Tok tok tok ...Buku-buku jari Dona mengetuk pintu kamar Gendis dengan keras.Tidak ada sahutan dari dalam sana."Gendis!" Perempuan itu memanggil pembantunya.Masih seperti sebelumnya tidak ada jawaban apa pun dari dalam kamar yang pintunya tertutup rapat.Dona yang tidak sabar memutar gagang pintu yang ternyata langsung terbuka. "Gendis! Kenapa nggak dijawab dari tadi saya manggil kamu? Budek ya kamu?" ketus Dona sembari melangkahkan kakinya ke dalam kamar.Suara Dona menggema di ruangan yang kosong melompong. Tidak ada Gendis di sana."Gendis! Kamu di mana?" Dona sampai membuka lemari seolah Gendis berada di dalamnya.Perempuan itu berdecak kesal lantaran tidak menemukan pembantunya. Ia keluar dari kamar tersebut untuk kemudian mencari Gendis ke bagian lain di rumah itu. Mulai dari ruang tengah, ruang makan, ruang belakang, kamar mandi hingga kamar Doni. Dona tetap tidak menemukannya."Ke mana lagi tuh babu? Giliran nggak dicari mondar-mandir mulu kayak setrikaan. Pas lagi butuh m
Beberapa jam yang lalu sejak Bondan mengatakan padanya agar bersiap-siap, Gendis tidak bisa lagi untuk tetap tenang. Segala cara ia pikirkan agar bisa lolos dari pertemuan tersebut, tapi ia hanya menemukan jalan buntu. Detik-detik sebelum kedatangan Dexter detak jantung Gendis semakin menggila. Andai ada lubang di bawah kakinya ia akan masuk ke lubang itu dan bersembunyi di sana. Satu-satunya yang Gendis inginkan saat itu adalah agar ia dikaruniai kekuatan menghilang dari pandangan orang-orang.Lama bersembunyi di kamar, Gendis keluar dari sana. Ia menyiapkan makan malam di meja makan. Tadi Bondan menitahkan padanya bahwa nanti Dexter dan istrinya akan malam di rumah itu. Rumah saat itu sedang sepi. Bondan dan Dona sedang berada di kamar mereka. Pun dengan si nakal Doni.Setelah menyelesaikan pekerjaannya Gendis kembali ke kamar. Ia duduk dengan gelisah di pinggir tempat tidur sambil kembali memikirkan cara untuk kabur.Lelah duduk dan berpikir, Gendis berdiri dan berjalan mondar-ma
Entah berapa lama Dexter dan Gendis duduk berdua di balik mobil. Mereka bercerita tentang satu sama lain sambil memandangi anak mereka yang terlelap setelah Gendis susui."Jadi kamu nyari sampai ke kampung aku?" ulang Gendis mengonfirmasi pengakuan yang didengarnya dari Dexter."Ya. Untung ada orang baik yang ketemu sama aku di travel. Dia yang mengantarku ke rumah orang tuamu.""Terus kamu ketemu sama Ibu dan Bapak?" tanya Gendis antusias. Ia penasaran apa yang terjadi selanjutnya.Dexter menggeleng pelan. "Ibu dan Bapak udah pergi kerja. Aku hanya ketemu sama adekmu."Ah, Delia. Selain kangen pada kedua orang tuanya, Gendis juga merindukan adiknya itu."Aku nggak nyangka dia juga cantik," cetus Dexter menambahkan.Sontak saja Gendis melayangkan cubitan ke lengan Dexter."Kok aku dicubit?" Dexter pura-pura kesakitan sambil mengusap-usap lengannya. "Tapi kakaknya jauh lebih cantik sih."Wajah Gendis merona dalam gelap sebagai respon atas sanjungan Dexter padanya. Pipinya menghangat. B
Dexter masuk ke rumah membawa Bobby yang telah terlelap. Tepat di saat ia tiba orang-orang sudah selesai makan."Maaf, Pak, kami selesai duluan," kata Bondan pada Dexter."Nggak apa-apa, Dok, saya makan di rumah saja.""Lho, kenapa begitu, Pak?" Dona yang bicara."Kasihan Bobby-nya, Bu. Dia sudah tidur."Dona, Bondan, dan juga Catherine memandang ke objek yang sama. Mereka melihat anak itu sudah pulas dalam lelap di dekapan Dexter."Apa nggak bisa dikasih sama Bu Catherine dulu, Pak? Selama Pak Dexter makan biar Bu Catherine yang pegang Bobby.""Terima kasih, Bu, tapi saya makan di rumah saja. Kasihan Bobby, biasanya suka kebangun kalau dipindahkan."Malam itu Dexter tidak jadi makan malam di rumah Bondan. Ia langsung pulang dengan membawa persediaan ASIP dari kulkas. Catherine yang menyetir, sedangkan Dexter tetap menggendong Bobby dalam pelukannya.Dari tempatnya duduk Dexter mencari-cari bayangan Gendis di halaman rumah kalau saja perempuan yang masih berstatus sebagai istrinya
"Aurel Sagita mengadakan acara syukuran kelahiran putri pertamanya yang baru berusia satu bulan. Acara tersebut diselenggarakan secara besar-besaran dan mengundang banyak selebriti ternama." Suara presenter pembawa acara infotainment menggema dari televisi layar lebar di kediaman Dexter pagi itu.Risa yang menyaksikannya sambil memberi ASIP Bobby sampai ternganga menyaksikan kemewahan acara yang ditayangkan di layar televisi. "Bu Catherine, apa tidak sebaiknya kita adakan acara syukuran untuk Bobby? Bobby kan udah satu bulan, Bu," ujar Risa pada Catherine yang juga sedang menonton televisi bersamanya.'Buat apa? Cuma buang-buang uang. Lagian anak itu bukan anakku,' pikir Catherine di dalam hatinya. Namun setelah detik itu ia langsung berubah pikiran. Orang-orang di luar sana tahu bahwa sudah bertahun-tahun Dexter dan Catherine menantikan kehadiran keturunan dalam pernikahan mereka. Lalu setelah seorang anak yang ditunggu itu akhirnya hadir bukankah sudah selayaknya mereka rayakan d
Tentu saja Gendis terkejut oleh tindakan Dexter yang sedikit pun tidak berada di dalam prediksinya."Lepasin aku, Dex." Gendis meronta dalam dekapan Dexter. Tapi malah pelukan lelaki itu bertambah erat mengunci tubuhnya. Iya, Dona memang sudah pergi mengantar Doni ke sekolah. Sedangkan Bondan sudah berangkat beberapa saat yang lalu ke rumah sakit. Tapi Gendis khawatir kalau orang-orang yang lewat melihatnya berpelukan dengan Dexter."Aku cuma mau meluk kamu sebentar, aku kangen." Dexter bergumam pelan menyampaikan perasaannya. Sudah lama ia hanya bisa menyimpan sendiri perasaan itu. Kemarin malam saat mereka bertemu setelah sekian lama, Dexter juga tidak sempat memeluk Gendis lantaran harus menggendong Bobby."Tapi nanti ada yang melihat kita," ucap Gendis masih takut."Biarin. Aku nggak peduli.""Dex, jangan begini. Kontrol diri kamu, jangan bahayakan posisiku," ucap Gendis memohon pengertian Dexter. Para tetangga yang lewat dan tidak sengaja melihat bisa saja berasumsi lain kemudian
Gendis terdiam sekian lama mendengar permintaan Dexter yang begitu sulit baginya. Ia tidak dapat memberi jawaban. Di satu sisi Gendis ingin sekali tinggal bersama Dexter di rumah lelaki itu. Ia bisa dekat dengan Bobby dan mengurusnya setiap hari. Ia juga bisa memeluk anak itu kapan pun diinginkan. Akan tetapi, jangan lupakan ada Catherine di rumah itu. Gendis tidak bisa tinggal di sana. "Ndis ...," tegur Dexter lantaran perempuan itu membungkam mulutnya."Maaf, Dex, aku nggak bisa.""Kenapa?"Gendis menggelengkan kepalanya tanpa kata-kata."Jawab aku, Ndis. Apa kamu nggak mau kita tinggal bersama? Apa kamu nggak mau dekat dengan anak kita setiap hari?""Bukan aku nggak mau," tepis Gendis."Jadi kenapa? Kasih tahu aku alasannya."Gendis menundukkan kepalanya dalam-dalam. Tidak sanggup membalas tatapan Dexter yang meminta kejujuran darinya."Ndis ..." Lelaki itu memanggil tapi Gendis tetap tidak bersuara. "Jawab aku, Ndis. Apa yang bikin kamu khawatir?"Dan Gendis masih seperti tadi, m
Rumah megah dengan arsitektur klasik modern itu tampak begitu ramai hari ini. Berbagai kendaraan tampak berbaris hingga tumpah ruah ke jalan. Deretan papan bunga juga berjajar rapi hingga bermeter-meter dari rumah tersebut. Isi papan bunga itu adalah ucapan selamat atas kelahiran putra pertama Dexter dengan Catherine.Acara tersebut diselenggarakan secara besar-besaran sesuai dengan keinginan Catherine. Perempuan itu juga yang mengatur segala sesuatunya. Ia mengundang banyak orang. Mulai dari teman-teman sosialitanya, rekan bisnis Dexter, hingga awak media. Maklum saja, nanti ada pembagian santunan kepada anak-anak panti asuhan. Catherine yang haus validasi tentu tidak akan melewatkan momen itu. Orang-orang harus tahu bahwa selain cantik dan kaya-raya ia juga dermawan.Para tetamu sudah banyak yang berdatangan termasuk keluarga Dexter. Saat ini Bobby sedang berada dalam gendongan Martha. Ada Rosa dan anak-anaknya juga di sana. Andrew dan Kelly asyik bercengkrama dengan bayi berpipi ch
"Mama, nun, Ma ..." Tangan kecil yang menggapai-gapai serta suara cadel yang memanggilnya memaksa Gendis membuka kedua matanya. Perempuan itu terjaga dari tidurnya dan mendapati putra kecil kesayanganya sedang berada di tengah-tengah di antara dirinya dan Dexter. Menyadari dirinya terbangun bersamaa Dexter di sisinya membuat seulas senyum tipis terukir manis di bibir Gendis.Sudah sejak dua belas bulan yang lalu situasi ini terjadi. Lebih tepatnya sejak dirinya menikah dengan Dexter."Pagi, Sayang, anak Mama udah bangun?""Dah, Ma.""Sini cium Mama dulu."Bobby menghambur menciumi pipi Gendis dengan penuh semangat yang membuat Gendis tertawa. Biasanya Gendis akan meletakkan Bobby di atas perutnya. Hanya saja hal itu tidak bisa lagi dilakukannya karena perutnya yang tinggi menyamai dada. Saat ini Gendis sedang mengandung. Tidak butuh waktu lama bagi Dexter membuatnya berbadan dua. Beberapa bulan pasca menikah Gendis dinyatakan positif hamil. Dan hal itu membuat seluruh keluarga berbaha
Gendis menegakkan duduknya. Seluruh indera perempuan itu terjaga waspada menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.Perlahan kelopak mata Dexter terbuka. Pertama-tama yang dirasakannya adalah penglihatannya yang terasa kabur. Namun lama kelamaan semua yang berada di ruang pandangnya mulai terlihat dengan jelas, termasuk presensi Gendis dan juga Bobby."Ndis ...," panggil lelaki itu lirih dengan keadaannya yang masih lemah."Dex, ini aku. Kamu sudah sadar?"Dexter tak seketika menjawab. Pria itu berupaya mengumpulkan serpihan ingatan. Namun semakin kuat ia mengingat, kepalanya terasa bertambah sakit. Bukan. Dexter tidak mengalami amnesia. Buktinya ia ingat siapa Gendis dan siapa Bobby. "Apa yang terjadi, Ndis?" tanyanya masih selesu tadi."Bu Catherine menusuk kamu dengan pisau. Lukamu sangat dalam dan harus dioperasi. Sejak pertama kejadian itu kamu nggak sadarkan diri. Ini adalah hari ketiga kamu di rumah sakit."Dexter termangu mendengar cerita Gendis. Lamat-lamat ingatannya akan
Gendis keluar dari ruang rawat Dexter. Ia bermaksud pergi dari rumah sakit itu. Ia tidak mau terlibat dengan apa pun yang berhubungan dengan Dexter lagi. Hubungannya dengan Dexter sudah lama berakhir. Bagi Gendis lebih baik mereka menjalani hidup sendiri-sendiri seperti saat ini."Gendis!" Suara Martha menahan langkahnya, membuat Gendis menoleh ke belakang. Ia langsung menemukan Martha yang berjalan mendekat ke arahnya."Kamu mau ke mana?" tanya perempuan itu."Saya mau pulang, Bu.""Pulang?" Martha mengerutkan dahi. "Kamu nggak mau menunggu sampai Dexter sadar?""Maaf, Bu, saya nggak bisa," jawab Gendis memberi penolakan."Tapi Dexter butuh kamu. Kehadiran kamu sangat berarti buat dia."Gendis menahan senyum getir agar tidak terlihat. Jadi ceritanya sekarang dirinya sudah dianggap?"Oh iya, Rosa sudah cerita semua sama saya. Saya salut dan kagum sama kamu, Gendis. Kamu perempuan hebat dan luar biasa.""Terima kasih, Bu," jawab Gendis sekenanya. "Maaf, saya harus pulang. Ada hal lain
Acara Junior Chef dengan cepat melejit dan terkenal di kalangan pemirsa Citra Televisi. Bukan hanya karena pesertanya anak-anak yang lucu dengan segala tingkah mereka yang beragam, namun juga karena adanya Gendis, juri yang cantik, masih muda dan energik. Otomatis Gendis menjadi idola baru bagi pemirsa Citra Televisi. Perlahan tapi pasti nama Gendis merambat naik dan mulai dikenal orang-orang. Beberapa orang yang mengenalnya ada yang meminta tanda tangan atau foto bersama saat bertemu dengan Gendis di luar, membuat Gendis merasa takjub pada pencapaiannya saat ini.Gendis baru saja keluar dari bangunan Citra Televisi ketika lagi-lagi ia bertemu dengan Rosa."Bu Rosa ..."Tiada senyum di bibir Rosa ketika Gendis menyapanya. Perempuan itu terlihat tegang yang membuat Gendis ikut kaku."Gendis, ikut dengan saya sekarang," kata Rosa tanpa basa-basi atau salam pembuka."Ke mana, Bu?""Ke rumah sakit.""Ke rumah sakit?" Gendi
"Ma-mami ... Sejak kapan Mami di sini?" tanya Rosa gelagapan."Memangnya kenapa? Kalian takut Mami mendengar semuanya?""Mami jangan salah paham dulu!" ujar Catherine ketakutan sambil berusaha memegang tangan mertuanya itu namun dengan cepat Martha menepisnya."Tadi Mami dengar katanya kamu mau membunuh Rosa. Itu betul?""Itu nggak benar, Mi. Itu hanya bercanda," sangkal Catherine dengan raut ketakutan. Semua image baik yang dibangunnya selama bertahun-tahun runtuh dalam sekejap."Ngeri sekali bercandamu, Cat. Bercandanya saja main bunuh-bunuhan, gimana aslinya?" Martha menggeleng-gelengkan kepala tidak habis pikir pada kelakuan menantunya."Itulah salahnya Mami. Selalu saja suka menguping pembicaraan orang. Apa salahnya Mami tanya aku baik-baik?" Martha menatap Catherine lebih lekat mendengar perkataan Catherine yang terkesan sedang melawannya."Jadi kamu melawan Mami? Berani kamu sekarang?""Dari dulu aku memang berani, Mi. Aku nggak pernah takut pada siapa pun. Bahkan kalau aku ma
"Bagaimana cara agar perut terlihat besar seperti orang hamil?"Rosa mengetikkan sepotong kalimat tersebut di search engine ponsel pintarnya.Di detik selanjutnya mulut perempuan itu ternganga ketika melihat jawaban yang keluar."Perut bisa terlihat besar dengan memakai perut silikon palsu."Tidak hanya itu saja, di mesin pencari tersebut juga tersedia link yang menghubungkan ke berbagai market place yang menjual perut palsu tersebut.Rosa menelusurinya sati demi satu. Terbukti jika perut-perut silikon tersebut sering digunakan orang-orang untuk berpura-pura hamil dan lebih seringnya digunakan dalam film atau sinetron-sinetron.'Apa mungkin Catherine menggunakan perut seperti ini untuk mengelabui orang-orang?' Rosa tidak henti bertanya di dalam hatinya. Rosa bertekad untuk membuka kebusukan Catherine. Namun bagaimana cara membuktikannya? Apalagi perempuan itu begitu licik.Belum putus asa, Rosa kembali mengunjungi toko-toko yang menjual perut palsu tersebut. Ia membaca satu demi satu
Sudah sejak lama Rosa menaruh curiga pada Catherine. Gerak-gerik perempuan itu terlihat begitu mencurigakan. Terlepas dari persaingan mereka untuk menjadi pewaris harta sang mertua, secara pribadi Rosa tidak menyukai Catherine. Kecurigaan Rosa semakin menjadi ketika tahu wajah Bobby tidak mirip dengan Dexter apalagi Catherine. Malah dari hari ke hari anak itu semakin menunjukkan kesamaan fisik dengan Gendis. Hanya saja Rosa tidak punya bukti yang kuat selain perselingkuhan Dexter dan Gendis."Mami, lihat! Kakak itu jago banget masaknya. Kuenya bagus, Mi. Pasti enak," seru Kelly yang sejak tadi menikmati tayangan di televisi.Renungan Rosa terhenti. Dialihkannya tatapan ke arah televisi. Di sana sedang ditayangkan acara Junior Chef. Ajang kompetisi memasak anak-anak berumur sepuluh sampai tiga belas tahun."Kelly mau ikut acara itu juga, Mi.""Tapi Kelly masih kecil, Sayang. Umur kamu belum cukup. Nanti ya kalau udah sebesar kakak itu.""Masih lama ya, Mi?" Kelly tampak kecewa."Dua at
"Selamat datang kembali di Indonesia, Ndis." Perempuan muda berambut sepunggung itu menggumam pelan ketika kakinya menapak di bumi seturunnya ia dari pesawat. Dengan tekadnya yang bulat Gendis memutuskan kembali ke Indonesia walau Laura menghalangi dengan bujukan menggoda.Selepas dari bandara Gendis menuju sebuah hotel untuk istirahat karena ia tidak punya tempat berteduh.Sambil membaringkan tubuhnya, ingatan masa lalu menyapa benak Gendis. Dulu saat dirinya diusir Catherine ia tidak punya tempat tinggal sama sekali bahkan ia pernah menjadi pemulung yang tidur di antara gunungan sampah.Lihatlah sekarang, Gendis bisa memilih ingin tidur di mana pun yang ia suka. Gendis sangat mensyukuri kehidupannya saat ini yang serba berkecukupan. Uang apresiasi sebagai best student sangat cukup untuk kehidupannya sendiri selama beberapa tahun ke depan.Setelah bangun tidur siang Gendis menghubungi Maya untuk memberi kabar bahwa ia sudah kembali berada di Indonesia.Cukup lama menunggu barulah May
Summer telah lama berlalu. Disusul oleh Autumn dan winter yang super dingin. Lalu saat ini Paris sedang berada di musim semi. Musim yang menyenangkan bagi para penduduknya.Pada musim semi orang-orang semakin banyak berkeliaran di jalan, menikmati suasana kota yang menyenangkan. Tak terkecuali dengan Gendis.Hari itu Gendis sedang duduk di taman berdua dengan Laura. Mereka baru saja pulang makan. France onion soup yang lezat membuat mereka kekenyangan."Apa rencanamu berikutnya, Ndis?" tanya Laura.Tanpa terasa sudah sembilan bulan Gendis di Paris. Minggu depan adalah jadwal kepulangannya ke Indonesia."Yang pasti melanjutkan hidup sih." "Kamu tidak punya rencana untuk membuka toko kue atau usaha kuliner lain?"Gendis menggaruk hidungnya. Uang saku yang diberi pihak Modeta tidak pernah ia pakai. Biaya tempat tinggal dan makan juga sudah ditanggung oleh pihak Modeta. Paling Gendis hanya belanja sedikit-sedikit sehingga uang sakunya masih banyak bersisa. Namun untuk membuka usaha, Gen