Perjalanan ke rumah Dexter bagi Gendis adalah sebuah penyiksaan. Bagaimana tidak? Doni yang duduk di jok belakang dengannya selalu mengganggu Gendis dengan menarik-narik bajunya atau pun rambutnya yang membuat perempuan itu merasa risih dan juga jengkel. Namun apa daya,bisa tidak berdaya."Jangan ya, Sayang, rambut Mbak sakit kalau ditarik terus," larang Gendis kemudian mengikat rambutnya yang tadi tergerai tinggi-tinggi. Alih-alih akan berhenti anak itu malah menarik lagi rambut Gendis dengan lebih kuat hingga Gendis kesakitan dan rambutnya kembali tergerai."Aduh, sakit! Lepasin rambut Mbak, Doni!" Gendis mengaduh karena anak nakal itu tidak melepaskan tarikannya dari kumparan rambut Gendis.Anak berbadan gendut itu tertawa. Sedangkan Dona acuh tak acuh. Perempuan itu tetap fokus memainkan ponsel yang ada di genggamannya. Hanya Bondan yang melirik melalui spion tengah kemudian menegur anaknya."Doni, jangan nakal. Jangan ganggu Mbak Gendis."Doni melepaskan cengkramannya dari rambut
Gendis tidak tahu bagaimana mungkin di antara sekian banyak orang Dexter masih mengenalinya. Padahal ia sudah menutupi wajahnya dengan rambut.Dexter berjalan bukan ke arah rumah, tapi melintasi para tamu.Gendis terpukau melihat Bobby berada dalam gendongan Dexter. Dexter sangat bahagia yang terlukis dengan jelas di wajahnya. Dexter berbicara dengan orang-orang yang menyapanya dan memberikan ucapan selamat sambil sesekali mencuri cium pipi Bobby yang sudah diam penuh kasih sayang. Perasaan haru seketika menyelimuti Gendis melihat interaksi ayah dan anak itu. Titik air mata dan senyum di bibirnya hadir di detik yang sama. Gendis merasa sangat bahagia walau hanya bisa menyaksikan semuanya dari jauh. Ia tidak mungkin mendekat dan menampakkan diri di hadapan mereka walaupun Dexter memberi isyarat padanya.Di depan sana Catherine masih bercerita. Bahwa saat ia hamil dan ngidam, Dexter rela melakukan apa pun untuknya. Termasuk ketika tengah malam Catherine menginginkan lobster roll. Dexter
Entah setan mana yang memengaruhi Gendis hingga ia bisa berpikiran untuk membawa Bobby kabur. Padahal sebelumnya ia mematrikan di hatinya bahwa Bobby bukan miliknya. Ia tidak akan bisa memberikan Bobby kehidupan yang layak. Hanya bersama Dexter dan Catherinelah tempat yang paling tepat untuk anak itu."Udah susunya, Sayang?" ujar Gendis ketika mulut Bobby terlepas dari inti dadanya. Bayi laki-laki itu tertidur setelah mendapat asupannya.Gendis menaikkan bra lalu membetulkan bajunya yang tadi terbuka. Diciumnya pipi montok Bobby sambil menggumam dengan pelan, "Bobby ikut Mama ya, Sayang. Kita pergi dari sini. Mama nggak sanggup lagi kalau kita berpisah."Gendis masih menyimpan uang pemberian dari Dexter yang lelaki itu berikan melalui Bondan. Gendis rasa untuk sementara ia bisa menggunakannya untuk biaya hidup berdua dengan Bobby. Toh anak itu masih bayi. Ia hanya butuh ASI. Nanti Gendis juga akan berhemat. Ia akan makan seadanya, yang penting bisa mengganjal perutnya.Berdasarkan pem
"Jadi Pak Dexter belum memberitahu Ibu ya?" ucap Bondan menanggapi. Tadinya ia pikir bahwa itu keinginan mereka berdua."Memberitahu tahu apa, Dok?" Catherine semakin heran oleh ucapan Bondan."Mengenai Gendis. Dia adalah ART saya sekaligus yang selama ini mendonorkan ASI-nya untuk Bobby. Sayang sekali waktu malam itu Ibu dan Bapak tidak bertemu dengan dia," jelas Bondan."Jadi namanya Gendis, Dok?" ujar Catherine dengan jantung berdebar kencang. "Iya, Bu, benar sekali. Pak Dexter meminta saya agar membawa Gendis ke acara ini. "Memangnya Ibu tidak tahu?"Catherine terpaksa menggelengkan kepalanya. Satu rahasia rumah tangganya terbuka, bahwa dirinya dan Dexter bukanlah pasangan yang solid. Dexter membuat keputusan tanpa mendiskusikan dengannya dulu."Sekarang mana orangnya, Dok?" tanya Catherine tidak sabar."Itu dia yang saya heran, Bu Catherine. Sejak tadi dia menghilang. Saya nggak tahu dia duduk di mana," kata Bondan kebingungan sembari mengedarkan matanya ke sekeliling."Boleh sa
"Mami jangan bercanda, Mi. Candaan Mami sama sekali nggak lucu!" kecam Catherine yang mendadak panik. Catherine akan sangat senang sekali kalau anak perempuan kampung itu hilang apalagi celaka, tapi tolong jangan sekarang. Ia belum mendapat apa-apa. "Mami nggak bercanda, Cat! Buat apa kehilangan Bobby Mami jadiin candaan?" balas Martha dengan nada tinggi."Jadi Bobby benar-benar hilang, Mi? Aku pikir dia dengan Dexter. Tadi Dexter yang menggendong dia.""Kalau dia dengan Dexter Mami nggak mungkin sekhawatir ini!""Ya Tuhan, Bobby anakku." Catherine berusaha keras menunjukkan wajah khawatir dan menitikkan air mata, tapi ia tidak berhasil. "Gimana ceritanya Bobby bisa hilang? Tadi dia kan sama kamu, Dex? Padahal aku baru minta tolong pegangin dia sebentar," oceh Catherine menyalahkan Dexter yang baru muncul.Dexter terdiam. Ia tidak tahu bagaimana cara menjawab pertanyaan tersebut. Alasan apa yang harus diberikannya? Ia tidak mungkin mengatakan Bobby sedang bersama Gendis kan?"Sudah
"Dex, gimana kalau kita lapor polisi?" Dexter mendengar suara Catherine. Perempuan itu sudah berada di dekatnya. Dia menyusul ke parkiran mobil."Buat apa lapor polisi?""Kok kamu nanyanya gitu sih, Dex? Bobby tuh hilang. Dia diculik orang. Percaya sama aku. Sebentar lagi bakalan ada yang menelepon kita meminta uang tebusan. Aku nggak rela ya ngasih sepeser pun buat mereka!" Catherine bersungut-sungut sambil melipat tangannya di dada."Bobby nggak diculik. Kita nggak perlu melapor ke polisi," jawab Dexter menolak usul Catherine."Kok kamu seyakin itu? Udah jelas-jelas Bobby hilang!" tatap Catherine tidak mengerti.Dexter menelan saliva. Ia semakin bingung bagaimana cara mengatakannya. Bobby memang dibawa Gendis. Tapi Dexter yakin Gendis tidak berniat buruk. Hanya saja ia tidak tahu apa tujuan perempuan itu membawa anaknya apalagi tanpa sepengetahuan dan persetujuan Dexter."Mungkin Bobby sedang bersama seseorang. Kita tunggu saja dulu. Nanti Bobby pasti kembali."Catherine menatap De
"Gila ya kamu?!" Itu respon yang diberikan Catherine setelah mendengar perkataan Dexter."Bukannya yang gila itu kamu? Dulu kamu sendiri yang meminta aku untuk menikahi dia. Ingat?" serang Dexter."Kenapa jadi menyalahkanku? Bukankah dulu kamu juga setuju?”"Aku terpaksa karena kamu terus memaksa.""Lalu sekarang apa masalahnya? Kenapa juga dia harus dibawa ke rumah? Perjanjian kita dengan dia kan sudah selesai!""Karena Bobby butuh Gendis. Dia ibu kandungnya. Bobby butuh ASI, sedangkan kamu nggak bisa memberi itu untuk dia."Muka Catherine merah padam mendengar ucapan yang ditujukan padanya. Bertahun-tahun mereka menikah Dexter tidak pernah menyebut-nyebut kelemahannya. Tapi lihatlah sekarang."Tapi Bobby bisa minum susu formula," dalih perempuan itu."Apa kamu bilang? Susu formula? Kamu amnesia apa gimana? Kamu lupa Bobby alergi?""Aku nggak lupa tapi kalau kamu mau sedikit bersabar dia pasti sehat dikasih salep atau obat."Jawaban ringan Catherine membuat Dexter semakin marah. Emos
Bayu, sekuriti yang tadi bicara pada Thomas kini melangkah menghampiri Gendis. Bayu memandang Thomas sambil mengangkat alisnya yang mengisyaratkan kalau dirinya sedang bertanya siapa perempuan yang membawa anak itu.Thomas memberi isyarat dengan mata pada Bayu. Kedua pria itu kemudian melihat baby Bobby dengan teliti. Mereka merasa mengenali bayi itu karena setiap pagi Risa sering mengajaknya berkeliling komplek dengan stroller."Ini bukannya anak Pak Dexter dan Ibu Catherine?" kata Bayu setelah merasa mengenali anak itu. "Iya, iya, gue ingat sekarang. Gue sering ngeliat dia jalan pagi dibawa pembantunya." Thomas menimpali.Kedua sekuriti itu memandang Gendis dengan tatapan yang jauh lebih tajam."Kamu siapa? Kenapa anak Pak Dexter ada dengan kamu? Mau dibawa ke mana?!" selidik Bayu yang jauh lebih sangar melebihi Thomas dengan suaranya yang super keras."Saya baby sitter-nya, Pak," jawab Gendis pelan. Saat itu hanya kalimat tersebut yang bisa dikatakannya."Jangan bohong kamu! Say