"Mami jangan bercanda, Mi. Candaan Mami sama sekali nggak lucu!" kecam Catherine yang mendadak panik. Catherine akan sangat senang sekali kalau anak perempuan kampung itu hilang apalagi celaka, tapi tolong jangan sekarang. Ia belum mendapat apa-apa. "Mami nggak bercanda, Cat! Buat apa kehilangan Bobby Mami jadiin candaan?" balas Martha dengan nada tinggi."Jadi Bobby benar-benar hilang, Mi? Aku pikir dia dengan Dexter. Tadi Dexter yang menggendong dia.""Kalau dia dengan Dexter Mami nggak mungkin sekhawatir ini!""Ya Tuhan, Bobby anakku." Catherine berusaha keras menunjukkan wajah khawatir dan menitikkan air mata, tapi ia tidak berhasil. "Gimana ceritanya Bobby bisa hilang? Tadi dia kan sama kamu, Dex? Padahal aku baru minta tolong pegangin dia sebentar," oceh Catherine menyalahkan Dexter yang baru muncul.Dexter terdiam. Ia tidak tahu bagaimana cara menjawab pertanyaan tersebut. Alasan apa yang harus diberikannya? Ia tidak mungkin mengatakan Bobby sedang bersama Gendis kan?"Sudah
"Dex, gimana kalau kita lapor polisi?" Dexter mendengar suara Catherine. Perempuan itu sudah berada di dekatnya. Dia menyusul ke parkiran mobil."Buat apa lapor polisi?""Kok kamu nanyanya gitu sih, Dex? Bobby tuh hilang. Dia diculik orang. Percaya sama aku. Sebentar lagi bakalan ada yang menelepon kita meminta uang tebusan. Aku nggak rela ya ngasih sepeser pun buat mereka!" Catherine bersungut-sungut sambil melipat tangannya di dada."Bobby nggak diculik. Kita nggak perlu melapor ke polisi," jawab Dexter menolak usul Catherine."Kok kamu seyakin itu? Udah jelas-jelas Bobby hilang!" tatap Catherine tidak mengerti.Dexter menelan saliva. Ia semakin bingung bagaimana cara mengatakannya. Bobby memang dibawa Gendis. Tapi Dexter yakin Gendis tidak berniat buruk. Hanya saja ia tidak tahu apa tujuan perempuan itu membawa anaknya apalagi tanpa sepengetahuan dan persetujuan Dexter."Mungkin Bobby sedang bersama seseorang. Kita tunggu saja dulu. Nanti Bobby pasti kembali."Catherine menatap De
"Gila ya kamu?!" Itu respon yang diberikan Catherine setelah mendengar perkataan Dexter."Bukannya yang gila itu kamu? Dulu kamu sendiri yang meminta aku untuk menikahi dia. Ingat?" serang Dexter."Kenapa jadi menyalahkanku? Bukankah dulu kamu juga setuju?”"Aku terpaksa karena kamu terus memaksa.""Lalu sekarang apa masalahnya? Kenapa juga dia harus dibawa ke rumah? Perjanjian kita dengan dia kan sudah selesai!""Karena Bobby butuh Gendis. Dia ibu kandungnya. Bobby butuh ASI, sedangkan kamu nggak bisa memberi itu untuk dia."Muka Catherine merah padam mendengar ucapan yang ditujukan padanya. Bertahun-tahun mereka menikah Dexter tidak pernah menyebut-nyebut kelemahannya. Tapi lihatlah sekarang."Tapi Bobby bisa minum susu formula," dalih perempuan itu."Apa kamu bilang? Susu formula? Kamu amnesia apa gimana? Kamu lupa Bobby alergi?""Aku nggak lupa tapi kalau kamu mau sedikit bersabar dia pasti sehat dikasih salep atau obat."Jawaban ringan Catherine membuat Dexter semakin marah. Emos
Bayu, sekuriti yang tadi bicara pada Thomas kini melangkah menghampiri Gendis. Bayu memandang Thomas sambil mengangkat alisnya yang mengisyaratkan kalau dirinya sedang bertanya siapa perempuan yang membawa anak itu.Thomas memberi isyarat dengan mata pada Bayu. Kedua pria itu kemudian melihat baby Bobby dengan teliti. Mereka merasa mengenali bayi itu karena setiap pagi Risa sering mengajaknya berkeliling komplek dengan stroller."Ini bukannya anak Pak Dexter dan Ibu Catherine?" kata Bayu setelah merasa mengenali anak itu. "Iya, iya, gue ingat sekarang. Gue sering ngeliat dia jalan pagi dibawa pembantunya." Thomas menimpali.Kedua sekuriti itu memandang Gendis dengan tatapan yang jauh lebih tajam."Kamu siapa? Kenapa anak Pak Dexter ada dengan kamu? Mau dibawa ke mana?!" selidik Bayu yang jauh lebih sangar melebihi Thomas dengan suaranya yang super keras."Saya baby sitter-nya, Pak," jawab Gendis pelan. Saat itu hanya kalimat tersebut yang bisa dikatakannya."Jangan bohong kamu! Say
Salah satu sekuriti tersebut melepaskan borgol yang membelenggu Gendis. Sedangkan Catherine dengan cepat mengambil Bobby yang menangis.Alih-alih akan diam tangisan anak itu malah semakin keras seolah dia tahu betapa kejamnya perempuan yang saat ini menggendongnya.Dexter menarik pelan tangan Gendis, menempatkan perempuan itu di sebelahnya. "Kenapa kalian begitu tega pada perempuan lemah ini? Kenapa kalian memperlakukan dia seperti penjahat?!" hardik Dexter sembari menggulir matanya memandangi kedua sekuriti yang tidak merasa bersalah."Tapi dia memang penjahat, Pak. Dia yang menculik anak Bapak. Untung kami segera menangkapnya sebelum dia berhasil membawa anak Bapak kabur," kata Bayu membela diri."Lho, ini Gendis kan?" kata Rosa yang menyadari siapa perempuan yang saat ini tengah menundukkan kepalanya dalam-dalam dengan sebagian wajah tertutup rambutnya yang panjang."Jadi kamu yang mau menculik cucu saya?!" Martha ikut marah mengetahuinya. "Dulu kamu mencuri kalung berlian menantu
Gendis keluar dari kamar setelah mengemasi barang-barangnya yang tak seberapa itu. Dona mengikuti di belakangnya.Langkah Gendis tertahan setelah sampai di ruang tamu."Apa lagi hah? Pergi kamu sekarang!" usir Dona yang tidak tahan melihat Gendis agar segera enyah dari pandangannya."Boleh saya bertemu dengan Pak Bondan sebentar, Bu? Saya ingin berpamitan," ucap Gendis penuh harap."Suami saya lagi tidur di kamar. Dia pusing melihat tingkah kamu!""Kalau begitu tolong sampaikan kalau saya pergi, Bu. Saya minta maaf jika selama ini banyak kesalahan selama bekerja di sini."Dona mendengkus sambil melipat tangan di dada."Gendis!" suara itu terdengar ketika Gendis baru saja memutar tubuhnya.Itu suara Bondan.Dengan cepat Gendis menghadap ke belakang, pada lelaki itu."Pak, saya pamit dulu. Tolong dimaafkan jika saya banyak melakukan kesalahan selama bekerja di sini. Maaf saya sudah membuat malu Bapak dan Ibu.""Kamu nggak salah. Kamu mau ke mana?" tanya Bondan setelah menghela napasnya.
Tanpa lagi membuang waktu Dexter dengan cepat turun dari mobil. Kehadirannya membuat Gendis terperanjat. Perempuan itu terkesiap dan cepat berdiri, bermaksud hendak pergi dari sana.Sebelum itu terjadi gerakan kilat Dexter menghalanginya. Dexter mencekal lengan Gendis dengan kuat."Jangan pergi, Ndis!""Lepasin tanganku, Dex," pinta Gendis memohon sembari mencoba membebaskan lengannya dari cekalan Dexter. Tapi tenaga lelaki jauh lebih kuat. Alih-alih akan lepas ia malah tidak bisa menggerakkan tangannya sama sekali."Kamu nggak akan bisa pergi ke mana-mana, Ndis. Aku nggak akan membiarkan kamu pergi.""Lepasin aku, Dex! Sakiiit ...," pinta Gendis sekali lagi akibat tekanan di pergelangannya."Maafin aku kalau cengkramanku ini bikin tangan kamu sakit, tapi kalau aku melepaskan kamu dan membiarkan kamu pergi, hatiku yang sakit, Ndis," jawab Dexter sambil memandangi Gendis dengan tatapannya yang sendu.Gendis membalas tatapan Dexter. Iris mata mereka saling bertemu. Keduanya saling me
Gendis duduk dengan rasa penasaran yang menggerogoti hatinya. Setiap ia bertanya pada Dexter mereka akan pergi ke mana, lelaki yang sedang mengemudi itu hanya bisa mengembangkan senyumnya."Dex, kita sebenarnya mau ke mana? Bilang sama aku apa salahnya sih, Dex?" ujar Gendis untuk ke sekian kalinya, dan untuk ke sekian kali juga Dexter menjawab dengan senyumnya."Lihat aja nanti.""Ih ..." Gendis mendelik yang membuat Dexter tertawa.Jalan demi jalan telah mereka lalui. Begitu pun dengan traffic light yang membuat mereka berhenti beberapa kali.Mobil yang dikendarai Dexter berhenti di depan sebuah bangunan ruko bertingkat tiga. Gendis tidak tahu bangunan itu apa karena pintunya tertutup.'Ini bengkel atau toko ya?' pikir Gendis di hatinya."Ndis, ayo!" ajak Dexter membawanya turun dari mobil.Gendis yang termangu membuka pintu mobil. Dexter merangkulnya menuju ruko. Ketika tiba di depan folding gate Dexter mengeluarkan kunci dari sakunya lalu membuka akses masuk.Ruko itu kosong melo