"Gila ya kamu?!" Itu respon yang diberikan Catherine setelah mendengar perkataan Dexter."Bukannya yang gila itu kamu? Dulu kamu sendiri yang meminta aku untuk menikahi dia. Ingat?" serang Dexter."Kenapa jadi menyalahkanku? Bukankah dulu kamu juga setuju?”"Aku terpaksa karena kamu terus memaksa.""Lalu sekarang apa masalahnya? Kenapa juga dia harus dibawa ke rumah? Perjanjian kita dengan dia kan sudah selesai!""Karena Bobby butuh Gendis. Dia ibu kandungnya. Bobby butuh ASI, sedangkan kamu nggak bisa memberi itu untuk dia."Muka Catherine merah padam mendengar ucapan yang ditujukan padanya. Bertahun-tahun mereka menikah Dexter tidak pernah menyebut-nyebut kelemahannya. Tapi lihatlah sekarang."Tapi Bobby bisa minum susu formula," dalih perempuan itu."Apa kamu bilang? Susu formula? Kamu amnesia apa gimana? Kamu lupa Bobby alergi?""Aku nggak lupa tapi kalau kamu mau sedikit bersabar dia pasti sehat dikasih salep atau obat."Jawaban ringan Catherine membuat Dexter semakin marah. Emos
Bayu, sekuriti yang tadi bicara pada Thomas kini melangkah menghampiri Gendis. Bayu memandang Thomas sambil mengangkat alisnya yang mengisyaratkan kalau dirinya sedang bertanya siapa perempuan yang membawa anak itu.Thomas memberi isyarat dengan mata pada Bayu. Kedua pria itu kemudian melihat baby Bobby dengan teliti. Mereka merasa mengenali bayi itu karena setiap pagi Risa sering mengajaknya berkeliling komplek dengan stroller."Ini bukannya anak Pak Dexter dan Ibu Catherine?" kata Bayu setelah merasa mengenali anak itu. "Iya, iya, gue ingat sekarang. Gue sering ngeliat dia jalan pagi dibawa pembantunya." Thomas menimpali.Kedua sekuriti itu memandang Gendis dengan tatapan yang jauh lebih tajam."Kamu siapa? Kenapa anak Pak Dexter ada dengan kamu? Mau dibawa ke mana?!" selidik Bayu yang jauh lebih sangar melebihi Thomas dengan suaranya yang super keras."Saya baby sitter-nya, Pak," jawab Gendis pelan. Saat itu hanya kalimat tersebut yang bisa dikatakannya."Jangan bohong kamu! Say
Salah satu sekuriti tersebut melepaskan borgol yang membelenggu Gendis. Sedangkan Catherine dengan cepat mengambil Bobby yang menangis.Alih-alih akan diam tangisan anak itu malah semakin keras seolah dia tahu betapa kejamnya perempuan yang saat ini menggendongnya.Dexter menarik pelan tangan Gendis, menempatkan perempuan itu di sebelahnya. "Kenapa kalian begitu tega pada perempuan lemah ini? Kenapa kalian memperlakukan dia seperti penjahat?!" hardik Dexter sembari menggulir matanya memandangi kedua sekuriti yang tidak merasa bersalah."Tapi dia memang penjahat, Pak. Dia yang menculik anak Bapak. Untung kami segera menangkapnya sebelum dia berhasil membawa anak Bapak kabur," kata Bayu membela diri."Lho, ini Gendis kan?" kata Rosa yang menyadari siapa perempuan yang saat ini tengah menundukkan kepalanya dalam-dalam dengan sebagian wajah tertutup rambutnya yang panjang."Jadi kamu yang mau menculik cucu saya?!" Martha ikut marah mengetahuinya. "Dulu kamu mencuri kalung berlian menantu
Gendis keluar dari kamar setelah mengemasi barang-barangnya yang tak seberapa itu. Dona mengikuti di belakangnya.Langkah Gendis tertahan setelah sampai di ruang tamu."Apa lagi hah? Pergi kamu sekarang!" usir Dona yang tidak tahan melihat Gendis agar segera enyah dari pandangannya."Boleh saya bertemu dengan Pak Bondan sebentar, Bu? Saya ingin berpamitan," ucap Gendis penuh harap."Suami saya lagi tidur di kamar. Dia pusing melihat tingkah kamu!""Kalau begitu tolong sampaikan kalau saya pergi, Bu. Saya minta maaf jika selama ini banyak kesalahan selama bekerja di sini."Dona mendengkus sambil melipat tangan di dada."Gendis!" suara itu terdengar ketika Gendis baru saja memutar tubuhnya.Itu suara Bondan.Dengan cepat Gendis menghadap ke belakang, pada lelaki itu."Pak, saya pamit dulu. Tolong dimaafkan jika saya banyak melakukan kesalahan selama bekerja di sini. Maaf saya sudah membuat malu Bapak dan Ibu.""Kamu nggak salah. Kamu mau ke mana?" tanya Bondan setelah menghela napasnya.
Tanpa lagi membuang waktu Dexter dengan cepat turun dari mobil. Kehadirannya membuat Gendis terperanjat. Perempuan itu terkesiap dan cepat berdiri, bermaksud hendak pergi dari sana.Sebelum itu terjadi gerakan kilat Dexter menghalanginya. Dexter mencekal lengan Gendis dengan kuat."Jangan pergi, Ndis!""Lepasin tanganku, Dex," pinta Gendis memohon sembari mencoba membebaskan lengannya dari cekalan Dexter. Tapi tenaga lelaki jauh lebih kuat. Alih-alih akan lepas ia malah tidak bisa menggerakkan tangannya sama sekali."Kamu nggak akan bisa pergi ke mana-mana, Ndis. Aku nggak akan membiarkan kamu pergi.""Lepasin aku, Dex! Sakiiit ...," pinta Gendis sekali lagi akibat tekanan di pergelangannya."Maafin aku kalau cengkramanku ini bikin tangan kamu sakit, tapi kalau aku melepaskan kamu dan membiarkan kamu pergi, hatiku yang sakit, Ndis," jawab Dexter sambil memandangi Gendis dengan tatapannya yang sendu.Gendis membalas tatapan Dexter. Iris mata mereka saling bertemu. Keduanya saling me
Gendis duduk dengan rasa penasaran yang menggerogoti hatinya. Setiap ia bertanya pada Dexter mereka akan pergi ke mana, lelaki yang sedang mengemudi itu hanya bisa mengembangkan senyumnya."Dex, kita sebenarnya mau ke mana? Bilang sama aku apa salahnya sih, Dex?" ujar Gendis untuk ke sekian kalinya, dan untuk ke sekian kali juga Dexter menjawab dengan senyumnya."Lihat aja nanti.""Ih ..." Gendis mendelik yang membuat Dexter tertawa.Jalan demi jalan telah mereka lalui. Begitu pun dengan traffic light yang membuat mereka berhenti beberapa kali.Mobil yang dikendarai Dexter berhenti di depan sebuah bangunan ruko bertingkat tiga. Gendis tidak tahu bangunan itu apa karena pintunya tertutup.'Ini bengkel atau toko ya?' pikir Gendis di hatinya."Ndis, ayo!" ajak Dexter membawanya turun dari mobil.Gendis yang termangu membuka pintu mobil. Dexter merangkulnya menuju ruko. Ketika tiba di depan folding gate Dexter mengeluarkan kunci dari sakunya lalu membuka akses masuk.Ruko itu kosong melo
Dexter terbangun dan menemukan Gendis masih tertidur di sebelahnya dengan keadaan yang sama dengannya. Sama-sama tak berbusana.Lelaki itu tersenyum kala menyadari apa yang mereka lakukan beberapa jam yang lalu. Rasanya Dexter belum puas. Ia masih ingin bersama Gendis, tapi saat ingat kekacauan di rumahnya tadi ia memutuskan untuk pulang.Melihat Gendis yang lelap dalam tidurnya membuat Dexter tidak kuasa untuk membangunkan istrinya itu.Pelan-pelan ia menarik diri kemudian memasang pakaiannya. Setelahnya Dexter keluar dari kamar mencari kertas dan pulpen. Dituliskannya barisan pesan untuk Gendis."Ndis, maaf, aku harus pulang sekarang. Aku ingin memastikan keadaan Bobby. Kamu jangan pergi ke mana-mana. Besok kita ketemu lagi."Dexter meletakkan kertas tersebut di nakas. Ia menimpanya dengan remote TV agar tidak hilang. Setelahnya Dexter mencium kening Gendis dengan perasaan sayang. Ia pergi dari sana.***"Kamu dari mana aja, Dex? Telfonku nggak diangkat, chat-ku juga nggak direspon!
Dexter memarkirkan mobilnya di parking area Diamond Hotel. Kemudian lelaki itu mengambil Bobby yang berada di car seat dengan hati-hati. Sepanjang jalan dari rumah tadi Bobby terus merengek karena perutnya lapar. Dexter menggendongnya keluar dari mobil lalu melangkah memasuki bangunan hotel."Cup cup cup, jangan nangis lagi ya, Nak. Sebentar lagi kita ketemu Mama. Mama pasti senang banget. Nanti Bobby bisa nyusu sama Mama sepuasnya," hibur Dexter saat melihat gelagat Bobby akan menangis lagi.Dexter mempercepat langkah dengan Bobby yang berada di dalam gendongannya. Ia sudah tidak sabar agar segera tiba di kamar yang ditempati Gendis. Dexter jamin, Gendis pasti sangat senang bertemu dengan Bobby. Sama dengan senangnya Dexter memberi kebahagiaan ini.Setibanya di depan kamar yang ditempati Gendis, Dexter langsung mengetuk pintu. Ia bisa membayangkan seperti apa reaksi Gendis sebentar lagi.Tidak terlalu lama mengetuk, daun pintu itu pun terbuka, menampakkan sosok Gendis yang baru saja
"Mama, nun, Ma ..." Tangan kecil yang menggapai-gapai serta suara cadel yang memanggilnya memaksa Gendis membuka kedua matanya. Perempuan itu terjaga dari tidurnya dan mendapati putra kecil kesayanganya sedang berada di tengah-tengah di antara dirinya dan Dexter. Menyadari dirinya terbangun bersamaa Dexter di sisinya membuat seulas senyum tipis terukir manis di bibir Gendis.Sudah sejak dua belas bulan yang lalu situasi ini terjadi. Lebih tepatnya sejak dirinya menikah dengan Dexter."Pagi, Sayang, anak Mama udah bangun?""Dah, Ma.""Sini cium Mama dulu."Bobby menghambur menciumi pipi Gendis dengan penuh semangat yang membuat Gendis tertawa. Biasanya Gendis akan meletakkan Bobby di atas perutnya. Hanya saja hal itu tidak bisa lagi dilakukannya karena perutnya yang tinggi menyamai dada. Saat ini Gendis sedang mengandung. Tidak butuh waktu lama bagi Dexter membuatnya berbadan dua. Beberapa bulan pasca menikah Gendis dinyatakan positif hamil. Dan hal itu membuat seluruh keluarga berbaha
Gendis menegakkan duduknya. Seluruh indera perempuan itu terjaga waspada menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.Perlahan kelopak mata Dexter terbuka. Pertama-tama yang dirasakannya adalah penglihatannya yang terasa kabur. Namun lama kelamaan semua yang berada di ruang pandangnya mulai terlihat dengan jelas, termasuk presensi Gendis dan juga Bobby."Ndis ...," panggil lelaki itu lirih dengan keadaannya yang masih lemah."Dex, ini aku. Kamu sudah sadar?"Dexter tak seketika menjawab. Pria itu berupaya mengumpulkan serpihan ingatan. Namun semakin kuat ia mengingat, kepalanya terasa bertambah sakit. Bukan. Dexter tidak mengalami amnesia. Buktinya ia ingat siapa Gendis dan siapa Bobby. "Apa yang terjadi, Ndis?" tanyanya masih selesu tadi."Bu Catherine menusuk kamu dengan pisau. Lukamu sangat dalam dan harus dioperasi. Sejak pertama kejadian itu kamu nggak sadarkan diri. Ini adalah hari ketiga kamu di rumah sakit."Dexter termangu mendengar cerita Gendis. Lamat-lamat ingatannya akan
Gendis keluar dari ruang rawat Dexter. Ia bermaksud pergi dari rumah sakit itu. Ia tidak mau terlibat dengan apa pun yang berhubungan dengan Dexter lagi. Hubungannya dengan Dexter sudah lama berakhir. Bagi Gendis lebih baik mereka menjalani hidup sendiri-sendiri seperti saat ini."Gendis!" Suara Martha menahan langkahnya, membuat Gendis menoleh ke belakang. Ia langsung menemukan Martha yang berjalan mendekat ke arahnya."Kamu mau ke mana?" tanya perempuan itu."Saya mau pulang, Bu.""Pulang?" Martha mengerutkan dahi. "Kamu nggak mau menunggu sampai Dexter sadar?""Maaf, Bu, saya nggak bisa," jawab Gendis memberi penolakan."Tapi Dexter butuh kamu. Kehadiran kamu sangat berarti buat dia."Gendis menahan senyum getir agar tidak terlihat. Jadi ceritanya sekarang dirinya sudah dianggap?"Oh iya, Rosa sudah cerita semua sama saya. Saya salut dan kagum sama kamu, Gendis. Kamu perempuan hebat dan luar biasa.""Terima kasih, Bu," jawab Gendis sekenanya. "Maaf, saya harus pulang. Ada hal lain
Acara Junior Chef dengan cepat melejit dan terkenal di kalangan pemirsa Citra Televisi. Bukan hanya karena pesertanya anak-anak yang lucu dengan segala tingkah mereka yang beragam, namun juga karena adanya Gendis, juri yang cantik, masih muda dan energik. Otomatis Gendis menjadi idola baru bagi pemirsa Citra Televisi. Perlahan tapi pasti nama Gendis merambat naik dan mulai dikenal orang-orang. Beberapa orang yang mengenalnya ada yang meminta tanda tangan atau foto bersama saat bertemu dengan Gendis di luar, membuat Gendis merasa takjub pada pencapaiannya saat ini.Gendis baru saja keluar dari bangunan Citra Televisi ketika lagi-lagi ia bertemu dengan Rosa."Bu Rosa ..."Tiada senyum di bibir Rosa ketika Gendis menyapanya. Perempuan itu terlihat tegang yang membuat Gendis ikut kaku."Gendis, ikut dengan saya sekarang," kata Rosa tanpa basa-basi atau salam pembuka."Ke mana, Bu?""Ke rumah sakit.""Ke rumah sakit?" Gendi
"Ma-mami ... Sejak kapan Mami di sini?" tanya Rosa gelagapan."Memangnya kenapa? Kalian takut Mami mendengar semuanya?""Mami jangan salah paham dulu!" ujar Catherine ketakutan sambil berusaha memegang tangan mertuanya itu namun dengan cepat Martha menepisnya."Tadi Mami dengar katanya kamu mau membunuh Rosa. Itu betul?""Itu nggak benar, Mi. Itu hanya bercanda," sangkal Catherine dengan raut ketakutan. Semua image baik yang dibangunnya selama bertahun-tahun runtuh dalam sekejap."Ngeri sekali bercandamu, Cat. Bercandanya saja main bunuh-bunuhan, gimana aslinya?" Martha menggeleng-gelengkan kepala tidak habis pikir pada kelakuan menantunya."Itulah salahnya Mami. Selalu saja suka menguping pembicaraan orang. Apa salahnya Mami tanya aku baik-baik?" Martha menatap Catherine lebih lekat mendengar perkataan Catherine yang terkesan sedang melawannya."Jadi kamu melawan Mami? Berani kamu sekarang?""Dari dulu aku memang berani, Mi. Aku nggak pernah takut pada siapa pun. Bahkan kalau aku ma
"Bagaimana cara agar perut terlihat besar seperti orang hamil?"Rosa mengetikkan sepotong kalimat tersebut di search engine ponsel pintarnya.Di detik selanjutnya mulut perempuan itu ternganga ketika melihat jawaban yang keluar."Perut bisa terlihat besar dengan memakai perut silikon palsu."Tidak hanya itu saja, di mesin pencari tersebut juga tersedia link yang menghubungkan ke berbagai market place yang menjual perut palsu tersebut.Rosa menelusurinya sati demi satu. Terbukti jika perut-perut silikon tersebut sering digunakan orang-orang untuk berpura-pura hamil dan lebih seringnya digunakan dalam film atau sinetron-sinetron.'Apa mungkin Catherine menggunakan perut seperti ini untuk mengelabui orang-orang?' Rosa tidak henti bertanya di dalam hatinya. Rosa bertekad untuk membuka kebusukan Catherine. Namun bagaimana cara membuktikannya? Apalagi perempuan itu begitu licik.Belum putus asa, Rosa kembali mengunjungi toko-toko yang menjual perut palsu tersebut. Ia membaca satu demi satu
Sudah sejak lama Rosa menaruh curiga pada Catherine. Gerak-gerik perempuan itu terlihat begitu mencurigakan. Terlepas dari persaingan mereka untuk menjadi pewaris harta sang mertua, secara pribadi Rosa tidak menyukai Catherine. Kecurigaan Rosa semakin menjadi ketika tahu wajah Bobby tidak mirip dengan Dexter apalagi Catherine. Malah dari hari ke hari anak itu semakin menunjukkan kesamaan fisik dengan Gendis. Hanya saja Rosa tidak punya bukti yang kuat selain perselingkuhan Dexter dan Gendis."Mami, lihat! Kakak itu jago banget masaknya. Kuenya bagus, Mi. Pasti enak," seru Kelly yang sejak tadi menikmati tayangan di televisi.Renungan Rosa terhenti. Dialihkannya tatapan ke arah televisi. Di sana sedang ditayangkan acara Junior Chef. Ajang kompetisi memasak anak-anak berumur sepuluh sampai tiga belas tahun."Kelly mau ikut acara itu juga, Mi.""Tapi Kelly masih kecil, Sayang. Umur kamu belum cukup. Nanti ya kalau udah sebesar kakak itu.""Masih lama ya, Mi?" Kelly tampak kecewa."Dua at
"Selamat datang kembali di Indonesia, Ndis." Perempuan muda berambut sepunggung itu menggumam pelan ketika kakinya menapak di bumi seturunnya ia dari pesawat. Dengan tekadnya yang bulat Gendis memutuskan kembali ke Indonesia walau Laura menghalangi dengan bujukan menggoda.Selepas dari bandara Gendis menuju sebuah hotel untuk istirahat karena ia tidak punya tempat berteduh.Sambil membaringkan tubuhnya, ingatan masa lalu menyapa benak Gendis. Dulu saat dirinya diusir Catherine ia tidak punya tempat tinggal sama sekali bahkan ia pernah menjadi pemulung yang tidur di antara gunungan sampah.Lihatlah sekarang, Gendis bisa memilih ingin tidur di mana pun yang ia suka. Gendis sangat mensyukuri kehidupannya saat ini yang serba berkecukupan. Uang apresiasi sebagai best student sangat cukup untuk kehidupannya sendiri selama beberapa tahun ke depan.Setelah bangun tidur siang Gendis menghubungi Maya untuk memberi kabar bahwa ia sudah kembali berada di Indonesia.Cukup lama menunggu barulah May
Summer telah lama berlalu. Disusul oleh Autumn dan winter yang super dingin. Lalu saat ini Paris sedang berada di musim semi. Musim yang menyenangkan bagi para penduduknya.Pada musim semi orang-orang semakin banyak berkeliaran di jalan, menikmati suasana kota yang menyenangkan. Tak terkecuali dengan Gendis.Hari itu Gendis sedang duduk di taman berdua dengan Laura. Mereka baru saja pulang makan. France onion soup yang lezat membuat mereka kekenyangan."Apa rencanamu berikutnya, Ndis?" tanya Laura.Tanpa terasa sudah sembilan bulan Gendis di Paris. Minggu depan adalah jadwal kepulangannya ke Indonesia."Yang pasti melanjutkan hidup sih." "Kamu tidak punya rencana untuk membuka toko kue atau usaha kuliner lain?"Gendis menggaruk hidungnya. Uang saku yang diberi pihak Modeta tidak pernah ia pakai. Biaya tempat tinggal dan makan juga sudah ditanggung oleh pihak Modeta. Paling Gendis hanya belanja sedikit-sedikit sehingga uang sakunya masih banyak bersisa. Namun untuk membuka usaha, Gen