Beranda / Fantasi / Selubung Memori / 456. PANJI PATROLI #7

Share

456. PANJI PATROLI #7

last update Terakhir Diperbarui: 2024-03-06 13:00:33

Pada akhirnya, aku memancing Lavi bicara.

Lavi punya gagasan ingin bermalas-malasan sebelum berangkat, tetapi aku ingin dengar semua yang terjadi di Rapat Dewan, jadi aku memaksanya bangun—yang kurang lebih membuatnya mengerang panjang. Dia menggerutu sewaktu aku menata bidak catur di meja kecil. Tampaknya hari ini dia kekurangan motivasi.

Dia mengonfirmasi semua yang dikatakan Haswin—tentang tiga petinggi yang mengendalikan misi sampai dia yang menjadi orang pertama membantah soal sistem lama. Dia mengonfirmasi semua hal, jadi aku tahu Haswin tidak mengarang cerita sama sekali—dan Lavi memang tidak berniat menceritakan itu padaku. Lavi mengatakannya blak-blakan sembari menggerakkan bidak putih. “Aku tahu Haswin cerita lebih dulu saat kalian membicarakan ladang bunga.”

“Aku tidak suka jawaban itu,” balasku, jujur-jujur saja.

“Aku mau cerita, kok, sungguh,” belanya, langsung—setelah menyaksikan sa

Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Selubung Memori   457. PANJI PATROLI #8

    Dengan segala hormat, perlu kubilang kalau aku harus meralat gagasan yang kuucapkan sebelum ini: secara teknis, sistem ini merepotkan.Sistem ini benar-benar mengubah interaksiku dengan Lavi. Maksudku, aku punya gagasan kalau tidak mau terlalu sering membicarakan medan tempur saat bersama Lavi—yang aku yakin Lavi juga berpikir seperti itu. Namun, sistem ini tak lagi mengizinkan kami banyak mengobrol santai. Tiba-tiba saja obrolan soal medan tempur sudah mengitari kami lebih banyak dari biasanya.Sehari sebelum keberangkatan misi—ketika biasanya kami menghabiskan waktu dengan bermalas-malasan, kami justru lebih sering berada di papan tempat peta enam belas titik terpasang. Titik itu terlalu banyak—bahkan jaraknya kelewat jauh satu sama lain jika harus kami lakukan berdua. Belum lagi, tidak ada yang tahu apa arti sebenarnya dari titik-titik itu. Hanya wilayah terduga dari regu Berlin.“Masih ada tiga belas titik lagi,” gumamku, entah

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-08
  • Selubung Memori   458. DARAH MONSTER #1

    Keberangkatan tim patroli cukup pagi—dan kalau aku berpikir kami akan berangkat secara bergantian, ternyata tidak.Reila berangkat lebih dulu dariku, dan kalau yang kupikirkan adalah rentang waktu keberangkatan yang hanya lima menit, itu salah. Reila berangkat setengah jam lebih cepat. Itu membuatku terkejut karena saat aku masih bersantai, dia sudah disibukkan dengan persiapan perlengkapan misi.“Posisi kami lebih ke barat,” katanya. “Harus berangkat lebih dulu. Jenderal dan timnya sudah berangkat satu jam lalu.”“Satu jam?” Aku terkejut.“Makanya jangan kesiangan. Kapan Kakak berangkat?”Aku melihat jam. “Harusnya setengah jam lagi.”“Bantu aku menyusun perlengkapan.”Ketika melepas keberangkatannya, aku mengantarnya ke bukit perbatasan. Dan ini hal aneh keduanya: tidak ada yang melepas keberangkatan. Profesor Merla juga biasa saja. Hanya dengan kasual mem

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-10
  • Selubung Memori   459. DARAH MONSTER #2

    Kami terus berjalan dan berjalan. Sesekali istirahat untuk canda tawa—dan bisa kupastikan rasanya tidak seperti sedang misi. Bersama dengan Lavi selalu bisa membuat suasana sekitar berbunga-bunga. Seingatku, misi pertamaku dengan Lavi tidak seringan ini—tetapi sekarang, sungguh, aku seperti bisa menghadapi apa pun. Bersama dengan Lavi membuat suasananya sangat santai.Meski didominasi oleh trek hutan, kami tetap bertemu alam yang tidak bisa ditebak. Kami melewati hutan pohon pinus, lalu dengan cara paling aneh di alam liar, kami tiba-tiba bertemu sungai lebar dengan lembah penuh bunga. Lavi tentu bahagia. Dia mengisi botol bambu dan mencuci muka. Kami tak terlalu berkeringat, tetapi airnya sangat segar. Rasanya memang seperti ada energi baru masuk melalui pori-pori wajah. Dan entah bagaimana ketika Lavi membasuh mukanya, wajahnya kelihatan lebih berseri-seri—tidak, aku bercanda. Itu perasaan pribadiku.Di peristirahatan itu, dengan cara paling santai,

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-12
  • Selubung Memori   460. DARAH MONSTER #3

    Malam itu kami bermalam di kedalaman tanah.Hanya itu satu-satunya tempat masuk akal yang terpikirkan. Lavi juga sudah mencetuskan hal sama. “Sebenarnya aku punya ide bertengger di pohon, lalu kita bergantian tidur, tapi tampaknya itu bukan ide bagus. Jadi, lebih baik aku minta kau buat semacam cekungan tanah, lalu buat jebakan alami dari pepohonan. Itu berguna menghindari hewan buas.” Aku sepakat pada gagasan itu.Sebenarnya disebut cekungan tanah juga kurang tepat. Di tengah hutan alam liar sebelum gelap, kami menemukan semacam perbedaan ketinggian tanah yang membentuk tebing kecil. Perbedaan ketinggiannya sekitar lima meter. Hanya ada dinding tanah, tetapi ketika Lavi melihatnya, dia langsung punya ide. “Forlan, kau bisa membuat cekungan tanah di dalam sini? Yang tidak bisa hancur?”Kulakukan, lalu menutupinya dengan pohon. Dari luar, tidak akan kelihatan ada cekungan tanah. Masalahnya hanya satu: penerangan. Kami tidak bisa membuat ap

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-14
  • Selubung Memori   461. DARAH MONSTER #4

    Meski sudah berusaha menghindarinya, aku tetap bermimpi.Dan aku tidak tahu harus bersyukur atau tidak, tetapi kilasan pertama yang kulihat ketika sadar tengah bermimpi, adalah citra Bibi di gubuknya. Lagi-lagi dan lagi. Fin sempat memperingati kalau mungkin akan berkali-kali melihat Bibi dalam mimpi—ingatan Bibi akan semakin bercampur dengan ingatanku tanpa henti—dan aku sudah berusaha mempersiapkan diri. Namun, tetap saja rasanya menyakitkan. Rasanya pedih melihat Bibi dalam mimpi.Citra pertama yang kulihat, adalah Bibi yang duduk di kursi goyang—agak kelihatan bosan karena dia memandang ladang bunga dengan sorot lurus. Aku agak asing dengan jalur waktu yang terjadi di mimpi ini—sampai tiba-tiba Ibu terlihat di citra itu, membawakan dua cangkir ke meja beranda. Ibu duduk di sebelah Bibi—duduk di kursi goyang lain. Kupikirkan mereka akan mengobrol, tetapi dalam jeda panjang yang membuat mereka memandang ladang bunga, mereka hanya diam.

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-16
  • Selubung Memori   462. DARAH MONSTER #5

    Aku terbangun satu jam lebih awal dari Lavi.Lavi masih terlelap. Dari jam tangannya, jarum jam masih sekitar 4 pagi.Posisi kami tidak berubah. Aku masih memeluk Lavi. Lavi juga semakin nyaman menyandar. Kuputuskan tetap di posisi itu. Kalau pun berubah, barangkali hanya Lavi yang mengerang kecil karena kenyamanannya terganggu. Aku berusaha sebaik mungkin membuatnya tetap nyaman meski juga berusaha mencari posisi.Kabar baiknya, dia tidak bangun. Kabar buruknya, aku tidak bisa bergerak. Satu-satunya yang bisa kulakukan hanya menyandar lembut ke sisi kepalanya, atau semakin memeluknya. Kurasa keadaan ini juga tidak buruk.Lavi baru bangun sekitar jam lima. Sejujurnya aku tidak sadar karena juga memejamkan mata. Aku hanya merasa tiba-tiba dia bergerak lebih banyak, lalu aku merasa ada yang mencium pipiku, jadi aku membuka mata, dan kusadari dia sudah bangun. Matanya setengah terbuka. Masih setengah mengantuk. Lavi memasang senyum lebar sembari menyandar di

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-18
  • Selubung Memori   463. DARAH MONSTER #6

    Sebelum berangkat, aku memberitahu Lavi semua situasi yang kumengerti dari pemantauan yang kulakukan bersama Fin.“Sejujurnya tidak banyak berhasil,” jelasku. “Fin sulit membuat komunikasi dengan roh alam sekitar sana. Katanya populasi roh alam di sana sangat minim—yang menurutku dan juga Fin cukup janggal. Alam liar selalu punya populasi roh alam paling berlimpah. Kalau pun minim, biasanya antara dua hal.”“Dua hal,” gumam Lavi, memahami.“Pertama, karena batu kristal musuh—penyebab yang berhasil kita mengerti dari misi gubuk hutan. Yang dalam artian lain, keberadaan monster juga membuat roh alam menjauh. Mereka benci keberadaan monster.”“Oke. Kedua?”“Tempat itu bekas pertumpahan darah.”Kurang lebih Lavi tidak bergeming sama sekali mendengar itu. Jangankan mengubah ekspresi, sorotnya saja tidak berubah seolah sudah menduga itu.“Jadi, pemisah

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-20
  • Selubung Memori   464. DARAH MONSTER #7

    Medan menuju titik putih ternyata semakin terjal—yang semakin membuat Lavi curiga tentang keberadaan musuh. Gagasan musuh selalu membuat markas di area sangat terjal masih terbayang jelas di kepala kami.Dan kurang lebih aura ketika kami semakin dekat titik putih juga semakin dingin. Kuanggap itu karena persepsi kami yang kacau—semua asumsi buruk sudah memenuhi kepala kami, jadi rasanya gagasan aneh mulai menguasai jalannya misi. Bukan berarti itu buruk, tetapi itu mengganggu pola pikir selama misi.Kurasa titik putih itu memang hanya bisa dilihat dari dekat. Topografi hutan semakin kacau—ranting pohon sudah tidak punya bentuk lagi, ada yang berputar-putar di dekat tanah, ada yang melingkar ke segala arah, ada yang dipenuhi lumut sampai mirip tanah, ada juga pohon berdahan raksasa tanpa daun yang menghalangi jalan—sungguh, itu membuat kami tidak bisa melihat area depan cukup jelas. Kalau pun ada yang harus kami waspadai, itu bukan dinding putih

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-22

Bab terbaru

  • Selubung Memori   613. HUTAN BEKU #1

    Pencarian tetap dilanjutkan. Timnya tetap. Jadi, Lavi bertahan denganku di ruangan itu sampai setidaknya aku bisa bergerak lancar lagi. Semua orang percaya Lavi tidak akan membuatku melakukan hal aneh-aneh, dan kuakui itu benar. Hanya dengan melihat Lavi yang kacau saja, aku tahu tidak akan bisa aneh-aneh—meski hal yang kulakukan tadi tidak kurencanakan untuk berakhir seaneh itu.Aku hanya menyandarkan punggung di gundukan tanah, dan Lavi duduk di sisiku. Kurang lebih, kami hening beberapa saat.“Aku,” kata Lavi, “tahu kau takkan kenapa-kenapa.”“Ya,” kataku.“Tapi tadi... aku merasa bakal kehilanganmu. Aku takut.”“Ya.”“Jangan membuatku jantungan lagi. Aku tidak suka melihatnya.”“Ya,” kali ini aku berjanji.Tubuhku sudah lumayan ringan. Setidaknya, kembali seperti sebelum aku melakukan rangkaian pelepasan energi besar. Jadi, alih-alih L

  • Selubung Memori   612. GUA TEBING #9

    Reila berniat menyergahku dengan beragam pertanyaan—sudah kelihatan dari wajahnya, tetapi kubilang, “Lavi.”Aku hanya menyebut namanya, tetapi Lavi mengerti. Dia mendekat ke Reila yang membuat Reila heran, tetapi Lavi tidak menunggu tuntutan Reila karena sudah meminta Reila menjauh dan berkata, “Jangan terlalu banyak menuntut pada orang yang berusaha menggapai informasi. Aku bisa mengerti kau ingin bertemu ibumu, tapi sebagai tim dan sebagai orang yang dipercaya, aku harus menahanmu.”Reila semakin ingin menuntut, tetapi aura Lavi mendadak menajam.Kurang lebih itu dirasakan Profesor Merla dan Leo juga.“Lavi, jangan terlalu menekannya,” kataku.“Maaf,” kata Lavi.Aku mengulurkan lengan seperti berusaha menggapai sesuatu. Di depanku hanya ada dinding tanah, tetapi aku tetap di posisi itu dan mulai memejamkan mata. Kurasakan aliran energi di sekitar. Kurasakan aura Ibu. Kurasakan juga aura

  • Selubung Memori   611. GUA TEBING #8

    Tidak lama kemudian, Leo dan Jenderal muncul dari kegelapan gua.Aku sudah duduk bersama Reila di tumpukan batu. Begitu menyadari Leo dan Jenderal yang kembali, Reila langsung mengangkat kepala. Namun, mendapati ekspresi yang dibuat Leo, kami semua tahu jawabannya.“Tidak ada,” Leo tetap menjelaskan.“Tidak ada petunjuk juga?” tanya Nadir.“Kami belum sedetail itu mencarinya. Hanya memasuki ruangan terdekat. Bagian dalamnya benar-benar gelap. Tidak ada penerangan. Tapi udara masih ada. Kita masih bisa bernapas normal. Kemampuan Helvin tidak sepenuhnya hilang—dan... ya, masih ada kemungkinan Bibi Meri ada di bagian dalam. Bibi Meri mampu merasakan ujung lain gua. Mungkin dia berjalan menelusuri itu.”Aku tahu Leo bermaksud menenangkan kami dengan gagasan itu.Namun, aku juga tahu apa yang sudah kupikirkan. Kemungkinannya sangat kecil Ibu bisa menelusuri gua gelap yang bahkan belum pernah dia kunjungi&

  • Selubung Memori   610. GUA TEBING #7

    Pintu gua itu lebih mirip seperti cekungan tanah raksasa yang menjorok ke dalam. Bebatuan raksasa menutupi sebagian besar pintu masuk, jadi kesimpulan itu tepat: pintu gua ini tertutup. Dan sangat rapi seolah bukan dengan bebatuan, tetapi dengan tanah yang berbentuk sama seperti pola dinding tebing sekitarnya.Bagian dalamnya gelap. Sangat gelap. Aku seperti melihat kegelapan yang berniat menelanku. Pintu masuk gua hanya terbuka sebagian. Itu artinya, cahayanya juga sangat minim. Hanya bisa masuk sekitar setengah pintu masuk gua. Cahayanya hanya bisa mencapai beberapa meter dari mulut gua.Lavi sedang duduk di bagian dalam gua, tidak jauh dari bebatuan yang jatuh bersama Nadir. Jenderal dan Leo tidak ada batang hidungnya. Lavi melihat kami yang tiba di mulut gua, dan dia langsung berdiri, mengulurkan tangan padaku yang berdiri di mulut gua. Aku tidak bergerak, hanya menatap kegelapan di dalam gua. Lavi langsung memelukku.“Bersabarlah, jangan berpikir aneh

  • Selubung Memori   609. GUA TEBING #6

    [“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P

  • Selubung Memori   608. GUA TEBING #5

    Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga

  • Selubung Memori   607. GUA TEBING #4

    Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit

  • Selubung Memori   606. GUA TEBING #3

    Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny

  • Selubung Memori   605. GUA TEBING #2

    Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status