"Lagi sibuk, Bro?"Dexter mengangkat kepalanya yang tertunduk menekuri berkas-berkas ketika mendengar suara yang sudah sangat dihafalnya.Di dekat pintu yang sedikit terbuka Jovan berdiri sambil tersenyum menggoda.Dexter sontak mengembuskan napasnya. Orang ini lagi. Bukan Dexter tidak suka. Tapi ia hanya belum siap. Ia tahu kedatangan Jovan ke kantornya adalah untuk menagih cerita mengenai donor ASI Bobby yang sesungguhnya. Tingkah Jovan membuat hidup Dexter tidak tenang. Seakan tidak cukup menerornya melalui telepon sekarang lelaki itu malah mendatangi Dexter ke kantornya."Boleh gue masuk?" tanya Jovan yang masih berdiri di sisi pintu melihat Dexter tidak merespon apa-apa akan kedatangannya."Emangnya kalo gue nggak ngizinin, lo bakalan pergi? Lo bakal tetap berdiri di sana kan?"Jovan terkekeh pelan. Lelaki itu kemudian melangkahkan kakinya memasuki ruangan Dexter. Sambil bersiul ia duduk di kursi di hadapan sang sahabat."Asem banget muka lo. Nggak suka gue ke sini?" ucapnya meli
Ketakutan Gendis mengenai toko kuenya yang tidak akan laku gagal menjadi kenyataan. Pelan tapi pasti toko kue tersebut mulai berkembang. Dari hari ke hari pembelinya terus bertambah. Dari yang awalnya hanya membeli satu atau dua potong berujung jadi memborong. Dari yang mulanya hanya sekadar mampir dan coba-coba berakhir jadi langganan.Gendis begitu senang. Bukan hanya karena usahanya yang dimudahkan tapi juga karena ia bisa bertemu dengan Bobby minimal tiga kali dalam seminggu. Entah bagaimana caranya Dexter membawa anak itu untuk bertemu dengannya. Dan entah apa alasan yang dikemukakannya pada Catherine. Bagi Gendis itu tidak penting lagi. Baginya adalah ia dapat bertemu dengan anaknya.Suara lonceng di pintu masuk yang menandakan adanya pengunjung mengusik lamunan Gendis. Perempuan itu mengalihkan tatapannya. Seorang anak perempuan kecil dan laki-laki gagah yang mungkin masih seumuran Dexter terlihat melangkah."Selamat datang, ada yang bisa dibantu?" Gendis menyapa keduanya denga
"Dex, jangan. Nanti bisa ketahuan Maya dan Nala," ujar Gendis ketakutan ketika Dexter menyeretnya ke kamar. Kedua gadis itu hanya tahu bahwa Dexter adalah keluarga Gendis, bukan suami."Nggak apa-apa, Ndis, kamu nggak usah takut." Dexter menenangkan."Tapi nanti kalau mereka curiga, gimana?""Mereka sedang sibuk melayani pembeli di bawah jadi nggak ada alasan untuk mengurusi kita." Sekali lagi Dexter menenangkan.Gendis akhirnya hanya bisa pasrah ketika Dexter menginginkannya.'Aku bisa berdosa kalau menolak permintaan suami,' batin Gendis yang polos.Maka Gendis menyerahkan semua yang dimilikinya dengan senang hati pada Dexter, yaitu hati dan tubuhnya."Dex, bentar, aku bersih-bersih dulu di kamar mandi."Gendis baru maju selangkah ketika Dexter menahannya dengan melingkarkan tangan di tubuhnya.Dexter mengecup pundak Gendis yang mengenakan baju krah sabrina tanpa suara. Sedangkan tangan kirinya perlahan masuk menyelinap ke balik blouse perempuan itu.”Dex, kamu mau apa?” Gendis sete
Seperti biasa setiap pulang dari tempat Gendis Dexter membawa kue dari sana. Kue-kue itu tidak pernah diberikannya pada Catherine. Selain untuk dirinya Dexter juga memberi pada Risa dan Leni. Andai saja Bobby bisa memakannya sudah pasti Dexter juga menyuapinya.Sikap Dexter membuat Catherine bertanya-tanya. Kenapa hanya pembantu dan pengasuh di rumah itu yang selalu Dexter belikan makanan? Kenapa dirinya tidak pernah dibelikan? Bukan apa-apa. Kalau Catherine mau ia juga bisa mendapatkannya. Ia bisa membeli sendiri. Hanya saja Catherine juga ingin diperhatikan. Catherine rindu perhatian suaminya yang sudah sangat lama tidak ia dapatkan.Satu hal lagi. Dexter selalu membawa pulang kue yang dibeli dari toko yang sama. One Slice. Itu Catherine ketahui dari kantong kue tersebut. Kebiasaan Dexter membuat Catherine heran. Apa mungkin kue-kue di toko tersebut seenak itu sampai-sampai membuat Dexter ketagihan? Dan yang lebih mengherankan kenapa juga Dexter rajin membawakannya untuk Leni dan Ri
Gendis tersenyum mengamati foto-foto aneka kuenya serta toko yang diliput oleh seorang food blogger yang datang menemuinya tempo hari. Dan dampaknya tidak sedikit. Tokonya menjadi ramai berkat review sang food blogger di blog dan sosial media miliknya. Gendis harus berterima kasih banyak-banyak pada Reni, nama food blogger itu. Gendis bahkan sudah menyiapkan hampers untuknya.Dalam sekejap toko Gendis menjadi viral. Selain rasanya yang memang enak, strategi promosi yang tidak disengaja itu begitu berperan menaikkan usahanya.Otomatis Gendis harus menambah dua orang lagi karyawan toko dan meningkatkan proses produksi lebih banyak dari hari-hari sebelumnya. Hari ini tepat dua bulan toko kue One Slice setelah viral. Gendis meraih kesuksesan dalam waktu yang singkat. Benar yang Dexter katakan. Yang penting kita harus berusaha dulu. Sisanya biarkan menjadi urusan yang kuasa.Sementara itu Catherine yang mengetahui kesuksesan toko Gendis menjadi panas sendiri. Terlebih setelah mengetahui
Semua berjalan begitu cepat. Catherine benar-benar melaporkan toko kue milik Gendis. Pihak-pihak terkait pun memeriksa semua produk yang dijual di toko itu. Dan hasilnya tidak terbukti kalau produk-produk One Slice menggunakan pewarna makanan yang berbahaya bagi kesehatan. Hanya saja pada kue yang dilaporkan Catherine memang terbukti mengandung zat berbahaya. Gendis tidak bisa membantah bahwa kue tersebut bukanlah buatannya lantaran umur kue tersebut serta bukti pembelian yang dipegang Catherine.Meski tidak terbukti pada produk-produk yang lain namun dampaknya tidak sedikit. Banyak orang-orang terpengaruh oleh berita itu. Lama kelamaan toko kue Gendis menjadi sepi. Padahal Gendis baru beberapa bulan merasakan kesuksesan. Gendis kembali ke titik nol. Dua orang Karyawan tambahan yang direkrut belakangan terpaksa dirumahkannya demi menekan biaya operasional."Sepi, Dex. Nggak ada yang datang dari tadi," ujar Gendis lesu. Saat itu Dexter baru saja tiba.Dexter mengembuskan napas dalam d
Alat-alat medis mengelilingi tubuh Rexa. Keadaan pria itu begitu menyedihkan. Setelah pingsan mendadak, ia dilarikan ke rumah sakit secepatnya. Lalu di sinilah lelaki itu berada sekarang. Di ruang IGD rumah sakit. Satu-satunya yang menandakan bahwa dia masih bernyawa adalah alat pendeteksi jantung yang terletak di sisi kepalanya."Ini semua gara-gara kamu. Kalau sesuatu yang buruk menimpa Papi, Mami nggak akan memaafkan kamu, Dex. Kamu harus tanggung jawab!" kecam Martha tidak mau tahu."Tenang dulu, Mi, kita kan belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kita nggak tahu apa akar masalahnya. Kita tunggu biar Dexter menjelaskannya ya, Mi." Rosa yang juga sudah berada di sana berusaha untuk menenangkan Martha sambil memegang pundak perempuan itu."Apa lagi yang ditunggu?!" sentak Martha. "Dexter selingkuh dengan mantan pembantunya. Pantas saja waktu acara syukuran Bobby dia mengacaukan suasana!"Di sudut yang lain Catherine tampak menangis sesenggukan. Karena sudah terlatih perempuan itu b
Usia manusia memang tidak ada yang tahu meski sehebat apa pun dia dan begitu banyak harta yang dimilikinya. Ajal tidak bisa ditawar. Begitu pun yang terjadi pada Rexa.Suasana pemakaman pria itu diwarnai oleh duka dan air mata. Martha berkali-kali pingsan lantaran terlalu shock. Ia tidak menyangka akan secepat itu ditinggalkan suaminya. Kematian sang kepala keluarga yang begitu mendadak menimbulkan berbagai kesan bagi orang yang ditinggalkan. Jika Martha dan Dexter merasa sedih bukan kepalang, lain halnya dengan Josh dan Rosa. Selain shock Josh juga kesal atas wasiat yang menguntungkan Dexter. Andai saja Rexa bukan orang tuanya ia tidak akan sudi menghadiri acara pemakaman sialan itu.Satu-satunya yang berbahagia atas kematian lelaki itu adalah Catherine. Namun ia terlalu lihai bersandiwara. Perempuan itu menyembunyikan perasaannya di balik air mata palsu.Ketika jenazah Rexa dikuburkan Dexter tidak sanggup menahan air matanya. Bulir-bulir bening menitik di pipinya, menyatu dengan ge