"Aurel Sagita mengadakan acara syukuran kelahiran putri pertamanya yang baru berusia satu bulan. Acara tersebut diselenggarakan secara besar-besaran dan mengundang banyak selebriti ternama." Suara presenter pembawa acara infotainment menggema dari televisi layar lebar di kediaman Dexter pagi itu.Risa yang menyaksikannya sambil memberi ASIP Bobby sampai ternganga menyaksikan kemewahan acara yang ditayangkan di layar televisi. "Bu Catherine, apa tidak sebaiknya kita adakan acara syukuran untuk Bobby? Bobby kan udah satu bulan, Bu," ujar Risa pada Catherine yang juga sedang menonton televisi bersamanya.'Buat apa? Cuma buang-buang uang. Lagian anak itu bukan anakku,' pikir Catherine di dalam hatinya. Namun setelah detik itu ia langsung berubah pikiran. Orang-orang di luar sana tahu bahwa sudah bertahun-tahun Dexter dan Catherine menantikan kehadiran keturunan dalam pernikahan mereka. Lalu setelah seorang anak yang ditunggu itu akhirnya hadir bukankah sudah selayaknya mereka rayakan d
Tentu saja Gendis terkejut oleh tindakan Dexter yang sedikit pun tidak berada di dalam prediksinya."Lepasin aku, Dex." Gendis meronta dalam dekapan Dexter. Tapi malah pelukan lelaki itu bertambah erat mengunci tubuhnya. Iya, Dona memang sudah pergi mengantar Doni ke sekolah. Sedangkan Bondan sudah berangkat beberapa saat yang lalu ke rumah sakit. Tapi Gendis khawatir kalau orang-orang yang lewat melihatnya berpelukan dengan Dexter."Aku cuma mau meluk kamu sebentar, aku kangen." Dexter bergumam pelan menyampaikan perasaannya. Sudah lama ia hanya bisa menyimpan sendiri perasaan itu. Kemarin malam saat mereka bertemu setelah sekian lama, Dexter juga tidak sempat memeluk Gendis lantaran harus menggendong Bobby."Tapi nanti ada yang melihat kita," ucap Gendis masih takut."Biarin. Aku nggak peduli.""Dex, jangan begini. Kontrol diri kamu, jangan bahayakan posisiku," ucap Gendis memohon pengertian Dexter. Para tetangga yang lewat dan tidak sengaja melihat bisa saja berasumsi lain kemudian
Gendis terdiam sekian lama mendengar permintaan Dexter yang begitu sulit baginya. Ia tidak dapat memberi jawaban. Di satu sisi Gendis ingin sekali tinggal bersama Dexter di rumah lelaki itu. Ia bisa dekat dengan Bobby dan mengurusnya setiap hari. Ia juga bisa memeluk anak itu kapan pun diinginkan. Akan tetapi, jangan lupakan ada Catherine di rumah itu. Gendis tidak bisa tinggal di sana. "Ndis ...," tegur Dexter lantaran perempuan itu membungkam mulutnya."Maaf, Dex, aku nggak bisa.""Kenapa?"Gendis menggelengkan kepalanya tanpa kata-kata."Jawab aku, Ndis. Apa kamu nggak mau kita tinggal bersama? Apa kamu nggak mau dekat dengan anak kita setiap hari?""Bukan aku nggak mau," tepis Gendis."Jadi kenapa? Kasih tahu aku alasannya."Gendis menundukkan kepalanya dalam-dalam. Tidak sanggup membalas tatapan Dexter yang meminta kejujuran darinya."Ndis ..." Lelaki itu memanggil tapi Gendis tetap tidak bersuara. "Jawab aku, Ndis. Apa yang bikin kamu khawatir?"Dan Gendis masih seperti tadi, m
Rumah megah dengan arsitektur klasik modern itu tampak begitu ramai hari ini. Berbagai kendaraan tampak berbaris hingga tumpah ruah ke jalan. Deretan papan bunga juga berjajar rapi hingga bermeter-meter dari rumah tersebut. Isi papan bunga itu adalah ucapan selamat atas kelahiran putra pertama Dexter dengan Catherine.Acara tersebut diselenggarakan secara besar-besaran sesuai dengan keinginan Catherine. Perempuan itu juga yang mengatur segala sesuatunya. Ia mengundang banyak orang. Mulai dari teman-teman sosialitanya, rekan bisnis Dexter, hingga awak media. Maklum saja, nanti ada pembagian santunan kepada anak-anak panti asuhan. Catherine yang haus validasi tentu tidak akan melewatkan momen itu. Orang-orang harus tahu bahwa selain cantik dan kaya-raya ia juga dermawan.Para tetamu sudah banyak yang berdatangan termasuk keluarga Dexter. Saat ini Bobby sedang berada dalam gendongan Martha. Ada Rosa dan anak-anaknya juga di sana. Andrew dan Kelly asyik bercengkrama dengan bayi berpipi ch
Hari ini perayaan syukuran satu bulanan Bobby diselenggarakan. Gendis melihat Bondan dan Dona bersiap-siap untuk menghadirinya.Gendis sangat ingin sekali melihat anaknya itu. Apalagi Dexter juga mengundangnya. Hanya saja Gendis masih menggunakan akal sehatnya. Ia tidak mungkin datang ke acara tersebut dan menunjukkan diri di sana. Orang-orang memang tidak mengenalnya. Tapi Catherine, Rosa, serta yang lain bisa saja menemukannya di antara keramaian. Gendis tidak ingin merusak suasana. Sebesar apa pun keinginannya untuk menyaksikan putranya namun ia harus mampu menahan diri."Gendis!"Gendis yang sedang mencuci piring hampir saja menjatuhkan piring di tangannya ketika mendengar suara lantang yang menyerukan namanya.Perempuan itu menoleh ke belakang dan mendapati Dona sedang berdiri di sana. Perempuan itu tampak cantik dengan dress batiknya, hanya saja terkesan tua karena lipstik coklat yang ia gunakan."Iya, Bu," jawab Gendis sopan."Saya dan suami saya mau pergi. Kamu jangan ke mana
Perjalanan ke rumah Dexter bagi Gendis adalah sebuah penyiksaan. Bagaimana tidak? Doni yang duduk di jok belakang dengannya selalu mengganggu Gendis dengan menarik-narik bajunya atau pun rambutnya yang membuat perempuan itu merasa risih dan juga jengkel. Namun apa daya,bisa tidak berdaya."Jangan ya, Sayang, rambut Mbak sakit kalau ditarik terus," larang Gendis kemudian mengikat rambutnya yang tadi tergerai tinggi-tinggi. Alih-alih akan berhenti anak itu malah menarik lagi rambut Gendis dengan lebih kuat hingga Gendis kesakitan dan rambutnya kembali tergerai."Aduh, sakit! Lepasin rambut Mbak, Doni!" Gendis mengaduh karena anak nakal itu tidak melepaskan tarikannya dari kumparan rambut Gendis.Anak berbadan gendut itu tertawa. Sedangkan Dona acuh tak acuh. Perempuan itu tetap fokus memainkan ponsel yang ada di genggamannya. Hanya Bondan yang melirik melalui spion tengah kemudian menegur anaknya."Doni, jangan nakal. Jangan ganggu Mbak Gendis."Doni melepaskan cengkramannya dari rambut
Gendis tidak tahu bagaimana mungkin di antara sekian banyak orang Dexter masih mengenalinya. Padahal ia sudah menutupi wajahnya dengan rambut.Dexter berjalan bukan ke arah rumah, tapi melintasi para tamu.Gendis terpukau melihat Bobby berada dalam gendongan Dexter. Dexter sangat bahagia yang terlukis dengan jelas di wajahnya. Dexter berbicara dengan orang-orang yang menyapanya dan memberikan ucapan selamat sambil sesekali mencuri cium pipi Bobby yang sudah diam penuh kasih sayang. Perasaan haru seketika menyelimuti Gendis melihat interaksi ayah dan anak itu. Titik air mata dan senyum di bibirnya hadir di detik yang sama. Gendis merasa sangat bahagia walau hanya bisa menyaksikan semuanya dari jauh. Ia tidak mungkin mendekat dan menampakkan diri di hadapan mereka walaupun Dexter memberi isyarat padanya.Di depan sana Catherine masih bercerita. Bahwa saat ia hamil dan ngidam, Dexter rela melakukan apa pun untuknya. Termasuk ketika tengah malam Catherine menginginkan lobster roll. Dexter
Entah setan mana yang memengaruhi Gendis hingga ia bisa berpikiran untuk membawa Bobby kabur. Padahal sebelumnya ia mematrikan di hatinya bahwa Bobby bukan miliknya. Ia tidak akan bisa memberikan Bobby kehidupan yang layak. Hanya bersama Dexter dan Catherinelah tempat yang paling tepat untuk anak itu."Udah susunya, Sayang?" ujar Gendis ketika mulut Bobby terlepas dari inti dadanya. Bayi laki-laki itu tertidur setelah mendapat asupannya.Gendis menaikkan bra lalu membetulkan bajunya yang tadi terbuka. Diciumnya pipi montok Bobby sambil menggumam dengan pelan, "Bobby ikut Mama ya, Sayang. Kita pergi dari sini. Mama nggak sanggup lagi kalau kita berpisah."Gendis masih menyimpan uang pemberian dari Dexter yang lelaki itu berikan melalui Bondan. Gendis rasa untuk sementara ia bisa menggunakannya untuk biaya hidup berdua dengan Bobby. Toh anak itu masih bayi. Ia hanya butuh ASI. Nanti Gendis juga akan berhemat. Ia akan makan seadanya, yang penting bisa mengganjal perutnya.Berdasarkan pem