Lady memasukkan dua potong pakaian ke dalam tas. Blouse berbelahan dada rendah serta rok mini sepaha. Nanti setelah pulang kuliah ia akan langsung ke Romantic—kelab malam tempatnya bekerja sebagai pelayan.
Setelah kuliah berakhir biasanya Lady akan mengganti bajunya di toilet dulu, tak lupa melapisinya dengan jaket. Teman-temannya sesama mahasiswa sudah tahu pekerjaan sampingan Lady. Berbagai respon ia terima. Ada yang memandangnya dengan rendah, dan ada pula yang biasa-biasa saja. Tapi Lady tidak ambil pusing. Ia hanya mencoba menjalani pekerjaan yang menurutnya halal untuk tetap bertahan hidup. Lady memasuki Romantic melalui pintu khusus para karyawan. Membuka jaket dan meletakkannya di loker, Lady berkaca sesaat, memulas ulang sapuan bedak di pipinya, kemudian membubuhkan blush on dengan sedikit tebal. Sebenarnya ia tidak suka dengan riasannya ini. Menurut Lady, dandanannya terlalu menor. Namun atasannya mewajibkan berpenampilan begitu dengan alasan agar indah dipandang dan menarik perhatian siapa saja. ”Lady, antar ini ke meja VIP.” Lady langsung mendapat perintah untuk mengantar minuman. Ia mengedarkan mata ke meja dimaksud. Ada empat orang laki-laki muda di sana. Dengan langkah anggun Lady membawa minuman. Beberapa orang pria pengunjung tempat itu bersiul menggodanya. “Hai cantik… sini dong sama Abang.” Lady yang sudah terbiasa menghadapi godaan semacam itu tersenyum sekilas dan tidak terlalu meladeni mereka selagi itu hanya sebatas godaan melalui kata-kata. Tapi ia tidak akan tinggal diam jika ada yang berani menyentuhnya. “Permisi…” Lady meletakkan minuman di atas meja setelah meminta izin. “Ternyata lo!” Lady yang tadinya tersenyum mendadak mengatupkan bibir begitu mengetahui siapa sosok yang barusan menggumam kecil padanya. Rain. Rain memindai Lady dari atas kepala hingga ujung kaki. Ia tercengang melihat penampilan Lady saat itu yang begitu berbeda dengan saat ditemui di rumah bundanya. Lady yang waktu itu sangat sopan dengan pakaian longgar kini tampil dengan busana seksi, ketat, dan… menggoda. Rambutnya yang waktu itu dikuncir kini digerai bebas. Pun dengan bibirnya yang saat itu polos tanpa polesan apa-apa dan cenderung kering kini berwarna merah menyala. Lady terlihat cantik dan menggoda. Rain benci mengakuinya, namun ia tidak bisa mengingkari pandangan matanya. ’Di depan Bunda gayanya sopan, lugu dan polos, tapi ternyata begini. Ternyata dia bukan cewek baik-baik,’ kecam Rain di dalam hati. Lady yang juga terkejut melihat Rain tidak berkata apa-apa. Ia bersikap sama seperti laki-laki itu yang berpura-pura tidak mengenalnya. ”Thank you, Cantik.” Gavy, salah satu teman Rain menatap Lady dengan mata nakalnya ketika perempuan itu meletakkan gelas minuman. ”Sama-sama.” Lady tersenyum ramah. Bukan senyum yang dengan senang hati ia lakukan, tapi ia melakukannya karena tuntutan pekerjaan. “Open BO nggak nih?” Bobby, teman Rain yang lain menyentuh tangan Lady. Tatapannya tidak kalah liar dengan lelaki sebelumnya. ”Maaf, saya di sini murni pelayan, bukan yang lain-lain.” Lady menepis tangannya dari lelaki yang mencekalnya. Semua pria tersebut kemudian tertawa mendengar jawaban Lady kecuali Rain. Mereka tidak percaya pada perkataan Lady. “Hahaha… pasti dia anak baru.” ”Muna banget, sok lugu.” “Paling nanti kalau gue tunjukin duit segepok bakalan diem.” “By the way, i like her boobs.” “Perasaan nggak gede-gede amat. 36B i think.” ”36B lo bilang nggak gede? Mata lo udah siwer?” Bobby menoyor pelan kepala Gavy. ”Ya, seenggaknya nggak tumpah-tumpah, cuma ngintip sedikit. Tipe Rain banget tuh. Iya kan, Rain?” Ketiganya memandang bersamaan ke arah Rain yang sejak tadi hanya diam. ”Apanya?” sahut Rain. “Elo kan suka yang ngintip-ngintip sedikit, nggak suka yang tumpah ruah, kayak cewek yang tadi. Lagian kenapa lo diem aja? Dari tadi juga kayak orang sakit gigi.” “Gue males bahas cewek nggak jelas kayak gitu. Bisa nggak ganti topik yang lebih bermutu?” ”Bisa banget. Sekarang tuh yang lagi viral coli pake cumi-cumi. Lo mau coba nggak?” “Ngapain juga gue coli kalo ada Sydney?” “Halaa… lo Sydney mulu, nggak bosan apa? Kita tuh masih muda Rain. Lo nggak mau coba yang lain?” “Dosa,” celetuk Rain sok polos, yang ia tahu apa respon teman-temannya setelah itu. “Huhhh!!! Ketiga temannya menyoraki dan tertawa lepas. “Dosa itu nikmat. Nanti kan tinggal tobat." "Eh, by the way lo kan habis menang kompetisi nih. Kita punya gift buat lo,” celetuk Bobby tiba-tiba. Bobby merupakan teman Rain yang juga berprofesi sebagai pembalap. Hanya saja karirnya tidak secemerlang karir Rain. “Gift apaan?” “Ada deh… nanti gue kasih tahu. Eh, lo juga, Le, dari tadi cuma senyum. Lo kenapa? Mau gift juga?” Ale, sahabat Rain yang paling dekat dengannya yang juga merupakan manajernya hanya tersenyum hampa. “Lain kali deh, Rain aja dulu. Gue kan nggak ngapa-ngapain.” “Halaaa… gaya lo.” Ale lalu menghindar ketika Bobby mencoba mendorong pelan kepalanya. Keempat laki-laki itu kemudian turun ke lantai disko, bergabung bersama para pengunjung lainnya. Selang beberapa menit, Bobby menyelinap keluar dari kerumunan orang-orang. *** “Lagi sibuk, Dear?” Lady yang baru saja melayani tamu menoleh ke belakang kala pundaknya ditepuk. Lady terkejut saat mendapati ternyata lelaki teman Rain tadi berdiri di belakangnya. Laki-laki nakal yang tadi dengan lancang menyentuh tangannya. Lady langsung waspada. ”Ada apa ya, Mas?” Lelaki itu tersenyum. “Saya minta tolong, boleh?” “Minta tolong apa?” “Saya mau pesen cocktail tapi tolong diantar ke kamar 301 ya!” Kerutan tercipta di dahi Lady. Kelab malam tempatnya bekerja memang satu bangunan dengan hotel bintang lima. Tak jarang para pengunjung di sana sering menginap di hotel tersebut hanya untuk one night stand. Melihat Lady kebingungan, Bobby segera mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya. “Ini buat kamu,” kata laki-laki itu sembari menyodorkan ke tangan Lady. Selama sepersekian detik Lady terdiam. “Ayo, nggak usah sungkan. Ini tip buat kamu. Kamu hanya perlu mengantar cocktail ke kamar itu lima belas menit lagi.” Bobby pergi dari hadapan Lady sebelum perempuan itu sempat menjawab apa-apa. Lady memang sering menerima tip dari para pengunjung, namun tidak pernah sampai sebanyak ini. Untuk sesaat ia masih bingung. Tapi ia pikir sekadar mengantar minuman apa salahnya. *** Bobby memapah Rain dengan penuh upaya. Alkohol yang kini beredar di pembuluh darahnya membuat kesadaran Rain tinggal separuh. ”Kita mau ke mana, Bob?” Rain masih sempat bertanya saat Bobby membawanya ke sebuah ruangan dan memapahnya masuk. “Lo inget nggak, tadi gue bilang mau kasih gift?” “Hemm…” Rain tidak benar-benar mengingatnya karena sudah hangover. Bobby membaringkan Rain yang sudah tidak berdaya di ranjang. “Rain, lo di sini dulu ya, bentar lagi gift buat lo dateng.” Seulas senyum licik terbit dari bibir Bobby sebelum ia meninggalkan Rain sendiri di tempat itu. *** Berjalan sendiri, Lady berhenti tepat di depan pintu kamar 301. Tadi Bobby memberikan keycard kamar tersebut padanya dan menyuruh langsung masuk. Dengan membawa cocktail di tangannya Lady membuka pintu. Langkahnya terhenti tiba-tiba ketika melihat seseorang sedang berbaring di ranjang. ‘Astaga! Siapa itu?’ Ragu-ragu ia berjalan mendekat. “Hany…” Lady kaget ketika tiba-tiba saja orang di ranjang membuka mata dan menarik tangannya. Namun yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah begitu mengetahui lelaki itu adalah Rain. “Lepasin aku!” Lady menarik tangannya yang dicekal Rain, namun tidak berhasil karena tenaga laki-laki itu jauh lebih kuat. ”Sini, Han, temenin aku tidur di sini.” Rain yang menyangka Lady adalah Sydney menarik Lady lebih kuat hingga perempuan itu rebah di sebelahnya. Dengan sigap Rain mengunci Lady di bawahnya agar tidak meloloskan diri. “Kamu mau ngapain? Lepasin saya!” Lady memberontak saat Rain mencoba meraup bibirnya. “Kamu menolak aku, Han?” tanya Rain heran. Selama ini sekali pun Sydney belum pernah menolaknya. ”Dasar cowok brengsek. Selain sombong kamu juga biadab!” maki Lady penuh amarah serta ketakutan. Ia terus memukul Rain yang mengunci tubuhnya. “Han, seriously kamu mau kita main BDSM?” ujar Rain karena Lady terus melawan dan memukul badannya. “Oke, aku nggak keberatan kalau kamu maunya begitu.” Lalu Rain membuka kemejanya dan dengan gerakan cepat mengikat kedua tangan Lady. Lady terkejut atas perlakuan Rain padanya. Ia lalu berteriak, “Tolong!!! Tolong saya! Apa ada orang di sini? Tolong saya!!!” “Sssttt… Han, jangan teriak. Lagian kamu kenapa sih tiba-tiba jadi kayak gini. Aku udah on nih, Han…” Lady menangis ketika Rain melepas penutup tubuhnya satu demi satu hingga ia tampil polos bagai manekin. Lady terus melawan dan mencoba untuk melepaskan diri, namun usahanya kembali sia-sia. Rain jauh lebih kuat. ”Kamu kenapa nangis, Han? Aku nyakitin kamu memangnya?” tanya Rain sambil membelai rambut Lady. Kecupan bibirnya di tubuh perempuan itu mulai menjalar ke mana-mana. Mulai dari bibir, leher, dada hingga bagian yang lain. Rain melucuti pakaiannya sendiri hingga tubuhnya tak berpenutup. Ia tidak memedulikan Lady yang terus merintih dan menangis. Kadang Sydney memang suka nge-drama, pikirnya. “Han, diam dulu, Han!” pinta Rain karena Lady terus meronta. Rain memegang kaki Lady dengan kedua tangannya agar tidak terus bergerak. Ia kemudian memosisikan diri di depan Lady. Bersiap-siap memasuki perempuan itu. Kerutan tercipta di dahinya ketika ia merasa kesulitan untuk masuk. Perempuan itu terasa sempit yang membuat Rain keheranan dan bertanya-tanya. Kenapa jadi sesusah ini? Perasaan, Sydney nggak begini. Sambil terus mendorong, Rain memandangi wajah Lady yang meringis menahan sakit. Detik itu juga ia tersadar kalau perempuan yang ia coba masuki bukan Sydney. Rain menarik diri sebelum berhasil masuk. “Lo masih virgin, lo bukan Sydney,” desisnya syok. Rain segera melepaskan tangan Lady yang sejak tadi terikat. Tanpa membuang waktu, Lady bangkit dari ranjang dan segera memungut pakaiannya dan memakai dengan terburu-buru. Plakkk!!! Telapak tangan Lady melayang ke pipi Rain yang membuat laki-laki itu berjengit. “Saya nggak akan pernah melupakan kebejatan anda malam ini!” kecamnya penuh kebencian. Rain membatu sambil memegang pipinya yang perih. Tidak ada yang bisa dilakukannya kecuali memandang Lady yang pergi dengan membawa air mata. ***Terbangun pagi itu, Rain menemukan dirinya di sebuah ruang asing. Ia merasa belum pernah berada di sana sebelumnya. Rain juga tahu persis bahwa ini bukanlah kamar di apartemennya, apalagi kamar di rumah bundanya.Sembari memegang kepalanya yang terasa berat, Rain mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi sehingga ia berada di tempat itu. Begitu nyawanya terkumpul, Rain segera terduduk.”Oh, shit! Gue ngapain semalam?”Pelan tapi pasti Rain berhasil mengumpulkan serpihan ingatannya. Sial. Ternyata tadi malam ia hampir saja meniduri seorang perempuan. Rain tidak ingat siapa perempuan itu karena blackout. Yang jelas bukan Sydney. Karena perempuan yang akan ditidurinya masih virgin. Rain batal menidurinya. Bagi Rain, ia tidak akan pernah meniduri perempuan yang masih perawan. Perempuan perawan adalah wanita yang akan dijadikannya istri suatu saat nanti. Bukan untuk teman tidur.Bobby. Nama itu adalah orang kedua yang melintas di benaknya. Di sela-sela ingatannya yang samar, Rain ber
Lady baru saja menyadari sesuatu. Dompet serta segenap isinya termasuk kartu identitas diri miliknya raib tanpa ia sadari. ‘Astaga! Di mana dia? Di mana dompetku?’Dalam keadaan badannya yang tidak nyaman Lady yang panik berusaha keras mencari dompet tersebut. Ia membongkar apa pun yang berada di kamarnya, namun tetap tidak menemukan apa-apa.Lady semakin cemas. Uang yang berada di dalam dompet tersebut mungkin tidak seberapa. Namun ia tidak akan bisa apa-apa tanpa kartu tanda pengenal yang turut hilang.Lama mencari dan mulai putus asa, Lady merebahkan tubuhnya ke pembaringan. Seakan deritanya belum cukup, kini ia harus diberi ujian lain. Kenapa cobaan bertubi-tubi datang menimpanya? Seolah hidupnya memang ditakdirkan untuk menderita.Air matanya hampir menetes lagi ketika ia mendengar suara ketukan di pintu rumah. Ada seseorang di depan sana. Tapi siapa? Nia sudah berangkat kerja sejak tadi setelah membelikan obat sakit kepala untuknya. Apa mungkin teman serumahnya itu balik lagi?
Menyetir sendiri, Rain pergi meninggalkan rumah kontrakan Lady. Perempuan itu meninggalkan begitu banyak kesan. Jika selama ini banyak wanita yang berebutan ingin tidur dengannya dan menggadaikan harga diri mereka, maka tidak dengan Lady. Malah dia terang-terangan menolak uang pemberian Rain.“Udah susah, masih sombong,” kecam Rain kesal. Tapi Rain bersyukur karena keadaan Lady baik-baik saja setelah kejadian malam itu. Setidaknya perempuan itu masih sehat walafiat dan masih bernapas hingga saat ini.“Lo di mana, Rain?” tanya Ale, sahabat sekaligus manajernya begitu Rain menerima telepon darinya.“Gue on the way, mau balik. Lo ke mana aja sih, nyet? Kenapa ninggalin gue semalem?” Rain balas bertanya. Hingga saat ini ia masih kesal pada ketiga temannya, terutama pada Bobby yang sudah menjebaknya.“Heh, lo duluan yang ngilang, malah bilang ninggalin.”“Ck! Kampret ya lo pada. Gue nggak ninggalin tapi--”“Udah, udah, ntar aja ceritanya. Gue mau kasih tahu, ada job buat lo, mau terima ngg
Tempat itu masih sama seperti biasanya. Sunyi dan menguarkan kesedihan. Meskipun begitu terawat, rapi dan bersih, tapi tetap saja auranya tidak akan pernah berubah.Rain melangkah di samping Kanayya sambil merangkul perempuan itu. Sementara Lady berjalan sendiri di belakang. Sejak awal ia sudah diberitahu kalau mereka akan ke tempat ini. Mengunjungi pusara ayahnya Rain yang meninggal di usia muda.Sekilas yang Lady dengar dari Kanayya, ayahnya itu tidak pernah tahu jika istrinya sedang mengandung anaknya. Menyedihkan. Rain dan Kanayya duduk bersisian menghadap makam. Sedangkan Lady di seberang mereka. Tidak ada suara yang terdengar, termasuk irama napas sekalipun. Ketiganya tampak khusyu’ berdoa.Hingga sesaat kemudian ketika Lady mengangkat muka ia mendapati muka Kanayya yang basah. Perempuan baik yang sangat diseganinya itu menangis.”Nis, aku datang sama anak kita. Sekarang Rain sudah besar. Dia beneran udah jadi pembalap meneruskan cita-cita kamu yang dulu,” isak Kanayya.“Nda, u
Rain menunggu di depan fitting room, sedangkan Lady masih berada di dalam ruangan itu. "Ngapain aja sih dia di dalam sampai selama itu?" gerutu Rain sendiri.Kehabisan rasa sabar, Rain mengetuk pintu fitting room."Hei, lo ngapain aja?" Tidak ada sahutan dari Lady yang membuat Rain bertambah kesal. Ia mengetuk pintu sekali lagi. Sebelum tangannya sempat beradu dengan daun pintu, pintu berwarna putih itu dibuka dari dalam. Sosok Lady kini berdiri tegak di hadapannya."Saya nggak cocok ya pakai baju ini?" tanya perempuan itu pada Rain. Terlihat jelas kalau dia tidak percaya diri.Rain terkesima hingga untuk detik-detik yang lama kehilangan kemampuan mengerjapkan mata."Gimana menurut anda?""Cantik banget, Dy." Suara itu berasal dari seseorang di belakang Rain. Kanayya. "Iya kan, Rain?""B aja," sahut Rain datar. "Ya udah, Nda, aku tunggu di mobil. Sumpek di sini." Lelaki itu lalu pergi meninggalkan keduanya."Dia memang begitu orangnya. Kamu nggak usah ambil hati." Kanayya tersenyum
“Rain, akhirnya kamu datang juga. Tadi Bunda kamu bilang ke Tante kalau nggak bisa datang. Jadinya kamu yang mewakili.”“Iya, Tante, Bunda yang minta aku datang ke sini,” jawab Rain pada Tiwi, teman sang bunda. Keduanya kemudian saling mendekap hangat.Tiwi kemudian mengamati perempuan yang berdiri di sebelah Rain. “Ini pacar baru kamu, Rain?”“Bukan, Tante, ini temenku.”“Temennya cantik banget,” komentar Tiwi saat melihat Lady yang berdiri kaku di sebelah Rain. Lady tersenyum tipis merespon sanjungan yang ditujukan padanya. Masa sih dirinya secantik itu? Ia merasa biasa-biasa saja. Dan selama ini belum pernah ada yang menyanjungnya dengan berlebihan.“Pembalap kita akhirnya datang juga. Tumben nih, lagi nggak sibuk?” River datang ke tengah-tengah mereka.”Nggak, Om, jadwalku kebetulan lagi kosong, makanya bisa ke sini.” Rain beralasan.River kemudian menepuk pelan pundak Rain. “Om bangga sama kamu, Rain. Nggak nyangka di umur semuda ini tapi prestasi kamu udah nggak kehitung lagi.
Rain dan Lady pulang sebelum acara pesta berakhir. Nyaris di sepanjang acara Rain tidak memedulikan dan membiarkan Lady sendirian. Sementara ia sibuk dengan teman-teman yang ditemuinya di tempat itu."Biar aku naik taksi aja," putus Lady saat Rain berniat mengantarnya pulang."Nggak, gue anter lo sampe rumah." Rain menolak ide Lady. Ia tidak mungkin membiarkan perempuan itu pulang sendirian malam-malam begini."Nggak usah kalau nggak ikhlas. Aku lebih baik naik taksi aja.""Lo tuh nggak tau terima kasih banget. Tinggal duduk diam apa salahnya? Masuk!" perintah Rain setelah membuka pintu mobil.Terpaksa Lady mengikuti kemauan laki-laki itu setelah tidak punya alasan lagi untuk menolak. Dengan cepat Rain beralih ke bangku pengemudi dan menyalakan mesin. Dalam diam, Lady mencuri pandang ke arah Rain. Lelaki itu gagah, juga terlihat angkuh di saat bersamaan. Hidungnya yang tinggi semakin menambah kesan arogan apalagi jika dilihat dari samping begini."Lo kenapa ngeliat gue kayak gitu?"
“Rain, kamu kan nggak lagi ngapa-ngapain. Jemput aku nanti siang di bandara. Aku sama Zee balik duluan. Mami sama Papi masih di Sydney.”Rain menghela napas setelah membaca pesan singkat dari Sydney. Sudah seminggu ini Sydney dan keluarganya berlibur ke Sydney. Sesuai dengan namanya, perempuan itu memang lahir di Sydney saat dulu orang tuanya bermukim di sana."Oke, Han, nanti aku jemput kamu." Rain membalas pesan tersebut.Meletakkan ponsel, Rain cepat-cepat mandi. Selama tidak ada kegiatan, hidupnya memang tidak teratur. Tidak ada yang dilakukannya selain tidur-tiduran, ngerokok, minum dan main ponsel.***Wajah cemberut Sydney adalah hal pertama yang dilihat Rain ketika ia sampai di bandara."Kangen banget sama kamu, hidup aku sepi nggak ada kamu," bisik Rain di telinga Sydney ketika ia memeluk erat perempuan itu."Bohong," tuding Sydney mengurai pelukan Rain dari tubuhnya."Bohong gimana?" Kerutan kecil tercipta di dahi Rain.Sydney mengambil ponsel dari dalam tas dan menunjukkan
Rain dan Lady duduk anteng di belakang, sedangkan Ale menyetir gelisah di belakang kemudi. To be honest, Ale merasa kurang nyaman dengan kehadiran Alana di sebelahnya. Tadinya ia ingin meminta agar Rain saja yang duduk di depan bersamanya. Sayangnya sang sahabat sudah berkata duluan dan meminta agar tantenya saja yang duduk di depan.Berada sedekat ini dengan Ale sudah cukup menggetarkan hati Alana. Kebahagiaannya memang sereceh itu. Ale mungkin tidak tahu seberapa besar perasaan Alana padanya.Alana mengenal Ale dari Zee. Kala itu sahabatnya tersebut mengatakan padanya bahwa Ale adalah putra mahkota kerajaan sebelah. Sejak awal melihat laki-laki itu Alana sudah tertarik. Ale yang cuek, cool dan menyimpan banyak misteri membuatnya penasaran. Saat mengetahui bahwa Ale menjadi asisten pribadi Rain, Alana pikir ia selangkah lebih dekat dengan Ale. Nyatanya Alana salah. Mendekati lelaki itu ternyata tidaklah semudah yang ia bayangkan.Di jok belakang Rain dan Lady sedang bermesraan. Kedua
“Duh, capek banget.” Rain menggeliat, meregangkan otot-ototnya yang kaku. Penerbangan panjang yang baru saja dijalaninya membuat tubuhnya lelah. Hal yang paling diinginkannya saat ini hanyalah beristirahat melepas penat.Rain meminta Lady yang baru saja masuk ke kamar agar mendekat padanya. “Lad, pijitin dong, aku capek banget.”Lady mengabaikan kondisi tubuhnya sendiri dan memenuhi apa yang diinginkan Rain. Tangannya memijit bagian tubuh lelaki itu. Mulai dari pundak, punggung hingga betisnya.“Enak banget pijitan kamu, Lad, bikin nagih.” Rain bergumam pelan di sela-sela kantuk yang mulai mendatanginya.Lady tersenyum tipis. “Dasar modus.””Lad, aku tidur ya, nggak apa-apa kan? Udah ngantuk nih.”“Tumben pake minta izin.”“Ntar kamunya marah kalau aku tinggal tidur.”“Ngapain juga aku marah? Orang ngantuk kok dilarang tidur.”“Sini, aku maunya tidur ditemenin sama kamu.””Katanya mau dipijit.””Pijitnya sambil rebahan bareng aku.” Rain merengkuh Lady hingga jatuh berbaring di sebelah
“Welcome home…”Lady berbisik sendiri begitu pesawat yang ditumpanginya baru saja berada di bawah langit Jakarta. Tiga hari mungkin terlalu singkat untuk menjelajah seisi Amsterdam. Tapi apa yang dialaminya selama lebih kurang sepuluh hari ini di sebagian wilayah eropa memberi kesan yang mendalam.Pemberitahuan yang mengudara di seantero pesawat agar para penumpang bersiap-siap dan memasang sabuk pengaman menandakan bahwa sesaat lagi mereka akan mendarat.Alana sudah standby di terminal kedatangan penerbangan internasional. Sudah sejak tadi ia menanti kedatangan ponakan dan istrinya.Terasa ada yang berbeda kali ini. Jika biasanya Ale yang mengantar dan menjemput ke mana-mana, maka kali ini tidak. Rain merasakan ada yang kurang tanpa Ale.“Cieee… yang baru pulang honeymoon.” Ledekan Alana menyambut kedatangan Rain dan Lady. “Mana cucu aku?”Rain terkekeh. “Dipikir bikin anak kayak bikin kue putu apa? Habis cetak langsung mateng.”Alana juga tertawa menimpali kekehan Rain. Ia kemudian
Hari pertama setelah tiba di Amsterdam Rain dan Lady mengisi waktu dengan mengelilingi kota itu.Mereka menggunakan sepeda menyusuri jalan-jalan di Amsterdam yang tidak begitu lebar. Bangunan yang mereka lihat di kanan dan kiri jalan masih mempertahankan bentuk aslinya. Terlihat klasik dan bernilai seni tinggi.Kehadiran kanal merupakan hal lain yang mereka saksikan di sana. Meskipun airnya tidak terlalu jernih namun perahu yang berlalu lalang merupakan daya tarik tersendiri yang membuat mata betah memandang.Saat ini sudah memasuki musim semi di Amsterdam. Udara yang baru saja menghangat di sana membuat banyak orang menghabiskan waktu di pinggir kanal. Mereka membaca buku sambil menikmati secangkir kopi dan bercengkrama dengan sesama. Ada juga yang datang ke sana hanya untuk berjemur sambil merenung.Bersepeda di Amsterdam bukan lagi hal yang luar biasa dan membuat tercengang. Bahkan area pedestrian di sana lebih mendapat perhatian khusus dari pemerintah setempat.Rain dan Lady menep
Rain dan Lady duduk di ruang tamu menanti sang empunya rumah. Semestinya Rain bisa langsung menerobos ke dalam karena rumah tersebut adalah rumah kakek neneknya sendiri. Namun Rain masih menjunjung tata krama dengan memilih menunggu di ruang tamu.Selagi menanti, Lady mulai menebak-nebak seperti apa penampakan orang yang akan mereka temui. Debaran jantungnya kian mengencang. Perasaan cemas tidak bisa diterima dengan baik kembali menghantuinya meskipun Rain sudah meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.Tak lama kemudian sepasang suami istri yang tidak lagi muda muncul dari arah dalam. Wajah keduanya begitu semringah begitu melihat langsung sosok yang mereka rindukan kini berada tepat di depan mata mereka.Rain dan Lady sama-sama berdiri.“Rain…”“Papa…”Rain dan Rasya saling berpelukan melepas rindu yang selama ini tertahan. Selama hitungan menit keduanya saling mendekap.Ingat pada istrinya yang juga sangat merindukan sang cucu, Rasya mengurai pelukan dari Rain dan memberi kesempa
Lady diam saja saat Rain terus menceramahinya. Justru sekarang pikirannya hanya tertuju pada seseorang yang jauh berada di benua sana. Lady sudah tidak sabar ingin menceritakan pada Ale mengenai pertemuannya dengan perempuan gipsi tadi. Lady yakin, hanya Ale yang akan memahaminya mengenai pergipsian ini. Sedangkan Rain sudah antipati duluan. Rain bukan pendengar yang baik untuk hal ini.“Kenapa diam aja?” tanya Rain yang baru menyadari jika Lady bungkam sejak tadi dan tidak merespon apa pun yang ia katakan.“Kan aku lagi dengerin kamu ngomong,” balas Lady.“Emang orang tadi bilang apa aja sih sama kamu?” Meskipun tidak pernah memercayai hal semacam itu namun Rain merasa penasaran juga dan tidak tahan untuk tidak bertanya.Lady ingin berterus terang, tapi merasa ragu. Ia khawatir akan penilaian negatif Rain nanti. Alhasil ia pun mendustai suaminya.”Dia cuma nanya nama aku.”“Terus?””Dia nanya aku berasal dari mana.”“Next?”Lady terdiam untuk sesaat. Apa ya tanggapan Rain jika tahu r
lLady terkikik geli ketika Rain menceritakan padanya mengenai obrolan dengan orang tua Reza. Siapa pun yang tidak mengenal pria itu pasti tidak akan menyangka kalau Reza mengalami gangguan jiwa. Secara kasat mata Reza tampak gagah, sehat, segar bugar dan baik-baik saja.”Bangke emang, bisa-bisanya gue dikerjain orang sakit,” rutuk Rain antara geli serta jengkel.Tawa Lady bertambah keras. Geli melihat Rain saat ini. “Pantes aja dia lebay banget ke aku. Gombalan-gombalannya bikin aku eneg, untung aja aku nggak muntah di depan dia.”Rain menimpali tawa Lady. “Emang dia bilang apa ke kamu?” tanyanya ingin tahu.”Dia bilang aku cantik, mandiri, aku perempuan istimewa, pokoknya ya gitu deh. Kamu ngeliat nggak kemarin waktu di restoran banyak banget makanan di atas meja aku? Itu semua dia yang suruh. Padahal jatah sarapan aku udah habis. Tapi emang enak-enak sih makanannya.”“Aku nggak lihat.”“Gimana mau lihat, kamu-nya udah keburu emosi. Nggak tahu aja dia yang dicemburui orang sakit. Hah
Matahari sudah tenggelam sempurna ketika Rain dan Lady tiba di hotel. Syukurlah mereka tidak bertemu dengan Reza. Cowok gesrek dengan mulut tanpa filter yang super duper menyebalkan.Setibanya di kamar keduanya sama-sama merebahkan tubuh ke pembaringan. Hari ini terasa sangat melelahkan ketimbang hari-hari sebelumnya.“Gimana? Ada berasa sakit?” tanya Rain ingin tahu keadaan Lady setelah merajah tato tadi.Lady menggelengkan kepala. “Udah enggak.” Tadi saat dirajah ia hanya merasakan sedikit rasa perih. Jika setelahnya mereka mengalami efek samping seperti alergi, gatal-gatal atau pun ruam pada kulit, mereka diharuskan untuk datang kembali.Tangan Rain lantas terulur mengusap-usap kepala Lady yang berbaring miring menghadap padanya. Keduanya tidak habis pikir pada apa yang mereka lakukan berdua.“Lad, udah yuk rebahannya. Kita check out sekarang,” cetus Rain tiba-tiba ketika ingat rencananya tadi untuk check out sorenya. Bahkan sekarang hari sudah malam.“Duh, Rain, aku capek banget,
Oh, shit!Rain dan Lady bertemu lagi dengan Reza di lobi kala mereka melintas sebelum keluar dari hotel. Pria itu sedang duduk di sofa dan berbicara dengan seseorang yang entah siapa. Mungkin salah tamu di hotel itu.Reza melempar senyum pada keduanya yang disambut Rain dengan lengosan kepala, pun dengan Lady yang buru-buru memalingkan muka. Diabaikan seperti itu bukannya sadar diri jika Rain sedang marah padanya, Reza malah berseru.“Rain! Lady! Cuaca teduh begini saya sarankan kalian ke Piazza San Marco.”Lady akhirnya memutar kepala, sekadar menghargai pria itu. “Terima kasih.”Reza balas tersenyum. Dari tempatnya duduk ia memandangi punggung Lady lekat-lekat hingga menghilang dari pandangannya. Kemudian, ia pun bangkit mengakhiri obrolan dengan lawan bicaranya.Setelah keluar dari hotel Rain mengajak Lady berjalan kaki seperti kebanyakan para wisatawan di sana. Meskipun menyimpan magnet dan cerita bagi ribuan turis yang terus membanjir setiap hari, namun sebenarnya Venice sangat