Dengan segala hormat, perlu kubilang kalau aku harus meralat gagasan yang kuucapkan sebelum ini: secara teknis, sistem ini merepotkan.
Sistem ini benar-benar mengubah interaksiku dengan Lavi. Maksudku, aku punya gagasan kalau tidak mau terlalu sering membicarakan medan tempur saat bersama Lavi—yang aku yakin Lavi juga berpikir seperti itu. Namun, sistem ini tak lagi mengizinkan kami banyak mengobrol santai. Tiba-tiba saja obrolan soal medan tempur sudah mengitari kami lebih banyak dari biasanya.
Sehari sebelum keberangkatan misi—ketika biasanya kami menghabiskan waktu dengan bermalas-malasan, kami justru lebih sering berada di papan tempat peta enam belas titik terpasang. Titik itu terlalu banyak—bahkan jaraknya kelewat jauh satu sama lain jika harus kami lakukan berdua. Belum lagi, tidak ada yang tahu apa arti sebenarnya dari titik-titik itu. Hanya wilayah terduga dari regu Berlin.
“Masih ada tiga belas titik lagi,” gumamku, entah
Keberangkatan tim patroli cukup pagi—dan kalau aku berpikir kami akan berangkat secara bergantian, ternyata tidak.Reila berangkat lebih dulu dariku, dan kalau yang kupikirkan adalah rentang waktu keberangkatan yang hanya lima menit, itu salah. Reila berangkat setengah jam lebih cepat. Itu membuatku terkejut karena saat aku masih bersantai, dia sudah disibukkan dengan persiapan perlengkapan misi.“Posisi kami lebih ke barat,” katanya. “Harus berangkat lebih dulu. Jenderal dan timnya sudah berangkat satu jam lalu.”“Satu jam?” Aku terkejut.“Makanya jangan kesiangan. Kapan Kakak berangkat?”Aku melihat jam. “Harusnya setengah jam lagi.”“Bantu aku menyusun perlengkapan.”Ketika melepas keberangkatannya, aku mengantarnya ke bukit perbatasan. Dan ini hal aneh keduanya: tidak ada yang melepas keberangkatan. Profesor Merla juga biasa saja. Hanya dengan kasual mem
Kami terus berjalan dan berjalan. Sesekali istirahat untuk canda tawa—dan bisa kupastikan rasanya tidak seperti sedang misi. Bersama dengan Lavi selalu bisa membuat suasana sekitar berbunga-bunga. Seingatku, misi pertamaku dengan Lavi tidak seringan ini—tetapi sekarang, sungguh, aku seperti bisa menghadapi apa pun. Bersama dengan Lavi membuat suasananya sangat santai.Meski didominasi oleh trek hutan, kami tetap bertemu alam yang tidak bisa ditebak. Kami melewati hutan pohon pinus, lalu dengan cara paling aneh di alam liar, kami tiba-tiba bertemu sungai lebar dengan lembah penuh bunga. Lavi tentu bahagia. Dia mengisi botol bambu dan mencuci muka. Kami tak terlalu berkeringat, tetapi airnya sangat segar. Rasanya memang seperti ada energi baru masuk melalui pori-pori wajah. Dan entah bagaimana ketika Lavi membasuh mukanya, wajahnya kelihatan lebih berseri-seri—tidak, aku bercanda. Itu perasaan pribadiku.Di peristirahatan itu, dengan cara paling santai,
Malam itu kami bermalam di kedalaman tanah.Hanya itu satu-satunya tempat masuk akal yang terpikirkan. Lavi juga sudah mencetuskan hal sama. “Sebenarnya aku punya ide bertengger di pohon, lalu kita bergantian tidur, tapi tampaknya itu bukan ide bagus. Jadi, lebih baik aku minta kau buat semacam cekungan tanah, lalu buat jebakan alami dari pepohonan. Itu berguna menghindari hewan buas.” Aku sepakat pada gagasan itu.Sebenarnya disebut cekungan tanah juga kurang tepat. Di tengah hutan alam liar sebelum gelap, kami menemukan semacam perbedaan ketinggian tanah yang membentuk tebing kecil. Perbedaan ketinggiannya sekitar lima meter. Hanya ada dinding tanah, tetapi ketika Lavi melihatnya, dia langsung punya ide. “Forlan, kau bisa membuat cekungan tanah di dalam sini? Yang tidak bisa hancur?”Kulakukan, lalu menutupinya dengan pohon. Dari luar, tidak akan kelihatan ada cekungan tanah. Masalahnya hanya satu: penerangan. Kami tidak bisa membuat ap
Meski sudah berusaha menghindarinya, aku tetap bermimpi.Dan aku tidak tahu harus bersyukur atau tidak, tetapi kilasan pertama yang kulihat ketika sadar tengah bermimpi, adalah citra Bibi di gubuknya. Lagi-lagi dan lagi. Fin sempat memperingati kalau mungkin akan berkali-kali melihat Bibi dalam mimpi—ingatan Bibi akan semakin bercampur dengan ingatanku tanpa henti—dan aku sudah berusaha mempersiapkan diri. Namun, tetap saja rasanya menyakitkan. Rasanya pedih melihat Bibi dalam mimpi.Citra pertama yang kulihat, adalah Bibi yang duduk di kursi goyang—agak kelihatan bosan karena dia memandang ladang bunga dengan sorot lurus. Aku agak asing dengan jalur waktu yang terjadi di mimpi ini—sampai tiba-tiba Ibu terlihat di citra itu, membawakan dua cangkir ke meja beranda. Ibu duduk di sebelah Bibi—duduk di kursi goyang lain. Kupikirkan mereka akan mengobrol, tetapi dalam jeda panjang yang membuat mereka memandang ladang bunga, mereka hanya diam.
Aku terbangun satu jam lebih awal dari Lavi.Lavi masih terlelap. Dari jam tangannya, jarum jam masih sekitar 4 pagi.Posisi kami tidak berubah. Aku masih memeluk Lavi. Lavi juga semakin nyaman menyandar. Kuputuskan tetap di posisi itu. Kalau pun berubah, barangkali hanya Lavi yang mengerang kecil karena kenyamanannya terganggu. Aku berusaha sebaik mungkin membuatnya tetap nyaman meski juga berusaha mencari posisi.Kabar baiknya, dia tidak bangun. Kabar buruknya, aku tidak bisa bergerak. Satu-satunya yang bisa kulakukan hanya menyandar lembut ke sisi kepalanya, atau semakin memeluknya. Kurasa keadaan ini juga tidak buruk.Lavi baru bangun sekitar jam lima. Sejujurnya aku tidak sadar karena juga memejamkan mata. Aku hanya merasa tiba-tiba dia bergerak lebih banyak, lalu aku merasa ada yang mencium pipiku, jadi aku membuka mata, dan kusadari dia sudah bangun. Matanya setengah terbuka. Masih setengah mengantuk. Lavi memasang senyum lebar sembari menyandar di
Sebelum berangkat, aku memberitahu Lavi semua situasi yang kumengerti dari pemantauan yang kulakukan bersama Fin.“Sejujurnya tidak banyak berhasil,” jelasku. “Fin sulit membuat komunikasi dengan roh alam sekitar sana. Katanya populasi roh alam di sana sangat minim—yang menurutku dan juga Fin cukup janggal. Alam liar selalu punya populasi roh alam paling berlimpah. Kalau pun minim, biasanya antara dua hal.”“Dua hal,” gumam Lavi, memahami.“Pertama, karena batu kristal musuh—penyebab yang berhasil kita mengerti dari misi gubuk hutan. Yang dalam artian lain, keberadaan monster juga membuat roh alam menjauh. Mereka benci keberadaan monster.”“Oke. Kedua?”“Tempat itu bekas pertumpahan darah.”Kurang lebih Lavi tidak bergeming sama sekali mendengar itu. Jangankan mengubah ekspresi, sorotnya saja tidak berubah seolah sudah menduga itu.“Jadi, pemisah
Medan menuju titik putih ternyata semakin terjal—yang semakin membuat Lavi curiga tentang keberadaan musuh. Gagasan musuh selalu membuat markas di area sangat terjal masih terbayang jelas di kepala kami.Dan kurang lebih aura ketika kami semakin dekat titik putih juga semakin dingin. Kuanggap itu karena persepsi kami yang kacau—semua asumsi buruk sudah memenuhi kepala kami, jadi rasanya gagasan aneh mulai menguasai jalannya misi. Bukan berarti itu buruk, tetapi itu mengganggu pola pikir selama misi.Kurasa titik putih itu memang hanya bisa dilihat dari dekat. Topografi hutan semakin kacau—ranting pohon sudah tidak punya bentuk lagi, ada yang berputar-putar di dekat tanah, ada yang melingkar ke segala arah, ada yang dipenuhi lumut sampai mirip tanah, ada juga pohon berdahan raksasa tanpa daun yang menghalangi jalan—sungguh, itu membuat kami tidak bisa melihat area depan cukup jelas. Kalau pun ada yang harus kami waspadai, itu bukan dinding putih
Lavi memakai kompas dan peta agar kami bisa tetap mengarah ke titik akhir patroli. Dilihat dari perbedaan panjangnya jalur yang kami lalui di peta, Lavi punya gagasan: “Mungkin sekitar sebelas jam perjalanan. Kita bisa sampai di titik patroli saat malam. Bagaimana?”“Dengan asumsi tidak ada musuh,” kataku, mengingatkan.“Dan tidak ada halangan berarti lain.” Lavi menghela napas. Kami tidak lagi terlapiskan kabut. Dia kembali memberikan peta padaku, lalu menyimpan kompas dalam jubah. Awalnya Lavi melihat titik patroli di kejauhan, tetapi kemudian dia kembali menoleh, melihat genangan air di dalam dinding. Kami masih di puncak dinding putih. Tidak ada yang mencurigakan, kecuali genangan air.Kalau kupikirkan pemisah alam hanya wilayah jurang kecil, itu jelas salah. Dinding ini benar-benar luas. Kami butuh waktu hanya untuk sampai di jalur—yang menurut Lavi—kembali pada jalur misi. Kami mengitari hampir setengah dindi