Fal—yang tertidur begitu damai—terbangun begitu saja. Dia tepat di sisiku, langsung tersentak begitu aku terlonjak begitu kuat.
Aku masih bisa merasakan kengerian itu, jadi ketika kesadaran Fal masih di fase terpaksa kembali, aku sudah memeluk erat Fal, bahkan tanpa ragu memendam kepalaku dalam bahu kecilnya. Dan Fal tidak mengatakan apa-apa—lebih tepatnya, aku tidak peduli Fal melakukan apa—tetapi yang kutahu: aku bergetar kuat.
Tidak ada yang bisa kumengerti mengapa aku tidak bisa menahan diri, tetapi setelah menyadari bahwa tubuhku masih di sini, tepat di samping Fal, sensasi lega membuncah begitu saja, membuat dorongan di pelupuk mataku tidak tertahan. Aku menangis—entah karena bersyukur aku ternyata masih hidup, atau karena aku—untuk pertama kalinya—begitu takut pada sesuatu yang tidak benar-benar nyata.
Aku tidak menangis keras. Hanya mendekap erat Fal, memendam kepalaku sedalam yang bisa kulakukan di pundak Fal, d
Aku terbangun di awal pagi.Sangat normal, seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Tidak ada mimpi yang terlintas. Jadi, ketika bangun, aku benar-benar membuka mata dengan wajar.Tidak ada Dokter Gelda. Ruangan juga lumayan gelap.Setelah beberapa lama, kesadaranku sungguhan kembali. Fal masih tidur—aku tak mau ambil risiko dia ketakutan karena aku hilang saat dia bangun, jadi aku berusaha membangunkannya. Aku memencet-mencet pipinya. Benar-benar adiktif, tetapi Fal hanya bergumam dan mengerang. Jadi, aku membuka paksa matanya, dan sorot Fal kosong, masih tertidur pulas. Agaknya ini keterlaluan, jadi kuputuskan menggelitik kakinya. Fal gampang geli, itu pasti bisa membangunkannya, tetapi Fal hanya menendang-nendang, bahkan sampai lenganku.Tidak ada gunanya. Dia memang susah bangun.Kugunakan senjata pamungkas terakhir. Yang satu ini prosesnya lumayan panjang. Aku keluar kamar. Ruangan tengah kosong. Tidak ada Jenderal atau Kara. Mereka tampakn
Pagi itu dibuka dengan hujan.Ketika kami membawa Jesse ke klinik, kami perlu berlari sekeras mungkin, melapisi Jesse yang sudah kepayahan dengan jas hujan, lalu aku membawanya di punggung sembari berlari ke klinik. Jesse sudah hampir kehilangan kendali untuk tetap terjaga, jadi Dalton memberitahunya. “Tidurlah sekarang kalau bagimu sudah cukup nyaman. Tidak perlu pikirkan apa yang terjadi setelah ini.”Jesse mengangguk.Hujannya cukup deras. Kami perlu memakai kemampuan untuk menghalau hujan. Tentu saja itu bukan kemampuan kami. Kara sedang di Balai Dewan. Kurasa Kara berniat melatih kandidat baru di gelanggang—meski hujan, latihan harus tetap berlangsung—tetapi kemudian dia menemukan kami memakai jas hujan. Tentu saja Kara bertanya-tanya apa yang kulakukan di sini saat semestinya aku istirahat total. Itu membuat Dalton bertanya-tanya mengapa aku perlu istirahat total, tetapi tak ada waktu untuk menjelaskan. Jadi, ketika Jesse sudah terl
Ketika Dalton datang bersama Nuel dan Asva, terjadi pergantian penjaga di ruangan Jesse. Dokter Gelda dan Moli keluar, kemudian Dokter Gelda bilang pada kami: “Jaga klinik sebentar. Kami harus mengambil persediaan.”Dokter Gelda mengajak Moli. Jadi, yang dimaksud itu aku, Tara, Dalton.Di luar masih hujan deras. Akses jalur agak sulit, terutama setelah Dalton berkata, “Tempat ini jarang hujan, tapi kalau sudah hujan selalu deras sekali.”“Seperti badai,” kata Tara, sepakat.Sejujurnya, itu pertama kali aku mendapat hujan sederas ini. Pondok Nenek tidak pernah mendapat guyuran hujan bersama gemuruh yang saling bersahutan. Itu mengingatkanku akan Lavi, tetapi mustahil dia iseng mengaktifkan kemampuannya di tengah guyuran hujan. Setidaknya, ini hujan deras pertamaku yang sampai seperti berniat menerbangkan pohon-pohon. Angin berhembus begitu kencang, seolah Fal bisa diterbangkan begitu saja. Air menggenang di mana-mana. Ki
Hujan tidak kunjung reda.Benakku masih dihantui banyak beban yang entah bagaimana tidak mampu lepas, jadi atas izin Tara, aku diperbolehkan meminjam payungnya, melintasi jalan penghubung paving, merasakan betapa kejamnya guyuran air hujan—menurutku, ini memang badai, bukan lagi hujan deras—menginjak tanah basah seperti rawa di padang rumput Gerha, lalu berlari sembari meninggalkan bercak lumpur. Tidak ada tanda-tanda dia akan keluar kalau mengetuk pintu, jadi aku memikirkannya, segera menjerit melebihi suara hujan. Guntur bergemuruh. Kilat kecil juga membuat langit bercahaya, tetapi Lavi berhasil keluar tanpa jeda.Tentu saja dia terkejut. Belum sempat dia berkata-kata, aku berteriak sangat jelas—bukan di kepalanya—melawan hujan.“Aku tadi mimpi buruk!”Lavi benar-benar kehabisan kata-kata. Kurasa dia ingin menuntut banyak—terutama karena dia sudah tahu itu dan jelas-jelas dia yang menenangkanku—tetapi dia
Ketika suasana hujan semakin menenggelamkan segalanya, Lavi akhirnya bersuara lagi. “Aku sudah tahu soal Elton.”Kami berbaring di atas karpet bulu, dipisahkan beberapa jarak.Suasananya begitu menggantung, tetapi menghanyutkan. Entah berapa lama kami berbaring menatap langit-langit kosong. Ruangan ini terasa hangat meskipun Lavi tidak benar-benar di samping. Kami dipisahkan udara dingin, membisu dalam keheningan, menghirup udara ruangan yang sama.Setidaknya, itu terjadi sampai Lavi mengatakannya.Ketika aku menoleh ke matanya, Lavi sedang berbaring memandang tepat ke mataku, dengan helai rambut pirang yang menutupi sebagian senyum manisnya. Dalam kilasan kecil dan gelap itu, binar Lavi berpendar.“Apa kata Haswin?” tanyaku.“Rahasia.”“Kuharap dia tidak bicara macam-macam.”“Dia bilang kau tidak sadar kalau sebenarnya cemburu.”“Oh.” Aku berusaha t
Hujan berhenti di penghujung malam.Sebelum fajar aku sudah terbangun. Sebagian waktuku habis memandangi Lavi. Dia tertidur sangat pulas seolah tidak pernah tidur seribu tahun. Kupikir aku bisa saja pergi tanpa bilang padanya—karena dia bisa merasakan posisiku kelewat akurat melebihi aku bisa merasakan posisinya—tetapi aku ingin mengganggunya.Ketika aku mencubit pipinya, akhirnya Lavi bangun.“Hm?” tanyanya, setengah sadar.“Aku mau keluar. Jangan mencariku.”“Hm. Ya.”“Kau harus latihan. Bukannya belakangan kau rajin latihan pagi? Sekarang kenapa aku bangun lebih pagi darimu?”“Hm-mm.”“Kau harus mandi. Masih wangi, tapi harus mandi.”“Pulang... waktu sarapan.”“Oke.”Aku suka caranya bilang itu.Ketika keluar Gerha Lavi, tampaknya jam malam baru akan berakhir, jadi Lukas sedang di dekat area
Matahari baru terbit ketika aku kembali ke gerha Lavi.Aku punya gagasan kembali ke gerhaku sendiri, tetapi pasti tidak ada siapa-siapa. Semalam, Reila menelepon gerha Lavi, dan seolah yakin aku yang angkat, dia langsung bilang, [“Kami di klinik. Jangan mencari.”]“Baiklah,” kataku.Reila menutup telepon. Aku tidak mau pusing bagaimana dia bisa yakin aku yang mengangkat, dan dia juga tidak mau pusing bagaimana tebakan aku ada di sini bisa tepat sasaran. Yang jelas, aku punya alasan untuk bermalam.Aku yakin yang mencetuskan ide Fal tidur di klinik itu Dokter Gelda. Kabar buruknya, mungkin Fal akan marah—karena menurut Tara, Fal mulai agak jengkel embel-embel perawatan, tetapi karena eksistensi Tara juga di sana, Fal selalu bisa menoleransi. Kabar baiknya, sekarang Dokter Gelda yang langsung menangani Fal. Tidak bisa dipungkiri kalau mimpinya berhubungan dengan pemilik kemampuan jiwa, jadi Fal perlu dinetralkan dari k
Proses perizinan itu ternyata kelewat cepat lebih dari yang kubayangkan—meski pada awalnya Jenderal berpikir kami tidak punya keperluan khusus karena berkata, “Jangan kencan di depan mata suciku, Bocah Kencur.”Kemudian Lavi mencetuskan bicara empat mata dengan Jenderal di dalam pondok, sementara aku menyesap kopi buatan Jenderal yang keterlaluan pahit. Aku berpikir menyesap kopi sembari memandangi pemandangan sejuk ini akan terkesan begitu menenangkan, tetapi ternyata tidak. Rasanya seperti neraka.Benar-benar pahit sampai mau muntah. Kalau tahu begini, aku pesan teh.Namun, ketika aku hampir menyesap tegukan kedua, Jenderal tiba-tiba ada di sampingku, duduk dengan cara paling santai—bahkan tidak kusadari.“Manis, tidak?”Aku hampir menyembur karena terkejut kalau tidak mengendalikan diri.“Em, enak,” kataku, mengamankan diri.“Aku tidak pernah buat kopi, Bocah Alam.”
Lavi tidak ingin tertidur sampai jam keberangkatan karena ingin bisa tidur saat di alam liar, jadi dia tetap terjaga—dan aku juga tetap terjaga. Di Rumah Pohon kami saling menenangkan pada apa yang akan terjadi beberapa waktu ke depan.Di satu jam sebelum keberangkatan, kami makan malam di dapur yang jujur saja sudah mirip seperti kamp pelatihan. Dalton memberitahu kami jika punggawa misi akan makan bersama di dapur. Kupikirkan kami hanya seperti di jadwal makan biasa. Duduk tersebar dan menyantap makanan masing-masing. Ternyata tidak. Di dapur sudah ada meja khusus bagi punggawa misi—meja yang membentang lurus dengan banyak makanan tersedia. Itu membuatku melongo dan hampir semua orang sudah di sana. Haswin sampai menuntut saat kami datang.“Cepat duduk! Kami menunggu kalian!”Aku tidak percaya apa yang kulihat. Tempat dudukku di sebelah Lavi dan Dalton. Di depanku ada Leo dan Reila. Leo berkata, “Padang Anushka sekarang ini benar-
Lavi meneguk cokelatnya sampai habis sebelum mulai melanjutkan.“Sejak dulu aku tidak bermaksud dekat dengan siapa pun,” katanya. “Aku... suka menyendiri. Kata orang, aku selalu dekat dengan si kapten baru ini, tapi—apa yang mereka tahu? Aku lebih sering menyendiri—dulu belum ada gerha, Tempat favoritku menyendiri hanya Joglo atau ladang bunga. Dulu aku sering ikut Dhiena dan Mika merawat ladang bunga. Tapi semakin aku dikabarkan dekat dengan si kapten, Dhiena dan Mika juga terkesan menjauhiku seolah itu cara mereka berkata tidak suka aku dekat dengan tim penyerang. Aku semakin sendiri, dan di titik itulah aku sadar betapa aku mulai benci diriku sendiri. Aku benci menyendiri. Aku benci merasakan sepi. Tapi aku tidak bisa pergi dari sepi. Dan orang ini—si kapten ini hanya ingin dipuaskan tanpa memikirkanku. Dan di waktu sama aku mendengar dia memakai namaku untuk membanggakan dirinya—seolah dia berhasil mendapatkan diriku yang jatuh pa
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da