Sebuah mobil mewah berhenti di depan kediaman Ernest, wanita paruh baya itu keluar dan dengan langkah angkuhnya ia berjalan memasuki pelataran."Aldara ada di rumah?" tanyanya pada Bibi."Ada, Bu. Mari masuk dulu, saya akan panggilkan Bu Aldara," sahut Bibi dengan ramah."Tidak. Saya akan menunggu di sini saja.""Baiklah kalau begitu, Bu. Silakan duduk dulu." Bibi menunjuk sebuah kursi dengan ibu jarinya, tetapi wanita paruh baya itu hanya menatap tanpa ekspresi berlebih.Ia tidak berniat duduk, toh tujuannya kali ini tidak akan lama. Suara langkah kaki dari dalam rumah membuat wanita paruh baya itu menoleh ke arah pintu, saat itu juga Aldara keluar dengan setelan baju rumahan yang menurut pandangannya penampilan itu sangat kumal.Netranya menelisik penampilan Aldara, bibirnya mencebik saat melihat tidak ada satupun barang bermerk yang menempel pada tubuh Aldara. Hanya ada beberapa perhiasan berukuran kecil yang bisa dengan mudah ia taksir harganya.'Sangat jauh kalau dibanding deraj
"Masuk!" Aldara menoleh sekilas, tetapi ia tetap menurut saat Alastair menyuruhnya. Kaki jenjangnya melangkah masuk, bibirnya berdecak kagum melihat interior unit apartemen ini."Aku tadi sudah menghubungi Ernest, dan dia memintaku menjagamu di sini. Jadi kau diam saja dan jangan merusuh," ucap Alastair dengan suara dingin.Alastair mendudukkan dirinya di sofa, tatapan matanya masih sangat dingin menghunus ke arah Aldara."Maaf atas sikap Mamaku. Aku dan Papa sudah beberapa kali memperingatinya, tapi Mama tetap tidak mau berubah.""Tidak apa-apa, Pak. Saya tahu setiap ibu di dunia ini ingin yang terbaik untuk anaknya, saya juga sadar kelas saya jauh di bawah keluarga Bapak," sahut Aldara dengan suara lirih.Pria itu mendengkus, satu kakinya dinaikkan ke atas lutut. "Kau bisa menggunakan satu kamar untuk beristirahat malam ini, besok aku akan mengantarmu pulang."Aldara mengangguk patuh. 'Tidak apa-apa aku tinggal di sini dulu. Daripada pulang nanti Ibu Elle dan Rangga bisa-bisa kemba
Alastair berbalik badan menuju kamar Aldara, ia menguncinya dari luar untuk berjaga-jaga. Selanjutnya barulah ia membuka pintu."Al, kamu tinggal di sini?" tanya Elle saat pintu baru saja terbuka "Iya, Ma. Ada apa Mama ke sini?" Wajah tampan itu masih menunjukkan raut datar."Mama ingin mengajakmu pulang, Al. Kamu tidak akan nyaman di sini. Apartemen ini memang bagus, tapi kamu sendirian di sini. Tidak ada yang menyiapkan keperluan kamu, Al," rayu Elle.Wanita paruh baya itu merasa putranya tidak mampu hidup tanpa asisten rumah tangga, selama ini Alastair juga selalu menuruti ucapannya. Jadi, ia sangat yakin putranya akan pulang bersamanya malam ini.Namun, sebuah gelengan membuat Elle tersentak. Pupil matanya membelalak tidak percaya melihat penolakan dari darah dagingnya sendiri."Aku sudah memutuskan tinggal di sini, dan selamanya akan begitu, Ma."Deg! Elle menggeleng. Ia meraih tangan Alastair seraya menampilkan raut memelas."Pulang, ya, Nak. Mama mengaku salah, Mama nggak seng
"Sudah siap?" tanya Alastair, sambil menelisik penampilan Aldara dari atas sampai bawah.Cantik. Yeah, Alastair mengakui malam ini Aldara sangat cantik dan manis. Gaun berwarna biru tua itu sangat pas melekat di tubuh ramping Aldara."Sudah, Pak," sahut Aldara lirih.Alastair mengangguk, ia lekas bangkit dari sofa ruang tamu dan melangkah keluar lebih dulu. Pria itu membukakan pintu mobil, membuat Aldara tercenung barang sesaat. Namun, detik berikutnya wanita itu segera masuk mobil sambil mengucapkan terima kasih.Tidak ada sahutan dari Alastair, pria itu berjalan mengitari mobil dan lekas melajukan dengan kecepatan tinggi menuju Rose Hotel."Kita akan makan malam dulu, Dara. Kau harus mengisi tenaga agar tidak lemas nanti," bisik Alastair dengan kekehan lirih.Aldara masih menikmati keheningannya, hingga tanpa terasa keduanya sudah sampai di restoran hotel megah itu dan pelayan membawakan beberapa menu yang telah dipesan Alastair sebelumnya."Makanlah, kamu tidak perlu merasa cemas. A
Aldara membuka mata dan merasakan kepalanya masih sangat berat, pandangannya menelisik ke seluruh kamar dengan kening mengerut.Kosong. Tidak ada siapapun di kamar luas ini, ia segera bangun. Detik itu juga bola matanya melotot lebar saat selimut terbuka dan tubuh polosnya terekspos."Astaga!" pekiknya dan segera membungkus lagi tubuhnya.Pikirannya melayang, membawa angan pada kejadian semalam. Benaknya berusaha merangkai kepingan ingatan, hingga perlahan-lahan kejadian semalam berhasil diingatnya."A-Aku ... aku sudah menyerahkannya?"Cairan bening kembali luruh dari pelupuk mata cantik itu, merasakan getir di hatinya saat mendapati fakta bahwa Alastair tega membuatnya mabuk.Aldara berpikir kalau Alastair sudah benar-benar berubah, sikap baik dan lemah lembutnya akhir-akhir ini sering membuatnya tersenyum. Yeah, wanita itu harus jujur kalau beberapa bulan terakhir ini ia tidak terlalu tertekan bekerja dengan Alastair.Namun, siapa sangka kalau itu hanya kedok? Alastair tetap lah p
Pagi ini Aldara datang dengan sisa kekuatan yang masih ada pada dirinya, kaki jenjangnya melangkah lesu menapaki lantai gedung kantor tempatnya bekerja.Tangannya memegang map berisi berkas pengunduran diri. Pokoknya bisa tidak bisa ia harus keluar dari perusahaan ini dan pergi jauh dari kehidupan Alastair."Sepertinya masih lama Pak Alastair datangnya, lebih baik aku membereskan ruanganku dulu," gumam Aldara dan langsung masuk ke dalam ruangannya.Wanita itu memasukkan beberapa barang pribadinya ke dalam goodie bag besar, beruntung barang-barangnya tidak terlalu banyak.Tidak terasa Aldara sudah menghabiskan banyak waktu untuk membereskan ruangannya, hingga tiba-tiba pintu ruangannya dibuka paksa yang sontak saja membuatnya terkejut."P-Pak Alastair," gumam wanita itu dengan suara terbata-bata.Tubuh mungilnya kembali bergetar. Ah, bahkan kemarin keduanya sangat manis. Beberapa hari lalu Aldara merasa nyaman berada satu ruangan dengan Alastair tanpa takut apapun.Termasuk takut dilece
"Anak laki-laki yang diolok-olok di depan warga sekolah, mengalami perundungan bahkan sampai ke fisik hingga menyebabkan ia harus pindah ke luar negeri," ujar Alastair sambil condong ke arah Aldara yang masih menunduk. "Lima hari setelah peristiwa itu, dia pergi dari sekolah tanpa pamit pada semua orang, termasuk kepada seorang siswi perempuan yang bernama... Aldara Maharani."Tubuh Aldara masih bergetar hebat, beberapa kali kepalanya tampak menggeleng."Sudah ingat?" tanya Alastair.Ingatan Aldara membawanya pada kejadian sepuluh tahun silam, seorang anak laki-laki asing datang membawa setangkai bunga mawar merah kepadanya.Anak laki-laki itu berjalan dengan kepala menunduk, setiap langkahnya disoraki oleh semua siswa. Aldara yang bingung saat anak laki-laki itu menyatakan perasaan cinta padanya hanya bisa tercenung."Apa kau mau jadi kekasihku?" tanya anak laki-laki itu, entah sudah yang ke berapa kalinya.Aldara tidak terlalu mengenalnya, karena selama SMA ia hanya fokus pada Rangg
Alastair kembali ke ruangannya dengan langkah lesu. Ia duduk di sofa panjang sambil memijit pelipis yang terasa pening."Bukankah seharusnya aku senang? Mengapa malah memikirkan hal ini?" batin Alastair.Pikirannya seakan tidak bisa dikendalikan, bahkan hatinya terasa pedih terbayang tangis Aldara beberapa saat yang lalu."Aku tidak boleh begini!" Pria itu segera bangkit menuju kursi kebesarannya. Tangannya mulai mengutak-atik laptop dan mengecek beberapa surel.Namun, semua itu nyatanya tidak mampu menenangkan pikirannya. Ia tetap was-was, khawatir akan terjadi sesuatu pada Aldara di luar sana.'Bagaimana kalau Aldara kembali didekati Rangga?' batinnya dengan kepala yang refleks mendongak."Aaargh!" Pria itu meraup wajah menggunakan kedua telapak tangan. Kegundahan itu semakin menyelimuti hatinya.Ah, ia sendiri pun bingung. Sejak kapan ia menggunakan perasaan? Bukankah selama ini dirinya tidak pernah peduli?Alastair menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Kelopak matanya terpejam