotel. Pria itu sedang duduk di sofa dan berbicara dengan seseorang yang entah siapa. Mungkin salah tamu di hotel itu.Reza melempar senyum pada keduanya yang disambut Rain dengan lengosan kepala, pun dengan Lady yang buru-buru memalingkan muka. Diabaikan seperti itu bukannya sadar diri jika Rain sedang marah padanya, Reza malah berseru.“Rain! Lady! Cuaca teduh begini saya sarankan kalian ke Piazza San Marco.”Lady akhirnya memutar kepala, sekadar menghargai pria itu. “Terima kasih.”Reza balas tersenyum. Dari tempatnya duduk ia memandangi punggung Lady lekat-lekat hingga menghilang dari pandangannya. Kemudian, ia pun bangkit mengakhiri obrolan dengan lawan bicaranya.Setelah keluar dari hotel Rain mengajak Lady berjalan kaki seperti kebanyakan para wisatawan di sana. Meskipun menyimpan magnet dan cerita bagi ribuan turis yang terus membanjir setiap hari, namun sebenarnya Venice sangat