Hari ini perayaan syukuran satu bulanan Bobby diselenggarakan. Gendis melihat Bondan dan Dona bersiap-siap untuk menghadirinya.Gendis sangat ingin sekali melihat anaknya itu. Apalagi Dexter juga mengundangnya. Hanya saja Gendis masih menggunakan akal sehatnya. Ia tidak mungkin datang ke acara tersebut dan menunjukkan diri di sana. Orang-orang memang tidak mengenalnya. Tapi Catherine, Rosa, serta yang lain bisa saja menemukannya di antara keramaian. Gendis tidak ingin merusak suasana. Sebesar apa pun keinginannya untuk menyaksikan putranya namun ia harus mampu menahan diri."Gendis!"Gendis yang sedang mencuci piring hampir saja menjatuhkan piring di tangannya ketika mendengar suara lantang yang menyerukan namanya.Perempuan itu menoleh ke belakang dan mendapati Dona sedang berdiri di sana. Perempuan itu tampak cantik dengan dress batiknya, hanya saja terkesan tua karena lipstik coklat yang ia gunakan."Iya, Bu," jawab Gendis sopan."Saya dan suami saya mau pergi. Kamu jangan ke mana
Perjalanan ke rumah Dexter bagi Gendis adalah sebuah penyiksaan. Bagaimana tidak? Doni yang duduk di jok belakang dengannya selalu mengganggu Gendis dengan menarik-narik bajunya atau pun rambutnya yang membuat perempuan itu merasa risih dan juga jengkel. Namun apa daya,bisa tidak berdaya."Jangan ya, Sayang, rambut Mbak sakit kalau ditarik terus," larang Gendis kemudian mengikat rambutnya yang tadi tergerai tinggi-tinggi. Alih-alih akan berhenti anak itu malah menarik lagi rambut Gendis dengan lebih kuat hingga Gendis kesakitan dan rambutnya kembali tergerai."Aduh, sakit! Lepasin rambut Mbak, Doni!" Gendis mengaduh karena anak nakal itu tidak melepaskan tarikannya dari kumparan rambut Gendis.Anak berbadan gendut itu tertawa. Sedangkan Dona acuh tak acuh. Perempuan itu tetap fokus memainkan ponsel yang ada di genggamannya. Hanya Bondan yang melirik melalui spion tengah kemudian menegur anaknya."Doni, jangan nakal. Jangan ganggu Mbak Gendis."Doni melepaskan cengkramannya dari rambut
Gendis tidak tahu bagaimana mungkin di antara sekian banyak orang Dexter masih mengenalinya. Padahal ia sudah menutupi wajahnya dengan rambut.Dexter berjalan bukan ke arah rumah, tapi melintasi para tamu.Gendis terpukau melihat Bobby berada dalam gendongan Dexter. Dexter sangat bahagia yang terlukis dengan jelas di wajahnya. Dexter berbicara dengan orang-orang yang menyapanya dan memberikan ucapan selamat sambil sesekali mencuri cium pipi Bobby yang sudah diam penuh kasih sayang. Perasaan haru seketika menyelimuti Gendis melihat interaksi ayah dan anak itu. Titik air mata dan senyum di bibirnya hadir di detik yang sama. Gendis merasa sangat bahagia walau hanya bisa menyaksikan semuanya dari jauh. Ia tidak mungkin mendekat dan menampakkan diri di hadapan mereka walaupun Dexter memberi isyarat padanya.Di depan sana Catherine masih bercerita. Bahwa saat ia hamil dan ngidam, Dexter rela melakukan apa pun untuknya. Termasuk ketika tengah malam Catherine menginginkan lobster roll. Dexter
Entah setan mana yang memengaruhi Gendis hingga ia bisa berpikiran untuk membawa Bobby kabur. Padahal sebelumnya ia mematrikan di hatinya bahwa Bobby bukan miliknya. Ia tidak akan bisa memberikan Bobby kehidupan yang layak. Hanya bersama Dexter dan Catherinelah tempat yang paling tepat untuk anak itu."Udah susunya, Sayang?" ujar Gendis ketika mulut Bobby terlepas dari inti dadanya. Bayi laki-laki itu tertidur setelah mendapat asupannya.Gendis menaikkan bra lalu membetulkan bajunya yang tadi terbuka. Diciumnya pipi montok Bobby sambil menggumam dengan pelan, "Bobby ikut Mama ya, Sayang. Kita pergi dari sini. Mama nggak sanggup lagi kalau kita berpisah."Gendis masih menyimpan uang pemberian dari Dexter yang lelaki itu berikan melalui Bondan. Gendis rasa untuk sementara ia bisa menggunakannya untuk biaya hidup berdua dengan Bobby. Toh anak itu masih bayi. Ia hanya butuh ASI. Nanti Gendis juga akan berhemat. Ia akan makan seadanya, yang penting bisa mengganjal perutnya.Berdasarkan pem
"Jadi Pak Dexter belum memberitahu Ibu ya?" ucap Bondan menanggapi. Tadinya ia pikir bahwa itu keinginan mereka berdua."Memberitahu tahu apa, Dok?" Catherine semakin heran oleh ucapan Bondan."Mengenai Gendis. Dia adalah ART saya sekaligus yang selama ini mendonorkan ASI-nya untuk Bobby. Sayang sekali waktu malam itu Ibu dan Bapak tidak bertemu dengan dia," jelas Bondan."Jadi namanya Gendis, Dok?" ujar Catherine dengan jantung berdebar kencang. "Iya, Bu, benar sekali. Pak Dexter meminta saya agar membawa Gendis ke acara ini. "Memangnya Ibu tidak tahu?"Catherine terpaksa menggelengkan kepalanya. Satu rahasia rumah tangganya terbuka, bahwa dirinya dan Dexter bukanlah pasangan yang solid. Dexter membuat keputusan tanpa mendiskusikan dengannya dulu."Sekarang mana orangnya, Dok?" tanya Catherine tidak sabar."Itu dia yang saya heran, Bu Catherine. Sejak tadi dia menghilang. Saya nggak tahu dia duduk di mana," kata Bondan kebingungan sembari mengedarkan matanya ke sekeliling."Boleh sa
"Mami jangan bercanda, Mi. Candaan Mami sama sekali nggak lucu!" kecam Catherine yang mendadak panik. Catherine akan sangat senang sekali kalau anak perempuan kampung itu hilang apalagi celaka, tapi tolong jangan sekarang. Ia belum mendapat apa-apa. "Mami nggak bercanda, Cat! Buat apa kehilangan Bobby Mami jadiin candaan?" balas Martha dengan nada tinggi."Jadi Bobby benar-benar hilang, Mi? Aku pikir dia dengan Dexter. Tadi Dexter yang menggendong dia.""Kalau dia dengan Dexter Mami nggak mungkin sekhawatir ini!""Ya Tuhan, Bobby anakku." Catherine berusaha keras menunjukkan wajah khawatir dan menitikkan air mata, tapi ia tidak berhasil. "Gimana ceritanya Bobby bisa hilang? Tadi dia kan sama kamu, Dex? Padahal aku baru minta tolong pegangin dia sebentar," oceh Catherine menyalahkan Dexter yang baru muncul.Dexter terdiam. Ia tidak tahu bagaimana cara menjawab pertanyaan tersebut. Alasan apa yang harus diberikannya? Ia tidak mungkin mengatakan Bobby sedang bersama Gendis kan?"Sudah
"Dex, gimana kalau kita lapor polisi?" Dexter mendengar suara Catherine. Perempuan itu sudah berada di dekatnya. Dia menyusul ke parkiran mobil."Buat apa lapor polisi?""Kok kamu nanyanya gitu sih, Dex? Bobby tuh hilang. Dia diculik orang. Percaya sama aku. Sebentar lagi bakalan ada yang menelepon kita meminta uang tebusan. Aku nggak rela ya ngasih sepeser pun buat mereka!" Catherine bersungut-sungut sambil melipat tangannya di dada."Bobby nggak diculik. Kita nggak perlu melapor ke polisi," jawab Dexter menolak usul Catherine."Kok kamu seyakin itu? Udah jelas-jelas Bobby hilang!" tatap Catherine tidak mengerti.Dexter menelan saliva. Ia semakin bingung bagaimana cara mengatakannya. Bobby memang dibawa Gendis. Tapi Dexter yakin Gendis tidak berniat buruk. Hanya saja ia tidak tahu apa tujuan perempuan itu membawa anaknya apalagi tanpa sepengetahuan dan persetujuan Dexter."Mungkin Bobby sedang bersama seseorang. Kita tunggu saja dulu. Nanti Bobby pasti kembali."Catherine menatap De
"Gila ya kamu?!" Itu respon yang diberikan Catherine setelah mendengar perkataan Dexter."Bukannya yang gila itu kamu? Dulu kamu sendiri yang meminta aku untuk menikahi dia. Ingat?" serang Dexter."Kenapa jadi menyalahkanku? Bukankah dulu kamu juga setuju?”"Aku terpaksa karena kamu terus memaksa.""Lalu sekarang apa masalahnya? Kenapa juga dia harus dibawa ke rumah? Perjanjian kita dengan dia kan sudah selesai!""Karena Bobby butuh Gendis. Dia ibu kandungnya. Bobby butuh ASI, sedangkan kamu nggak bisa memberi itu untuk dia."Muka Catherine merah padam mendengar ucapan yang ditujukan padanya. Bertahun-tahun mereka menikah Dexter tidak pernah menyebut-nyebut kelemahannya. Tapi lihatlah sekarang."Tapi Bobby bisa minum susu formula," dalih perempuan itu."Apa kamu bilang? Susu formula? Kamu amnesia apa gimana? Kamu lupa Bobby alergi?""Aku nggak lupa tapi kalau kamu mau sedikit bersabar dia pasti sehat dikasih salep atau obat."Jawaban ringan Catherine membuat Dexter semakin marah. Emos
"Mama, nun, Ma ..." Tangan kecil yang menggapai-gapai serta suara cadel yang memanggilnya memaksa Gendis membuka kedua matanya. Perempuan itu terjaga dari tidurnya dan mendapati putra kecil kesayanganya sedang berada di tengah-tengah di antara dirinya dan Dexter. Menyadari dirinya terbangun bersamaa Dexter di sisinya membuat seulas senyum tipis terukir manis di bibir Gendis.Sudah sejak dua belas bulan yang lalu situasi ini terjadi. Lebih tepatnya sejak dirinya menikah dengan Dexter."Pagi, Sayang, anak Mama udah bangun?""Dah, Ma.""Sini cium Mama dulu."Bobby menghambur menciumi pipi Gendis dengan penuh semangat yang membuat Gendis tertawa. Biasanya Gendis akan meletakkan Bobby di atas perutnya. Hanya saja hal itu tidak bisa lagi dilakukannya karena perutnya yang tinggi menyamai dada. Saat ini Gendis sedang mengandung. Tidak butuh waktu lama bagi Dexter membuatnya berbadan dua. Beberapa bulan pasca menikah Gendis dinyatakan positif hamil. Dan hal itu membuat seluruh keluarga berbaha
Gendis menegakkan duduknya. Seluruh indera perempuan itu terjaga waspada menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.Perlahan kelopak mata Dexter terbuka. Pertama-tama yang dirasakannya adalah penglihatannya yang terasa kabur. Namun lama kelamaan semua yang berada di ruang pandangnya mulai terlihat dengan jelas, termasuk presensi Gendis dan juga Bobby."Ndis ...," panggil lelaki itu lirih dengan keadaannya yang masih lemah."Dex, ini aku. Kamu sudah sadar?"Dexter tak seketika menjawab. Pria itu berupaya mengumpulkan serpihan ingatan. Namun semakin kuat ia mengingat, kepalanya terasa bertambah sakit. Bukan. Dexter tidak mengalami amnesia. Buktinya ia ingat siapa Gendis dan siapa Bobby. "Apa yang terjadi, Ndis?" tanyanya masih selesu tadi."Bu Catherine menusuk kamu dengan pisau. Lukamu sangat dalam dan harus dioperasi. Sejak pertama kejadian itu kamu nggak sadarkan diri. Ini adalah hari ketiga kamu di rumah sakit."Dexter termangu mendengar cerita Gendis. Lamat-lamat ingatannya akan
Gendis keluar dari ruang rawat Dexter. Ia bermaksud pergi dari rumah sakit itu. Ia tidak mau terlibat dengan apa pun yang berhubungan dengan Dexter lagi. Hubungannya dengan Dexter sudah lama berakhir. Bagi Gendis lebih baik mereka menjalani hidup sendiri-sendiri seperti saat ini."Gendis!" Suara Martha menahan langkahnya, membuat Gendis menoleh ke belakang. Ia langsung menemukan Martha yang berjalan mendekat ke arahnya."Kamu mau ke mana?" tanya perempuan itu."Saya mau pulang, Bu.""Pulang?" Martha mengerutkan dahi. "Kamu nggak mau menunggu sampai Dexter sadar?""Maaf, Bu, saya nggak bisa," jawab Gendis memberi penolakan."Tapi Dexter butuh kamu. Kehadiran kamu sangat berarti buat dia."Gendis menahan senyum getir agar tidak terlihat. Jadi ceritanya sekarang dirinya sudah dianggap?"Oh iya, Rosa sudah cerita semua sama saya. Saya salut dan kagum sama kamu, Gendis. Kamu perempuan hebat dan luar biasa.""Terima kasih, Bu," jawab Gendis sekenanya. "Maaf, saya harus pulang. Ada hal lain
Acara Junior Chef dengan cepat melejit dan terkenal di kalangan pemirsa Citra Televisi. Bukan hanya karena pesertanya anak-anak yang lucu dengan segala tingkah mereka yang beragam, namun juga karena adanya Gendis, juri yang cantik, masih muda dan energik. Otomatis Gendis menjadi idola baru bagi pemirsa Citra Televisi. Perlahan tapi pasti nama Gendis merambat naik dan mulai dikenal orang-orang. Beberapa orang yang mengenalnya ada yang meminta tanda tangan atau foto bersama saat bertemu dengan Gendis di luar, membuat Gendis merasa takjub pada pencapaiannya saat ini.Gendis baru saja keluar dari bangunan Citra Televisi ketika lagi-lagi ia bertemu dengan Rosa."Bu Rosa ..."Tiada senyum di bibir Rosa ketika Gendis menyapanya. Perempuan itu terlihat tegang yang membuat Gendis ikut kaku."Gendis, ikut dengan saya sekarang," kata Rosa tanpa basa-basi atau salam pembuka."Ke mana, Bu?""Ke rumah sakit.""Ke rumah sakit?" Gendi
"Ma-mami ... Sejak kapan Mami di sini?" tanya Rosa gelagapan."Memangnya kenapa? Kalian takut Mami mendengar semuanya?""Mami jangan salah paham dulu!" ujar Catherine ketakutan sambil berusaha memegang tangan mertuanya itu namun dengan cepat Martha menepisnya."Tadi Mami dengar katanya kamu mau membunuh Rosa. Itu betul?""Itu nggak benar, Mi. Itu hanya bercanda," sangkal Catherine dengan raut ketakutan. Semua image baik yang dibangunnya selama bertahun-tahun runtuh dalam sekejap."Ngeri sekali bercandamu, Cat. Bercandanya saja main bunuh-bunuhan, gimana aslinya?" Martha menggeleng-gelengkan kepala tidak habis pikir pada kelakuan menantunya."Itulah salahnya Mami. Selalu saja suka menguping pembicaraan orang. Apa salahnya Mami tanya aku baik-baik?" Martha menatap Catherine lebih lekat mendengar perkataan Catherine yang terkesan sedang melawannya."Jadi kamu melawan Mami? Berani kamu sekarang?""Dari dulu aku memang berani, Mi. Aku nggak pernah takut pada siapa pun. Bahkan kalau aku ma
"Bagaimana cara agar perut terlihat besar seperti orang hamil?"Rosa mengetikkan sepotong kalimat tersebut di search engine ponsel pintarnya.Di detik selanjutnya mulut perempuan itu ternganga ketika melihat jawaban yang keluar."Perut bisa terlihat besar dengan memakai perut silikon palsu."Tidak hanya itu saja, di mesin pencari tersebut juga tersedia link yang menghubungkan ke berbagai market place yang menjual perut palsu tersebut.Rosa menelusurinya sati demi satu. Terbukti jika perut-perut silikon tersebut sering digunakan orang-orang untuk berpura-pura hamil dan lebih seringnya digunakan dalam film atau sinetron-sinetron.'Apa mungkin Catherine menggunakan perut seperti ini untuk mengelabui orang-orang?' Rosa tidak henti bertanya di dalam hatinya. Rosa bertekad untuk membuka kebusukan Catherine. Namun bagaimana cara membuktikannya? Apalagi perempuan itu begitu licik.Belum putus asa, Rosa kembali mengunjungi toko-toko yang menjual perut palsu tersebut. Ia membaca satu demi satu
Sudah sejak lama Rosa menaruh curiga pada Catherine. Gerak-gerik perempuan itu terlihat begitu mencurigakan. Terlepas dari persaingan mereka untuk menjadi pewaris harta sang mertua, secara pribadi Rosa tidak menyukai Catherine. Kecurigaan Rosa semakin menjadi ketika tahu wajah Bobby tidak mirip dengan Dexter apalagi Catherine. Malah dari hari ke hari anak itu semakin menunjukkan kesamaan fisik dengan Gendis. Hanya saja Rosa tidak punya bukti yang kuat selain perselingkuhan Dexter dan Gendis."Mami, lihat! Kakak itu jago banget masaknya. Kuenya bagus, Mi. Pasti enak," seru Kelly yang sejak tadi menikmati tayangan di televisi.Renungan Rosa terhenti. Dialihkannya tatapan ke arah televisi. Di sana sedang ditayangkan acara Junior Chef. Ajang kompetisi memasak anak-anak berumur sepuluh sampai tiga belas tahun."Kelly mau ikut acara itu juga, Mi.""Tapi Kelly masih kecil, Sayang. Umur kamu belum cukup. Nanti ya kalau udah sebesar kakak itu.""Masih lama ya, Mi?" Kelly tampak kecewa."Dua at
"Selamat datang kembali di Indonesia, Ndis." Perempuan muda berambut sepunggung itu menggumam pelan ketika kakinya menapak di bumi seturunnya ia dari pesawat. Dengan tekadnya yang bulat Gendis memutuskan kembali ke Indonesia walau Laura menghalangi dengan bujukan menggoda.Selepas dari bandara Gendis menuju sebuah hotel untuk istirahat karena ia tidak punya tempat berteduh.Sambil membaringkan tubuhnya, ingatan masa lalu menyapa benak Gendis. Dulu saat dirinya diusir Catherine ia tidak punya tempat tinggal sama sekali bahkan ia pernah menjadi pemulung yang tidur di antara gunungan sampah.Lihatlah sekarang, Gendis bisa memilih ingin tidur di mana pun yang ia suka. Gendis sangat mensyukuri kehidupannya saat ini yang serba berkecukupan. Uang apresiasi sebagai best student sangat cukup untuk kehidupannya sendiri selama beberapa tahun ke depan.Setelah bangun tidur siang Gendis menghubungi Maya untuk memberi kabar bahwa ia sudah kembali berada di Indonesia.Cukup lama menunggu barulah May
Summer telah lama berlalu. Disusul oleh Autumn dan winter yang super dingin. Lalu saat ini Paris sedang berada di musim semi. Musim yang menyenangkan bagi para penduduknya.Pada musim semi orang-orang semakin banyak berkeliaran di jalan, menikmati suasana kota yang menyenangkan. Tak terkecuali dengan Gendis.Hari itu Gendis sedang duduk di taman berdua dengan Laura. Mereka baru saja pulang makan. France onion soup yang lezat membuat mereka kekenyangan."Apa rencanamu berikutnya, Ndis?" tanya Laura.Tanpa terasa sudah sembilan bulan Gendis di Paris. Minggu depan adalah jadwal kepulangannya ke Indonesia."Yang pasti melanjutkan hidup sih." "Kamu tidak punya rencana untuk membuka toko kue atau usaha kuliner lain?"Gendis menggaruk hidungnya. Uang saku yang diberi pihak Modeta tidak pernah ia pakai. Biaya tempat tinggal dan makan juga sudah ditanggung oleh pihak Modeta. Paling Gendis hanya belanja sedikit-sedikit sehingga uang sakunya masih banyak bersisa. Namun untuk membuka usaha, Gen