Share

Bab 3

Suasana seketika menjadi sunyi senyap.

Plak! Yang kudapat bukan pertolongan, melainkan tamparan dari Mauren.

"Kalau kamu istri Pak Richie, aku siapanya? Aku mengikuti Pak Richie lima tahun! Aku mengenalnya sepuluh tahun! Aku nggak pernah dengar dia sudah nikah! Dasar jalang! Beraninya kamu menipuku!" hardik Mauren.

Aku meludah darah, lalu berusaha menjelaskan, "Kami teman masa kecil. Aku benar-benar istrinya."

Para sekretaris merasa cemas mendengar perkataanku. Mereka ingin menghentikan Mauren, tetapi Mauren mengangkat tangan dengan tidak peduli. "Tenang saja, aku paling memahami Pak Richie."

Mauren mengamatiku dari atas hingga bawah dengan tatapan jijik. Dia melempar rokku yang sudah sobek layaknya sampah. Aku tidak memakai perhiasan ataupun membawa tas bermerek. Tas kain untuk membawa kotak makan juga terlihat lusuh.

Mauren terkekeh-kekeh sebelum berkata, "Penampilanmu seperti wanita miskin. Aku nggak melihat barang bermerek di tubuhmu. Kamu yakin kamu istri Pak Richie?"

Setelah mengambil napas, aku tiba-tiba merasakan cairan hangat di bawah tubuhku. Sebuah firasat buruk seketika muncul di hatiku.

"Darah! Dia berdarah!" teriak seorang sekretaris sambil mundur dengan panik.

Jantungku berdetak kencang. Aku makin panik. Aku mencoba meraih sesuatu untuk bangkit, tetapi malah merasakan darah mengalir dengan makin deras.

Mauren melirik dengan tidak acuh dan menegur, "Ngapain teriak-teriak? Cuma darah kok. Apa yang perlu ditakuti? Lagian, dia cuma pelakor. Anaknya anak haram. Sudah seharusnya digugurkan!"

Kerumunan pun terdiam dan tidak berani membelaku. Aku memegang perutku sambil memohon, "Tolong ... tolong panggil ambulans. Anakku ...."

Namun, tidak ada yang menolongku. Semuanya hanya menyaksikan dengan dingin, menantikan aku keguguran.

Sekitar sepuluh menit kemudian, Mauren baru mengeluarkan ponsel untuk menelepon seseorang. Kukira dia akan memanggil ambulans, tetapi aku malah mendengar suara Richie.

"Ada apa?" tanya Richie dengan singkat dan datar. Tidak ada emosi yang terungkap dari suaranya.

"Pak, hari ini ada wanita yang mencarimu di perusahaan. Dia mengantar makanan untukmu." Ketika bicara dengan Richie, nada bicara Mauren terdengar centil, tidak seperti saat menindasku.

Richie menyahut dengan tidak sabar, "Masalah sepele begini masih harus tanya? Sekretaris macam apa kamu ini? Urus saja sendiri."

Usai berbicara, Richie langsung mengakhiri panggilan. Mauren pun mengangkat alisnya, lalu melirik semua orang dengan angkuh. "Kalian sudah dengar itu? Pak Richie suruh aku mengurus wanita ini sendiri."

Aku hendak berteriak minta tolong, tetapi tidak bisa mengeluarkan suara karena kondisiku sudah lemah.

Mauren menghampiriku selangkah demi selangkah. Dia menginjak wajahku dengan sepatu hak tingginya dan berujar, "Karena kamu berdarah, aku jadi nggak bisa unggah fotomu ke internet. Foto seperti ini bakal dinilai sebagai tindakan kekerasan."

"Kamu seharusnya merasa bersyukur. Tapi, sekarang giliran wajahmu. Kalau wajahmu rusak, kamu nggak bakal bisa merayu Pak Richie lagi."

Saat berikutnya, Mauren mengambil pisau serbaguna dari lemari dan menggoyangkannya di depan wajahku.

Di tengah keputusasaanku, ponsel Mauren tiba-tiba berdering. Richie yang meneleponnya. Mauren segera menjawab panggilan.

"Aku butuh dokumen proyek Kota Nashila. Segera siapkan untukku."

"Baik, Pak."

"Aku bakal tiba sekitar sepuluh menit lagi."
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ririn Dwi Anggraeni
kejam banget padahal hanya sekertaris
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status