Dexter memarkirkan mobilnya di parking area Diamond Hotel. Kemudian lelaki itu mengambil Bobby yang berada di car seat dengan hati-hati. Sepanjang jalan dari rumah tadi Bobby terus merengek karena perutnya lapar. Dexter menggendongnya keluar dari mobil lalu melangkah memasuki bangunan hotel."Cup cup cup, jangan nangis lagi ya, Nak. Sebentar lagi kita ketemu Mama. Mama pasti senang banget. Nanti Bobby bisa nyusu sama Mama sepuasnya," hibur Dexter saat melihat gelagat Bobby akan menangis lagi.Dexter mempercepat langkah dengan Bobby yang berada di dalam gendongannya. Ia sudah tidak sabar agar segera tiba di kamar yang ditempati Gendis. Dexter jamin, Gendis pasti sangat senang bertemu dengan Bobby. Sama dengan senangnya Dexter memberi kebahagiaan ini.Setibanya di depan kamar yang ditempati Gendis, Dexter langsung mengetuk pintu. Ia bisa membayangkan seperti apa reaksi Gendis sebentar lagi.Tidak terlalu lama mengetuk, daun pintu itu pun terbuka, menampakkan sosok Gendis yang baru saja
Catherine menepikan mobilnya begitu sampai di depan rumah Bondan. Dengan terburu-buru perempuan itu turun dari mobilnya. Ia sudah tidak sabar ingin melabrak Gendis.Membuka pintu pagar, dengan cepat perempuan itu melesat menuju pintu rumah. Ia membunyikan bel beberapa kali dengan perasaan tidak sabar. Ia ingin mengatai-ngatai Gendis. Mencecar perempuan itu habis-habisan dan mencakar mukanya.Tangan Catherine sudah terangkat ke udara. Siap untuk menampar pipi Gendis. Namun niat itu urung terjadi ketika menyadari bukan Gendis yang muncul melainkan si tuan rumah."Eh, Bu Dona." Catherine yang kaget menurunkan tangannya lalu memaksakan seulas senyum."Hai, Bu Catherine." Dona cukup kaget oleh kedatangan Catherine. Ia tidak tahu urusan apa yang membawa langkah perempuan itu ke rumahnya."Gendisnya ada, Bu? Saya ingin bertemu dia," ujar Catherine menyampaikan maksudnya karena sudah tidak tahan."Oh, jadi Bu Catherine belum tahu?""Apanya?" respon Catherine tidak sabar."Perempuan pembawa ma
"Lo bisa bantu gue nggak?" Pertanyaan itu meluncur dari mulut Dexter ketika teleponnya tersambung dengan Jovan."Nih orang nelfon-nelfon bukannya nanya kabar malah nagih bantuan."Dexter terkekeh mendengar jawaban Jovan di seberang sana."Serius ini, Jooov.""Apaan?""Gue nggak bisa ngomong by phone. Penting soalnya. Kalo lo nggak sibuk bisa ke kantor gue nggak? Atau gue aja yang nyamperin lo?""Ketemu di tempat biasa aja deh." Jovan mengambil jalan tengah."Oke, nggak pake lama ya, Bro."Dexter memutus panggilan kemudian mengembalikan ponselnya ke dalam saku celana.Lelaki itu keluar dari kantornya setelah meninggalkan pesan pada sekretarisnya bahwa ia akan pergi.Sekitar dua puluh menit kemudian Dexter tiba di cafe favorit mereka, tempatnya biasa ngumpul dengan Jovan dan Ferry."Sendiri?" tanya Jovan yang lebih duluan sampai saat melihat Dexter tiba."Abisnya mau sama siapa lagi?""Kirain lo juga ngajak Ferry."Dexter menggelengkan kepalanya lalu menempatkan diri duduk di hadapan sa
Dexter benar-benar merealisasikan janjinya. Tidak butuh waktu lama baginya untuk menyulap ruko kosong miliknya menjadi toko kue impian Gendis.Gendis begitu terpana. Ia kehilangan kata-kata ketika Dexter mengajaknya room tour dari satu ruangan ke ruangan lain. Dari lantai satu sampai lantai tiga. Dari ruangan utama toko tempat jual beli berada hingga dapur tempat proses produksi."Nanti kamu tinggalnya di sini," ucap Dexter setelah mereka berada di lantai tiga. "Aku sendiri?" respon Gendis sembari matanya mengelana ke sekeliling ruangan."Kamu takut?"Ruangan itu sangat luas dan terkesan terlalu besar untuk ditempati sendiri."Perlu aku temenin di sini?"Suara Dexter membuat Gendis mengembalikan pandangannya ke arah lelaki itu. Kemudian digelengkannya kepala dengan perlahan. Bagaimana mungkin Gendis meminta Dexter menemaninya? Lantas bagaimana dengan Catherine? Perempuan itu pasti akan curiga jika suaminya tidak menginap di rumah. Cukup sudah. Gendis tidak ingin membuat Catherine cur
"Lagi sibuk, Bro?"Dexter mengangkat kepalanya yang tertunduk menekuri berkas-berkas ketika mendengar suara yang sudah sangat dihafalnya.Di dekat pintu yang sedikit terbuka Jovan berdiri sambil tersenyum menggoda.Dexter sontak mengembuskan napasnya. Orang ini lagi. Bukan Dexter tidak suka. Tapi ia hanya belum siap. Ia tahu kedatangan Jovan ke kantornya adalah untuk menagih cerita mengenai donor ASI Bobby yang sesungguhnya. Tingkah Jovan membuat hidup Dexter tidak tenang. Seakan tidak cukup menerornya melalui telepon sekarang lelaki itu malah mendatangi Dexter ke kantornya."Boleh gue masuk?" tanya Jovan yang masih berdiri di sisi pintu melihat Dexter tidak merespon apa-apa akan kedatangannya."Emangnya kalo gue nggak ngizinin, lo bakalan pergi? Lo bakal tetap berdiri di sana kan?"Jovan terkekeh pelan. Lelaki itu kemudian melangkahkan kakinya memasuki ruangan Dexter. Sambil bersiul ia duduk di kursi di hadapan sang sahabat."Asem banget muka lo. Nggak suka gue ke sini?" ucapnya meli
Ketakutan Gendis mengenai toko kuenya yang tidak akan laku gagal menjadi kenyataan. Pelan tapi pasti toko kue tersebut mulai berkembang. Dari hari ke hari pembelinya terus bertambah. Dari yang awalnya hanya membeli satu atau dua potong berujung jadi memborong. Dari yang mulanya hanya sekadar mampir dan coba-coba berakhir jadi langganan.Gendis begitu senang. Bukan hanya karena usahanya yang dimudahkan tapi juga karena ia bisa bertemu dengan Bobby minimal tiga kali dalam seminggu. Entah bagaimana caranya Dexter membawa anak itu untuk bertemu dengannya. Dan entah apa alasan yang dikemukakannya pada Catherine. Bagi Gendis itu tidak penting lagi. Baginya adalah ia dapat bertemu dengan anaknya.Suara lonceng di pintu masuk yang menandakan adanya pengunjung mengusik lamunan Gendis. Perempuan itu mengalihkan tatapannya. Seorang anak perempuan kecil dan laki-laki gagah yang mungkin masih seumuran Dexter terlihat melangkah."Selamat datang, ada yang bisa dibantu?" Gendis menyapa keduanya denga
"Dex, jangan. Nanti bisa ketahuan Maya dan Nala," ujar Gendis ketakutan ketika Dexter menyeretnya ke kamar. Kedua gadis itu hanya tahu bahwa Dexter adalah keluarga Gendis, bukan suami."Nggak apa-apa, Ndis, kamu nggak usah takut." Dexter menenangkan."Tapi nanti kalau mereka curiga, gimana?""Mereka sedang sibuk melayani pembeli di bawah jadi nggak ada alasan untuk mengurusi kita." Sekali lagi Dexter menenangkan.Gendis akhirnya hanya bisa pasrah ketika Dexter menginginkannya.'Aku bisa berdosa kalau menolak permintaan suami,' batin Gendis yang polos.Maka Gendis menyerahkan semua yang dimilikinya dengan senang hati pada Dexter, yaitu hati dan tubuhnya."Dex, bentar, aku bersih-bersih dulu di kamar mandi."Gendis baru maju selangkah ketika Dexter menahannya dengan melingkarkan tangan di tubuhnya.Dexter mengecup pundak Gendis yang mengenakan baju krah sabrina tanpa suara. Sedangkan tangan kirinya perlahan masuk menyelinap ke balik blouse perempuan itu.”Dex, kamu mau apa?” Gendis sete
Seperti biasa setiap pulang dari tempat Gendis Dexter membawa kue dari sana. Kue-kue itu tidak pernah diberikannya pada Catherine. Selain untuk dirinya Dexter juga memberi pada Risa dan Leni. Andai saja Bobby bisa memakannya sudah pasti Dexter juga menyuapinya.Sikap Dexter membuat Catherine bertanya-tanya. Kenapa hanya pembantu dan pengasuh di rumah itu yang selalu Dexter belikan makanan? Kenapa dirinya tidak pernah dibelikan? Bukan apa-apa. Kalau Catherine mau ia juga bisa mendapatkannya. Ia bisa membeli sendiri. Hanya saja Catherine juga ingin diperhatikan. Catherine rindu perhatian suaminya yang sudah sangat lama tidak ia dapatkan.Satu hal lagi. Dexter selalu membawa pulang kue yang dibeli dari toko yang sama. One Slice. Itu Catherine ketahui dari kantong kue tersebut. Kebiasaan Dexter membuat Catherine heran. Apa mungkin kue-kue di toko tersebut seenak itu sampai-sampai membuat Dexter ketagihan? Dan yang lebih mengherankan kenapa juga Dexter rajin membawakannya untuk Leni dan Ri