Aku baru tahu Lavi bisa demam.
Isha bilang itu cukup wajar. Biasanya dialami karena aliran energi pemilik kemampuan tidak bekerja sempurna. Jadi, Isha cuma menyarankan, “Bawa saja ini. Empon-empon. Suruh dia istirahat. Besok pagi setelah bangun, minum lagi sebotol. Jangan paksa dia terjaga. Empon-empon cuma meredakan gejala.”
“Memangnya kalau parah bisa seperti apa?”
“Kejang-kejang. Mati. Masalahnya di aliran energinya.”
Aku langsung melompat mencari Elka.
Haswin pernah bilang kalau butuh sesuatu di jam malam, aturannya harus lapor di bukit perbatasan, jadi aku hampir beranjak ke sana, tetapi tiba-tiba bertemu Elka yang sedang berputar di jalur penghubung.
“Brengsek!” umpatnya, saat aku melapor. “Kau cuma mau bercumbu!”
“Kau tidak lihat aku bawa empon-empon?”
“Cuma alasan!”
“Bego. Sudahlah. Aku pergi sekarang. Lavi bisa kejang-kejan
Sekarang aku mengerti bagaimana citra roh alam bisa muncul.Ketika pagi tiba, aku tahu Lavi terbangun, tetapi dia tidak menghampiriku. Tampaknya dia langsung merasakan posisiku yang masih di gerhanya. Kupikirkan dia akan menuntut mengapa tidak menemukanku masih tidur di sebelahnya, tetapi ternyata tidak. Dia bergerak ke kamar mandi. Dia pasti lama membasuh diri—jadi aku tetap melanjutkan latihan pagi. Kondisi benakku lebih tenang dari malam saat di kano, jadi untuk beberapa kali percobaan, hasilnya bisa lebih baik.Lavi baru menghampiriku ketika dia memintaku makan—Lavi adalah salah satu penghuni yang jarang ambil jatah makan di dapur, kecuali dia malas masak. Jadi, dia terkejut melihat kupu-kupu mengelilingiku dan burung-burung bertengger. Dia tidak lagi bisa berkomentar apa-apa ketika aku duduk dikelilingi pendar kabut yang memperlihatkan sesuatu. Dia terpukau begitu saja saat berhasil mendekat.“Ini... apa?” tanyanya, berjongkok di seb
Untuk kesekian kalinya aku bicara dengan Kara.Namun, kali ini anggota obrolan serius ini bertambah menjadi empat. Ada Lavi dan Jenderal. Kami juga bukan bicara di danau, tetapi di Pendopo. Tidak ada yang berniat bicara serius, tetapi ketika aku dan Lavi menaiki tangga pondok utama, kami bertemu Jenderal dan Kara, lalu tiba-tiba Lavi bilang, “Forlan punya berita alam liar untuk kita. Bagaimana kalau kita bicara di Pendopo sebentar?”Pemilihan waktunya kurang tepat mengingat semalam aku dan Kara bicara soal hal yang lebih menyakitkan, tetapi Jenderal setuju.Pendopo tanpa Rapat Dewan hanya terasa seperti ruang berkumpul terbuka. Sesuatu yang membangkitkan kengerian Pendopo memang pada dasarnya pemilik keganjilan yang berkumpul di suatu tempat, yang secara teknis, memiliki power.Setelah tahu Jenderal kehilangan fungsi penglihatannya, aku tidak yakin apa yang harus kulakukan untuk menunjukkan citra roh alam.“Berita apa?” tany
Ternyata pondok utama lebih ramai dari yang kupikirkan.“Ke mana dulu kalian? Kencan?” tuntut Dalton.Kupikirkan diskusi hanya berlangsung antara Haswin dan tim penyerang—tetapi tidak. Mika bilang, “Kita cuma menumpang main kartu. Bicarakan saja apa yang mau kalian bicarakan.” Dan di sekelilingnya ada keseluruhan tim medis.“Di mana Dhiena?” tanyaku.“Tidur.”“Bukannya yang semalam tidak tidur itu kau?”“Aku itu kuat. Masa kau lupa, sih?”Dia mengajakku main kartu, tetapi aku tidak mau.Si pimpinan proyek, Haswin, menggedor papan tulis berulang kali, meminta orang-orang tenang. Terlalu berisik.Nuel sedang menggambar sesuatu di dekatnya. Entah bagaimana saat Nuel jauh dari ruangan tim peneliti, dia terasa lebih hidup dari biasanya. Barangkali saat dia tidak pernah terlibat dalam urusan penghuni dan sekarang dia diizinkan terlibat di setiap hal,
Fal bicara sangat pelan, jadi kami benar-benar harus memasang telinga.Kurang lebih Fal bermimpi sedang tidur sendirian di kamar yang asing, lalu tiba-tiba kamar itu didobrak keras oleh sesuatu. Pintunya tidak terbuka. Fal berhasil terbangun karena sentakan keras itu, tetapi kamar kosong, tidak ada siapa-siapa. Fal memanggil namaku, sampai tiba-tiba sentakan keras di pintu terdengar lagi. Tentu Fal pikir itu aku, tetapi saat pintu terbuka, yang datang bukan aku, melainkan pria aneh yang wajahnya tidak kelihatan. Siluetnya aneh. Fal ingat jelas bentuk pria itu, tetapi karena kondisinya sedang ketakutan, ceritanya tidak berhasil membuat kami membayangkan secara jelas seperti apa perawakan pria itu.Yang jelas: dia tidak memakai jas lab seperti ayah dalam mimpinya.Mimpi itu belum berakhir di sana. Pria itu mendekati Fal, mencoba bicara dengan nada suara seperti mesin diesel Dalton. Fal pernah bilang kalau diesel milik Dalton menakutkan untuknya, jadi bisa kubayang
Lavi meminta tim penyerang memisahkan diri di ruangan lain. Tampaknya tidak ada yang protes, jadi saat Lavi tiba di selasar, melihatku sedang main alfabet bersama Fal, dia langsung menyeretku bersamanya.“Lavi jangan culik Forlan!” tuntut Fal. “Lavi sudah sama Forlan terus!”“Cuma pinjam sebentar, urusan bisnis,” jelas Lavi.“Nanti kita main lagi, Fal,” kataku, melarang Fal menarikku.Jadi, kami ada di ruangan santai lain—mengingat pondok utama tidak punya ruangan bernuansa serius selain ruangan pertama dari pintu utama. Lavi meminta kami duduk melingkar, dan entah bagaimana susunan duduknya langsung tersusun tanpa instruksi: Dalton di sebelah kiriku, Reila di sebelah kananku, Lavi di sebelah Elton. Lingkaran bertemu di Dalton dan Elton, tetapi jarak mereka juga lumayan jauh untuk ukuran saudara. Lingkaran juga bertemu di Lavi dan Reila. Aku paham Reila tidak bermaksud memberi jarak, tetapi posisi ini
Kebenaran bodohnya: alih-alih Fal yang tertidur lebih dulu, aku yang lebih dulu bermimpi ketika tengah menyugar rambut Fal.Dalam mimpi itu, untuk paruh pertama, aku tidak sadar sedang bermimpi.Aku sedang berlari di hutan. Sangat kencang, seperti seumur hidupku ada di ujung tanduk bila tidak berlari secepat itu. Kemudian tanganku terayun. Sesuatu tiba-tiba terpancar. Udara menyemburkan darah. Baru kusadari setelah ada monster meriak begitu saja dari alam liar—pedang baru menebas seekor monster.Pedang perunggu di tanganku. Pedang yang hanya bisa menyerang monster.Kemudian aku melompat. Sangat tinggi. Sampai tanganku mampu langsung meraih ranting raksasa. Tubuhku berputar sembari bergelantungan, menghadap ke arah lariku. Dari sana, pemandangan baru bisa terlihat.Hutan.Lebih tepatnya, lima meter di depanku masih hutan.Namun, lima meter setelahnya, itu bukan lagi hutan. Itu kegelapan. Ada satu orang di sana. Jarak yang sangat
Fal—yang tertidur begitu damai—terbangun begitu saja. Dia tepat di sisiku, langsung tersentak begitu aku terlonjak begitu kuat.Aku masih bisa merasakan kengerian itu, jadi ketika kesadaran Fal masih di fase terpaksa kembali, aku sudah memeluk erat Fal, bahkan tanpa ragu memendam kepalaku dalam bahu kecilnya. Dan Fal tidak mengatakan apa-apa—lebih tepatnya, aku tidak peduli Fal melakukan apa—tetapi yang kutahu: aku bergetar kuat.Tidak ada yang bisa kumengerti mengapa aku tidak bisa menahan diri, tetapi setelah menyadari bahwa tubuhku masih di sini, tepat di samping Fal, sensasi lega membuncah begitu saja, membuat dorongan di pelupuk mataku tidak tertahan. Aku menangis—entah karena bersyukur aku ternyata masih hidup, atau karena aku—untuk pertama kalinya—begitu takut pada sesuatu yang tidak benar-benar nyata.Aku tidak menangis keras. Hanya mendekap erat Fal, memendam kepalaku sedalam yang bisa kulakukan di pundak Fal, d
Aku terbangun di awal pagi.Sangat normal, seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Tidak ada mimpi yang terlintas. Jadi, ketika bangun, aku benar-benar membuka mata dengan wajar.Tidak ada Dokter Gelda. Ruangan juga lumayan gelap.Setelah beberapa lama, kesadaranku sungguhan kembali. Fal masih tidur—aku tak mau ambil risiko dia ketakutan karena aku hilang saat dia bangun, jadi aku berusaha membangunkannya. Aku memencet-mencet pipinya. Benar-benar adiktif, tetapi Fal hanya bergumam dan mengerang. Jadi, aku membuka paksa matanya, dan sorot Fal kosong, masih tertidur pulas. Agaknya ini keterlaluan, jadi kuputuskan menggelitik kakinya. Fal gampang geli, itu pasti bisa membangunkannya, tetapi Fal hanya menendang-nendang, bahkan sampai lenganku.Tidak ada gunanya. Dia memang susah bangun.Kugunakan senjata pamungkas terakhir. Yang satu ini prosesnya lumayan panjang. Aku keluar kamar. Ruangan tengah kosong. Tidak ada Jenderal atau Kara. Mereka tampakn