Lady baru saja menyadari sesuatu. Dompet serta segenap isinya termasuk kartu identitas diri miliknya raib tanpa ia sadari.
‘Astaga! Di mana dia? Di mana dompetku?’ Dalam keadaan badannya yang tidak nyaman Lady yang panik berusaha keras mencari dompet tersebut. Ia membongkar apa pun yang berada di kamarnya, namun tetap tidak menemukan apa-apa. Lady semakin cemas. Uang yang berada di dalam dompet tersebut mungkin tidak seberapa. Namun ia tidak akan bisa apa-apa tanpa kartu tanda pengenal yang turut hilang. Lama mencari dan mulai putus asa, Lady merebahkan tubuhnya ke pembaringan. Seakan deritanya belum cukup, kini ia harus diberi ujian lain. Kenapa cobaan bertubi-tubi datang menimpanya? Seolah hidupnya memang ditakdirkan untuk menderita. Air matanya hampir menetes lagi ketika ia mendengar suara ketukan di pintu rumah. Ada seseorang di depan sana. Tapi siapa? Nia sudah berangkat kerja sejak tadi setelah membelikan obat sakit kepala untuknya. Apa mungkin teman serumahnya itu balik lagi? Ketukan di depan pintu yang semakin intens membuat Lady tidak bisa tetap tinggal diam. Dengan tertatih ia keluar dari kamar menuju ruang depan. “Iya, sebentar!” Lady menyahut, meredam ketidaksabaran sang pengetuk pintu. Lady memutar knop. Dan… Begitu mengetahui yang datang mengunjunginya adalah lelaki yang hampir saja memerkosanya, membuat rasa benci dan kemarahannya kembali mengubun-ubun. ”Jangan ditutup. Gue mau ngomong sama lo,” larang Rain sembari menahan daun pintu agar tetap terbuka. “Saya nggak sudi bicara sama orang sebejat anda. Saya nggak mau bertemu lagi dengan pemerkosa seperti anda.” “Apa? Lo bilang gue pemerkosa?” balas Rain tidak terima. Seenaknya saja perempuan itu menudingnya. “Lo jangan asal tuduh. Maksud gue ke sini tuh baik. Biar lo nggak salah paham. Justru sekarang gue yang mau tanya sama lo, kenapa lo bisa ada di kamar itu? Jangan-jangan bener lagi kalau lo open BO!” “Jaga mulut anda. Jangan sembarangan kalau bicara. Saya ini perempuan baik-baik,” balas Lady atas tuduhan Rain padanya. Rain mendengkus dan memandang sinis. “Perempuan baik-baik tempatnya bukan di sana. Kalau lo memang perempuan baik-baik, jam segitu seharusnya lo ada di rumah. Bukan di kelab malam, apalagi sampai di kamar hotel. Apa pantas perempuan baik-baik ada di sana?” “Tuan pembalap yang terhormat, anda jangan melecehkan saya. Saya hanya melaksanakan pekerjaan saya sebaik mungkin. Jadi jangan pernah merendahkan saya.” ”Gue akan maklumin kalau lo kerja jadi pelayan yang kerjanya cuma mengantar minuman. Tapi ternyata lo emang pelayan plus-plus! Heran gue sama Bunda, masa cewek kayak gini mau dijodohin ke gue.” Rain geleng-geleng kepala sembari tetap memandang Lady dengan sinis. “Anda terlalu merendahkan saya. Saya sama sekali tidak sama seperti yang ada di pikiran anda.” Rain tersenyum miring pada Lady yang terus mencoba membela diri. Mengingat kejadian kemarin malam menumbuhkan dugaan di benaknya bahwa itu adalah kali pertama Lady menjual diri, buktinya perempuan itu masih virgin. “Sebelum anda menuduh saya yang bukan-bukan seharusnya anda berkaca dulu. Justru apa yang anda lakukan pada saya jauh lebih bejat.” Rain melipat tangan di depan dada. Ia menatap lurus-lurus pada perempuan di hadapannya. “Kalau gue memang bejat, jadi perempuan yang menjual diri kayak lo apa namanya?” Mendengar tudingan Rain yang semakin menjadi-jadi, Lady tidak mampu lagi menahan emosi. “Saya tidak menjual diri! Saya ke sana karena disuruh mengantar cocktail!” Rain berjengit mendengar nada suara Lady yang meninggi. “Siapa yang menyuruh lo?” “Saya tidak tahu, tapi orang itu ada bersama anda waktu di kelab.” “Maksud lo Bobby?” Lady mengedikkan bahu. Mana urusannya menanyakan nama orang itu. Yang menjadi pekerjaannya adalah melaksanakan segala sesuatunya menurut permintaan pengunjung dengan sebaik mungkin. ”Sekarang lo bilang ke gue dan ceritain kronologinya baik-baik,” pinta Rain tegas. “Ada tamu yang minta saya untuk mengantar cocktail ke kamar 301. Dia keburu pergi sebelum saya sempat menjawab.” “Orangnya gimana?” Lady kemudian menjelaskan semampu yang ia bisa mengenai laki-laki tersebut, yang membuat Rain menjadi tahu bahwa pria tersebut adalah Bobby. Ia hanya bisa geleng-geleng kepala. ”Sekarang lo dengerin gue baik-baik,” ucap Rain tegas agar Lady tidak berpikiran macam-macam mengenainya. “Lo tahu sendiri kan kalau lo tuh bukan tipe gue? Amit-amit gue mau nidurin lo. Yang ada ntar gue bisa kena sifilis. Soal kejadian kemarin malam lo jangan salah paham. Gue dikerjain temen sampe mabuk. Gue nggak tahu kalau cewek itu adalah lo. Gue kasihan sama lo. Kalau hidup lo memang susah, tapi nggak sampe jual diri juga dong. Sekarang lo butuh berapa?” Rain buru-buru mengeluarkan dompet dan mengambil uang dari sana. “Cukup segini?” Lady menahan amarah sekuat yang ia bisa. Laki-laki di depannya ini benar-benar sudah menghina dan menjatuhkan harga dirinya. Ingin rasanya memplaster mulut tanpa filternya. Berapa pun uang yang diberikan Rain tidak akan mampu menggantikan rasa sakitnya malam itu. Saat Rain melecehkannya, mengikat tangannya, lalu… menjamah tubuhnya hingga mereka nyaris saja bercinta. Lady benci membayangkan saat Rain menyesap bibirnya dan melumatnya dengan penuh gairah. Tidak hanya bibir, namun laki-laki itu meninggalkan jejak di setiap inci bagian tubuhnya. Andai saja bisa, Lady ingin menghapus bekas laki-laki itu di sana. Dari sekian banyak hari-hari buruknya, malam itu adalah malam paling naas dan menyakitkan dalam hidupnya. ”Simpan kembali uang anda, saya tidak butuh. Satu hal yang harus anda ingat, tidak semua bisa dibeli dengan uang!” geram Lady menolak mentah-mentah berlembar-lembar uang pemberian Rain. Rain tertegun. Sedangkan tangannya menggantung di udara dengan uang dalam genggaman. “Sombong banget sih lo! Apa duit segini masih belum cukup? Jadi lo maunya berapa?” Lady menahan napas. Mencoba kuat agar tetap bisa bersabar. Dugaannya ternyata benar. Rain tidak lebih dari laki-laki kaya yang arogan dan berpikir bahwa semua bisa diselesaikan dengan uang. Lady tidak butuh semua itu. Ia hanya ingin Rain meminta maaf dan mengakui segala kesalahannya malam itu meskipun menurut lelaki itu ia dikerjai temannya. Tapi Rain bukanlah tipe orang yang mudah mengeluarkan kata maaf. Baginya kata maaf itu mahal. Ajaib jika ia sampai meminta maaf apalagi pada perempuan seperti Lady. Sampai lebaran monyet juga nggak bakal kejadian. “Sekarang saya minta anda segera pergi dari sini, saya mau istirahat,” usir Lady tegas. “Oke, gue akan pergi. Lo pikir gue ke sini dengan sukarela? Waktu gue terlalu berharga buat ngunjungin orang nggak penting kayak lo. Asal lo tahu ya, gue ke sini cuma buat balikin ini.” Rain menyimpan kembali uangnya dan memberikan dompet dan kartu tanda pengenal milik Lady. Lady terperangah. Ini dia yang dicarinya dan membuat pusing kepalanya. “Kenapa KTP dan dompet saya bisa ada sama anda?” Bukannya menjawab, Rain malah tersenyum asimetris. “Kalau lo memang cewek baik-baik dan bukannya cewek nggak bener, lo buktiin. Tinggalin pekerjaan lo di sana. Terlalu berisiko.” Kemudian Rain pergi begitu saja, meninggalkan Lady yang berdiri terpaku di depan pintu. Baru saja kakinya bergerak beberapa langkah, Rain memutar tubuh. “Lo denger ya, lo jangan geer. Gue bukannya peduli sama lo. Dan sekali lagi gue ingetin, gue nggak akan membiarkan perjodohan nggak masuk akal ini terjadi. Lo bukan tipe gue. Catet!” Astaga. Ini entah untuk keberapa kalinya Rain mengucapkan hal yang sama. Andai saja laki-laki itu tahu jika dia juga bukan tipe Lady. Biar saja seribu perempuan mengelu-elukannya dan berebut ingin tidur dengannya, tapi bagi Lady meskipun makhluk berjenis laki-laki punah dan binasa dari muka bumi ini dan hanya Rain satu-satunya yang tersisa, ia tidak akan pernah memberikan dirinya pada laki-laki itu andai tidak terpaksa. Ya, terpaksa. Seperti saat ini. Kanayya sudah terlalu banyak membantunya, terutama dari segi finansial. Bahkan pernah menyelamatkannya dari debt collector yang hampir saja menganiayanya. Tapi tetap saja warisan utang dari kedua orang tuanya tidak ada habisnya. Lady juga tidak habis pikir bagaimana mungkin wanita berhati malaikat seperti Kanayya bisa memiliki anak seperti iblis. Wajahnya saja yang baby face, namun kelakuan nggak ada bedanya sama devil. Dari Rain Lady jadi tahu bahwa tidak selamanya bentuk wajah berbanding lurus dengan karakter. “Dibilangin malah bengong, denger nggak sih lo?” Suara Rain mengejutkan Lady, membuyarkan lamunan singkatnya. Perempuan itu lalu memandang lurus pada Rain dan berucap dengan suaranya yang tegas, “Kalau pun harus menikah, aku lebih memilih menikah dengan buaya daripada laki-laki buaya seperti kamu.” What the heck! Rain melongo mendengar perkataan Lady. Sebelum ia sempat membalas apa-apa, perempuan yang di matanya menyebalkan itu sudah keburu masuk ke dalam rumah dan menutup pintu rapat-rapat. ***Menyetir sendiri, Rain pergi meninggalkan rumah kontrakan Lady. Perempuan itu meninggalkan begitu banyak kesan. Jika selama ini banyak wanita yang berebutan ingin tidur dengannya dan menggadaikan harga diri mereka, maka tidak dengan Lady. Malah dia terang-terangan menolak uang pemberian Rain.“Udah susah, masih sombong,” kecam Rain kesal. Tapi Rain bersyukur karena keadaan Lady baik-baik saja setelah kejadian malam itu. Setidaknya perempuan itu masih sehat walafiat dan masih bernapas hingga saat ini.“Lo di mana, Rain?” tanya Ale, sahabat sekaligus manajernya begitu Rain menerima telepon darinya.“Gue on the way, mau balik. Lo ke mana aja sih, nyet? Kenapa ninggalin gue semalem?” Rain balas bertanya. Hingga saat ini ia masih kesal pada ketiga temannya, terutama pada Bobby yang sudah menjebaknya.“Heh, lo duluan yang ngilang, malah bilang ninggalin.”“Ck! Kampret ya lo pada. Gue nggak ninggalin tapi--”“Udah, udah, ntar aja ceritanya. Gue mau kasih tahu, ada job buat lo, mau terima ngg
Tempat itu masih sama seperti biasanya. Sunyi dan menguarkan kesedihan. Meskipun begitu terawat, rapi dan bersih, tapi tetap saja auranya tidak akan pernah berubah.Rain melangkah di samping Kanayya sambil merangkul perempuan itu. Sementara Lady berjalan sendiri di belakang. Sejak awal ia sudah diberitahu kalau mereka akan ke tempat ini. Mengunjungi pusara ayahnya Rain yang meninggal di usia muda.Sekilas yang Lady dengar dari Kanayya, ayahnya itu tidak pernah tahu jika istrinya sedang mengandung anaknya. Menyedihkan. Rain dan Kanayya duduk bersisian menghadap makam. Sedangkan Lady di seberang mereka. Tidak ada suara yang terdengar, termasuk irama napas sekalipun. Ketiganya tampak khusyu’ berdoa.Hingga sesaat kemudian ketika Lady mengangkat muka ia mendapati muka Kanayya yang basah. Perempuan baik yang sangat diseganinya itu menangis.”Nis, aku datang sama anak kita. Sekarang Rain sudah besar. Dia beneran udah jadi pembalap meneruskan cita-cita kamu yang dulu,” isak Kanayya.“Nda, u
Rain menunggu di depan fitting room, sedangkan Lady masih berada di dalam ruangan itu. "Ngapain aja sih dia di dalam sampai selama itu?" gerutu Rain sendiri.Kehabisan rasa sabar, Rain mengetuk pintu fitting room."Hei, lo ngapain aja?" Tidak ada sahutan dari Lady yang membuat Rain bertambah kesal. Ia mengetuk pintu sekali lagi. Sebelum tangannya sempat beradu dengan daun pintu, pintu berwarna putih itu dibuka dari dalam. Sosok Lady kini berdiri tegak di hadapannya."Saya nggak cocok ya pakai baju ini?" tanya perempuan itu pada Rain. Terlihat jelas kalau dia tidak percaya diri.Rain terkesima hingga untuk detik-detik yang lama kehilangan kemampuan mengerjapkan mata."Gimana menurut anda?""Cantik banget, Dy." Suara itu berasal dari seseorang di belakang Rain. Kanayya. "Iya kan, Rain?""B aja," sahut Rain datar. "Ya udah, Nda, aku tunggu di mobil. Sumpek di sini." Lelaki itu lalu pergi meninggalkan keduanya."Dia memang begitu orangnya. Kamu nggak usah ambil hati." Kanayya tersenyum
“Rain, akhirnya kamu datang juga. Tadi Bunda kamu bilang ke Tante kalau nggak bisa datang. Jadinya kamu yang mewakili.”“Iya, Tante, Bunda yang minta aku datang ke sini,” jawab Rain pada Tiwi, teman sang bunda. Keduanya kemudian saling mendekap hangat.Tiwi kemudian mengamati perempuan yang berdiri di sebelah Rain. “Ini pacar baru kamu, Rain?”“Bukan, Tante, ini temenku.”“Temennya cantik banget,” komentar Tiwi saat melihat Lady yang berdiri kaku di sebelah Rain. Lady tersenyum tipis merespon sanjungan yang ditujukan padanya. Masa sih dirinya secantik itu? Ia merasa biasa-biasa saja. Dan selama ini belum pernah ada yang menyanjungnya dengan berlebihan.“Pembalap kita akhirnya datang juga. Tumben nih, lagi nggak sibuk?” River datang ke tengah-tengah mereka.”Nggak, Om, jadwalku kebetulan lagi kosong, makanya bisa ke sini.” Rain beralasan.River kemudian menepuk pelan pundak Rain. “Om bangga sama kamu, Rain. Nggak nyangka di umur semuda ini tapi prestasi kamu udah nggak kehitung lagi.
Rain dan Lady pulang sebelum acara pesta berakhir. Nyaris di sepanjang acara Rain tidak memedulikan dan membiarkan Lady sendirian. Sementara ia sibuk dengan teman-teman yang ditemuinya di tempat itu."Biar aku naik taksi aja," putus Lady saat Rain berniat mengantarnya pulang."Nggak, gue anter lo sampe rumah." Rain menolak ide Lady. Ia tidak mungkin membiarkan perempuan itu pulang sendirian malam-malam begini."Nggak usah kalau nggak ikhlas. Aku lebih baik naik taksi aja.""Lo tuh nggak tau terima kasih banget. Tinggal duduk diam apa salahnya? Masuk!" perintah Rain setelah membuka pintu mobil.Terpaksa Lady mengikuti kemauan laki-laki itu setelah tidak punya alasan lagi untuk menolak. Dengan cepat Rain beralih ke bangku pengemudi dan menyalakan mesin. Dalam diam, Lady mencuri pandang ke arah Rain. Lelaki itu gagah, juga terlihat angkuh di saat bersamaan. Hidungnya yang tinggi semakin menambah kesan arogan apalagi jika dilihat dari samping begini."Lo kenapa ngeliat gue kayak gitu?"
“Rain, kamu kan nggak lagi ngapa-ngapain. Jemput aku nanti siang di bandara. Aku sama Zee balik duluan. Mami sama Papi masih di Sydney.”Rain menghela napas setelah membaca pesan singkat dari Sydney. Sudah seminggu ini Sydney dan keluarganya berlibur ke Sydney. Sesuai dengan namanya, perempuan itu memang lahir di Sydney saat dulu orang tuanya bermukim di sana."Oke, Han, nanti aku jemput kamu." Rain membalas pesan tersebut.Meletakkan ponsel, Rain cepat-cepat mandi. Selama tidak ada kegiatan, hidupnya memang tidak teratur. Tidak ada yang dilakukannya selain tidur-tiduran, ngerokok, minum dan main ponsel.***Wajah cemberut Sydney adalah hal pertama yang dilihat Rain ketika ia sampai di bandara."Kangen banget sama kamu, hidup aku sepi nggak ada kamu," bisik Rain di telinga Sydney ketika ia memeluk erat perempuan itu."Bohong," tuding Sydney mengurai pelukan Rain dari tubuhnya."Bohong gimana?" Kerutan kecil tercipta di dahi Rain.Sydney mengambil ponsel dari dalam tas dan menunjukkan
“Jawab aku, Rain, ini punya siapa?”Rain bangkit dari ranjang, berjalan ke arah sofa mendekati Sydney. “Oh itu. Kemarin aku nemenin Bunda ke butik, terus Bunda mampir ke sini." Rain memamerkan senyum maut yang biasanya selalu berhasil membuat Sydney luluh."Tumben banget Bunda kamu belanja baju. Udah gitu kamu juga mau nemenin." Sydney masih tak percaya pada alasan yang disampaikan Rain."Nggak ada yang aneh kok, Han. Kadang-kadang Bunda emang suka belanja baju. Karena aku lagi nggak ada kegiatan makanya Bunda minta aku buat nemenin. Udah ah, masa kayak gitu aja ngebahasnya sampe satu jam. Aku kangen nih. Ke sana yuk!" Rain mengedipkan sebelah mata menggoda Sydney seraya melirik ranjang."Aku juga mau ditemenin beli baju." Sydney merengek manja."Iya... nanti aku temenin tapi sekarang sayang-sayangan dulu dong, udah penuh nih," janji Rain sembari menarik pelan tangan Sydney menuju ranjang.Desahan halus mencuri keluar dari bibir Sydney kala Rain mengecup leher jenjangnya."Jangan kasi
Rain melangkah cepat mengejar Lady. Begitu satu langkah berada di belakang perempuan itu ia berhasil mencekal lengannya.Lady tersentak dan sontak menoleh ke belakang. "Sakit, lepasin tanganku!""Ikut gue sekarang!" Rain menyeret paksa Lady agar mengikutinya. Laki-laki itu membawa ke arah toilet. "Duh, sakit... lepasin!" Lady tidak bohong. Cekalan Rain di tangannya terlalu kuat dan membuatnya kesakitan.Rain tidak peduli. Ia menyandarkan perempuan itu di dinding lorong toilet. "Gue kan udah bilang jangan kerja di sini lagi, kenapa lo masih ngeyel?"Lady mengernyit. Tatapan mata Rain yang menusuk terasa begitu mengintimidasinya."Bukan urusanmu aku mau kerja di mana. Kok jadi kamu yang ngatur?" Lady menarik tangannya yang dicekal Rain sejak tadi."Jelas jadi urusan gue karena--""Karena apa?"Rain terdiam, kehilangan kata-kata untuk bicara."Pokoknya gue nggak mau lo kerja di sini lagi. Gue nggak suka."Lady tersenyum awkward menyaksikan lelaki di hadapannya. Tidak mengerti pada sik
Kalau ada orang paling rese', selalu membuat repot dan menyusahkan orang lain, maka Lady adalah orangnya. Setidaknya itu menurut Rain. “Kasihan dia pakai motor hujan-hujan begini, Rain, kamu antar sebentar ya…” Kalimat penuh permintaan yang disampaikan Kanayya membuat Rain tidak memiliki alasan apa-apa lagi untuk menolak.Dan saat ini perempuan itu duduk seperti anak kucing yang kedinginan di sebelahnya. Lady menyilangkan tangan, memeluk dirinya sendiri. Lebih dari lima menit yang lalu ia tidak bersuara sepatah kata pun. Hingga kemudian celetukan perempuan itu membuat Rain harus menoleh padanya.“Rain, sorry, bisa anterin aku ke rumah dulu? Baju kerjaku ketinggalan, aku nggak mungkin pake baju ini.” Lady juga baru menyadari hal tersebut. Bahkan hingga sekarang ia masih memakai baju Alana tadi.“Apa lo bilang? Mau ke rumah lo dulu? Lo pikir gue sopir yang bisa ngenterin lo ke mana-mana? Lagian udah gue bilang dari dulu jangan kerja di sana lagi, tapi lo masih nggak mau dengerin gue. A
Selama beberapa saat Rain hanya bisa termangu memandang ponsel dalam genggamannya. Ia bingung harus menjawab apa. ‘Duh, gimana nih? Nggak enak sama Bunda udah masak masakan kesukaan aku, tapi ntar kalau nggak jadi pasti Sydney bakal ngambek,’ pikir Rain.Kalau Bunda yang merajuk masih bisa diatasi. Tapi kalau Sydney? Jari-jari Rain kemudian bergerak membalas pesan dari perempuan itu.“Jadi dong, Han. Dandan yang cantik ya, nanti aku jemput kamu.”Balasan dari Sydney datang beberapa detik setelahnya. “As you wish, Bae. Love you.”“Love you more, Han…”***Di ruang belakang, Lady, Kanayya serta Bi Titi sedang masak bersama. Lady terlihat tidak canggung saat memegang benda-benda dapur karena sudah biasa melakukannya.“Dy, kamu udah tahu belum makanan kesukaan Rain?” tanya Kanayya pada Lady.”Belum, Dok,” jawab Lady yang baru saja memasukkan daging ke dalam panci presto.“Rain tuh suka sama sop daging yang mau kita masak sekarang. Nggak cuma sop, apa pun olahan daging Rain pasti suka. Ta
"Rain, keluar dulu, temenin Lady gih," suruh Kanayya pada Rain setelah memanggilnya di kamar Alana."Ck! Kenapa harus ditemenin segala, Nda? Siapa suruh dia ke sini?" "Bunda yang suruh," jawab Kanayya tegas. Bukan apa-apa, Kanayya hanya ingin mendekatkan Lady dengan Rain."Aku capek, Nda,mau istirahat." Rain masih menolak, tidak ingin bertemu dengan perempuan itu."Rain, kamu lupa janji kamu sama Bunda?""Aku nggak lupa, aku inget kok, tapi--""Rain, jangan membantah." Kanayya seperti tahu betapa putranya itu teramat menyayanginya dan tidak akan berani menolaknya."Iya, Nda, iya..." Dengan berat hati Rain bangkit dari ranjang lalu menyeret langkah terpaksa keluar dari kamar. Lady sedang melamun sendiri saat Rain muncul di depannya. Hanya dengan mengenakan kaos rumahan serta rambut yang awut-awutan, laki-laki itu sudah sedemikian menarik."Ngapain lo hujan-hujan ke sini? Kangen sama gue?" tanya Rain ketus begitu baru saja mendudukkan diri di sofa tunggal yang berada di hadapan Lady.
"Tumben banget Bunda sama Tante duduk bareng?" sapa Rain setelah turun dari mobil. Ia ikut bergabung duduk bersama kedua perempuan beda generasi itu."Kamu juga tumben ke sini?" balas Alana senada."Tiba-tiba aja aku kangen sama Tante makanya aku ke sini.""Tuh kan, panggil Tante lagi." Alana merengut.Rain tertawa renyah. Mengganggu dan menggoda Alana adalah hobinya dari dulu. Rain belum akan puas jika belum melihat perempuan itu merengut kesal. Andai saja Alana tahu betapa menggemaskan ekspresinya saat itu. Jika Alana bukan tantenya sudah Rain pacari dari dulu."Kamu ini, Rain, kapan sih nggak bikin tantemu kesal?" kata Kanayya menimpali. Rain tertawa lagi. "Lady mana?""Mana aku tahu, Nda, emangnya aku serumah sama dia?" sahut Rain ringan."Maksud Bunda, kenapa kamu nggak ajak dia ke sini sekalian?""Ngapain juga aku ajak dia, lagian bukannya dia kerja ya?”“Oh iya, Bunda lupa.” Kanayya kemudian membetulkan posisi duduknya. “Gimana hubungan kamu sama dia?”“Ya gitu deh.”“Gitu gi
Rain baru saja mengantarkan Sydney ke rumahnya ketika dering ponselnya terdengar. Ia mengerutkan kening demi meyakinkan jika penglihatannya tidak salah saat melihat nama penelepon yang tertera di layar.'Ngapain Opi nelfon gue?' Hatinya bertanya-tanya. Opi adalah orang tua laki-laki ayahnya.Menyadari jika pertanyaannya tidak akan terjawab jika hanya diam, Rain segera menerima panggilan tersebut."Halo, Pi.""Rain, kamu lagi di mana?""Di jalan, Pi.""Kalau lagi nggak sibuk kamu bisa ke sini? Ini Omimu baru bikin puding kesukaanmu."Rain mengulas senyum tipis. Dari zaman masih kecil, neneknya itu selalu rajin membuatkan puding untuknya. Setiap weekend biasanya mereka akan menjemput Rain dan membawa ke rumah mereka. Di sana Rain akan dimanjakan dengan segala penganan lezat dan membelikan apa pun yang lelaki itu inginkan. Intinya, sebagai cucu satu-satunya Rain begitu dimanjakan. Apa pun keinginannya langsung terwujud saat itu juga tanpa drama panjang."Ya udah, Pi, mumpung aku lagi ng
PS: Buat yang puasa bacanya setelah buka ya.***"Aku turun di sini aja," celetuk Lady tiba-tiba. Dari tadi ia diam dan hanya mendengarkan percakapan dua lelaki di depannya."Lo mau ke mana?" Rain menoleh ke belakang."Biar aku naik ojek aja," jawab Lady. Matanya berlarian gelisah ke arah jalan raya, mencoba menemukan sesuatu yang bisa membawanya pulang."Lo jangan aneh-aneh," timpal Rain, tidak ingin mengabulkan permintaan perempuan itu."Tapi aku--""Nggak ada tapi-tapian. Lo jangan nambah masalah gue lagi. Semua ini gara-gara lo, ngerti nggak?"Lady menggeleng tak percaya. Tidak mengerti kenapa orang egois ini selalu saja menyalahkannya atas kesalahan yang bahkan tidak ia lakukan.Ale yang mendengar interaksi Rain dengan Lady mengunci mulut dan memilih tidak ikut campur.Dering ponsel yang terdengar membuat Ale dan Lady sama-sama diam dan membiarkan suara Rain sebagai satu-satunya yang terdengar di antara mereka."Halo, Han?""Kamu di mana, Bae? Kenapa ninggalin aku sendirian? Kamu
Tengah malam Sydney terbangun. Tangannya menggapai-gapai saat tidak merasakan dekapan hangat di tubuhnya. Namun ia hanya menemukan permukaan kasur yang dingin dan kosong yang membuat perempuan itu segera membuka mata."Bae...," panggilnya parau.Matanya yang tadi redup kini terbuka sempurna saat tidak menemukan Rain. "Bae!" Kali ini Sydney berseru lebih keras agar suaranya bisa didengar. Namun sama saja. Tetap tidak ada sahutan. Mungkin Rain sedang di kamar mandi, pikirnya.Sydney menunggu beberapa saat. Namun ketika selang beberapa menit kemudian Rain masih belum menampakkan diri, Sydney mulai khawatir.Perempuan itu turun dari ranjang, lalu berjalan mengitari kamar yang berakhir dengan kamar mandi."Bae, kamu ada di dalam?" Sydney memutar knop pintu kamar mandi. Ia hanya mendapati ruang kosong."Bae? Kamu ke mana?" Sydney semakin khawatir ketika ia tidak menemukan Rain tidak hanya di kamar namun juga di ruangan lain di apartemen itu.Bergegas diambilnya ponsel dan menghubungi sang
Setelah memutuskan turun dari motor, Rain masih berpikir akan membawa Lady ke mana. Meskipun perempuan itu bilang tidak apa-apa dan baik-baik saja, tapi Rain tetap tidak tega meninggalkannya. "Kamu pulang aja, mungkin ini karena tekanan darahku agak rendah," kata Lady mengira-ngira.Rain melihat Lady sekilas kemudian merogoh saku, mengeluarkan ponsel dari sana. Ia terlihat menghubungi seseorang.Tak lama kemudian, sebuah taksi datang dan berhenti tepat di depan rumah itu."Ayo, Lad!" Rain menarik tangan Lady agar mengikutinya. "Kita mau ke mana?" "Pergi.""Tapi pergi ke mana?" Lady masih kebingungan."Lo jangan banyak tanya dulu, kalau gue bilang ikut ya ikut!"Lady akhirnya hanya bisa pasrah ketika Rain menyeretnya masuk ke dalam taksi."Hotel One Season, Pak." Rain menyebutkan tujuannya pada supir taksi."Hotel?" Lady memandang pada laki-laki di sebelahnya dengan sorot mata meminta penjelasan."Ya.""Tapi kita ngapain di sana?""Ya nginep dong, Lad, nggak mungkin juga buat shopp
'Rasanya kok aneh gini?' Lady berhenti menyesap ketika minuman tersebut terasa tidak bersahabat di lidahnya."Kenapa?" tanya Rain yang terlihat santai mengepulkan asap rokok."Aku nggak suka, nggak enak. Sudah ya, aku ke belakang dulu, nanti bos marah." Lady mengangkat tubuh dari kursi dan bersiap-siap untuk pergi, namun tangan Rain lebih sigap menahannya agar tetap berada di tempat itu."Di sini dulu temenin gue.""Sorry, aku nggak bisa.""Lima menit lagi nggak bisa juga?" tatap Rain tajam.Lady melihat jam di pergelangan tangannya dengan resah. "Nggak bisa.""Lo pulangnya jam berapa?""Tiga puluh menit lagi.""Ya sudah, sana! Gue tungguin." Rain mengibaskan tangannya seolah sedang mengusir seekor anak ayam."Menunggu? Kamu mau menungguku?""Iya, lo budek apa?"Ekspresi wajah Lady seketika berubah mendengar kalimat Rain yang kasar. "Justru karena aku mendengar kata-kata kamu dengan jelas makanya aku tanya lagi."Rain menghela napas sedikit keras, kesal pada Lady yang menurutnya lemot