Menyetir sendiri, Rain pergi meninggalkan rumah kontrakan Lady. Perempuan itu meninggalkan begitu banyak kesan. Jika selama ini banyak wanita yang berebutan ingin tidur dengannya dan menggadaikan harga diri mereka, maka tidak dengan Lady. Malah dia terang-terangan menolak uang pemberian Rain.
“Udah susah, masih sombong,” kecam Rain kesal. Tapi Rain bersyukur karena keadaan Lady baik-baik saja setelah kejadian malam itu. Setidaknya perempuan itu masih sehat walafiat dan masih bernapas hingga saat ini. “Lo di mana, Rain?” tanya Ale, sahabat sekaligus manajernya begitu Rain menerima telepon darinya. “Gue on the way, mau balik. Lo ke mana aja sih, nyet? Kenapa ninggalin gue semalem?” Rain balas bertanya. Hingga saat ini ia masih kesal pada ketiga temannya, terutama pada Bobby yang sudah menjebaknya. “Heh, lo duluan yang ngilang, malah bilang ninggalin.” “Ck! Kampret ya lo pada. Gue nggak ninggalin tapi--” “Udah, udah, ntar aja ceritanya. Gue mau kasih tahu, ada job buat lo, mau terima nggak?” “Job apaan?” “Iklan.” “Iklan apa?” ”Iklan sabun pengilat sepeda motor.” ”Apa? Yang bener aja lo, Le. Masa gue dikasih iklan sabun. Gue nggak mau,” tolak Rain mentah-mentah. “Hei, Man, biar kata cuma sabun tapi ini cuannya gede. Ayolah Rain, terima aja,” bujuk Ale dari seberang sana. “Lo kayak yang baru kenal gue kemarin sore. Gue nggak peduli cuannya gede atau cuma seiprit. Gue mau iklan yang prestise.” “Rain, tapi kan--” “Nope, gue nggak mau. Gue ke sana sekarang,” tukas Rain mengakhiri panggilan. Sebagai seorang idol, Rain paling tahu cara membuat kualitasnya tetap terjaga. Ia tidak akan mau membintangi iklan komersial sembarangan. Bagi Rain, prestise lebih berharga daripada uang. Rain sudah menentukan kelasnya sendiri. *** ”Rain, akhirnya lo dateng juga,” sambut Ale saat Rain tiba di camp. “Apa lagi, Le? Gue nggak mau iklan sabun,” sahut Rain mengira Ale akan membicarakan masalah itu lagi. ”Lo suudzon banget ya sama gue, kan gue cuma nyapa lo doang.” Rain menjatuhkan diri di sofa dan merentangkan kedua kaki ke atas meja. Ia mulai menyalakan rokok dan mengisapnya dalam-dalam. “Schedule gue apa aja?” “Bulan ini kosong. Kompetisi kan baru mulai bulan depan. Kalau lo mau, banyak iklan yang antri, lo tinggal pilih mau yang mana.” “Coba lo sebutin apa aja.” ”Ada iklan rokok, tapi ini gue skip, nggak bagus buat image lo. Terus ada iklan bank, baju-baju cowok, snack, sama helm SNI. Terus, ada iklan parfum juga.” “Kalau iklan parfum gimana? Ini bukan yang kaleng-kaleng kan?” Rain tampat tertarik. ”Bukanlah. Yang ini limited edition, tapi gue nggak yakin lo bakal terima.” ”Kenapa?” Rain mengembuskan asap rokok ke udara. ”Scene-nya di ranjang sama cewek cuma ditutupin selimut doang. Lo dan dia harus naked. Gimana?” Ale menatap Rain ragu-ragu. “Hmm…naked ya? Nggak deh. Nyokap gue bisa hipertensi kalau sampai tahu.” Ale mencibir. “Gimana kalau nyokap lo tahu kalau lo dan Sydney living together?” Rain mengibaskan tangan. Membuang jauh-jauh pikiran buruk dari kepalanya. Selama ini yang bundanya tahu adalah bahwa ia dan Sydney memang berpacaran, tapi tidak tahu sama sekali seperti apa persisnya gaya pacaran mereka. ‘Pokoknya Bunda nggak boleh tahu seperti apa gaya hidup aku sebenarnya,’ batin Rain. Selama ini ia cukup beruntung karena Kanayya selalu percaya padanya. Setiap kali Kanayya datang ke apartemennya kebetulan tidak ada Sydney di sana. Rain kemudian mengembuskan napas berat yang membuat Ale jadi bertanya. “Kenapa lagi? Ada masalah?” ”Lo percaya nggak kalau zaman sekarang masih ada yang namanya perjodohan?” ”Percaya aja sih, malah makin marak kalau menurut gue. Lo dijodohin?” “Hmmm.” ”Serius?” Ale menatap Rain lebih lekat. ”Iya. Gue nggak ngerti sama Bunda, bisa-bisanya menjodohkan gue sama cleaning service? Dipikir gue OB apa!” “Apa?” Ale yang terkejut kemudian tertawa. ”Jangan ngakak lo, nyet. Ini gue lagi curhat.” ”Oke, oke, gimana ceritanya?” Lelaki dengan nama lengkap Alexander Lee itu menyimpan tawa dalam-dalam. “Jadi di rumah sakit tempat kerja Bunda tuh ada cewek yang kerja jadi cleaning service. Bunda bilang dia baik banget, beda sama cewek-cewek di sekitar gue yang katanya cuma manfaatin gue doang.” ”Terus lo mau?” Rain menggeleng kuat-kuat. Sampai kapan pun dia tidak akan rela berjodoh sama perempuan itu. “Ya udah, lo tinggal bilang ke nyokap, clear kan?” “Nggak segampang itu, Le.” “Nggak gampang gimana?” “Gue nggak mau bikin Bunda sedih dan kecewa. Dari zaman gue masih dalam kandungan gue cuma punya Bunda. Bahkan Bunda rela nggak nikah lagi demi membesarkan gue. Padahal gue nggak masalah andai pun Bunda mau nikah lagi. Dari dulu tuh banyak banget yang pengen ngelamar Bunda, tapi ditolak semua. Jadi bisa lo bayangin kan gimana sayangnya gue ke Bunda? Gue nggak mau bikin Bunda kecewa. Gue cuma mau Bunda bahagia. Cuma itu.” ”I see…” Ale merasa ikut prihatin. “Tapi tuh cewek penampakannya gimana?” “Lo inget nggak pelayan yang anter minuman waktu kita lagi di Romantic?” ”Hmmm… yang 36B?” ”Yup.” “Jadi dia?” Ale terkejut. “Kok bisa?” Lalu meluncurlah cerita panjang dari bibir Rain mengenai sepenggal kisah Lady dan kehidupannya. Tapi tidak ada solusi apa-apa yang bisa diberikan sang manajer karena semuanya tergantung pada Rain. *** Sudah beberapa hari ini yang dilakukan Rain hanya tidur-tiduran. Selain jadwalnya kosong, Sydney juga lagi liburan dengan keluarganya ke luar negeri. Rain terkejut ketika siang itu bundanya datang. Tidak hanya sendiri, tapi berdua dengan perempuan menyebalkan itu lagi. Rain langsung menunjukkan muka tidak suka saat melihat Lady. “Astaga, Rain, ini kamar atau kandang kambing?” Kanayya geleng-geleng kepala melihat kamar Rain yang berantakan. Rain menyeringai sambil garuk-garuk kepala. ”Maklum, Nda, namanya juga bujangan,” ia beralasan. ”Biar saya yang bersihin, Dok.” Dengan inisiatif sendiri, Lady langsung mengambil sapu dan mulai membersihkan ruangan itu. ”Nggak usah, Dy, kamu bukan pembantu di sini,” larang Kanayya. Lady tidak peduli dan tersenyum singkat. “Nggak apa-apa, Dok.” Ia melanjutkan kegiatannya. ’Susah emang kalau jiwa babu, nggak bisa ngeliat berantakan dikit langsung ngerasa terpanggil,’ cibir Rain di dalam hati. “Rain, Bunda mau ajak kamu nyekar ke makam Ayah. Kamu bisa ikut?” ujar Kanayya. ”Sekarang, Bund?” Kanayya menganggukkan kepala. Puluhan tahun berlalu. Tapi ia masih rutin mengunjungi pusara mendiang suaminya. Cintanya memang tidak pernah mati pada laki-laki itu meskipun sang pemilik jiwa sudah lama berpulang. “Aku ikut kalau gitu, kebetulan aku nggak lagi ngapa-ngapain.” “Kita tunggu Lady dulu kalau begitu.” Rain melirik pada Lady yang masih sibuk bersih-bersih. “Dia ikut juga?” tanyanya kurang senang. ”Iya.” “Tapi untuk apa, Nda?” “Apa salahnya, Rain? Suatu saat Lady kan bakal jadi istri kamu.” Istri? Perempuan itu? Hiii… Rain bergidik jijik. Meninggalkan Kanayya sendiri, Rain berjalan ke belakang. Dilihatnya Lady sedang memasukkan pakaian kotor ke dalam keranjang. Perempuan itu menoleh padanya saat mendapati sebuah bra. ”Ini punya anda?” ”Gila lo ya! Lo pikir gue cowok setengah mateng pake bra segala,” desis Rain separuh berbisik sambil merebut pakaian dalam tersebut dari tangan Lady. Jangan sampai Kanayya melihatnya. “Jadi punya siapa?” Lady keheranan. “Bukan urusan lo. Paham?” Rain bergegas pergi ke kamar mandi membawa bra tersebut. Lady tinggal sendiri. Ia masih sangat marah pada Rain atas kejadian malam itu. Tapi sungkan menunjukkannya pada Kanayya. Kalau saja tadi Kanayya tidak mengajaknya ke sini, ia tidak akan mau. ***Tempat itu masih sama seperti biasanya. Sunyi dan menguarkan kesedihan. Meskipun begitu terawat, rapi dan bersih, tapi tetap saja auranya tidak akan pernah berubah.Rain melangkah di samping Kanayya sambil merangkul perempuan itu. Sementara Lady berjalan sendiri di belakang. Sejak awal ia sudah diberitahu kalau mereka akan ke tempat ini. Mengunjungi pusara ayahnya Rain yang meninggal di usia muda.Sekilas yang Lady dengar dari Kanayya, ayahnya itu tidak pernah tahu jika istrinya sedang mengandung anaknya. Menyedihkan. Rain dan Kanayya duduk bersisian menghadap makam. Sedangkan Lady di seberang mereka. Tidak ada suara yang terdengar, termasuk irama napas sekalipun. Ketiganya tampak khusyu’ berdoa.Hingga sesaat kemudian ketika Lady mengangkat muka ia mendapati muka Kanayya yang basah. Perempuan baik yang sangat diseganinya itu menangis.”Nis, aku datang sama anak kita. Sekarang Rain sudah besar. Dia beneran udah jadi pembalap meneruskan cita-cita kamu yang dulu,” isak Kanayya.“Nda, u
Rain menunggu di depan fitting room, sedangkan Lady masih berada di dalam ruangan itu. "Ngapain aja sih dia di dalam sampai selama itu?" gerutu Rain sendiri.Kehabisan rasa sabar, Rain mengetuk pintu fitting room."Hei, lo ngapain aja?" Tidak ada sahutan dari Lady yang membuat Rain bertambah kesal. Ia mengetuk pintu sekali lagi. Sebelum tangannya sempat beradu dengan daun pintu, pintu berwarna putih itu dibuka dari dalam. Sosok Lady kini berdiri tegak di hadapannya."Saya nggak cocok ya pakai baju ini?" tanya perempuan itu pada Rain. Terlihat jelas kalau dia tidak percaya diri.Rain terkesima hingga untuk detik-detik yang lama kehilangan kemampuan mengerjapkan mata."Gimana menurut anda?""Cantik banget, Dy." Suara itu berasal dari seseorang di belakang Rain. Kanayya. "Iya kan, Rain?""B aja," sahut Rain datar. "Ya udah, Nda, aku tunggu di mobil. Sumpek di sini." Lelaki itu lalu pergi meninggalkan keduanya."Dia memang begitu orangnya. Kamu nggak usah ambil hati." Kanayya tersenyum
“Rain, akhirnya kamu datang juga. Tadi Bunda kamu bilang ke Tante kalau nggak bisa datang. Jadinya kamu yang mewakili.”“Iya, Tante, Bunda yang minta aku datang ke sini,” jawab Rain pada Tiwi, teman sang bunda. Keduanya kemudian saling mendekap hangat.Tiwi kemudian mengamati perempuan yang berdiri di sebelah Rain. “Ini pacar baru kamu, Rain?”“Bukan, Tante, ini temenku.”“Temennya cantik banget,” komentar Tiwi saat melihat Lady yang berdiri kaku di sebelah Rain. Lady tersenyum tipis merespon sanjungan yang ditujukan padanya. Masa sih dirinya secantik itu? Ia merasa biasa-biasa saja. Dan selama ini belum pernah ada yang menyanjungnya dengan berlebihan.“Pembalap kita akhirnya datang juga. Tumben nih, lagi nggak sibuk?” River datang ke tengah-tengah mereka.”Nggak, Om, jadwalku kebetulan lagi kosong, makanya bisa ke sini.” Rain beralasan.River kemudian menepuk pelan pundak Rain. “Om bangga sama kamu, Rain. Nggak nyangka di umur semuda ini tapi prestasi kamu udah nggak kehitung lagi.
Rain dan Lady pulang sebelum acara pesta berakhir. Nyaris di sepanjang acara Rain tidak memedulikan dan membiarkan Lady sendirian. Sementara ia sibuk dengan teman-teman yang ditemuinya di tempat itu."Biar aku naik taksi aja," putus Lady saat Rain berniat mengantarnya pulang."Nggak, gue anter lo sampe rumah." Rain menolak ide Lady. Ia tidak mungkin membiarkan perempuan itu pulang sendirian malam-malam begini."Nggak usah kalau nggak ikhlas. Aku lebih baik naik taksi aja.""Lo tuh nggak tau terima kasih banget. Tinggal duduk diam apa salahnya? Masuk!" perintah Rain setelah membuka pintu mobil.Terpaksa Lady mengikuti kemauan laki-laki itu setelah tidak punya alasan lagi untuk menolak. Dengan cepat Rain beralih ke bangku pengemudi dan menyalakan mesin. Dalam diam, Lady mencuri pandang ke arah Rain. Lelaki itu gagah, juga terlihat angkuh di saat bersamaan. Hidungnya yang tinggi semakin menambah kesan arogan apalagi jika dilihat dari samping begini."Lo kenapa ngeliat gue kayak gitu?"
“Rain, kamu kan nggak lagi ngapa-ngapain. Jemput aku nanti siang di bandara. Aku sama Zee balik duluan. Mami sama Papi masih di Sydney.”Rain menghela napas setelah membaca pesan singkat dari Sydney. Sudah seminggu ini Sydney dan keluarganya berlibur ke Sydney. Sesuai dengan namanya, perempuan itu memang lahir di Sydney saat dulu orang tuanya bermukim di sana."Oke, Han, nanti aku jemput kamu." Rain membalas pesan tersebut.Meletakkan ponsel, Rain cepat-cepat mandi. Selama tidak ada kegiatan, hidupnya memang tidak teratur. Tidak ada yang dilakukannya selain tidur-tiduran, ngerokok, minum dan main ponsel.***Wajah cemberut Sydney adalah hal pertama yang dilihat Rain ketika ia sampai di bandara."Kangen banget sama kamu, hidup aku sepi nggak ada kamu," bisik Rain di telinga Sydney ketika ia memeluk erat perempuan itu."Bohong," tuding Sydney mengurai pelukan Rain dari tubuhnya."Bohong gimana?" Kerutan kecil tercipta di dahi Rain.Sydney mengambil ponsel dari dalam tas dan menunjukkan
“Jawab aku, Rain, ini punya siapa?”Rain bangkit dari ranjang, berjalan ke arah sofa mendekati Sydney. “Oh itu. Kemarin aku nemenin Bunda ke butik, terus Bunda mampir ke sini." Rain memamerkan senyum maut yang biasanya selalu berhasil membuat Sydney luluh."Tumben banget Bunda kamu belanja baju. Udah gitu kamu juga mau nemenin." Sydney masih tak percaya pada alasan yang disampaikan Rain."Nggak ada yang aneh kok, Han. Kadang-kadang Bunda emang suka belanja baju. Karena aku lagi nggak ada kegiatan makanya Bunda minta aku buat nemenin. Udah ah, masa kayak gitu aja ngebahasnya sampe satu jam. Aku kangen nih. Ke sana yuk!" Rain mengedipkan sebelah mata menggoda Sydney seraya melirik ranjang."Aku juga mau ditemenin beli baju." Sydney merengek manja."Iya... nanti aku temenin tapi sekarang sayang-sayangan dulu dong, udah penuh nih," janji Rain sembari menarik pelan tangan Sydney menuju ranjang.Desahan halus mencuri keluar dari bibir Sydney kala Rain mengecup leher jenjangnya."Jangan kasi
Rain melangkah cepat mengejar Lady. Begitu satu langkah berada di belakang perempuan itu ia berhasil mencekal lengannya.Lady tersentak dan sontak menoleh ke belakang. "Sakit, lepasin tanganku!""Ikut gue sekarang!" Rain menyeret paksa Lady agar mengikutinya. Laki-laki itu membawa ke arah toilet. "Duh, sakit... lepasin!" Lady tidak bohong. Cekalan Rain di tangannya terlalu kuat dan membuatnya kesakitan.Rain tidak peduli. Ia menyandarkan perempuan itu di dinding lorong toilet. "Gue kan udah bilang jangan kerja di sini lagi, kenapa lo masih ngeyel?"Lady mengernyit. Tatapan mata Rain yang menusuk terasa begitu mengintimidasinya."Bukan urusanmu aku mau kerja di mana. Kok jadi kamu yang ngatur?" Lady menarik tangannya yang dicekal Rain sejak tadi."Jelas jadi urusan gue karena--""Karena apa?"Rain terdiam, kehilangan kata-kata untuk bicara."Pokoknya gue nggak mau lo kerja di sini lagi. Gue nggak suka."Lady tersenyum awkward menyaksikan lelaki di hadapannya. Tidak mengerti pada sik
'Rasanya kok aneh gini?' Lady berhenti menyesap ketika minuman tersebut terasa tidak bersahabat di lidahnya."Kenapa?" tanya Rain yang terlihat santai mengepulkan asap rokok."Aku nggak suka, nggak enak. Sudah ya, aku ke belakang dulu, nanti bos marah." Lady mengangkat tubuh dari kursi dan bersiap-siap untuk pergi, namun tangan Rain lebih sigap menahannya agar tetap berada di tempat itu."Di sini dulu temenin gue.""Sorry, aku nggak bisa.""Lima menit lagi nggak bisa juga?" tatap Rain tajam.Lady melihat jam di pergelangan tangannya dengan resah. "Nggak bisa.""Lo pulangnya jam berapa?""Tiga puluh menit lagi.""Ya sudah, sana! Gue tungguin." Rain mengibaskan tangannya seolah sedang mengusir seekor anak ayam."Menunggu? Kamu mau menungguku?""Iya, lo budek apa?"Ekspresi wajah Lady seketika berubah mendengar kalimat Rain yang kasar. "Justru karena aku mendengar kata-kata kamu dengan jelas makanya aku tanya lagi."Rain menghela napas sedikit keras, kesal pada Lady yang menurutnya lemot
Rain dan Lady duduk anteng di belakang, sedangkan Ale menyetir gelisah di belakang kemudi. To be honest, Ale merasa kurang nyaman dengan kehadiran Alana di sebelahnya. Tadinya ia ingin meminta agar Rain saja yang duduk di depan bersamanya. Sayangnya sang sahabat sudah berkata duluan dan meminta agar tantenya saja yang duduk di depan.Berada sedekat ini dengan Ale sudah cukup menggetarkan hati Alana. Kebahagiaannya memang sereceh itu. Ale mungkin tidak tahu seberapa besar perasaan Alana padanya.Alana mengenal Ale dari Zee. Kala itu sahabatnya tersebut mengatakan padanya bahwa Ale adalah putra mahkota kerajaan sebelah. Sejak awal melihat laki-laki itu Alana sudah tertarik. Ale yang cuek, cool dan menyimpan banyak misteri membuatnya penasaran. Saat mengetahui bahwa Ale menjadi asisten pribadi Rain, Alana pikir ia selangkah lebih dekat dengan Ale. Nyatanya Alana salah. Mendekati lelaki itu ternyata tidaklah semudah yang ia bayangkan.Di jok belakang Rain dan Lady sedang bermesraan. Kedua
“Duh, capek banget.” Rain menggeliat, meregangkan otot-ototnya yang kaku. Penerbangan panjang yang baru saja dijalaninya membuat tubuhnya lelah. Hal yang paling diinginkannya saat ini hanyalah beristirahat melepas penat.Rain meminta Lady yang baru saja masuk ke kamar agar mendekat padanya. “Lad, pijitin dong, aku capek banget.”Lady mengabaikan kondisi tubuhnya sendiri dan memenuhi apa yang diinginkan Rain. Tangannya memijit bagian tubuh lelaki itu. Mulai dari pundak, punggung hingga betisnya.“Enak banget pijitan kamu, Lad, bikin nagih.” Rain bergumam pelan di sela-sela kantuk yang mulai mendatanginya.Lady tersenyum tipis. “Dasar modus.””Lad, aku tidur ya, nggak apa-apa kan? Udah ngantuk nih.”“Tumben pake minta izin.”“Ntar kamunya marah kalau aku tinggal tidur.”“Ngapain juga aku marah? Orang ngantuk kok dilarang tidur.”“Sini, aku maunya tidur ditemenin sama kamu.””Katanya mau dipijit.””Pijitnya sambil rebahan bareng aku.” Rain merengkuh Lady hingga jatuh berbaring di sebelah
“Welcome home…”Lady berbisik sendiri begitu pesawat yang ditumpanginya baru saja berada di bawah langit Jakarta. Tiga hari mungkin terlalu singkat untuk menjelajah seisi Amsterdam. Tapi apa yang dialaminya selama lebih kurang sepuluh hari ini di sebagian wilayah eropa memberi kesan yang mendalam.Pemberitahuan yang mengudara di seantero pesawat agar para penumpang bersiap-siap dan memasang sabuk pengaman menandakan bahwa sesaat lagi mereka akan mendarat.Alana sudah standby di terminal kedatangan penerbangan internasional. Sudah sejak tadi ia menanti kedatangan ponakan dan istrinya.Terasa ada yang berbeda kali ini. Jika biasanya Ale yang mengantar dan menjemput ke mana-mana, maka kali ini tidak. Rain merasakan ada yang kurang tanpa Ale.“Cieee… yang baru pulang honeymoon.” Ledekan Alana menyambut kedatangan Rain dan Lady. “Mana cucu aku?”Rain terkekeh. “Dipikir bikin anak kayak bikin kue putu apa? Habis cetak langsung mateng.”Alana juga tertawa menimpali kekehan Rain. Ia kemudian
Hari pertama setelah tiba di Amsterdam Rain dan Lady mengisi waktu dengan mengelilingi kota itu.Mereka menggunakan sepeda menyusuri jalan-jalan di Amsterdam yang tidak begitu lebar. Bangunan yang mereka lihat di kanan dan kiri jalan masih mempertahankan bentuk aslinya. Terlihat klasik dan bernilai seni tinggi.Kehadiran kanal merupakan hal lain yang mereka saksikan di sana. Meskipun airnya tidak terlalu jernih namun perahu yang berlalu lalang merupakan daya tarik tersendiri yang membuat mata betah memandang.Saat ini sudah memasuki musim semi di Amsterdam. Udara yang baru saja menghangat di sana membuat banyak orang menghabiskan waktu di pinggir kanal. Mereka membaca buku sambil menikmati secangkir kopi dan bercengkrama dengan sesama. Ada juga yang datang ke sana hanya untuk berjemur sambil merenung.Bersepeda di Amsterdam bukan lagi hal yang luar biasa dan membuat tercengang. Bahkan area pedestrian di sana lebih mendapat perhatian khusus dari pemerintah setempat.Rain dan Lady menep
Rain dan Lady duduk di ruang tamu menanti sang empunya rumah. Semestinya Rain bisa langsung menerobos ke dalam karena rumah tersebut adalah rumah kakek neneknya sendiri. Namun Rain masih menjunjung tata krama dengan memilih menunggu di ruang tamu.Selagi menanti, Lady mulai menebak-nebak seperti apa penampakan orang yang akan mereka temui. Debaran jantungnya kian mengencang. Perasaan cemas tidak bisa diterima dengan baik kembali menghantuinya meskipun Rain sudah meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.Tak lama kemudian sepasang suami istri yang tidak lagi muda muncul dari arah dalam. Wajah keduanya begitu semringah begitu melihat langsung sosok yang mereka rindukan kini berada tepat di depan mata mereka.Rain dan Lady sama-sama berdiri.“Rain…”“Papa…”Rain dan Rasya saling berpelukan melepas rindu yang selama ini tertahan. Selama hitungan menit keduanya saling mendekap.Ingat pada istrinya yang juga sangat merindukan sang cucu, Rasya mengurai pelukan dari Rain dan memberi kesempa
Lady diam saja saat Rain terus menceramahinya. Justru sekarang pikirannya hanya tertuju pada seseorang yang jauh berada di benua sana. Lady sudah tidak sabar ingin menceritakan pada Ale mengenai pertemuannya dengan perempuan gipsi tadi. Lady yakin, hanya Ale yang akan memahaminya mengenai pergipsian ini. Sedangkan Rain sudah antipati duluan. Rain bukan pendengar yang baik untuk hal ini.“Kenapa diam aja?” tanya Rain yang baru menyadari jika Lady bungkam sejak tadi dan tidak merespon apa pun yang ia katakan.“Kan aku lagi dengerin kamu ngomong,” balas Lady.“Emang orang tadi bilang apa aja sih sama kamu?” Meskipun tidak pernah memercayai hal semacam itu namun Rain merasa penasaran juga dan tidak tahan untuk tidak bertanya.Lady ingin berterus terang, tapi merasa ragu. Ia khawatir akan penilaian negatif Rain nanti. Alhasil ia pun mendustai suaminya.”Dia cuma nanya nama aku.”“Terus?””Dia nanya aku berasal dari mana.”“Next?”Lady terdiam untuk sesaat. Apa ya tanggapan Rain jika tahu r
lLady terkikik geli ketika Rain menceritakan padanya mengenai obrolan dengan orang tua Reza. Siapa pun yang tidak mengenal pria itu pasti tidak akan menyangka kalau Reza mengalami gangguan jiwa. Secara kasat mata Reza tampak gagah, sehat, segar bugar dan baik-baik saja.”Bangke emang, bisa-bisanya gue dikerjain orang sakit,” rutuk Rain antara geli serta jengkel.Tawa Lady bertambah keras. Geli melihat Rain saat ini. “Pantes aja dia lebay banget ke aku. Gombalan-gombalannya bikin aku eneg, untung aja aku nggak muntah di depan dia.”Rain menimpali tawa Lady. “Emang dia bilang apa ke kamu?” tanyanya ingin tahu.”Dia bilang aku cantik, mandiri, aku perempuan istimewa, pokoknya ya gitu deh. Kamu ngeliat nggak kemarin waktu di restoran banyak banget makanan di atas meja aku? Itu semua dia yang suruh. Padahal jatah sarapan aku udah habis. Tapi emang enak-enak sih makanannya.”“Aku nggak lihat.”“Gimana mau lihat, kamu-nya udah keburu emosi. Nggak tahu aja dia yang dicemburui orang sakit. Hah
Matahari sudah tenggelam sempurna ketika Rain dan Lady tiba di hotel. Syukurlah mereka tidak bertemu dengan Reza. Cowok gesrek dengan mulut tanpa filter yang super duper menyebalkan.Setibanya di kamar keduanya sama-sama merebahkan tubuh ke pembaringan. Hari ini terasa sangat melelahkan ketimbang hari-hari sebelumnya.“Gimana? Ada berasa sakit?” tanya Rain ingin tahu keadaan Lady setelah merajah tato tadi.Lady menggelengkan kepala. “Udah enggak.” Tadi saat dirajah ia hanya merasakan sedikit rasa perih. Jika setelahnya mereka mengalami efek samping seperti alergi, gatal-gatal atau pun ruam pada kulit, mereka diharuskan untuk datang kembali.Tangan Rain lantas terulur mengusap-usap kepala Lady yang berbaring miring menghadap padanya. Keduanya tidak habis pikir pada apa yang mereka lakukan berdua.“Lad, udah yuk rebahannya. Kita check out sekarang,” cetus Rain tiba-tiba ketika ingat rencananya tadi untuk check out sorenya. Bahkan sekarang hari sudah malam.“Duh, Rain, aku capek banget,
Oh, shit!Rain dan Lady bertemu lagi dengan Reza di lobi kala mereka melintas sebelum keluar dari hotel. Pria itu sedang duduk di sofa dan berbicara dengan seseorang yang entah siapa. Mungkin salah tamu di hotel itu.Reza melempar senyum pada keduanya yang disambut Rain dengan lengosan kepala, pun dengan Lady yang buru-buru memalingkan muka. Diabaikan seperti itu bukannya sadar diri jika Rain sedang marah padanya, Reza malah berseru.“Rain! Lady! Cuaca teduh begini saya sarankan kalian ke Piazza San Marco.”Lady akhirnya memutar kepala, sekadar menghargai pria itu. “Terima kasih.”Reza balas tersenyum. Dari tempatnya duduk ia memandangi punggung Lady lekat-lekat hingga menghilang dari pandangannya. Kemudian, ia pun bangkit mengakhiri obrolan dengan lawan bicaranya.Setelah keluar dari hotel Rain mengajak Lady berjalan kaki seperti kebanyakan para wisatawan di sana. Meskipun menyimpan magnet dan cerita bagi ribuan turis yang terus membanjir setiap hari, namun sebenarnya Venice sangat