“Adik…” panggil seorang wanita yang tengah duduk dengan sebuah nampan terbuat dari daun pandan, mereka sering menyebutnya nyiru beras.
"Iya bu, kenapa?” sahut seorang gadis yang berjalan mendekati wanita paruh baya yang memanggilnya.“Masak ini, ibu sudah membersihkannya, sebentar lagi ba’da dzuhur ayah akan pulang dari sawah, ibu akan memasak makan siang,’’ ujar wanita paruh baya itu yang berjalan tergopoh- gopoh memasak makanan untuk sang suami.“Bu, hari ini mamak menyuruh ibu untuk ke rumahnya, tadi adik bertemu mamak di warung Etek Lina,’’ sahut gadis itu yang sedikit berteriak karena ia berada di sumur mencuci beras yang akan ia masak.“Nanti Ibu dan Ayah akan ke rumah mamak,’’ ujar wanita itu yang masih terus memasak.Gadis itu adalah Kirai Chania Arifin, gadis cantik berumur 23 tahun, anggun dan berbudi pekerti, tutur bahasa yang selalu sopan dan lembut membuat nama orang tuanya di sanjung dan dihormati walaupun terlahir dari keluarga yang sederhana. Kirai, gadis berdarah minang. Lahir di daerah yang penuh dengan adat istiadat. Daerah yang terkenal dengan hukum adat yang bersifat tetap berlaku dalam setiap kaum tidak pandang bulu selalu di sandingkan dengan pepatah adat Alam takambang jadi guru.Wanita paruh baya itu adalah Tan Malaka, wanita yang selalu dipanggil ibu oleh kirai, surga bagi Kirai gadis berdarah minang. Tan Malaka berusia 56 tahun, selalu menggunakan selendang sutra berwarna putih. Sosok yang disegani karena termasuk dari keluarga yang terpandang, pendapat yang selalu di dengarkan dalam kaum, memiliki suami yang selalu di panggil cadiak pandai karena ilmu pengetahuan yang sangat luas dalam satu kaum. Pria itu adalah ariffin, pria yang berusia 60 tahun, tegas dalam berbicara bahkan sering dipanggil dalam menyelesaikan sengketa dalam kaumnya.“Apa Ibu mempunyai masalah?” tanya Kirai yang berdiri di samping sang ibu dan menatap seorang pria paruh baya yang baru saja masuk melalui pintu yang berada di dapur itu.“Tidak nak, ambilkan air untuk Ayahmu,” perintah Tan Malaka yang membuat Kirai dengan cepat langsung mengambil air untuk sang ayah.“Airnya yah,” sahut Kirai sambil memberikan segelas air putih di atas meja tempat dimana sang ayah duduk.“…” tidak ada jawaban sang ayah hanya diam dan menatap Kirai yang tengah menyiapkan makan siang untuk nya.“Mamak menyuruh kita untuk pergi ke rumahnya Da,” sahut Tan Malaka sembari duduk di samping sang suami.“Aku sudah bertemu dengannya,” ujar Arifin sambil melirik Kirai yang sibuk menyiapkan makan siang.“Apa yang mamak katakan? Apa ada masalah yang serius sampai kita dipanggil untuk ke rumahnya” tanya Tan Malaka yang semakin penasaran.“Adik,” panggil Arifin yang membuat sang putri langsung menatap ke arahnya dan berjalan mendekati Arifin.“Ada apa ayah?” tanya Kirai yang selalu dipanggil adik oleh kedua orang tuanya.“Apa adik kenal dengan anak sahabat ayah yang di surau itu?” tanya Arifin kepada sang putri."Sahabat ayah yang di surau?” ulang Kirai menatap sang ibu yang juga menatapnya.Cukup lama, Kirai mengerutkan dahinya dan berusaha untuk mengingat siapa yang dimaksud oleh sang ayah. Namun, manik hitamnya berhenti tepat di netra sang ayah yang langsung membuatnya mengingat sosok pria paruh baya yang selalu berjalan bersama dengan sang ayah ketika pergi ke surau."Ah Kirai ingat Yah, Pak Samsul?" Tanya Kirai dengan tersenyum tipis dan sesekali mengangguk pelan."Apa ada masalah dengan Da Samsul Da?" Tanya Tan Malaka yang semakin penasaran."Lebih jelasnya ketika kita pergi ke rumah mamak saja, ini tentang Kirai," bisik Arifin ke telinga sang istri.Mengerti dengan ucapan sang suami Tan Malaka hanya mengangguk pelan dan mulai menyajikan makanan untuk suaminya."Apa Pak Samsul baik-baik saja?" Tanya Kirai yang diangguki oleh Arifin."Ayo makan, setelah ini ayah akan ke sawah lagi," ajak Arifin yang membuat anak dan istrinya mengangguk dan memakan makanan yang berada di depannya.****Sore harinya, seperti biasa Tan Malaka akan selalu membaca beberapa buku yang selalu dibaca ketika menunggu adzan maghrib. Sementara Kirai, duduk di depan pintu menatap kosong ke arah sawah hijau dan beberapa anak laki-laki yang bermain layang-layang."Adik," panggil Tan Malaka sembari menutup buku dan menatap ke arah sang putri yang juga."Kemari duduklah, tidak baik untuk anak gadis duduk di depan pintu apalagi di sore hari seperti ini," ucap Tan Malaka yang di angguki oleh Kirai. "Baru satu minggu adik wisuda apa yang akan adik lakukan?" Tanya lembut Tan Malaka yang membuat Kirai tersenyum tipis."Jika ayah dan ibu mengizinkan adik akan kembali ke Jakarta untuk melamar pekerjaan, adik ingin bekerja Bu," jelas Kirai yang membuat Tan Malaka terdiam."Apa itu tidak terlalu jauh untuk Adik pergi merantau, apa di sini tidak bisa Dik?" tanya Tan Malaka yang mencoba untuk melarang Sang Putri agar tidak merantau bagaimanapun Kirai adalah anak satu-satunya."Bu, apa Ibu lupa dulu Adik kuliah juga di Jakarta, hanya saja tujuan adik ke Jakarta sedikit berbeda dengan tujuan adik pergi di saat adik menuntut ilmu," jelas Kirai yang mencoba menjelaskan kepada sang Ibu Agar memberi izin untuknya pergi merantau."Ibu tidak masalah nak, bagaimana cara ibu berbicara kepada ayahmu apalagi anak perempuan satu-satunya akan pergi merantau, siapa yang akan menjaga ayah dan ibu, siapa yang akan merawat rumah jika adik pergi merantau," ucap Tan Malaka yang sedikit sendu dan memainkan ujung-ujung selendang Sutra yang ia gunakan."Apa Ibu tidak mengizinkan adik untuk pergi merantau?" tanya Kirai sedikit menunduk dan menatap wajah sang ibu yang sedikit sendu."Ibu tidak melarang, Ibu hanya berpikir cara berbicara dengan ayahmu, apa kau tidak ingin bekerja di sini saja?" tanya Tan Malaka yang menatap lekat ke arah sang putri. "Adik anak satu-satunya, anak perempuan yang menerima semuanya, belum ada di daerah kita, anak gadisnya pergi merantau," sahut Tan Malaka yang kembali membujuk sang putri agar membatalkan rencananya."..." Tidak ada jawaban Kirai hanya diam dan tersenyum menyandarkan kepala ke pundak sang Ibu.***Suara adzan berkumandang terdengar jelas, beberapa warga langsung berjalan cepat menuju surau tua yang berada di daerah itu. Surau yang dibuat atas bantuan oleh Arifin dan Tan Malaka, setiap Adzan magrib maka surau itu akan penuh mulai dari orang tua, remaja bahkan anak-anak yang belajar mengaji.Hal yang selalu warga setempat lakukan setelah melakukan sholat magrib berjamaah mereka akan tadarus sampai adzan Isya."Adik, ayo pulang, ibu dan ayah akan pergi ke rumah mamak," ajak Tan malaka yang diangguki oleh Kirai."Ibu kenapa shaf laki-laki hari ini cukup banyak dari hari biasanya," sahut Kirai sembari berjalan keluar dari surau itu."Ada pengusaha dari Jakarta datang untuk membuat proyek di desa kita," jawab Tan Malaka yang membuat Kirai mengangguk.note:Etek : Tante.Da : Abang/ panggilan untuk suami.Pak : Bapak atau Om.Mamak : Paman/Kakak kandung ibu.Sesampainya di rumah, Tan Malaka dan Kirai menatap ke arah Arifin yang sedang berdiri menggunakan pakaian yang bersih. Arifin selalu menggunakan celana dasar dan kemeja tak lupa dengan topi putih dan kacamata yang hanya digunakan ketika mengendarai motor saja."Ayo kita pergi, takutnya Mamak sudah menunggu," ujar Arifin yang diangguki oleh Tan Malaka.Dengan cepat Kirai langsung masuk dan mengambil selendang sutra milik sang ibu. "Ayah dan ibu akan pulang lambat, kunci pintu dan tidur lah lebih awal," sahut Arifin yang diangguki oleh Kirai.Perlahan motor yang dikendarai Arifin dengan Tan Malaka yang duduk di belakang memegang mesra pinggang sang suami. Sedangkan Kirai berdiri di atas teras rumah kayunya menatap kepergian kedua orang tuanya yang diterangi oleh cahaya lampu jalan berwarna kuning."Kirai…" panggil seorang wanita muda yang tengah berjalan ke arahnya.Suara itu membuat Kirai tersenyum dan berjalan menuruni anak tangga karena rumah kirain adalah rumah panggung sehingga ha
Pagi harinya, suara kicauan burung terdengar sangat jelas, bersahutan dengan suara azan yang berkumandang di surau tua itu. Sebuah rumah kayu yang sederhana terlihat mewah dan begitu bersih, seorang pria baru saja kembali dari surau dan duduk di teras bersama sang istri. Dia adalah Arifin dan Tan Malaka yang selalu duduk di teras rumah setiap pagi menemani sang suami minum kopi dengan beberapa cemilan sebelum berangkat ke sawah."Bagaimana cara mengatakannya kepada Kirai Da?" Tanya Tan Malaka yang membuat Arifin diam sejenak dan menatap ke arah sang istri."Tanpa bertanya kita pasti tau apa jawabnya, Kirai adalah gadis yang modern, pola pikirnya sudah berkembang tidak seperti waktu kecil yang bisa kita atur, layaknya seorang bocah kecil yang mengikuti semua ucapan kita, sekarang dia sudah dewasa," sahut Arifin yang membuat Tan Malaka mengangguk."Lalu apa yang akan kita sampaikan kepada Mamak?" Tanya Tan Malaka yang di jawab helaan nafas berat."Da Hanan adalah kakakmu, kakak iparku
Langkah kakinya terhenti ketika sebuah mobil sedan hitam berhenti di depannya dengan plat yang berbeda. “Permisi Uni,” ujar seorang pria paruh baya sambil menurunkan kaca mobilnyaSontak suara itu membuat Kirai langsung tersenyum dan menatap pria paruh baya itu."Iya," jawab Kirai sembari menganggukan kepalanya dan menatap pria itu."Surau tertua di sini dimana ya Uni?" Tanya pria paruh baya itu yang membuat Kirai kembali tersenyum."Bapak Lurus saja, sebentar lagi akan sampai jaraknya tidak jauh hanya sekita lima rumah dari sini, surau itu di sebelah kanan pak," sahut Kirai sembari menunjuk jalan tanpa ia sadari sepasang mata sedari tadi melihatnya dengan penuh kekaguman."Ah begitu terimakasih Uni," ujar pria paruh baya itu yang langsung dijawab anggukan oleh Kirai.Perlahan mobil hitam itu berjalan bersamaan dengan Kirai yang kembali berjalan."Apa itu orang-orang proyek?" Gumam Kiria yang masih terus berjalan.*** Rumah kayu yang berada di tepi sawah terlihat bersih dan sangat
Sontak ucapan Hanan membuat semua orang yang berada di sana terkejut dengan kalimat yang keluar dari mulut pria itu termasuk istrinya juga tidak percaya kalimat itu keluar dari mulut sang suami. Hanam tidak pernah merendahkan orang lain apalagi Arifin sebagai adik ipar yang paling ia sayangi, bahkan setiap ada masalah Arifin akan selalu dibela mati matian olehnya. Tapi kembali kepada kodrat manusia yang bisa berubah setiap yang dia mau, mulutmu adalah harimaumu bahkan harta bisa memecah bela tali silaturahmi yang kuat.“Da,” panggil pelan hasna menyenggol siku sang suami.“Yang aku katakan benar apa adanya, aku hanya ingin yang terbaik untuk keponakanku, aku tidk ingin dia merasakan kemiskinan yang kita rasakan, perjodohan dengan Samsul bisa dibatalkan lagi pula dia belum datang meminang hanya bertanya saja, tapi kita sudah berbuat janji dengan almarhum Marawi, cucunya adalah orang yang hebat rumah besar dan punya gedung tinggi, dia juga yang akan menjadi pemilik pabrik yang ber
Sontak ucapan Hanan membuat semua orang yang berada di sana terkejut dengan kalimat yang keluar dari mulut pria itu termasuk istrinya juga tidak percaya kalimat itu keluar dari mulut sang suami. Hanam tidak pernah merendahkan orang lain apalagi Arifin sebagai adik ipar yang paling ia sayangi, bahkan setiap ada masalah Arifin akan selalu dibela mati matian olehnya. Tapi kembali kepada kodrat manusia yang bisa berubah setiap yang dia mau, mulutmu adalah harimaumu bahkan harta bisa memecah bela tali silaturahmi yang kuat.“Da,” panggil pelan hasna menyenggol siku sang suami.“Yang aku katakan benar apa adanya, aku hanya ingin yang terbaik untuk keponakanku, aku tidk ingin dia merasakan kemiskinan yang kita rasakan, perjodohan dengan Samsul bisa dibatalkan lagi pula dia belum datang meminang hanya bertanya saja, tapi kita sudah berbuat janji dengan almarhum Marawi, cucunya adalah orang yang hebat rumah besar dan punya gedung tinggi, dia juga yang akan menjadi pemilik pabrik yang ber
Langkah kakinya terhenti ketika sebuah mobil sedan hitam berhenti di depannya dengan plat yang berbeda. “Permisi Uni,” ujar seorang pria paruh baya sambil menurunkan kaca mobilnyaSontak suara itu membuat Kirai langsung tersenyum dan menatap pria paruh baya itu."Iya," jawab Kirai sembari menganggukan kepalanya dan menatap pria itu."Surau tertua di sini dimana ya Uni?" Tanya pria paruh baya itu yang membuat Kirai kembali tersenyum."Bapak Lurus saja, sebentar lagi akan sampai jaraknya tidak jauh hanya sekita lima rumah dari sini, surau itu di sebelah kanan pak," sahut Kirai sembari menunjuk jalan tanpa ia sadari sepasang mata sedari tadi melihatnya dengan penuh kekaguman."Ah begitu terimakasih Uni," ujar pria paruh baya itu yang langsung dijawab anggukan oleh Kirai.Perlahan mobil hitam itu berjalan bersamaan dengan Kirai yang kembali berjalan."Apa itu orang-orang proyek?" Gumam Kiria yang masih terus berjalan.*** Rumah kayu yang berada di tepi sawah terlihat bersih dan sangat
Pagi harinya, suara kicauan burung terdengar sangat jelas, bersahutan dengan suara azan yang berkumandang di surau tua itu. Sebuah rumah kayu yang sederhana terlihat mewah dan begitu bersih, seorang pria baru saja kembali dari surau dan duduk di teras bersama sang istri. Dia adalah Arifin dan Tan Malaka yang selalu duduk di teras rumah setiap pagi menemani sang suami minum kopi dengan beberapa cemilan sebelum berangkat ke sawah."Bagaimana cara mengatakannya kepada Kirai Da?" Tanya Tan Malaka yang membuat Arifin diam sejenak dan menatap ke arah sang istri."Tanpa bertanya kita pasti tau apa jawabnya, Kirai adalah gadis yang modern, pola pikirnya sudah berkembang tidak seperti waktu kecil yang bisa kita atur, layaknya seorang bocah kecil yang mengikuti semua ucapan kita, sekarang dia sudah dewasa," sahut Arifin yang membuat Tan Malaka mengangguk."Lalu apa yang akan kita sampaikan kepada Mamak?" Tanya Tan Malaka yang di jawab helaan nafas berat."Da Hanan adalah kakakmu, kakak iparku
Sesampainya di rumah, Tan Malaka dan Kirai menatap ke arah Arifin yang sedang berdiri menggunakan pakaian yang bersih. Arifin selalu menggunakan celana dasar dan kemeja tak lupa dengan topi putih dan kacamata yang hanya digunakan ketika mengendarai motor saja."Ayo kita pergi, takutnya Mamak sudah menunggu," ujar Arifin yang diangguki oleh Tan Malaka.Dengan cepat Kirai langsung masuk dan mengambil selendang sutra milik sang ibu. "Ayah dan ibu akan pulang lambat, kunci pintu dan tidur lah lebih awal," sahut Arifin yang diangguki oleh Kirai.Perlahan motor yang dikendarai Arifin dengan Tan Malaka yang duduk di belakang memegang mesra pinggang sang suami. Sedangkan Kirai berdiri di atas teras rumah kayunya menatap kepergian kedua orang tuanya yang diterangi oleh cahaya lampu jalan berwarna kuning."Kirai…" panggil seorang wanita muda yang tengah berjalan ke arahnya.Suara itu membuat Kirai tersenyum dan berjalan menuruni anak tangga karena rumah kirain adalah rumah panggung sehingga ha
“Adik…” panggil seorang wanita yang tengah duduk dengan sebuah nampan terbuat dari daun pandan, mereka sering menyebutnya nyiru beras."Iya bu, kenapa?” sahut seorang gadis yang berjalan mendekati wanita paruh baya yang memanggilnya.“Masak ini, ibu sudah membersihkannya, sebentar lagi ba’da dzuhur ayah akan pulang dari sawah, ibu akan memasak makan siang,’’ ujar wanita paruh baya itu yang berjalan tergopoh- gopoh memasak makanan untuk sang suami.“Bu, hari ini mamak menyuruh ibu untuk ke rumahnya, tadi adik bertemu mamak di warung Etek Lina,’’ sahut gadis itu yang sedikit berteriak karena ia berada di sumur mencuci beras yang akan ia masak.“Nanti Ibu dan Ayah akan ke rumah mamak,’’ ujar wanita itu yang masih terus memasak.Gadis itu adalah Kirai Chania Arifin, gadis cantik berumur 23 tahun, anggun dan berbudi pekerti, tutur bahasa yang selalu sopan dan lembut membuat nama orang tuanya di sanjung dan dihormati walaupun terlahir dari keluarga yang sederhana. Kirai, gadis berdarah mina