Bayu, sekuriti yang tadi bicara pada Thomas kini melangkah menghampiri Gendis. Bayu memandang Thomas sambil mengangkat alisnya yang mengisyaratkan kalau dirinya sedang bertanya siapa perempuan yang membawa anak itu.Thomas memberi isyarat dengan mata pada Bayu. Kedua pria itu kemudian melihat baby Bobby dengan teliti. Mereka merasa mengenali bayi itu karena setiap pagi Risa sering mengajaknya berkeliling komplek dengan stroller."Ini bukannya anak Pak Dexter dan Ibu Catherine?" kata Bayu setelah merasa mengenali anak itu. "Iya, iya, gue ingat sekarang. Gue sering ngeliat dia jalan pagi dibawa pembantunya." Thomas menimpali.Kedua sekuriti itu memandang Gendis dengan tatapan yang jauh lebih tajam."Kamu siapa? Kenapa anak Pak Dexter ada dengan kamu? Mau dibawa ke mana?!" selidik Bayu yang jauh lebih sangar melebihi Thomas dengan suaranya yang super keras."Saya baby sitter-nya, Pak," jawab Gendis pelan. Saat itu hanya kalimat tersebut yang bisa dikatakannya."Jangan bohong kamu! Say
Salah satu sekuriti tersebut melepaskan borgol yang membelenggu Gendis. Sedangkan Catherine dengan cepat mengambil Bobby yang menangis.Alih-alih akan diam tangisan anak itu malah semakin keras seolah dia tahu betapa kejamnya perempuan yang saat ini menggendongnya.Dexter menarik pelan tangan Gendis, menempatkan perempuan itu di sebelahnya. "Kenapa kalian begitu tega pada perempuan lemah ini? Kenapa kalian memperlakukan dia seperti penjahat?!" hardik Dexter sembari menggulir matanya memandangi kedua sekuriti yang tidak merasa bersalah."Tapi dia memang penjahat, Pak. Dia yang menculik anak Bapak. Untung kami segera menangkapnya sebelum dia berhasil membawa anak Bapak kabur," kata Bayu membela diri."Lho, ini Gendis kan?" kata Rosa yang menyadari siapa perempuan yang saat ini tengah menundukkan kepalanya dalam-dalam dengan sebagian wajah tertutup rambutnya yang panjang."Jadi kamu yang mau menculik cucu saya?!" Martha ikut marah mengetahuinya. "Dulu kamu mencuri kalung berlian menantu
Gendis keluar dari kamar setelah mengemasi barang-barangnya yang tak seberapa itu. Dona mengikuti di belakangnya.Langkah Gendis tertahan setelah sampai di ruang tamu."Apa lagi hah? Pergi kamu sekarang!" usir Dona yang tidak tahan melihat Gendis agar segera enyah dari pandangannya."Boleh saya bertemu dengan Pak Bondan sebentar, Bu? Saya ingin berpamitan," ucap Gendis penuh harap."Suami saya lagi tidur di kamar. Dia pusing melihat tingkah kamu!""Kalau begitu tolong sampaikan kalau saya pergi, Bu. Saya minta maaf jika selama ini banyak kesalahan selama bekerja di sini."Dona mendengkus sambil melipat tangan di dada."Gendis!" suara itu terdengar ketika Gendis baru saja memutar tubuhnya.Itu suara Bondan.Dengan cepat Gendis menghadap ke belakang, pada lelaki itu."Pak, saya pamit dulu. Tolong dimaafkan jika saya banyak melakukan kesalahan selama bekerja di sini. Maaf saya sudah membuat malu Bapak dan Ibu.""Kamu nggak salah. Kamu mau ke mana?" tanya Bondan setelah menghela napasnya.
Tanpa lagi membuang waktu Dexter dengan cepat turun dari mobil. Kehadirannya membuat Gendis terperanjat. Perempuan itu terkesiap dan cepat berdiri, bermaksud hendak pergi dari sana.Sebelum itu terjadi gerakan kilat Dexter menghalanginya. Dexter mencekal lengan Gendis dengan kuat."Jangan pergi, Ndis!""Lepasin tanganku, Dex," pinta Gendis memohon sembari mencoba membebaskan lengannya dari cekalan Dexter. Tapi tenaga lelaki jauh lebih kuat. Alih-alih akan lepas ia malah tidak bisa menggerakkan tangannya sama sekali."Kamu nggak akan bisa pergi ke mana-mana, Ndis. Aku nggak akan membiarkan kamu pergi.""Lepasin aku, Dex! Sakiiit ...," pinta Gendis sekali lagi akibat tekanan di pergelangannya."Maafin aku kalau cengkramanku ini bikin tangan kamu sakit, tapi kalau aku melepaskan kamu dan membiarkan kamu pergi, hatiku yang sakit, Ndis," jawab Dexter sambil memandangi Gendis dengan tatapannya yang sendu.Gendis membalas tatapan Dexter. Iris mata mereka saling bertemu. Keduanya saling me
Gendis duduk dengan rasa penasaran yang menggerogoti hatinya. Setiap ia bertanya pada Dexter mereka akan pergi ke mana, lelaki yang sedang mengemudi itu hanya bisa mengembangkan senyumnya."Dex, kita sebenarnya mau ke mana? Bilang sama aku apa salahnya sih, Dex?" ujar Gendis untuk ke sekian kalinya, dan untuk ke sekian kali juga Dexter menjawab dengan senyumnya."Lihat aja nanti.""Ih ..." Gendis mendelik yang membuat Dexter tertawa.Jalan demi jalan telah mereka lalui. Begitu pun dengan traffic light yang membuat mereka berhenti beberapa kali.Mobil yang dikendarai Dexter berhenti di depan sebuah bangunan ruko bertingkat tiga. Gendis tidak tahu bangunan itu apa karena pintunya tertutup.'Ini bengkel atau toko ya?' pikir Gendis di hatinya."Ndis, ayo!" ajak Dexter membawanya turun dari mobil.Gendis yang termangu membuka pintu mobil. Dexter merangkulnya menuju ruko. Ketika tiba di depan folding gate Dexter mengeluarkan kunci dari sakunya lalu membuka akses masuk.Ruko itu kosong melo
Dexter terbangun dan menemukan Gendis masih tertidur di sebelahnya dengan keadaan yang sama dengannya. Sama-sama tak berbusana.Lelaki itu tersenyum kala menyadari apa yang mereka lakukan beberapa jam yang lalu. Rasanya Dexter belum puas. Ia masih ingin bersama Gendis, tapi saat ingat kekacauan di rumahnya tadi ia memutuskan untuk pulang.Melihat Gendis yang lelap dalam tidurnya membuat Dexter tidak kuasa untuk membangunkan istrinya itu.Pelan-pelan ia menarik diri kemudian memasang pakaiannya. Setelahnya Dexter keluar dari kamar mencari kertas dan pulpen. Dituliskannya barisan pesan untuk Gendis."Ndis, maaf, aku harus pulang sekarang. Aku ingin memastikan keadaan Bobby. Kamu jangan pergi ke mana-mana. Besok kita ketemu lagi."Dexter meletakkan kertas tersebut di nakas. Ia menimpanya dengan remote TV agar tidak hilang. Setelahnya Dexter mencium kening Gendis dengan perasaan sayang. Ia pergi dari sana.***"Kamu dari mana aja, Dex? Telfonku nggak diangkat, chat-ku juga nggak direspon!
Dexter memarkirkan mobilnya di parking area Diamond Hotel. Kemudian lelaki itu mengambil Bobby yang berada di car seat dengan hati-hati. Sepanjang jalan dari rumah tadi Bobby terus merengek karena perutnya lapar. Dexter menggendongnya keluar dari mobil lalu melangkah memasuki bangunan hotel."Cup cup cup, jangan nangis lagi ya, Nak. Sebentar lagi kita ketemu Mama. Mama pasti senang banget. Nanti Bobby bisa nyusu sama Mama sepuasnya," hibur Dexter saat melihat gelagat Bobby akan menangis lagi.Dexter mempercepat langkah dengan Bobby yang berada di dalam gendongannya. Ia sudah tidak sabar agar segera tiba di kamar yang ditempati Gendis. Dexter jamin, Gendis pasti sangat senang bertemu dengan Bobby. Sama dengan senangnya Dexter memberi kebahagiaan ini.Setibanya di depan kamar yang ditempati Gendis, Dexter langsung mengetuk pintu. Ia bisa membayangkan seperti apa reaksi Gendis sebentar lagi.Tidak terlalu lama mengetuk, daun pintu itu pun terbuka, menampakkan sosok Gendis yang baru saja
Catherine menepikan mobilnya begitu sampai di depan rumah Bondan. Dengan terburu-buru perempuan itu turun dari mobilnya. Ia sudah tidak sabar ingin melabrak Gendis.Membuka pintu pagar, dengan cepat perempuan itu melesat menuju pintu rumah. Ia membunyikan bel beberapa kali dengan perasaan tidak sabar. Ia ingin mengatai-ngatai Gendis. Mencecar perempuan itu habis-habisan dan mencakar mukanya.Tangan Catherine sudah terangkat ke udara. Siap untuk menampar pipi Gendis. Namun niat itu urung terjadi ketika menyadari bukan Gendis yang muncul melainkan si tuan rumah."Eh, Bu Dona." Catherine yang kaget menurunkan tangannya lalu memaksakan seulas senyum."Hai, Bu Catherine." Dona cukup kaget oleh kedatangan Catherine. Ia tidak tahu urusan apa yang membawa langkah perempuan itu ke rumahnya."Gendisnya ada, Bu? Saya ingin bertemu dia," ujar Catherine menyampaikan maksudnya karena sudah tidak tahan."Oh, jadi Bu Catherine belum tahu?""Apanya?" respon Catherine tidak sabar."Perempuan pembawa ma