Sesampainya di rumah, Tan Malaka dan Kirai menatap ke arah Arifin yang sedang berdiri menggunakan pakaian yang bersih. Arifin selalu menggunakan celana dasar dan kemeja tak lupa dengan topi putih dan kacamata yang hanya digunakan ketika mengendarai motor saja.
"Ayo kita pergi, takutnya Mamak sudah menunggu," ujar Arifin yang diangguki oleh Tan Malaka.Dengan cepat Kirai langsung masuk dan mengambil selendang sutra milik sang ibu."Ayah dan ibu akan pulang lambat, kunci pintu dan tidur lah lebih awal," sahut Arifin yang diangguki oleh Kirai.Perlahan motor yang dikendarai Arifin dengan Tan Malaka yang duduk di belakang memegang mesra pinggang sang suami. Sedangkan Kirai berdiri di atas teras rumah kayunya menatap kepergian kedua orang tuanya yang diterangi oleh cahaya lampu jalan berwarna kuning."Kirai…" panggil seorang wanita muda yang tengah berjalan ke arahnya.Suara itu membuat Kirai tersenyum dan berjalan menuruni anak tangga karena rumah kirain adalah rumah panggung sehingga harus menuruni anak tangga."Ra…" panggil Kirai menatap gadis yang seusia dengannya."Apa kabar Kirai?" ucap gadis itu menatap Kirai yang berada di depannya "Alhamdulillah baik, kau masih ingat denganku Ra," sabut Kirai sembari mengusap lengan gadis itu."Hey… bagaimana aku bisa melupakan seorang Kirai, seorang gadis pertama yang berani merantau ke Jakarta untuk menuntut ilmu," kekehan gadis itu yang membuat tirai tertawa kecil.Dia adalah Rara teman kecil dan teman masa sekolah, Rara gadis yang cerewet, usia yang sebaya dengan Kirai membuat gadis itu merasa paling cantik di desa itu, walaupun sikembang desa jatuh kepada Kirai sang gadis yang lemah lembut."Apa kegiatanmu sekarang Ra?" Tanya Kirai sembari duduk di salah satu anak tangga itu."Datanglah ke pernikahanku besok di hari Jumat," jawab Rara yang membuat Kirai sedikit terkejut."Kau ingin menikah di usia muda?" Ucap Kirai yang mencoba menyakinkan gadis yang duduk di sampingnya."Sebentar, ayo masuk tidak enak dipandang orang yang lewat kita berbicara di depan tangga seperti ini," ujar Kirai yang hendak berdiri namun dicegah Rara pertanda ia tidak ingin masuk ke dalam rumah."Tidak ada ketentuan dalam menikah Rai, di umur berapa pun kau siap menikah maka kau akan menikah," tukas Rara yang membuat Kirai mengangguk pelan."Apa kau tidak ingin bekerja?" Sahut Kirai menata ke arah sang teman."Aku di jodohkan," ucap pelan Rara yang membuat Kirai mengerutkan dahinya."Apa di zaman seperti ini masih berlaku sistem perjodohan?" Tanya Kirai yang membuat Rara mengangguk pelan. "Aku akan meminta Ayah untuk bicara dengan Ayah dan ibumu, barangkali mereka akan berubah pikiran," sambung Kirai yang langsung dijawab gelengan cepat."Ucapan siapapun tidak akan merubah keputusan ayah dan ibu Rai, aku harus pulang," sahut Rara yang langsung meninggalkan Kirai yang masih bingung dengan ucapan Rara."Apa dia menikah karena paksaan dari kedua orang tuanya," gumam Kirai yang berjalan masuk ke dalam rumah.***Sementara di sebuah rumah yang cukup mewah, terparkir sebuah kendaraan roda dua. Sepasang suami istri berjalan masuk ke dalam rumah itu."Assalamualaikum," sahut wanita paruh baya yang langsung disambut hangat oleh tuan rumah."Akhirnya kau datang juga, aku sudah lama menunggu kalian," ujar pria paruh baya yang berjalan dan duduk di ruang tamu."Kami baru saja pulang dari surau Da, langsung kemari takutnya Uda sudah menunggu kami," kekehan wanita itu yang diangguki oleh sang suami.Dia adalah Tan Malaka dan Arifin yang baru saja sampai di rumah sang mamak.Mamak Hanan adalah kakak kandung dari Tan Malaka sering panggil Mamak baik dari kalangan muda bahkan tua. Tan Malaka dan Arifin memanggilnya Uda atau Abang sedangkan istri Hanan adalah Uni atau Kakak.Istri Hanan bernama Hasna, perempuan yang lemah lembut dan patuh terhadap suaminya."Ini minumlah, perjalanan kalian cukup jauh kan," tawar Hasna sembari memberikan segelas air teh untuk Tan Malaka dan kopi untuk sang suami dan adik iparnya Arifin."Kenapa kau tidak membawa Kirai Dek?" Tanya Hasna sambil duduk di samping sang suami."Bagaimana cara kami membawa kirai uni, kami hanya punya satu motor, bisa-bisa kami tidak sampai ke sini malah sampai ke rumah sakit," ucap Tan Malaka yang membuat semua orang yang berada di sana tertawa kecil."Kemarin aku bertemu dengan Samsul, dia datang ke rumah ku," sahut Hanan yang membuat semua orang yang berada di sana terdiam dan menatap ke arah Hanan."Apa yang Da Samsul katakan kepada Uda?" Tanya Tan Malaka yang membuat Ariffin sedikit menyenggol siku sang istri karena Hanan belum selesai berbicara Tan Malaka sudah memotongnya.Hanan hanya tersenyum tipis dan melirik Ariffin yang menatap Tan Malaka."Dia bertanya tentang kirai, putrimu," ucap Hanan yang semakin membuat Tan malaka dan Arifin menatap lekat ke arah Hanan. "Kirai adalah putrimu dan juga putri kami, bunga yang kita jaga selama ini sudah mulai di lirik orang," ujar Hanan yang membuat Tan Malaka dan Arifin saling melirik.Sedangkan Hasna ia hanya diam karena tidak baik untuknya menyela pembicaraan sang suami."Siapa yang meliriknya Da," sahut Tan Malaka menatap Hanan."Samsul, Dia datang bertanya tentang Kirai untuk putra Fatih," jelas Hanan yang membuat Arifin mengangguk pelan."Kirai sudah berumur 23 tahun, sudah cukup umur untuk membangun rumah tangga, dia gadis yang baik, sopan dan Budi pekerti, gadis yang cerdas dan cantik, wajar banyak orang yang melirik putri kita," sambung Hasna yang diangguki oleh Hanan."Kami hanya lah orang tua Kirai Uni, bukan berarti kami bisa mengiyakan ucapan Uda sekarang, kami ingin yang terbaik untuk Kirai, tapi yang akan menjalani dan merasakan bahtera rumah tangga itu Kirai Da, ada baiknya kami bertanya kepada Kirai, setuju atau tidak dia dijodohkan dengan putra Da Samsul," ucap Arifin yang diangguki oleh Tan malaka."Aku setuju, tanya kepada orang yang akan menjalaninya, tapi kalo bisa bujuk Kirai untuk menikah dengan putra Samsul," sambung Hanan yang diangguki oleh Hasna."Jangan terlalu serius, minumlah kopinya," ucap Hasna yang membuat orang yang berada di sana terkekeh."Anak Da Samsul, bukannya dia sudah pergi ke Jakarta Uni?" Tanya Tan Malaka menatap Hasna."Iya, Mereka juga satu sekolah dan satu universitas saat kuliah, Da Samsul yang bilang begitu, lagi pula juga sama-sama anak satu-satunya, untuk masalah ekonomi jangan di khawatir kan," ujar Hasna yang membuat Tan Malaka tersenyum tipis."Aku tau apa yang kalian pikirkan, Aku mencari jodoh untuk anak kemenakan tidak mungkin asal, aku harus tau bibit bobot yang akan menjadi calon untuk Kirai, Anak Samsul, aku rasa semua orang tau dengan adapnya," sahut Hanan yang diangguki Arfin.Pagi harinya, suara kicauan burung terdengar sangat jelas, bersahutan dengan suara azan yang berkumandang di surau tua itu. Sebuah rumah kayu yang sederhana terlihat mewah dan begitu bersih, seorang pria baru saja kembali dari surau dan duduk di teras bersama sang istri. Dia adalah Arifin dan Tan Malaka yang selalu duduk di teras rumah setiap pagi menemani sang suami minum kopi dengan beberapa cemilan sebelum berangkat ke sawah."Bagaimana cara mengatakannya kepada Kirai Da?" Tanya Tan Malaka yang membuat Arifin diam sejenak dan menatap ke arah sang istri."Tanpa bertanya kita pasti tau apa jawabnya, Kirai adalah gadis yang modern, pola pikirnya sudah berkembang tidak seperti waktu kecil yang bisa kita atur, layaknya seorang bocah kecil yang mengikuti semua ucapan kita, sekarang dia sudah dewasa," sahut Arifin yang membuat Tan Malaka mengangguk."Lalu apa yang akan kita sampaikan kepada Mamak?" Tanya Tan Malaka yang di jawab helaan nafas berat."Da Hanan adalah kakakmu, kakak iparku
Langkah kakinya terhenti ketika sebuah mobil sedan hitam berhenti di depannya dengan plat yang berbeda. “Permisi Uni,” ujar seorang pria paruh baya sambil menurunkan kaca mobilnyaSontak suara itu membuat Kirai langsung tersenyum dan menatap pria paruh baya itu."Iya," jawab Kirai sembari menganggukan kepalanya dan menatap pria itu."Surau tertua di sini dimana ya Uni?" Tanya pria paruh baya itu yang membuat Kirai kembali tersenyum."Bapak Lurus saja, sebentar lagi akan sampai jaraknya tidak jauh hanya sekita lima rumah dari sini, surau itu di sebelah kanan pak," sahut Kirai sembari menunjuk jalan tanpa ia sadari sepasang mata sedari tadi melihatnya dengan penuh kekaguman."Ah begitu terimakasih Uni," ujar pria paruh baya itu yang langsung dijawab anggukan oleh Kirai.Perlahan mobil hitam itu berjalan bersamaan dengan Kirai yang kembali berjalan."Apa itu orang-orang proyek?" Gumam Kiria yang masih terus berjalan.*** Rumah kayu yang berada di tepi sawah terlihat bersih dan sangat
Sontak ucapan Hanan membuat semua orang yang berada di sana terkejut dengan kalimat yang keluar dari mulut pria itu termasuk istrinya juga tidak percaya kalimat itu keluar dari mulut sang suami. Hanam tidak pernah merendahkan orang lain apalagi Arifin sebagai adik ipar yang paling ia sayangi, bahkan setiap ada masalah Arifin akan selalu dibela mati matian olehnya. Tapi kembali kepada kodrat manusia yang bisa berubah setiap yang dia mau, mulutmu adalah harimaumu bahkan harta bisa memecah bela tali silaturahmi yang kuat.“Da,” panggil pelan hasna menyenggol siku sang suami.“Yang aku katakan benar apa adanya, aku hanya ingin yang terbaik untuk keponakanku, aku tidk ingin dia merasakan kemiskinan yang kita rasakan, perjodohan dengan Samsul bisa dibatalkan lagi pula dia belum datang meminang hanya bertanya saja, tapi kita sudah berbuat janji dengan almarhum Marawi, cucunya adalah orang yang hebat rumah besar dan punya gedung tinggi, dia juga yang akan menjadi pemilik pabrik yang ber
“Adik…” panggil seorang wanita yang tengah duduk dengan sebuah nampan terbuat dari daun pandan, mereka sering menyebutnya nyiru beras."Iya bu, kenapa?” sahut seorang gadis yang berjalan mendekati wanita paruh baya yang memanggilnya.“Masak ini, ibu sudah membersihkannya, sebentar lagi ba’da dzuhur ayah akan pulang dari sawah, ibu akan memasak makan siang,’’ ujar wanita paruh baya itu yang berjalan tergopoh- gopoh memasak makanan untuk sang suami.“Bu, hari ini mamak menyuruh ibu untuk ke rumahnya, tadi adik bertemu mamak di warung Etek Lina,’’ sahut gadis itu yang sedikit berteriak karena ia berada di sumur mencuci beras yang akan ia masak.“Nanti Ibu dan Ayah akan ke rumah mamak,’’ ujar wanita itu yang masih terus memasak.Gadis itu adalah Kirai Chania Arifin, gadis cantik berumur 23 tahun, anggun dan berbudi pekerti, tutur bahasa yang selalu sopan dan lembut membuat nama orang tuanya di sanjung dan dihormati walaupun terlahir dari keluarga yang sederhana. Kirai, gadis berdarah mina
Sontak ucapan Hanan membuat semua orang yang berada di sana terkejut dengan kalimat yang keluar dari mulut pria itu termasuk istrinya juga tidak percaya kalimat itu keluar dari mulut sang suami. Hanam tidak pernah merendahkan orang lain apalagi Arifin sebagai adik ipar yang paling ia sayangi, bahkan setiap ada masalah Arifin akan selalu dibela mati matian olehnya. Tapi kembali kepada kodrat manusia yang bisa berubah setiap yang dia mau, mulutmu adalah harimaumu bahkan harta bisa memecah bela tali silaturahmi yang kuat.“Da,” panggil pelan hasna menyenggol siku sang suami.“Yang aku katakan benar apa adanya, aku hanya ingin yang terbaik untuk keponakanku, aku tidk ingin dia merasakan kemiskinan yang kita rasakan, perjodohan dengan Samsul bisa dibatalkan lagi pula dia belum datang meminang hanya bertanya saja, tapi kita sudah berbuat janji dengan almarhum Marawi, cucunya adalah orang yang hebat rumah besar dan punya gedung tinggi, dia juga yang akan menjadi pemilik pabrik yang ber
Langkah kakinya terhenti ketika sebuah mobil sedan hitam berhenti di depannya dengan plat yang berbeda. “Permisi Uni,” ujar seorang pria paruh baya sambil menurunkan kaca mobilnyaSontak suara itu membuat Kirai langsung tersenyum dan menatap pria paruh baya itu."Iya," jawab Kirai sembari menganggukan kepalanya dan menatap pria itu."Surau tertua di sini dimana ya Uni?" Tanya pria paruh baya itu yang membuat Kirai kembali tersenyum."Bapak Lurus saja, sebentar lagi akan sampai jaraknya tidak jauh hanya sekita lima rumah dari sini, surau itu di sebelah kanan pak," sahut Kirai sembari menunjuk jalan tanpa ia sadari sepasang mata sedari tadi melihatnya dengan penuh kekaguman."Ah begitu terimakasih Uni," ujar pria paruh baya itu yang langsung dijawab anggukan oleh Kirai.Perlahan mobil hitam itu berjalan bersamaan dengan Kirai yang kembali berjalan."Apa itu orang-orang proyek?" Gumam Kiria yang masih terus berjalan.*** Rumah kayu yang berada di tepi sawah terlihat bersih dan sangat
Pagi harinya, suara kicauan burung terdengar sangat jelas, bersahutan dengan suara azan yang berkumandang di surau tua itu. Sebuah rumah kayu yang sederhana terlihat mewah dan begitu bersih, seorang pria baru saja kembali dari surau dan duduk di teras bersama sang istri. Dia adalah Arifin dan Tan Malaka yang selalu duduk di teras rumah setiap pagi menemani sang suami minum kopi dengan beberapa cemilan sebelum berangkat ke sawah."Bagaimana cara mengatakannya kepada Kirai Da?" Tanya Tan Malaka yang membuat Arifin diam sejenak dan menatap ke arah sang istri."Tanpa bertanya kita pasti tau apa jawabnya, Kirai adalah gadis yang modern, pola pikirnya sudah berkembang tidak seperti waktu kecil yang bisa kita atur, layaknya seorang bocah kecil yang mengikuti semua ucapan kita, sekarang dia sudah dewasa," sahut Arifin yang membuat Tan Malaka mengangguk."Lalu apa yang akan kita sampaikan kepada Mamak?" Tanya Tan Malaka yang di jawab helaan nafas berat."Da Hanan adalah kakakmu, kakak iparku
Sesampainya di rumah, Tan Malaka dan Kirai menatap ke arah Arifin yang sedang berdiri menggunakan pakaian yang bersih. Arifin selalu menggunakan celana dasar dan kemeja tak lupa dengan topi putih dan kacamata yang hanya digunakan ketika mengendarai motor saja."Ayo kita pergi, takutnya Mamak sudah menunggu," ujar Arifin yang diangguki oleh Tan Malaka.Dengan cepat Kirai langsung masuk dan mengambil selendang sutra milik sang ibu. "Ayah dan ibu akan pulang lambat, kunci pintu dan tidur lah lebih awal," sahut Arifin yang diangguki oleh Kirai.Perlahan motor yang dikendarai Arifin dengan Tan Malaka yang duduk di belakang memegang mesra pinggang sang suami. Sedangkan Kirai berdiri di atas teras rumah kayunya menatap kepergian kedua orang tuanya yang diterangi oleh cahaya lampu jalan berwarna kuning."Kirai…" panggil seorang wanita muda yang tengah berjalan ke arahnya.Suara itu membuat Kirai tersenyum dan berjalan menuruni anak tangga karena rumah kirain adalah rumah panggung sehingga ha
“Adik…” panggil seorang wanita yang tengah duduk dengan sebuah nampan terbuat dari daun pandan, mereka sering menyebutnya nyiru beras."Iya bu, kenapa?” sahut seorang gadis yang berjalan mendekati wanita paruh baya yang memanggilnya.“Masak ini, ibu sudah membersihkannya, sebentar lagi ba’da dzuhur ayah akan pulang dari sawah, ibu akan memasak makan siang,’’ ujar wanita paruh baya itu yang berjalan tergopoh- gopoh memasak makanan untuk sang suami.“Bu, hari ini mamak menyuruh ibu untuk ke rumahnya, tadi adik bertemu mamak di warung Etek Lina,’’ sahut gadis itu yang sedikit berteriak karena ia berada di sumur mencuci beras yang akan ia masak.“Nanti Ibu dan Ayah akan ke rumah mamak,’’ ujar wanita itu yang masih terus memasak.Gadis itu adalah Kirai Chania Arifin, gadis cantik berumur 23 tahun, anggun dan berbudi pekerti, tutur bahasa yang selalu sopan dan lembut membuat nama orang tuanya di sanjung dan dihormati walaupun terlahir dari keluarga yang sederhana. Kirai, gadis berdarah mina