Keberangkatan tim patroli cukup pagi—dan kalau aku berpikir kami akan berangkat secara bergantian, ternyata tidak.
Reila berangkat lebih dulu dariku, dan kalau yang kupikirkan adalah rentang waktu keberangkatan yang hanya lima menit, itu salah. Reila berangkat setengah jam lebih cepat. Itu membuatku terkejut karena saat aku masih bersantai, dia sudah disibukkan dengan persiapan perlengkapan misi.
“Posisi kami lebih ke barat,” katanya. “Harus berangkat lebih dulu. Jenderal dan timnya sudah berangkat satu jam lalu.”
“Satu jam?” Aku terkejut.
“Makanya jangan kesiangan. Kapan Kakak berangkat?”
Aku melihat jam. “Harusnya setengah jam lagi.”
“Bantu aku menyusun perlengkapan.”
Ketika melepas keberangkatannya, aku mengantarnya ke bukit perbatasan. Dan ini hal aneh keduanya: tidak ada yang melepas keberangkatan. Profesor Merla juga biasa saja. Hanya dengan kasual mem
Kami terus berjalan dan berjalan. Sesekali istirahat untuk canda tawa—dan bisa kupastikan rasanya tidak seperti sedang misi. Bersama dengan Lavi selalu bisa membuat suasana sekitar berbunga-bunga. Seingatku, misi pertamaku dengan Lavi tidak seringan ini—tetapi sekarang, sungguh, aku seperti bisa menghadapi apa pun. Bersama dengan Lavi membuat suasananya sangat santai.Meski didominasi oleh trek hutan, kami tetap bertemu alam yang tidak bisa ditebak. Kami melewati hutan pohon pinus, lalu dengan cara paling aneh di alam liar, kami tiba-tiba bertemu sungai lebar dengan lembah penuh bunga. Lavi tentu bahagia. Dia mengisi botol bambu dan mencuci muka. Kami tak terlalu berkeringat, tetapi airnya sangat segar. Rasanya memang seperti ada energi baru masuk melalui pori-pori wajah. Dan entah bagaimana ketika Lavi membasuh mukanya, wajahnya kelihatan lebih berseri-seri—tidak, aku bercanda. Itu perasaan pribadiku.Di peristirahatan itu, dengan cara paling santai,
Malam itu kami bermalam di kedalaman tanah.Hanya itu satu-satunya tempat masuk akal yang terpikirkan. Lavi juga sudah mencetuskan hal sama. “Sebenarnya aku punya ide bertengger di pohon, lalu kita bergantian tidur, tapi tampaknya itu bukan ide bagus. Jadi, lebih baik aku minta kau buat semacam cekungan tanah, lalu buat jebakan alami dari pepohonan. Itu berguna menghindari hewan buas.” Aku sepakat pada gagasan itu.Sebenarnya disebut cekungan tanah juga kurang tepat. Di tengah hutan alam liar sebelum gelap, kami menemukan semacam perbedaan ketinggian tanah yang membentuk tebing kecil. Perbedaan ketinggiannya sekitar lima meter. Hanya ada dinding tanah, tetapi ketika Lavi melihatnya, dia langsung punya ide. “Forlan, kau bisa membuat cekungan tanah di dalam sini? Yang tidak bisa hancur?”Kulakukan, lalu menutupinya dengan pohon. Dari luar, tidak akan kelihatan ada cekungan tanah. Masalahnya hanya satu: penerangan. Kami tidak bisa membuat ap
Meski sudah berusaha menghindarinya, aku tetap bermimpi.Dan aku tidak tahu harus bersyukur atau tidak, tetapi kilasan pertama yang kulihat ketika sadar tengah bermimpi, adalah citra Bibi di gubuknya. Lagi-lagi dan lagi. Fin sempat memperingati kalau mungkin akan berkali-kali melihat Bibi dalam mimpi—ingatan Bibi akan semakin bercampur dengan ingatanku tanpa henti—dan aku sudah berusaha mempersiapkan diri. Namun, tetap saja rasanya menyakitkan. Rasanya pedih melihat Bibi dalam mimpi.Citra pertama yang kulihat, adalah Bibi yang duduk di kursi goyang—agak kelihatan bosan karena dia memandang ladang bunga dengan sorot lurus. Aku agak asing dengan jalur waktu yang terjadi di mimpi ini—sampai tiba-tiba Ibu terlihat di citra itu, membawakan dua cangkir ke meja beranda. Ibu duduk di sebelah Bibi—duduk di kursi goyang lain. Kupikirkan mereka akan mengobrol, tetapi dalam jeda panjang yang membuat mereka memandang ladang bunga, mereka hanya diam.
Aku terbangun satu jam lebih awal dari Lavi.Lavi masih terlelap. Dari jam tangannya, jarum jam masih sekitar 4 pagi.Posisi kami tidak berubah. Aku masih memeluk Lavi. Lavi juga semakin nyaman menyandar. Kuputuskan tetap di posisi itu. Kalau pun berubah, barangkali hanya Lavi yang mengerang kecil karena kenyamanannya terganggu. Aku berusaha sebaik mungkin membuatnya tetap nyaman meski juga berusaha mencari posisi.Kabar baiknya, dia tidak bangun. Kabar buruknya, aku tidak bisa bergerak. Satu-satunya yang bisa kulakukan hanya menyandar lembut ke sisi kepalanya, atau semakin memeluknya. Kurasa keadaan ini juga tidak buruk.Lavi baru bangun sekitar jam lima. Sejujurnya aku tidak sadar karena juga memejamkan mata. Aku hanya merasa tiba-tiba dia bergerak lebih banyak, lalu aku merasa ada yang mencium pipiku, jadi aku membuka mata, dan kusadari dia sudah bangun. Matanya setengah terbuka. Masih setengah mengantuk. Lavi memasang senyum lebar sembari menyandar di
Sebelum berangkat, aku memberitahu Lavi semua situasi yang kumengerti dari pemantauan yang kulakukan bersama Fin.“Sejujurnya tidak banyak berhasil,” jelasku. “Fin sulit membuat komunikasi dengan roh alam sekitar sana. Katanya populasi roh alam di sana sangat minim—yang menurutku dan juga Fin cukup janggal. Alam liar selalu punya populasi roh alam paling berlimpah. Kalau pun minim, biasanya antara dua hal.”“Dua hal,” gumam Lavi, memahami.“Pertama, karena batu kristal musuh—penyebab yang berhasil kita mengerti dari misi gubuk hutan. Yang dalam artian lain, keberadaan monster juga membuat roh alam menjauh. Mereka benci keberadaan monster.”“Oke. Kedua?”“Tempat itu bekas pertumpahan darah.”Kurang lebih Lavi tidak bergeming sama sekali mendengar itu. Jangankan mengubah ekspresi, sorotnya saja tidak berubah seolah sudah menduga itu.“Jadi, pemisah
Medan menuju titik putih ternyata semakin terjal—yang semakin membuat Lavi curiga tentang keberadaan musuh. Gagasan musuh selalu membuat markas di area sangat terjal masih terbayang jelas di kepala kami.Dan kurang lebih aura ketika kami semakin dekat titik putih juga semakin dingin. Kuanggap itu karena persepsi kami yang kacau—semua asumsi buruk sudah memenuhi kepala kami, jadi rasanya gagasan aneh mulai menguasai jalannya misi. Bukan berarti itu buruk, tetapi itu mengganggu pola pikir selama misi.Kurasa titik putih itu memang hanya bisa dilihat dari dekat. Topografi hutan semakin kacau—ranting pohon sudah tidak punya bentuk lagi, ada yang berputar-putar di dekat tanah, ada yang melingkar ke segala arah, ada yang dipenuhi lumut sampai mirip tanah, ada juga pohon berdahan raksasa tanpa daun yang menghalangi jalan—sungguh, itu membuat kami tidak bisa melihat area depan cukup jelas. Kalau pun ada yang harus kami waspadai, itu bukan dinding putih
Lavi memakai kompas dan peta agar kami bisa tetap mengarah ke titik akhir patroli. Dilihat dari perbedaan panjangnya jalur yang kami lalui di peta, Lavi punya gagasan: “Mungkin sekitar sebelas jam perjalanan. Kita bisa sampai di titik patroli saat malam. Bagaimana?”“Dengan asumsi tidak ada musuh,” kataku, mengingatkan.“Dan tidak ada halangan berarti lain.” Lavi menghela napas. Kami tidak lagi terlapiskan kabut. Dia kembali memberikan peta padaku, lalu menyimpan kompas dalam jubah. Awalnya Lavi melihat titik patroli di kejauhan, tetapi kemudian dia kembali menoleh, melihat genangan air di dalam dinding. Kami masih di puncak dinding putih. Tidak ada yang mencurigakan, kecuali genangan air.Kalau kupikirkan pemisah alam hanya wilayah jurang kecil, itu jelas salah. Dinding ini benar-benar luas. Kami butuh waktu hanya untuk sampai di jalur—yang menurut Lavi—kembali pada jalur misi. Kami mengitari hampir setengah dindi
Sore harinya, kami tiba di titik tujuan patroli. Lebih cepat dari perkiraan.Titik tujuan patroli kami ternyata hanya hutan biasa. Lavi memeriksa lokasi koordinat dengan alat pelacak—yang tampaknya mulai kelihatan fungsinya karena kami berhasil menemukan cara membaca koordinat di peta buatan Nuel. Jadi, titik tujuan kami hanya hutan biasa. Sangat normal—senormal trek yang kami lalui di sepanjang perjalanan. Hanya kumpulan pohon dan rerumputan tinggi di alam liar. Pemandangan biasa yang bisa ditemui siapa pun di tengah misi.Lavi juga memakai alat pelacak gelombang yang digunakan tim penjelajah musuh. Entah bagaimana tim peneliti berhasil menduplikat alat cukup berlimpah—tampaknya Dalton juga terlibat di pembuatannya. Namun, sejauh yang kuingat dari bentuk alat, kini alat itu lebih bersahabat digenggam. Setidaknya, alat itu lebih mirip seperti ponsel kecil yang tidak perlu ruangan besar untuk penyimpanan. Kami bisa menyelipkan itu di lapisan jubah atau
Lavi meneguk cokelatnya sampai habis sebelum mulai melanjutkan.“Sejak dulu aku tidak bermaksud dekat dengan siapa pun,” katanya. “Aku... suka menyendiri. Kata orang, aku selalu dekat dengan si kapten baru ini, tapi—apa yang mereka tahu? Aku lebih sering menyendiri—dulu belum ada gerha, Tempat favoritku menyendiri hanya Joglo atau ladang bunga. Dulu aku sering ikut Dhiena dan Mika merawat ladang bunga. Tapi semakin aku dikabarkan dekat dengan si kapten, Dhiena dan Mika juga terkesan menjauhiku seolah itu cara mereka berkata tidak suka aku dekat dengan tim penyerang. Aku semakin sendiri, dan di titik itulah aku sadar betapa aku mulai benci diriku sendiri. Aku benci menyendiri. Aku benci merasakan sepi. Tapi aku tidak bisa pergi dari sepi. Dan orang ini—si kapten ini hanya ingin dipuaskan tanpa memikirkanku. Dan di waktu sama aku mendengar dia memakai namaku untuk membanggakan dirinya—seolah dia berhasil mendapatkan diriku yang jatuh pa
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da
Sorenya, untuk pertama kali sejak tahu air terjun belakang gerhaku adalah wilayah Aza, aku memasukinya. Aku tak pernah memasukinya lagi sejak mengerti identitas asli kemampuanku. Namun, kini, aku tidak bisa menahannya lagi. Tak ada bukti kalau Aza terlibat di kejadian ibuku, tetapi dia pasti tahu sesuatu. Aza selama ini seperti itu. Dia menyembunyikan banyak kebenaran.Jadi, dengan impulsif aku menembus pepohonan. Suara air terjun semakin besar. Nuansanya semakin segar. Lavi tidak tahu. Dia masih di gerha bersama Reila dan Fal. Aku bergegas, dalam sekejap langsung menemukan air terjun dengan mata air asli. Suaranya keras, tetapi juga menenangkan. Kepalaku langsung didesak oleh nuansa segar dan aku melihat bunga berkilau biru bermekaran di tempat yang bisa membuatnya semakin indah. Dalam sekejap, ketika aku berdiri di dekat air terjun dan merasakan cipratan air, aku bisa merasakan keberadaan Aza di mana-mana.“Aza!” seruku.Suaraku agak tertutup air t