Share

Selir Sang Pangeran
Selir Sang Pangeran
Author: Queeny

Awal Bermula

Author: Queeny
last update Last Updated: 2021-06-04 21:20:39

Tanah Jawa pada masa itu.

"Jangan lari atau aku akan menangkapmu!" 

Terdengar suara seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun sedang berteriak kepada seorang anak perempuan yang berusia dua tahun dibawahnya. 

"Kalau begitu Raden jangan menggelitikku," jawabnya dengan wajah ditekuk. 

"Kita sedang bermain dan kau kalah. Sudah kesepakatan, siapa yang menang boleh melakukan apa saja kepada yang kalah," ucap anak laki-laki itu.

Tadi mereka bermain adu jari dan si anak perempuan yang kalah. Sebagai hukuman, anak laki-laki yang dipanggil raden itu memilih untuk menggelitiknya.

"Apa tidak ada hukuman lain?" 

"Ada. Apa kau mau aku memukul kepalamu? Atau ... membalutkan pupur agar semua wajahmu menjadi putih?" pancingnya. Bibir itu menyeringai licik, sementara matanya mengerling nakal. 

Anak perempuan itu menggeleng. Tentu saja dia tidak mau. Jika kepalanya dipukul pasti rasanya sakit. Jika dibalutkan pupur, tentu saja dia akan menjadi bahan ejekan anak yang lain. 

"Kalau begitu diamlah. Biarkan aku melanjutkan hukumanmu!" titahnya.

Anak perempuan itu terdiam dan menunduk. Dia tidak boleh membantah perintah raden. Sekalipun mereka setiap hari bermain bersama, tetap saja status mereka berbeda.

Raden adalah anak raja, pemimpin di wilayah ini. Anak perempuan itu beruntung bisa berada di lingkungan keraton, karena ayahnya seorang kusir kereta. Sehingga mereka diizinkan tinggal di sini. Sementara itu, ibunya bekerja sebagi juru masak di dapur. 

Anak perempuan tidak disekolahkan, apalagi kastanya rendah. Jadi, setiap hari dia hanya bermain dengan teman-teman sebaya, termasuk salah satu pewaris dari keraton ini. 

Kanjeng ratu tidak pernah marah jika putranya bermain dengan siapa saja, asalkan tidak berbahaya atau keluar dari lingkungan keraton.

"Tapi ndak boleh lama. Aku ndak tahan. Nanti bisa mengompol di celana," katanya dengan wajah polos. 

Anak laki-laki itu terbahak-bahak mendengarnya. Lalu, dengan perlahan dia berjalan mendekat.

"Pejamkan matamu!"

Dengan sedikit rasa takut, anak perempuan itu menutup kedua kelopak mata, pasrah jika memang sang raden akan melakukannya. Lalu, dia tertawa geli karena sang raden mulai beraksi. Mereka bercanda dan saling mengejar, bermain selayaknya anak-anak hingga senja menjelang.

Saat mereka masih asyik berlarian, tiba-tiba saja terdengar suara seseorang memanggil. 

"Sekar! Sekar! Pulang. Hari sudah mau gelap," teriak seorang wanita sembari melambaikan tangan. 

Anak perempuan itu menghentikan lari, kemudian berkata kepada sang raden. 

"Raden, aku dipanggil Ibu. Aku harus pulang sekarang," katanya dengan kecewa.

Anak lelaki itu tersenyum sembari menggenggam tangannya, lalu berkata, "Kalau begitu, besok kita berjumpa lagi." 

Merekapun akhirnya berpisah. Sekar kembali ke pondok, tempat di mana dia tinggal bersama orang tuanya. Sementara anak laki-laki itu kembali ke keraton. 

***

Hiruk pikuk terdengar seantero tempat ini. Hilir mudik orang beraktifitas sejak subuh tadi hingga siang ini tiada henti.

Keraton sudah disulap menjadi lebih cantik dengan berbagai macam hiasan. Suara gamelan juga sejak tadi terdengar, ditabuh oleh beberapa abdi dalam dengan suka cita.

Para abdi berbagi tugas, ada yang membersihkan halaman, ada yang berjaga-jaga dan mengawasi.

"Sekar! Bawa rangkaian bunga ini ke depan," perintah salah satu pelayan.

Gadis yang dipanggil Sekar itu dengan tegopoh-gopoh mengambil nampan yang berisikan berbagai macam kelopak bunga. Dia membawanya ke ruang pertemuan, tempat para petinggi keraton berkumpul. Lalu kembali ke tempatnya untuk menyelesaikan pekerjaan.

"Radenmu akan pulang. Apa kamu ndak senang?" tanya pelayan itu menggodanya.

"Semua orang pasti senang karena Raden akan pulang. Begitu pula denganku," ucapnya.

"Aku jadi penasaran, bagaimana wajahnya setelah bertahun-tahun pergi merantau untuk belajar," lanjut pelayan tadi.

"Pasti ndak banyak berubah. Sama seperti dulu," jawab Sekar.

Dia sibuk memotong tangkai bunga. Jika kelopaknya tadi akan digunakan untuk taburan, maka yang ini akan disimpan di pot yang akan menghiasi ruangan.

"Apa kamu ndak menaruh hati kepadanya? Bukannnya kalian dari kecil selalu bermain bersama?"

Sekar tersenyum menjawab pertanyaan itu. Memang dia dan raden sejak dulu sangat dekat. Namun, menginjak usia remaja, putra ketiga dari raja itu dilarang bergaul dengan sembarangan orang.

Sebagai salah satu penerus kesultanan, seorang Raden dituntut untuk banyak belajar. Apa saja, tak hanya berkuda dan memanah. Dia juga diajari berdagang dan mengelola wilayah.

Sejak itu, mereka jarang bermain bersama. Apalagi menginjak usia 15 tahun, sekar sudah mulai diminta menjadi pelayan.

Ibunya masih bekerja sebagai juru masak, sedangkan ayahnya beralih tugas mengurus peternakan kuda.

"Aku hanya pelayan. Tidak ada kisah cinta antara kaum sudra dan ksatria," lirihnya.

Lagipula dia memang tidak menaruh hati kepada raden, karena ... ada laki-laki lain yang saat ini menarik perhatiannya.

"Jika aku jadi kamu, maka aku akan mendekatinya. Usia Raden sekarang sudah menginjak 20 tahun. Sepertinya Kanjeng Ratu menginginkan dia menikah," lanjut si pelayan tadi.

Sekar termenung sejenak. Jika Wijaya berusia 20 tahun, itu berarti dia sendiri sudah 18 tahun. Pantas saja ayah dan ibu kerap menjodohkan dengan beberapa laki-laki.

"Aku dengar juga begitu. Kenjeng Gusti sering sakit-sakitan. Mungkin Raden akan meneruskan tahtanya. Ada banyak putri yang akan diundang di acara nanti malam. Aku rasa mungkin salah satu akan menjadi jodohnya," jawab Sekar.

Mereka berdua asyik berbincang. Lalu tak lama pintu gerbang terbuka. Bunyi derap kuda memasuki halaman istana menggema hingga ke dalam. Banyak pelayan yang keluar menyaksikan kedatangan putra sang raja.

Sekar dan pelayan tadipun tak terkecuali. Mereka meninggalkan pekerjaan dan berlari menuju ke halaman keraton.

Tampak sosok gagah keluar dari dalam tandu. Tubuhnya tinggi menjulang dengan kulit yang bersih. Semua orang menatapnya dengan kagum. Ada juga yang diam-diam menaruh hati.

Sekar berdiri paling belakang. Dia mencoba berjinjit namun tetap tak nampak. Tubuhnya yang mungil dan pendek membuatnya kesulitan Akhirnya dia memilih mundur ke belakang dan melihat yang lain melambaikan tangan ke arah raden.

Wijaya Kusuma. Putra ketiga dari Penembahan Angling Kusuma. Raja di wilayah selatan ini. Tiga tahun pergi ke negara tetangga untuk menempuh pendidikan. Perjalanan jauh dengan menggunakan kapal laut tak menyurutkam niatnya untuk menuntut ilmu.

Bruk!

Sekar terjatuh saat tak sengaja kainnya tersangkut sebuah kayu. Kembannya hampir saja terlepas.

"Kamu ndak apa-apa, Kar?" tanya seseorang.

Gadis itu mendongakkan kepala. Tampaklah seorang lelaki tampan dengan pakaian prajurit yang gagah. Di pinggangnya ada sebilah pedang yang terbungkus rapi dalam selongsong.

"Ndak apa-apa," jawabnya gugup.

Mereka berdua saling bertatapan dengan wajah merona.

Sudah satu tahun ini, keduanya saling mencuri pandang. Saling memberikan perhatian secara diam-diam.

"Hati-hati kainmu bisa tersangkut," ucap lelaki itu dengan wajah memerah.

Dia memalingkan wajah ketika penutup dada gadis itu tersibak sebagian. Sebagai laki-laki normal, tentu saja itu merupakan pemandangan indah baginya.

Sekar menunduk dan menutupnya dengan sebelah tangan. Aset miliknya yang putih dan kenyal itu jangan sampai dilihat orang lain kecuali suaminya nanti. Dia membalikkan badan dan menyimpul kain, lalu merapikan rambut.

"Ayo, aku bantu." Laki-laki itu mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri.

"Terima kasih," ucapnya malu.

"Lain kali jangan pakai kemban. Kamu menggoda mata kami untuk melirik. Apa kamu ndak punya kebaya?" Dia bertanya.

"Aku tadi dari belakang sedang merangkai bunga. Ndak keburu ngambil selendang. Lalu ada bunyi kereta. Kami mau melihat kedatangan Raden," jawabnya.

"Oh. Tentu saja. Kamu mau ketemu dengan kekasih masa kecil?" tanya pengawal itu.

Semua orang di keraton tahu bahwa Sekar adalah sahabat Wijaya sejak masih dulu.

"Dia bukan kekasihku. Aku masih sendiri, belum dimiliki oleh siapapun," jawabnya sambil menundukkan kepala. Tangan kecil itu memainkan ujung kain sehingga membentuk sebuah simpul.

"Oh syukurlah. Jadi aku masih punya peluang," kata lelaki itu senang.

Sudah lama dia memperhatikan Sekar. Sejak gadis itu masih kecil hingga kini tumbuh menjadi dewasa. Usia mereka memang terpaut cukup jauh. Dia sendiri tahun ini memasuki angaka 28.

Selisih usia 10 tahun dengan gadis ini membuatnya agak ragu untuk mendekat. Di antara para pengawal istana, dia dijuluki si perjaka tua karena tak kunjung menikah.

Padahal banyak gadis yang mendekati karena wajahnya cukup tampan. Namun, hatinya telah tertambat kepada Sekar, sang primadona di disini.

Ada bisik-bisik yang sempat tersebar di kalangan para pengawal, bahwa sepertinya Sekar akan dijadikan selir oleh salah satu pangeran di keraton ini.

Entah yang mana, karena putra raja ada beberapa dari ratu dan selirnya. Karena itulah, mereka yang diam-diam menaruh hati kepada gadis ini menjaga jarak. Jangan sampai raja marah dan mengusir karena berani berbuat lancang.

Sekar, sekalipun dibebaskan dan dijadikan pelayan, diam-diam telah diawasi dan dijaga oleh beberapa orang suruhan raja.

"Maksudnya?" Gadis itu bertanya. Berpura-pura tidak tahu padahal malu.

"Ah, lupakan. Kembalilah ke tempatmu. Nanti malam akan ada acara penyambutan. Aku dengar kamu akan menari bersama yang lain," kata lelaki itu.

"Kamu benar. Kanjeng Ratu memintaku menari untuk penyambutan Raden Wijaya," katanya bersemangat.

Ini pertama kalinya dia tampil dan unjuk kepiawaian dalam menari. Tentu saja Sekar merasa senang.

"Jangan terlalu cantik berdandan. Nanti banyak yang tergoda melihat kemolekanmu," bisik lelaki itu, lalu pergi meninggalkan Sekar begitu saja.

Gadis itu masih terpaku. Tak menyangka bisa berbicara lama dengan sang pujaan hati.

Kamandanu, kepala prajurit keraton yang gagah perkasa. Pemimpin perang yang ditakuti lawan dan disegani kawan.

Sekar berdoa dalam hati, semoga kelak jodohnya adalah lelaki itu.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
SalsaDCArmy
baca ceritaku jugaa yaaa makasih.. cerita fiksi Indonesia jugaa keren............
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Selir Sang Pangeran   Pertemuan Pertama

    Bunyi denting musik mengalum mengiringi sang penari yang gemah gemulai memainkan tangan.Semua mata tertuju kepada sekelompok gadis ayu yang sedang meliukkan tubuh sambil mengibaskan selendang.Tarian yang dibawakan adalah penyambutan dan penghormatan sehingga dimainkan dengan pelan dan gerak lambat.Sekar berada di tengah diantara yang lain, memakai kebaya dengan berwarna berbeda dari yang lain karena malam ini dialah yang memimpin tarian.Sejak kecil dia memang berlatih menari sebagai kewajiban bagi setiap anak perempuan di desa ini. Namun, baru pertama kali dia diizinkan tampil, atas permintaan ibu ratu.Di kiri kanan ruangan berderet kursi yang ditempati oleh para petinggi keraton. Raja duduk di singgasana, setelah memberikan kata sambutan saat acara dimulai. Lelaki paruh baya itu diapit oleh permaisuri dan dua selirnya. Para pengeran

    Last Updated : 2021-06-04
  • Selir Sang Pangeran   Hasrat Sang Raden

    Wijaya menatap satu persatu para prajurit yang sedang melakukan latihan kanuragan hari ini.Dia sendiri sudah berlatih sejak usia dini, dimana semua pangeran memang diwajibkan menguasai ilmu bela diri."Raden." Salah seorang pelatih prajurit menyapanya.Lelaki itu membalas dengan menganggukkan kepala, dan masih memantau latihan itu hingga satu jam ke depan.Melihat para parajurit tampak bersemangat, Wijaya menjadi tertarik dan ingin berlatih juga. Sejak pergi merantau untuk belajar, dia lama vakum dari bela diri."Ayo, Raden. Ikut latihan," ajak prajurit yang lain.Lelaki itu langsung membuka baju, membiarkan kulitnya yang cokelat terpapar sinar matahari. Otot-otot tubuhnya begitu liat, sekalipun usianya masih muda.Wijaya memang tak setampan saudaranya yang lain. Bentuk wajahnya standar, namun rahangnya begitu kokoh. Namun pembawaan yang tenang dan dewasa membuatnya menarik dengan cara yang berbeda

    Last Updated : 2021-06-04
  • Selir Sang Pangeran   Permohonan

    Sekar berlari menuju pondok dengan langkah terseok-seok. Untung saja kembannya tidak tersangkut.Air matanya mengalir deras. Hatinya sakit, sedih dan kecewa."Kamu kenapa, Nduk?" tanya beberapa orang yang berpapasan dengannya.Namun dia tak menghiaraukan pertanyaan dari mereka. Hingga tiba di pondok, dia mengunci kamar dan menangis sepuasnya. Masih terbayang perlakuan Wijaya tadi saat dia diminta untuk menemani makan.Lelaki itu mencuri ciuman pertamanya. Tak hanya itu, ketika mencoba menolak, Sekar malah didekap dengan erat. Lelaki itu malah bersikap tidak sopan dengan menyentuh beberapa bagian tubuhnya. Sekar merasa dilecehkan. Tak menyangka bahwa sang raden berbuat begitu.Wijaya begitu berhasrat dan tak terkendali, hingga kembannya terbuka sebagian. Tangan besar lelaki itu meraih apa yang malam itu sempat menjadi angan indah, saat gadis itu mengalungkan bunga di lehernya, lalu menikmatinya selama beberapa saat.Un

    Last Updated : 2021-06-04
  • Selir Sang Pangeran   Restu

    Rahang Wijaya mengeras saat mendengar penuturan Daksa yang meminta izin untuk menikahkan putrinya.Dia mengusap pipi yang sempat memerah karena pernah ditampar oleh Sekar.Menyesal namun semua sudah terlambat. Entah mengapa ketika bertemu kembali dan melihat gadis kecilnya itu telah banyak berubah, hasratnya sebagai seorang laki-laki berontak.Selama ini, dia tidak pernah bermain dengan wanita seperti yang kakak-kakaknya lakukan.Wijaya fokus belajar dan menata masa depan karena dia akan menjadi salah satu kandidat untuk menggantikan raja."Putri hamba sudah dipinang oleh seorang lelaki, Kanjeng Gusti. Hamba mohon izin untuk mengadakan pesta pertunangan sederhana di pendopo sebagai ungkapan rasa syukur," ucap Daksa dengan lancar.Lelaki paruh baya itu sudah berdiskusi dengan istrinya. Pada saat dia mengatakan itu, Ratih setengah tak percaya. Istrinya langsung setuju karena Kamandanu merupakan panglima di keraton yang

    Last Updated : 2021-06-04
  • Selir Sang Pangeran   Pertunangan

    Pendopo ramai dengan orang hilir mudik menyiapkan acara pertunangan Sekar dan Kamandanu. Sekalipun hanya dalam ruang lingkup keraton, tetapi semua penghuninya sangat bersemangat dan antusias. Hanya satu orang yang terlihat murung, Raden Wijaya. Sejak pagi dia mengurung diri di kamar. Berpura-pura tidur dangan mengatakan kepada ratu bahwa dia sedang sakit. Wijaya memang benar menderita sakit, tetapi bukan pada tubuh. Hatinya yang patah begitu dalam, menyayatkan luka yang perih hingga meneteskan air mata. Gadis yang dia cintai diam-diam selama bertahun-tahun, kini harus menjadi milik orang lain. Dia tak terima. Jikalau tahu akan begini jadinya, maka Wijaya memilih untuk tidak pulang dan menetap di tanah perantauan untuk melanjutkan belajar. Para prajurit sudah bersiap siaga sejak subuh dan bersuka cita. Pemimpin mereka sebentar lagi akan melepas masa lajang. Dua minggu ke depan, pernikahan akan dilangsungkan. Sekar didandan cantik de

    Last Updated : 2021-06-21
  • Selir Sang Pangeran   Midodareni

    Sekar berdiam di kamar sambil mengintip dari balik pintu. Di luar pondok sampai halaman ramai dengan orang-orang yang berkumpul.Besok pernikahannya dengan Kamandanu akan dilangsungkan. Jadi, keluarga lelaki itu datang dari desa untuk bertemu dengan keluarganya sambil membawa seserahan.Wajah wanita itu begitu ceria sekalipun seluruh tubuhnya dilumuri bedak, semacam penghalus kulit dari leher hingga ke kaki.Bedak itu terbuat dari beras yang dihaluskan ditambah dengan rempah-rempah yang berbau harum. Kata ibunya, biar Kamandanu semakin kesengsem paadanya di malam pertama nanti.Sekar bersemu merah mendengar itu. Bayangan nanti akan berduaan dengan sang suami membuatnya tak sabar menunggu hari esok. Dimana akan dilangsungkan janji sehidup semati dalam ikatan yang sah.Terdengar suara riuh di depan. Entah apa yang mereka bicarakan. Dia pernah mengikuti acara midodareni salah seorang teman.Semacam silaturahmi antara kedua kel

    Last Updated : 2021-06-21
  • Selir Sang Pangeran   Pupus

    Tangis Sekar menggema di ruangan itu. Pernikahan yang direncanakan akan dilagsungkan pagi ini batal karena perngantin pria menghilang.Ya, Kamandanu tak ditemukan dimanapun, kecuali selongsong pedangnya yang jatuh, juga darah yang berceceran di sekitar benda itu ditemukan."Sudah, Nduk." Ratih memeluk putrinya yang sedari tadi meraung karena pernikahannya dibatalkan.Raja sudah mengerahkan seluruh prajurit untuk mencari panglima kesayangannya, namun nihil. Sehingga para sesepuh langsung menunjuk seorang parjurit terlatih untuk menggantikan posisinya.Gerbang ditutup. Semua diperiksa secara ketat hingga ke bagian sudut. Bahkan barak, dapur bahkan pondok yang berada di wilayah keraton."Kalau memang kangmas dibunuh, dimana mereka menbuang jenazahnya, Buk?" tanya Sekar.Ratih tak mampu menjawab. Di luar sana Daksa dan yang lain ikut menyisir beberapa tempat untuk mencari calon menantunya."Sepertinya Kangmas-mu diculik. Entah

    Last Updated : 2021-06-21
  • Selir Sang Pangeran   Pernikahan

    Keraton berpesta pora. Dua bulan setelah batalnya pertunangan Sekar dan Kamandanu yang menghilang hingga kini belum ditemukan, hari ini Wijaya yang melangsungkan pernikahan dengan seorang gadis pilihan ibu ratu.Raden Ayu Prameswari. Putri dari wilayah sebelah yang masih berusia 17 tahun. Cantik, semampai dan berwajah ayu, sesuai dengan namanya.Sebagai seorang putri, sikapnya sungguh anggun dan bertata krama. Berbeda dengan Sekar yang sesekali masih bertingkah konyol.Wijaya terlihat sangah gagah dengan baju kebesarannya. Matanya melirik berkali-kali, mencari sosok Sekar namun tak tampak.Sejak batalnya pernikahan, Sekar memang tak terlihat dimanapun. Banyak yang tidak tahu bahwa dia dipindahkan ke bagian dapur dan membantu ibunya menajadi juru masak.Gadis itu sudah terlanjur malu dan patah hati yang mendalam sehingga tak punya keberanian untuk tampil di muka umum.Pesta begitu meriah. Penjagaan diperketat 2x lipat karena raja khawatir, mu

    Last Updated : 2021-06-21

Latest chapter

  • Selir Sang Pangeran   Hidup Baru

    Arya menatap Kamandanu dengan tajam sembari berkacak pinggang. Lelaki itu sudah siap jika sewaktu-waktu sang Panglima akan melancarkan serangan."Apa kabarmu, Panglima Muda?" sapa Kamandanu."Baik-baik saja, Panglima. Kau sendiri bagaimana?""Aku sudah tak sabar ingin berlatih ilmu kanugaran denganmu," tantang Kamandanu.Arya tergelak lalu menyanggupi. Bukankah dulu dia pernah berkata akan belajar ilmu bela diri dari Kamandanu jika mereka bertemu lagi. Dan kini keduanya saling berhadapan satu dengan yang lain."Siapa sangka kita akan bertemu lagi setelah sekian lama," ucap Arya tak percaya. Jika bukan karena perburuan hari itu, maka mungkin dia akan lupa pada ucapan sendiri."Kau benar. Aku bahkan tak menyangka jika akan bertemu dengan kalian. Sepertinya kami memang ditakdirkan untuk selalu berhubungan dengan keraton, walaupun sudah menghindar ja

  • Selir Sang Pangeran   Pertemuan

    Derap kaki kuda yang berlari menembus jalanan menarik perhatian warga sekitar. Apalagi Semua penunggangnya berwajah tampan dan memakai baju khas keraton. Berita ceepat tersebar bahwa para penguni keraton akan melakukan perburuan."Apa Kanjeng Gusti yakin akan berburu di daerah sini?" tanya Arya, sang Panglima."Tentu saja. Aku sudah lama tidak berburu. Mengurus pemerintahan sangatlah memusingkan," jawab Abimana."Turuti saja permintaannya, Panglima. KIta hanya perlu mendampingi, " ucap WIjaya tenang."Bukan begitu, Raden. Daerah sini belum pernah kita lewati. Hamba khawatir terjadi sesuatu," jelas Arya."Kalau begitu kerahkan sihirmu untuk melihat situasi," titah Abimana.Arya menyetujui usul itu dan turun dati kuda untuk memulai ritualnya. Lelaki itu memiliki mata batin sehingga dapat melihat makhluk halus yang dapat membahayakan. Setelah memejamkan mata beberapa saat akhirnya lelaki itu tersadar dan merasa lega."H

  • Selir Sang Pangeran   Wira

    "Raden, hati-hati! Nanti Raden terjatuh."Kamandanu tergopoh-gopoh mengejar anak laki-laki yang sejak tadi berlari mengelilingi lapangan. Hari ini dia yang mengajak bermain karena istrinya sedang mencuci di kali. Napasnya terengah-engah karena usia yang sudah tidak muda."Kejar aku, Paman! Katanya kau dulu seorang panglima perang. Mengapa kau begitu lemah," canda anak itu sembari menjulurkan lidah.Kamandanu menjadi geram. Lalu dengan kaki yang pincang, lelaki itu ikut berlari. Dia menagkap pinggang anak itu dan bergulingan di rumput. Tawa terdengar dari keduanya, lalu mereka bercanda hingga senja tiba."Ayo, kita pulang. Ibumu pasti mencari," ajak Kamandanu."Aku tidak mau pulang, Paman. Nanti ibu memarahiku karena tidak mau makan nasi," rajuk anak itu."Raden memang harus makan nasi supaya cepat tinggi," bujuk Kamandanu."Memangnya kenapa kalau aku menjadi tinggi?"Anak itu menatap Kamandanu dengan lekat. Dia mema

  • Selir Sang Pangeran   Pewaris

    Sekar menatap burung-burung yang sedang berkicau di dahan pohon. Pikirannya melayang entah ke mana. Sementara pipinya basah dengan air mata yang sejak tadi menetes. Wanita itu membalik badan dan menatap kamar yang sejak satu minggu ini tak boleh dimasuki siapapun, kecuali orang-orang tertentu. Dan dia termasuk salah satunya.Ada Wijaya di sana, dengan kondisi luka bakar pada wajah dan beberapa bagian tubuh yang melepuh karena insiden malam itu. Dia sendiri terkena di bagian tangan dan dada, tetapi tidak parah sehingga tak memerlukan perawatan khusus. Sekar tak boleh merawat suaminya, hanya Prameswari yang diberikan amanat. Hal itu ditetapkan setelah banyak pertimbangan. Salah satunya adalah saat lelaki itu sakit dulu.Selain itu, Wijaya terkena musibah saat bermalam bersama dengan Sekar. Jadi wanita itu dianggap sebagai pembawa sial. Apalagi pelakunya adalah Kamandanu yang hendak membalas dendam. Maka semakin lengkaplah tudingan yang dialamatkan kepadamya.

  • Selir Sang Pangeran   Penyerangan

    Kamandanu menarik tangan Handaru dan membekap mulutnya. Lalu, menyeret anak itu agar menjauh dari keramaian untuk mencari persembunyian. Lelaki itu melepaskan cekalan dan terengah-engah begitu mereka berada di tempat yang aman."Kau membuatku takut, Panglima!"Handaru memegang dadanya yang terasa sesak. Lelaki itu duduk di tanah dengan kedua lutut ditekuk sembari memyadarkan kepala di salah satu bagian barak. Tangannya memijat kepala yang terasa berdenyut."Aku terpaksa melakukan ini agar kau mengerti. Sejak tadi aku memberikan kode tetapi kau tak paham," sungut Kamandanu."Mereka sedang mengajakku berbicara. Aku tak mungkin pergi," jawab Handaru.Mereka saling terdiam untuk beberapa saat, lalu menatap bintang-bintang yang bertaburan di langit. Malam ini barak mengadakan pesta setelah dua bulan para prajurit baru menjalani pelatihan intensif. Minggu depan adalah hari pengukuhan dimana Handaru akan resmi diangkat menjad

  • Selir Sang Pangeran   Kecewa

    Kamandanu menatap secarik kain yang dia temukan di hutan. Simbol yang tergambar di sana membuatnya lemas. Itu adalah lambang salah satu perguruan silat yang cukup terkenal dari kota sebelah.Apa yang Adiguna duga sedikit demi sedikit mulai terbukti. Lalu, apakah Raden Wijaya pelakunya, itu belum bisa dipastikan. Butuh petunjuk yang kuat untuk menjatuhkan tuduhan.Adiguna melipat tangan di depan dada dan menatap Wijaya dengan lekat. Entah apa maksud kedatangan adiknya itu, dia masih belum bisa menerka. Sejak tadi mereka hanya berbasa-basi menanyakan kabar dan juga membahas pemerintahan. Padahal dia tahu, bukan itu tujuan utamanya."Kakang, aku baru saja mendapatkan hadiah sebuah pedang baru."Adiguna menatap adiknya dengan curiga. Sejak kecil mereka memang tumbuh dan bermain bersama. Namun ketika beranjak dewasa, ada kepentingan dan ambisi yang ditanamkan oleh para ibu sehingga hubgungan itu menjadi renggang. Wijaya yang awalnya tak terla

  • Selir Sang Pangeran   Bukti Baru

    Kamandu memegang dadanya yang berdebar kencang. Saat Daksa mengatakan bahwa Sekar tiba-tiba datang berkunjung, hatinya diluapi oleh kebahagiaan. Lelaki itu hendak berbalik ke arah pondok ketika mendengar beberapa langkah kaki mendekat.Kamandanu mengurungkan niat dan mengintip dari balik sumur. Tampak beberapa pengawal sedang memeriksa seisi pondok dan sekitarnya. Untunglah jarak sumur cukup jauh dari pondok dan terhalang pohon besar. Sehingga tubuhnya tak kelihatan."Apa kau merasa ada yang aneh?" tanya salah satu pengawal."Ya, tapi aku tak tahu itu apa. Rasanya ada orang lain di rumah ini selain Daksa dan istrinya," jawab pengawal kepercayaan Wijaya. Lelaki itu sengaja diutus untuk menemani Sekar karena sang raden mengkhawatirkan keselamatan istrinya."Apakah itu penyusup yang mengikuti Ndoro Ajeng?""Bisa jadi. Karena itulah kita harus waspada."Beberapa pengawal itu saling berbincang sembari menyisir beberapa tempat. Ketika mereka

  • Selir Sang Pangeran   Pulang

    Selama tiga hari Kamandanu dirawat di rumah Daksa, selama itu pula Sekar tak mengetahui apa pun. Wijaya memang mengizinkan selirnya bertemu dengan keluarga, tetapi belum memenuhi janjinya. Hingga wanita itu merasa gelisah, tetapi tak berani menyusup karena takut ketahuan.Sekar hanyalah selir biasa, yang tak mengerti permasalahan keraton. Sehingga dia tak tahu jika nyawa mereka bisa terancam sewaktu-waktu. Wijaya memang membatasi wanita itu agar tak mencampuri urusannya. Hal yang sama dia lakukan kepada Prameswari. Hanya ratu yang berhak bersuara mengenai pemerintahan. Juga istri sah Adiguna karena kakaknya adalah pewaris utama.Tugas selir hanyalah memikat raja dan pangeran, lalu menyenangkan mereka. Jika mendapatkan keturunan laki-laki maka itu adalah anugerah. Sayangnya, dari ratu dan beberapa selir yang dimiliki raja yang sekarang, beliau hanya diberikan tiga pewaris lelaki. Bahkan, istri dan selir dari para putranya juga melahirkan anak perempuan.Wij

  • Selir Sang Pangeran   Pertolongan

    "Sepertinya benda itu sangat berarti untukmu, Kisanak."Kamandanu terkejut dan segera menyembunyikan selongsong itu balik pakaiannya. Lelaki itu menoleh dan mendapati Daksa sedang menatapnya dengan tajam."Paman Daksa," ucap Kamandanu memberi hormat."Sepertinya aku mengenal benda itu," sindirnya.Beberapa hari ini Daksa mengamati Kamandanu secara interns. Kecurigaannya semakin bertambah setelah memergoki lelaki itu sering melamun. Hari ini keyakinannya semakin kuat saat melihat selongsong pedang milik panglima."Ini diberikan Raden Adiguna kepadaku," jawab Kamandanu sembari tersenyum. Sejak kembali bekerja di keraton, dia sudah terbiasa mengendalikan sikap agar tak gugup."Tapi kenapa diberikan kepadamu? Kau orang baru," selidik Daksa."Entahlah, Paman. Aku tak pernah bertanya apa alasannya," jawab Kamandanu.

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status