Semua berjalan begitu cepat. Catherine benar-benar melaporkan toko kue milik Gendis. Pihak-pihak terkait pun memeriksa semua produk yang dijual di toko itu. Dan hasilnya tidak terbukti kalau produk-produk One Slice menggunakan pewarna makanan yang berbahaya bagi kesehatan. Hanya saja pada kue yang dilaporkan Catherine memang terbukti mengandung zat berbahaya. Gendis tidak bisa membantah bahwa kue tersebut bukanlah buatannya lantaran umur kue tersebut serta bukti pembelian yang dipegang Catherine.Meski tidak terbukti pada produk-produk yang lain namun dampaknya tidak sedikit. Banyak orang-orang terpengaruh oleh berita itu. Lama kelamaan toko kue Gendis menjadi sepi. Padahal Gendis baru beberapa bulan merasakan kesuksesan. Gendis kembali ke titik nol. Dua orang Karyawan tambahan yang direkrut belakangan terpaksa dirumahkannya demi menekan biaya operasional."Sepi, Dex. Nggak ada yang datang dari tadi," ujar Gendis lesu. Saat itu Dexter baru saja tiba.Dexter mengembuskan napas dalam d
Alat-alat medis mengelilingi tubuh Rexa. Keadaan pria itu begitu menyedihkan. Setelah pingsan mendadak, ia dilarikan ke rumah sakit secepatnya. Lalu di sinilah lelaki itu berada sekarang. Di ruang IGD rumah sakit. Satu-satunya yang menandakan bahwa dia masih bernyawa adalah alat pendeteksi jantung yang terletak di sisi kepalanya."Ini semua gara-gara kamu. Kalau sesuatu yang buruk menimpa Papi, Mami nggak akan memaafkan kamu, Dex. Kamu harus tanggung jawab!" kecam Martha tidak mau tahu."Tenang dulu, Mi, kita kan belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kita nggak tahu apa akar masalahnya. Kita tunggu biar Dexter menjelaskannya ya, Mi." Rosa yang juga sudah berada di sana berusaha untuk menenangkan Martha sambil memegang pundak perempuan itu."Apa lagi yang ditunggu?!" sentak Martha. "Dexter selingkuh dengan mantan pembantunya. Pantas saja waktu acara syukuran Bobby dia mengacaukan suasana!"Di sudut yang lain Catherine tampak menangis sesenggukan. Karena sudah terlatih perempuan itu b
Usia manusia memang tidak ada yang tahu meski sehebat apa pun dia dan begitu banyak harta yang dimilikinya. Ajal tidak bisa ditawar. Begitu pun yang terjadi pada Rexa.Suasana pemakaman pria itu diwarnai oleh duka dan air mata. Martha berkali-kali pingsan lantaran terlalu shock. Ia tidak menyangka akan secepat itu ditinggalkan suaminya. Kematian sang kepala keluarga yang begitu mendadak menimbulkan berbagai kesan bagi orang yang ditinggalkan. Jika Martha dan Dexter merasa sedih bukan kepalang, lain halnya dengan Josh dan Rosa. Selain shock Josh juga kesal atas wasiat yang menguntungkan Dexter. Andai saja Rexa bukan orang tuanya ia tidak akan sudi menghadiri acara pemakaman sialan itu.Satu-satunya yang berbahagia atas kematian lelaki itu adalah Catherine. Namun ia terlalu lihai bersandiwara. Perempuan itu menyembunyikan perasaannya di balik air mata palsu.Ketika jenazah Rexa dikuburkan Dexter tidak sanggup menahan air matanya. Bulir-bulir bening menitik di pipinya, menyatu dengan ge
Gendis menatap bangunan ruko bertingkat tiga yang selama ini ditempatinya dengan perasaan sedih. Setelah Martha mengusirnya ia memutuskan untuk pergi dari sana. Beruntung masih ada yang berbaik hati padanya. Untuk sementara Maya mengajak Gendis tinggal di rumah kostnya. "Kenapa Mbak Gendis bohong selama ini? Kenapa nggak bilang kalau Pak Dexter adalah suami Mbak?" tuntut Maya setelah tahu kebenarannya. Gendis meneguk ludahnya yang terasa pahit. Ia menggelengkan kepalanya. "Aku hanya istri kedua yang dinikahi secara siri." "Tapi Bobby adalah anakmu, Mbak. Kamu boleh lepasin Pak Dexter tapi kamu berhak atas Bobby." "Aku nggak berhak apa-apa, May. Kayak yang kubilang tadi aku hanya istri siri. Kamu pasti tahu sendiri bahwa istri yang dinikahi secara siri tidak berhak menuntut apa pun. Bahkan perjanjianku dan Dexter semestinya sudah berakhir sejak aku melahirkan Bobby," terang Gendis dengan ekspresi sedih. "Kasihan kamu, Mbak." Maya menatap Gendis prihatin. Gendis tersenyum ham
Gendis termangu menggenggam ponselnya dengan tangan gemetar. Semua rangkaian kata yang baru saja didengarnya membuat tubuhnya menggigil hebat.Bukan. Ini bukanlah berita buruk yang mengejutkan. Akan tetapi sebaliknya. Kabar yang baru saja diterimanya membuat Gendis luar biasa bahagia. Saking bahagianya Gendis sampai kesulitan untuk memercayai berita itu.Sebelah tangan Gendis menutup mulut, menahan agar tidak berteriak. Sedangkan sebelahnya lagi menahan ponsel dalam genggaman. Gendis baru saja menerima kabar bahwa ia menjadi pemenang utama lomba memasak di samping dua pemenang lainnya. Maka Gendis berhak menerima hadiah kemenangan mengikuti pendidikan gratis selama sembilan bulan di Le Cordon Bleu, Paris, melalui program Grand Diploma. “Astaga … ini semua nggak mungkin. Kenapa aku yang menang?” Gendis menggumam pelan. Bukan ingin meragukan kemampuan dirinya sendiri, tapi hasil kreasi para kompetitor lainnya jauh lebih menarik daripada Gendis.“Menang apa, Mbak?” tanya Maya yang me
Setelah menempuh penerbangan panjang yang memakan waktu lebih dari enam belas jam, akhirnya pesawat yang membawa Gendis mendarat dengan selamat di Paris Charles de Gaulle Airport.Sudah ada orang yang menjemputnya di sana.Gendis mengikat rambutnya tinggi-tinggi. Udara saat itu merujuk pada suhu 30° Celcius. Saat ini sedang summer di Paris.Gendis tersenyum sekaligus melambaikan tangan pada gadis yang membawa kertas dengan tulisan, 'Waiting for Gendis Tsabina Putri from Indonesia'."Gendis?" tanya gadis itu agar lebih meyakinkan.Gendis mengiyakan dengan anggukan kepala dan balas memberi pertanyaan. "Laura?""Ya, saya Laura. Saya perwakilan dari Modeta. Selama di sini saya yang akan memandu kamu."Gendis merasa lega mendengarnya. Ia sudah bertemu dengan orang yang tepat. Selanjutnya Laura membawa Gendis ke Rue de La Convention. Di salah satu apartemen yang berada di sanalah Gendis akan menetap selama berada di Paris.Pohon-pohon yang tumbuh dengan jarak sekitar seratus meter menyamar
Summer telah lama berlalu. Disusul oleh Autumn dan winter yang super dingin. Lalu saat ini Paris sedang berada di musim semi. Musim yang menyenangkan bagi para penduduknya.Pada musim semi orang-orang semakin banyak berkeliaran di jalan, menikmati suasana kota yang menyenangkan. Tak terkecuali dengan Gendis.Hari itu Gendis sedang duduk di taman berdua dengan Laura. Mereka baru saja pulang makan. France onion soup yang lezat membuat mereka kekenyangan."Apa rencanamu berikutnya, Ndis?" tanya Laura.Tanpa terasa sudah sembilan bulan Gendis di Paris. Minggu depan adalah jadwal kepulangannya ke Indonesia."Yang pasti melanjutkan hidup sih." "Kamu tidak punya rencana untuk membuka toko kue atau usaha kuliner lain?"Gendis menggaruk hidungnya. Uang saku yang diberi pihak Modeta tidak pernah ia pakai. Biaya tempat tinggal dan makan juga sudah ditanggung oleh pihak Modeta. Paling Gendis hanya belanja sedikit-sedikit sehingga uang sakunya masih banyak bersisa. Namun untuk membuka usaha, Gen
"Selamat datang kembali di Indonesia, Ndis." Perempuan muda berambut sepunggung itu menggumam pelan ketika kakinya menapak di bumi seturunnya ia dari pesawat. Dengan tekadnya yang bulat Gendis memutuskan kembali ke Indonesia walau Laura menghalangi dengan bujukan menggoda.Selepas dari bandara Gendis menuju sebuah hotel untuk istirahat karena ia tidak punya tempat berteduh.Sambil membaringkan tubuhnya, ingatan masa lalu menyapa benak Gendis. Dulu saat dirinya diusir Catherine ia tidak punya tempat tinggal sama sekali bahkan ia pernah menjadi pemulung yang tidur di antara gunungan sampah.Lihatlah sekarang, Gendis bisa memilih ingin tidur di mana pun yang ia suka. Gendis sangat mensyukuri kehidupannya saat ini yang serba berkecukupan. Uang apresiasi sebagai best student sangat cukup untuk kehidupannya sendiri selama beberapa tahun ke depan.Setelah bangun tidur siang Gendis menghubungi Maya untuk memberi kabar bahwa ia sudah kembali berada di Indonesia.Cukup lama menunggu barulah May