Pagi itu dibuka dengan hujan.
Ketika kami membawa Jesse ke klinik, kami perlu berlari sekeras mungkin, melapisi Jesse yang sudah kepayahan dengan jas hujan, lalu aku membawanya di punggung sembari berlari ke klinik. Jesse sudah hampir kehilangan kendali untuk tetap terjaga, jadi Dalton memberitahunya. “Tidurlah sekarang kalau bagimu sudah cukup nyaman. Tidak perlu pikirkan apa yang terjadi setelah ini.”
Jesse mengangguk.
Hujannya cukup deras. Kami perlu memakai kemampuan untuk menghalau hujan. Tentu saja itu bukan kemampuan kami. Kara sedang di Balai Dewan. Kurasa Kara berniat melatih kandidat baru di gelanggang—meski hujan, latihan harus tetap berlangsung—tetapi kemudian dia menemukan kami memakai jas hujan. Tentu saja Kara bertanya-tanya apa yang kulakukan di sini saat semestinya aku istirahat total. Itu membuat Dalton bertanya-tanya mengapa aku perlu istirahat total, tetapi tak ada waktu untuk menjelaskan. Jadi, ketika Jesse sudah terl
Ketika Dalton datang bersama Nuel dan Asva, terjadi pergantian penjaga di ruangan Jesse. Dokter Gelda dan Moli keluar, kemudian Dokter Gelda bilang pada kami: “Jaga klinik sebentar. Kami harus mengambil persediaan.”Dokter Gelda mengajak Moli. Jadi, yang dimaksud itu aku, Tara, Dalton.Di luar masih hujan deras. Akses jalur agak sulit, terutama setelah Dalton berkata, “Tempat ini jarang hujan, tapi kalau sudah hujan selalu deras sekali.”“Seperti badai,” kata Tara, sepakat.Sejujurnya, itu pertama kali aku mendapat hujan sederas ini. Pondok Nenek tidak pernah mendapat guyuran hujan bersama gemuruh yang saling bersahutan. Itu mengingatkanku akan Lavi, tetapi mustahil dia iseng mengaktifkan kemampuannya di tengah guyuran hujan. Setidaknya, ini hujan deras pertamaku yang sampai seperti berniat menerbangkan pohon-pohon. Angin berhembus begitu kencang, seolah Fal bisa diterbangkan begitu saja. Air menggenang di mana-mana. Ki
Hujan tidak kunjung reda.Benakku masih dihantui banyak beban yang entah bagaimana tidak mampu lepas, jadi atas izin Tara, aku diperbolehkan meminjam payungnya, melintasi jalan penghubung paving, merasakan betapa kejamnya guyuran air hujan—menurutku, ini memang badai, bukan lagi hujan deras—menginjak tanah basah seperti rawa di padang rumput Gerha, lalu berlari sembari meninggalkan bercak lumpur. Tidak ada tanda-tanda dia akan keluar kalau mengetuk pintu, jadi aku memikirkannya, segera menjerit melebihi suara hujan. Guntur bergemuruh. Kilat kecil juga membuat langit bercahaya, tetapi Lavi berhasil keluar tanpa jeda.Tentu saja dia terkejut. Belum sempat dia berkata-kata, aku berteriak sangat jelas—bukan di kepalanya—melawan hujan.“Aku tadi mimpi buruk!”Lavi benar-benar kehabisan kata-kata. Kurasa dia ingin menuntut banyak—terutama karena dia sudah tahu itu dan jelas-jelas dia yang menenangkanku—tetapi dia
Ketika suasana hujan semakin menenggelamkan segalanya, Lavi akhirnya bersuara lagi. “Aku sudah tahu soal Elton.”Kami berbaring di atas karpet bulu, dipisahkan beberapa jarak.Suasananya begitu menggantung, tetapi menghanyutkan. Entah berapa lama kami berbaring menatap langit-langit kosong. Ruangan ini terasa hangat meskipun Lavi tidak benar-benar di samping. Kami dipisahkan udara dingin, membisu dalam keheningan, menghirup udara ruangan yang sama.Setidaknya, itu terjadi sampai Lavi mengatakannya.Ketika aku menoleh ke matanya, Lavi sedang berbaring memandang tepat ke mataku, dengan helai rambut pirang yang menutupi sebagian senyum manisnya. Dalam kilasan kecil dan gelap itu, binar Lavi berpendar.“Apa kata Haswin?” tanyaku.“Rahasia.”“Kuharap dia tidak bicara macam-macam.”“Dia bilang kau tidak sadar kalau sebenarnya cemburu.”“Oh.” Aku berusaha t
Hujan berhenti di penghujung malam.Sebelum fajar aku sudah terbangun. Sebagian waktuku habis memandangi Lavi. Dia tertidur sangat pulas seolah tidak pernah tidur seribu tahun. Kupikir aku bisa saja pergi tanpa bilang padanya—karena dia bisa merasakan posisiku kelewat akurat melebihi aku bisa merasakan posisinya—tetapi aku ingin mengganggunya.Ketika aku mencubit pipinya, akhirnya Lavi bangun.“Hm?” tanyanya, setengah sadar.“Aku mau keluar. Jangan mencariku.”“Hm. Ya.”“Kau harus latihan. Bukannya belakangan kau rajin latihan pagi? Sekarang kenapa aku bangun lebih pagi darimu?”“Hm-mm.”“Kau harus mandi. Masih wangi, tapi harus mandi.”“Pulang... waktu sarapan.”“Oke.”Aku suka caranya bilang itu.Ketika keluar Gerha Lavi, tampaknya jam malam baru akan berakhir, jadi Lukas sedang di dekat area
Matahari baru terbit ketika aku kembali ke gerha Lavi.Aku punya gagasan kembali ke gerhaku sendiri, tetapi pasti tidak ada siapa-siapa. Semalam, Reila menelepon gerha Lavi, dan seolah yakin aku yang angkat, dia langsung bilang, [“Kami di klinik. Jangan mencari.”]“Baiklah,” kataku.Reila menutup telepon. Aku tidak mau pusing bagaimana dia bisa yakin aku yang mengangkat, dan dia juga tidak mau pusing bagaimana tebakan aku ada di sini bisa tepat sasaran. Yang jelas, aku punya alasan untuk bermalam.Aku yakin yang mencetuskan ide Fal tidur di klinik itu Dokter Gelda. Kabar buruknya, mungkin Fal akan marah—karena menurut Tara, Fal mulai agak jengkel embel-embel perawatan, tetapi karena eksistensi Tara juga di sana, Fal selalu bisa menoleransi. Kabar baiknya, sekarang Dokter Gelda yang langsung menangani Fal. Tidak bisa dipungkiri kalau mimpinya berhubungan dengan pemilik kemampuan jiwa, jadi Fal perlu dinetralkan dari k
Proses perizinan itu ternyata kelewat cepat lebih dari yang kubayangkan—meski pada awalnya Jenderal berpikir kami tidak punya keperluan khusus karena berkata, “Jangan kencan di depan mata suciku, Bocah Kencur.”Kemudian Lavi mencetuskan bicara empat mata dengan Jenderal di dalam pondok, sementara aku menyesap kopi buatan Jenderal yang keterlaluan pahit. Aku berpikir menyesap kopi sembari memandangi pemandangan sejuk ini akan terkesan begitu menenangkan, tetapi ternyata tidak. Rasanya seperti neraka.Benar-benar pahit sampai mau muntah. Kalau tahu begini, aku pesan teh.Namun, ketika aku hampir menyesap tegukan kedua, Jenderal tiba-tiba ada di sampingku, duduk dengan cara paling santai—bahkan tidak kusadari.“Manis, tidak?”Aku hampir menyembur karena terkejut kalau tidak mengendalikan diri.“Em, enak,” kataku, mengamankan diri.“Aku tidak pernah buat kopi, Bocah Alam.”
Sebelum menemani latihan darah campuran, kami sungguhan ke Telaga.Rasanya kelewat aneh karena satu-satunya cara sampai di pemakaman cuma dengan menyeberangi Telaga pakai kano. Kebanyakan dari momen berdua kami di kano selalu berakhir romantis, jadi ketika kami di tempat para pejuang berakhir dan lutut kami saling bertemu, kami menatap satu sama lain.“Kita sudah lama tidak berduaan di kano, ya,” katanya.“Aku tidak berharap momen di kano harus disebut saat seperti ini,” jelasku, semakin cepat mendayung. “Sebenarnya aku mau mengajakmu ke danau kano.”“Kita benar-benar lengket dari kemarin, tapi aku mau.”“Semestinya bukan kau yang mengatakan itu.”Sebenarnya Dalton pernah bertanya ketika aku terlihat selalu bersama Lavi sejak misi penyelidikan. “Kau tidak bosan setiap hari dari pagi sampai malam selalu dengannya?”Aku agak ragu, “Rasanya mustahil aku bosan.&
Tiga hari kemudian, gedung baru pertama yang jadi adalah gimnasium.Sulit dipercaya, padahal yang pertama kali kelihatan fondasinya itu markas baru tim penyerang. Gimnasium juga tidak dibangun di dekat hutan markas lama tim penyerang, tetapi di daerah jalur penghubung asrama-padang rumput. Hampir semua gedung baru berkumpul di sana, jadi tempat itu tiba-tiba menjadi ramai.Gimnasium berhadapan dengan markas besar tim tungku—dapur sekaligus tempat utama pembuatan baju. Gedung itu sudah terlihat tanda-tanda selesai, yang membuat Dhiena tidak sabar—meski sebenarnya yang paling antusias itu Mika.“Aku sudah bayangkan banyak baju yang kubuat,” kata Mika.“Itu bakal jadi tempat Dhiena memperbudakmu,” komentarku.“Benar. Tidak sampai dua hari aku pasti sudah mengutuk tempat itu.”Sebenarnya Padang Anushka punya peralatan olahraga mumpuni. Padang Anushka punya ring basket, net untuk voli, bulu tangkis,