Andai aku tidak menghentikan Fal, kurasa dia akan membunuh Troy.
Troy sudah terkapar, terguling-guling memegangi bahunya yang lubang—mulai mengumpat-umpat sangat keras. Aku mengambil jalur pandang Fal ke Troy, lalu menurunkan paksa telunjuknya. “Fal, jangan.”
Fal masih melotot ke tempat Troy yang bahkan sudah kuhalangi.
“Aku tidak apa-apa,” kataku. “Lihat? Aku tidak terluka.”
“Dia mau melukai Forlan,” ucapnya, dingin. Matanya melotot kaku.
Sebenarnya terbalik, aku yang melukainya, tetapi aku tidak bisa bilang itu. “Fal, lihat mataku.” Fal melihat mataku, jadi aku mulai mengusap air matanya. “Fal tidak boleh melakukan itu. Aku senang Fal marah karenaku, tapi Fal tidak bisa tiba-tiba mengeluarkan cahaya seperti tadi. Itu bahaya.”
Fal tampaknya tidak bisa diajak bicara lagi. Mata merahnya masih berusaha menatap Troy layaknya menuntut sesuatu. Dia seperti bukan benar-b
Ini operasi militer paling mendadak yang pernah kulihat selama di sini.Para penghuni Mars yang setidaknya bisa bergerak—minimal luka ringan—sudah bersiap mengambil senjata di gudang, memakai zirah besi, berlari ke padang rumput. Beberapa orang bahkan membawa jebakan yang siap disebarkan. Aku tidak tahu itu berguna untuk melawan monster atau tidak, tetapi asumsi kami semestinya tidak hanya melawan monster. Kenzie tidak sadar—bahkan meskipun dia sadar, keadaannya belum tentu bisa memimpin pasukan. Maka jelas, penggantinya cuma Haswin dan Yasha. Mereka berdua bisa berpadu sangat sempurna.Perintah pertama Kara padaku sangat jelas. “Isha barangkali butuh bantuan Falesha di garis belakang. Ketika kau kembali, aku ingin kau mengamati dari jarak paling jelas, menunggu siapa yang paling harus kita hentikan. Sebisa mungkin, kau harus coba mendekati Aaron dan Troy. Ketika penghalang pecah, mereka berusaha keluar. Halangi mereka. Dan kau juga harus pergi
Tepat ketika pertempuran tampaknya mulai seimbang—seakan kami punya peluang lolos dari serangan monster—aku bertemu pedang dengan Aaron.Dia bahkan tidak bergeming meskipun jasad Troy di dekatnya.Ketika kami adu kekuatan dengan pedang satu sama lain—pedangnya tidak seperti pedang yang punya banyak keistimewaan, hanya pedang dengan sisi baja yang terlihat tangguh, bertemu dengan pedang perunggu milikku—aku bergumam, “Kupikir aku berniat menghentikan dua pengkhianat keluar.”“Kau dengar kami,” geramnya.“Kau yang bicara terlalu keras di medan tempur.”“Kau harus dibungkam.”Setelah beberapa kali saling menangkis, aku sedikit mengerti kemampuan Aaron. Dia bisa tiba-tiba begitu kuat, begitu cepat, begitu keras—seolah dia punya mekanisme yang bisa menambah daya tempur dalam tubuhnya. Itu memang jenis kemampuan aneh yang jarang kutemui, tetapi mengingat kemampuan Isha j
Aku dan Lavi langsung bertautan mata.Kupikir aku bisa bersikap keren sedikit lebih lama lagi, tetapi kami—tentu aku dan Lavi—tahu tidak ada yang perlu bersikap keren di sini. Aku hampir tidak bisa membendung segalanya, jadi begitu kusadari aku sudah membiarkan segalanya menguasaiku. Tangan kami sama-sama terulur. Kami berciuman dalam sekejap.Aku tahu Isha di Joglo akan mengumpat-umpat mendapati kami melanggar protokol wajib bagi pahlawan yang baru kembali misi, tetapi kali ini jauh lebih baik mendengar omelan itu dibanding bersikap tenang.Dan begitu kusadari, aku sudah emosional. Ini aroma Lavi—rambut lembut yang tak peduli seberapa tercemarnya karena alam liar. Ini lekukan bahu khas yang hanya dimiliki Lavi. Ini Lavi. Lavi yang kulihat terlempar di air terjun. Lavi yang sempat kehilangan warnanya. Lavi yang kupikir sudah pergi. Dan dia sungguhan di sini, layaknya tidak pernah terjadi apa-apa, memberiku ketenangan khasnya. Tidak ada yang bis
Jesse, yang menemukan Lavi, langsung memeluknya.“Senang melihatmu kembali, Cewek Perkasa.”“Aku tahu kau mencintaiku, Jesse.”Reila, yang kondisinya lumayan kacau—setidaknya, dia tidak lagi kelihatan seperti orang yang tidak pernah keluar Gerha—juga memeluk Lavi. Bahkan dia tak berniat berkata apa-apa, hanya langsung memeluknya.“Ya ampun. Aku tak menyangka banyak yang mencintaiku,” kelakar Lavi.Menyenangkan melihat mereka seperti itu—aku sudah berniat melihat para cewek saling berpelukan sedikit lebih lama lagi, lalu menghampiri para dewan yang sedang di dalam Joglo—setidaknya, area Gerha tak pernah seramai ini sebelumnya. Ada begitu banyak yang berlalu dari klinik sampai Joglo, berharap ada obat-obatan yang tersisa. Kehadiran Dokter Gelda juga tampaknya membuat tim medis sedikit lebih tenang—atau bahkan jauh lebih tenang. Dalam sekejap tiba-tiba sudah begitu banyak pejuang yang k
Memasuki Joglo, tempat ini sekarang sudah bersekat-sekat.Ada sekat besar yang memisahkan pejuang pertahanan dengan pejuang yang baru kembali dari garis depan. Tentu saja aku dan Dalton masuk di bagian pejuang pertahanan. Sekat pemeriksaan sudah berubah jadi labirin, yang terhubung ke sekat pemisah untuk ruang istirahat. Ruang istirahatnya sendiri sederhana, hanya ada satu kasur dan nampan tempat minuman serta obat-obatan berada. Venus jauh kelewat sibuk dari biasanya. Sebagian menyiapkan makanan, sebagian meracik obat-obatan padahal mereka belum pernah meracik sebelumnya—tetapi Layla percaya ketika mereka biasa meracik bumbu masakan, mereka juga bisa meracik ramuan—tenaga Venus sebagian harus menjadi perawat yang terus memastikan tiap penghuni.Maka sekat awal yang aku dan Dalton temui di bagian pejuang pertahanan itu tempat Isha dan Dokter Gelda duduk menyambut kami.“Oh tidak,” kataku. “Aku lega lihat Dokter Gelda di sini.”
Sayangnya, Dokter Gelda juga bilang, “Tapi itu tidak menjamin dia berhasil bertahan hidup. Hanya meningkatkan kemungkinan dia bisa selamat.”“Seberapa besar? Bila dalam persentase?”Dokter Gelda terdiam sejenak. Matanya menatapku seperti penuh simpati, tetapi aku tahu dia juga sedang menghitung cepat. “Paling besar 30%.”“Kalau tidak dibawa ke sana?”“Paling besar 20%.”“Berarti tetap di sini pun punya persentase cukup besar?”“Kau tahu, Forlan, selama tiga bulan terakhir—bahkan hampir empat bulan terakhir—ada banyak keajaiban terjadi padanya. Ketika kami pergi, dia bahkan bisa mengendalikan kemampuan. Itu perkembangan sangat bagus. Ada kemungkinan keajaiban itu bisa terus terjadi bila dia di sini. Tapi kita juga tidak akan pernah tahu apa yang terjadi bila sejak awal penanganan yang jauh lebih siap seperti di Lembah Palapa menuntunnya. Keputusan ini pa
“Aku malaikat yang tercipta untuk melindungimu. Aku turun dari langit.”Aza menatap api unggun, mulai meletakkan empat tusuk ikan ke dekatnya. Nuansa gelap menguasai sekitar. Nenek menyiapkan minum untuk kami. Biasanya jeruk peras—dan Nenek benar-benar suka jeruk peras sampai membuatku ikut suka. Namun, sesekali aku juga bosan, dan itu disuarakan Aza. Sayangnya, minuman kali ini tidak akan bervariasi karena jeruk peras sudah tiba di tempat kami.“Tidak bisa lebih serius lagi?” tuntutku, cemberut.“Buat anak sebelas tahun itu cukup.”“Aza juga cuma empat belas.”“Kakak juga cuma empat belas,” koreksinya.“Kakak,” kataku.“Ini ikanmu. Setengah matang.”Bercandanya mulai menyebalkan. Aku mengembalikan tusuk itu ke depan api unggun, membuat bumbunya kembali dipercik api.“Boleh tanya, tidak?” kataku.“Kakak, bol
Hal pertama yang kulihat ketika mataku terbuka: wajah Lavi.Sorot kami semata-mata langsung bertemu. Lavi bahkan tersenyum seolah sudah menduga akan bereaksi seperti itu. Tentu saja aku mematung. Senyum yang itu seperti menggetarkan setiap jengkal tubuhku, membuatku tak mampu bergerak, membekukan darah, dan bola mata menenangkan itu masuk ke tubuhku.“Selamat pagi?” sapanya, tidak yakin. “Sekarang sudah tidak pagi, sih.”“Ng, selamat pagi,” balasku.“Baru kutinggal sebentar—kau kenapa?”Aku tidak yakin apa yang harus kukatakan karena perlu kuakui kepalaku cukup terdistorsi. Setengah karena Lavi, setengah karena aku belum mampu ingat apa yang terjadi terakhir kali. Jadi, aku mencari petunjuk, memandangi sekilas di mana aku berada—dan sekali lagi aku menahan napas.“Kita di kamarku,” kata Lavi.Dan itu benar. Aku tidur di ranjangnya, dia duduk di kursi kayu—te
Lavi meneguk cokelatnya sampai habis sebelum mulai melanjutkan.“Sejak dulu aku tidak bermaksud dekat dengan siapa pun,” katanya. “Aku... suka menyendiri. Kata orang, aku selalu dekat dengan si kapten baru ini, tapi—apa yang mereka tahu? Aku lebih sering menyendiri—dulu belum ada gerha, Tempat favoritku menyendiri hanya Joglo atau ladang bunga. Dulu aku sering ikut Dhiena dan Mika merawat ladang bunga. Tapi semakin aku dikabarkan dekat dengan si kapten, Dhiena dan Mika juga terkesan menjauhiku seolah itu cara mereka berkata tidak suka aku dekat dengan tim penyerang. Aku semakin sendiri, dan di titik itulah aku sadar betapa aku mulai benci diriku sendiri. Aku benci menyendiri. Aku benci merasakan sepi. Tapi aku tidak bisa pergi dari sepi. Dan orang ini—si kapten ini hanya ingin dipuaskan tanpa memikirkanku. Dan di waktu sama aku mendengar dia memakai namaku untuk membanggakan dirinya—seolah dia berhasil mendapatkan diriku yang jatuh pa
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da
Sorenya, untuk pertama kali sejak tahu air terjun belakang gerhaku adalah wilayah Aza, aku memasukinya. Aku tak pernah memasukinya lagi sejak mengerti identitas asli kemampuanku. Namun, kini, aku tidak bisa menahannya lagi. Tak ada bukti kalau Aza terlibat di kejadian ibuku, tetapi dia pasti tahu sesuatu. Aza selama ini seperti itu. Dia menyembunyikan banyak kebenaran.Jadi, dengan impulsif aku menembus pepohonan. Suara air terjun semakin besar. Nuansanya semakin segar. Lavi tidak tahu. Dia masih di gerha bersama Reila dan Fal. Aku bergegas, dalam sekejap langsung menemukan air terjun dengan mata air asli. Suaranya keras, tetapi juga menenangkan. Kepalaku langsung didesak oleh nuansa segar dan aku melihat bunga berkilau biru bermekaran di tempat yang bisa membuatnya semakin indah. Dalam sekejap, ketika aku berdiri di dekat air terjun dan merasakan cipratan air, aku bisa merasakan keberadaan Aza di mana-mana.“Aza!” seruku.Suaraku agak tertutup air t