Tanpa lagi membuang waktu Dexter dengan cepat turun dari mobil. Kehadirannya membuat Gendis terperanjat. Perempuan itu terkesiap dan cepat berdiri, bermaksud hendak pergi dari sana.Sebelum itu terjadi gerakan kilat Dexter menghalanginya. Dexter mencekal lengan Gendis dengan kuat."Jangan pergi, Ndis!""Lepasin tanganku, Dex," pinta Gendis memohon sembari mencoba membebaskan lengannya dari cekalan Dexter. Tapi tenaga lelaki jauh lebih kuat. Alih-alih akan lepas ia malah tidak bisa menggerakkan tangannya sama sekali."Kamu nggak akan bisa pergi ke mana-mana, Ndis. Aku nggak akan membiarkan kamu pergi.""Lepasin aku, Dex! Sakiiit ...," pinta Gendis sekali lagi akibat tekanan di pergelangannya."Maafin aku kalau cengkramanku ini bikin tangan kamu sakit, tapi kalau aku melepaskan kamu dan membiarkan kamu pergi, hatiku yang sakit, Ndis," jawab Dexter sambil memandangi Gendis dengan tatapannya yang sendu.Gendis membalas tatapan Dexter. Iris mata mereka saling bertemu. Keduanya saling me
Gendis duduk dengan rasa penasaran yang menggerogoti hatinya. Setiap ia bertanya pada Dexter mereka akan pergi ke mana, lelaki yang sedang mengemudi itu hanya bisa mengembangkan senyumnya."Dex, kita sebenarnya mau ke mana? Bilang sama aku apa salahnya sih, Dex?" ujar Gendis untuk ke sekian kalinya, dan untuk ke sekian kali juga Dexter menjawab dengan senyumnya."Lihat aja nanti.""Ih ..." Gendis mendelik yang membuat Dexter tertawa.Jalan demi jalan telah mereka lalui. Begitu pun dengan traffic light yang membuat mereka berhenti beberapa kali.Mobil yang dikendarai Dexter berhenti di depan sebuah bangunan ruko bertingkat tiga. Gendis tidak tahu bangunan itu apa karena pintunya tertutup.'Ini bengkel atau toko ya?' pikir Gendis di hatinya."Ndis, ayo!" ajak Dexter membawanya turun dari mobil.Gendis yang termangu membuka pintu mobil. Dexter merangkulnya menuju ruko. Ketika tiba di depan folding gate Dexter mengeluarkan kunci dari sakunya lalu membuka akses masuk.Ruko itu kosong melo
Dexter terbangun dan menemukan Gendis masih tertidur di sebelahnya dengan keadaan yang sama dengannya. Sama-sama tak berbusana.Lelaki itu tersenyum kala menyadari apa yang mereka lakukan beberapa jam yang lalu. Rasanya Dexter belum puas. Ia masih ingin bersama Gendis, tapi saat ingat kekacauan di rumahnya tadi ia memutuskan untuk pulang.Melihat Gendis yang lelap dalam tidurnya membuat Dexter tidak kuasa untuk membangunkan istrinya itu.Pelan-pelan ia menarik diri kemudian memasang pakaiannya. Setelahnya Dexter keluar dari kamar mencari kertas dan pulpen. Dituliskannya barisan pesan untuk Gendis."Ndis, maaf, aku harus pulang sekarang. Aku ingin memastikan keadaan Bobby. Kamu jangan pergi ke mana-mana. Besok kita ketemu lagi."Dexter meletakkan kertas tersebut di nakas. Ia menimpanya dengan remote TV agar tidak hilang. Setelahnya Dexter mencium kening Gendis dengan perasaan sayang. Ia pergi dari sana.***"Kamu dari mana aja, Dex? Telfonku nggak diangkat, chat-ku juga nggak direspon!
Dexter memarkirkan mobilnya di parking area Diamond Hotel. Kemudian lelaki itu mengambil Bobby yang berada di car seat dengan hati-hati. Sepanjang jalan dari rumah tadi Bobby terus merengek karena perutnya lapar. Dexter menggendongnya keluar dari mobil lalu melangkah memasuki bangunan hotel."Cup cup cup, jangan nangis lagi ya, Nak. Sebentar lagi kita ketemu Mama. Mama pasti senang banget. Nanti Bobby bisa nyusu sama Mama sepuasnya," hibur Dexter saat melihat gelagat Bobby akan menangis lagi.Dexter mempercepat langkah dengan Bobby yang berada di dalam gendongannya. Ia sudah tidak sabar agar segera tiba di kamar yang ditempati Gendis. Dexter jamin, Gendis pasti sangat senang bertemu dengan Bobby. Sama dengan senangnya Dexter memberi kebahagiaan ini.Setibanya di depan kamar yang ditempati Gendis, Dexter langsung mengetuk pintu. Ia bisa membayangkan seperti apa reaksi Gendis sebentar lagi.Tidak terlalu lama mengetuk, daun pintu itu pun terbuka, menampakkan sosok Gendis yang baru saja
Catherine menepikan mobilnya begitu sampai di depan rumah Bondan. Dengan terburu-buru perempuan itu turun dari mobilnya. Ia sudah tidak sabar ingin melabrak Gendis.Membuka pintu pagar, dengan cepat perempuan itu melesat menuju pintu rumah. Ia membunyikan bel beberapa kali dengan perasaan tidak sabar. Ia ingin mengatai-ngatai Gendis. Mencecar perempuan itu habis-habisan dan mencakar mukanya.Tangan Catherine sudah terangkat ke udara. Siap untuk menampar pipi Gendis. Namun niat itu urung terjadi ketika menyadari bukan Gendis yang muncul melainkan si tuan rumah."Eh, Bu Dona." Catherine yang kaget menurunkan tangannya lalu memaksakan seulas senyum."Hai, Bu Catherine." Dona cukup kaget oleh kedatangan Catherine. Ia tidak tahu urusan apa yang membawa langkah perempuan itu ke rumahnya."Gendisnya ada, Bu? Saya ingin bertemu dia," ujar Catherine menyampaikan maksudnya karena sudah tidak tahan."Oh, jadi Bu Catherine belum tahu?""Apanya?" respon Catherine tidak sabar."Perempuan pembawa ma
"Lo bisa bantu gue nggak?" Pertanyaan itu meluncur dari mulut Dexter ketika teleponnya tersambung dengan Jovan."Nih orang nelfon-nelfon bukannya nanya kabar malah nagih bantuan."Dexter terkekeh mendengar jawaban Jovan di seberang sana."Serius ini, Jooov.""Apaan?""Gue nggak bisa ngomong by phone. Penting soalnya. Kalo lo nggak sibuk bisa ke kantor gue nggak? Atau gue aja yang nyamperin lo?""Ketemu di tempat biasa aja deh." Jovan mengambil jalan tengah."Oke, nggak pake lama ya, Bro."Dexter memutus panggilan kemudian mengembalikan ponselnya ke dalam saku celana.Lelaki itu keluar dari kantornya setelah meninggalkan pesan pada sekretarisnya bahwa ia akan pergi.Sekitar dua puluh menit kemudian Dexter tiba di cafe favorit mereka, tempatnya biasa ngumpul dengan Jovan dan Ferry."Sendiri?" tanya Jovan yang lebih duluan sampai saat melihat Dexter tiba."Abisnya mau sama siapa lagi?""Kirain lo juga ngajak Ferry."Dexter menggelengkan kepalanya lalu menempatkan diri duduk di hadapan sa
Dexter benar-benar merealisasikan janjinya. Tidak butuh waktu lama baginya untuk menyulap ruko kosong miliknya menjadi toko kue impian Gendis.Gendis begitu terpana. Ia kehilangan kata-kata ketika Dexter mengajaknya room tour dari satu ruangan ke ruangan lain. Dari lantai satu sampai lantai tiga. Dari ruangan utama toko tempat jual beli berada hingga dapur tempat proses produksi."Nanti kamu tinggalnya di sini," ucap Dexter setelah mereka berada di lantai tiga. "Aku sendiri?" respon Gendis sembari matanya mengelana ke sekeliling ruangan."Kamu takut?"Ruangan itu sangat luas dan terkesan terlalu besar untuk ditempati sendiri."Perlu aku temenin di sini?"Suara Dexter membuat Gendis mengembalikan pandangannya ke arah lelaki itu. Kemudian digelengkannya kepala dengan perlahan. Bagaimana mungkin Gendis meminta Dexter menemaninya? Lantas bagaimana dengan Catherine? Perempuan itu pasti akan curiga jika suaminya tidak menginap di rumah. Cukup sudah. Gendis tidak ingin membuat Catherine cur
"Lagi sibuk, Bro?"Dexter mengangkat kepalanya yang tertunduk menekuri berkas-berkas ketika mendengar suara yang sudah sangat dihafalnya.Di dekat pintu yang sedikit terbuka Jovan berdiri sambil tersenyum menggoda.Dexter sontak mengembuskan napasnya. Orang ini lagi. Bukan Dexter tidak suka. Tapi ia hanya belum siap. Ia tahu kedatangan Jovan ke kantornya adalah untuk menagih cerita mengenai donor ASI Bobby yang sesungguhnya. Tingkah Jovan membuat hidup Dexter tidak tenang. Seakan tidak cukup menerornya melalui telepon sekarang lelaki itu malah mendatangi Dexter ke kantornya."Boleh gue masuk?" tanya Jovan yang masih berdiri di sisi pintu melihat Dexter tidak merespon apa-apa akan kedatangannya."Emangnya kalo gue nggak ngizinin, lo bakalan pergi? Lo bakal tetap berdiri di sana kan?"Jovan terkekeh pelan. Lelaki itu kemudian melangkahkan kakinya memasuki ruangan Dexter. Sambil bersiul ia duduk di kursi di hadapan sang sahabat."Asem banget muka lo. Nggak suka gue ke sini?" ucapnya meli