Maaf masih banyak typo. Nanti saya revisi lagi, teman-teman. Happy reading. Salam sayang.
Aldara membuka mata dan merasakan kepalanya masih sangat berat, pandangannya menelisik ke seluruh kamar dengan kening mengerut.Kosong. Tidak ada siapapun di kamar luas ini, ia segera bangun. Detik itu juga bola matanya melotot lebar saat selimut terbuka dan tubuh polosnya terekspos."Astaga!" pekiknya dan segera membungkus lagi tubuhnya.Pikirannya melayang, membawa angan pada kejadian semalam. Benaknya berusaha merangkai kepingan ingatan, hingga perlahan-lahan kejadian semalam berhasil diingatnya."A-Aku ... aku sudah menyerahkannya?"Cairan bening kembali luruh dari pelupuk mata cantik itu, merasakan getir di hatinya saat mendapati fakta bahwa Alastair tega membuatnya mabuk.Aldara berpikir kalau Alastair sudah benar-benar berubah, sikap baik dan lemah lembutnya akhir-akhir ini sering membuatnya tersenyum. Yeah, wanita itu harus jujur kalau beberapa bulan terakhir ini ia tidak terlalu tertekan bekerja dengan Alastair.Namun, siapa sangka kalau itu hanya kedok? Alastair tetap lah p
Pagi ini Aldara datang dengan sisa kekuatan yang masih ada pada dirinya, kaki jenjangnya melangkah lesu menapaki lantai gedung kantor tempatnya bekerja.Tangannya memegang map berisi berkas pengunduran diri. Pokoknya bisa tidak bisa ia harus keluar dari perusahaan ini dan pergi jauh dari kehidupan Alastair."Sepertinya masih lama Pak Alastair datangnya, lebih baik aku membereskan ruanganku dulu," gumam Aldara dan langsung masuk ke dalam ruangannya.Wanita itu memasukkan beberapa barang pribadinya ke dalam goodie bag besar, beruntung barang-barangnya tidak terlalu banyak.Tidak terasa Aldara sudah menghabiskan banyak waktu untuk membereskan ruangannya, hingga tiba-tiba pintu ruangannya dibuka paksa yang sontak saja membuatnya terkejut."P-Pak Alastair," gumam wanita itu dengan suara terbata-bata.Tubuh mungilnya kembali bergetar. Ah, bahkan kemarin keduanya sangat manis. Beberapa hari lalu Aldara merasa nyaman berada satu ruangan dengan Alastair tanpa takut apapun.Termasuk takut dilece
"Anak laki-laki yang diolok-olok di depan warga sekolah, mengalami perundungan bahkan sampai ke fisik hingga menyebabkan ia harus pindah ke luar negeri," ujar Alastair sambil condong ke arah Aldara yang masih menunduk. "Lima hari setelah peristiwa itu, dia pergi dari sekolah tanpa pamit pada semua orang, termasuk kepada seorang siswi perempuan yang bernama... Aldara Maharani."Tubuh Aldara masih bergetar hebat, beberapa kali kepalanya tampak menggeleng."Sudah ingat?" tanya Alastair.Ingatan Aldara membawanya pada kejadian sepuluh tahun silam, seorang anak laki-laki asing datang membawa setangkai bunga mawar merah kepadanya.Anak laki-laki itu berjalan dengan kepala menunduk, setiap langkahnya disoraki oleh semua siswa. Aldara yang bingung saat anak laki-laki itu menyatakan perasaan cinta padanya hanya bisa tercenung."Apa kau mau jadi kekasihku?" tanya anak laki-laki itu, entah sudah yang ke berapa kalinya.Aldara tidak terlalu mengenalnya, karena selama SMA ia hanya fokus pada Rangg
Alastair kembali ke ruangannya dengan langkah lesu. Ia duduk di sofa panjang sambil memijit pelipis yang terasa pening."Bukankah seharusnya aku senang? Mengapa malah memikirkan hal ini?" batin Alastair.Pikirannya seakan tidak bisa dikendalikan, bahkan hatinya terasa pedih terbayang tangis Aldara beberapa saat yang lalu."Aku tidak boleh begini!" Pria itu segera bangkit menuju kursi kebesarannya. Tangannya mulai mengutak-atik laptop dan mengecek beberapa surel.Namun, semua itu nyatanya tidak mampu menenangkan pikirannya. Ia tetap was-was, khawatir akan terjadi sesuatu pada Aldara di luar sana.'Bagaimana kalau Aldara kembali didekati Rangga?' batinnya dengan kepala yang refleks mendongak."Aaargh!" Pria itu meraup wajah menggunakan kedua telapak tangan. Kegundahan itu semakin menyelimuti hatinya.Ah, ia sendiri pun bingung. Sejak kapan ia menggunakan perasaan? Bukankah selama ini dirinya tidak pernah peduli?Alastair menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Kelopak matanya terpejam
Alastair pulang ke apartemen ketika waktu menunjukkan dini hari. Pria itu tampak acak-acakan. Kakinya melangkah menuju kamar yang pernah ditempati Aldara, ia langsung menghempaskan tubuh di ranjang putih itu.Gelak tawa terdengar memenuhi kamar bernuansa putih itu. Sesekali, pria itu akan meracau tidak jelas dan meneriakkan nama Aldara."Aku yang berniat menjeratmu, tapi kenapa akhirnya kau yang malah menjeratku, Dara?! Akh, benci... aku tidak suka seperti ini," gumam pria itu.Detik jam menjadi pengisi kesunyian, suara gelak tawa sayup-sayup berganti menjadi suara rintihan. Bibir itu merintih, memanggil nama wanita yang telah ia sakiti beberapa saat lalu."Tidak seharusnya aku merindukanmu, Dara. Seharusnya aku membencimu," batin Alastair tanpa sadar.Alastair baru saja menenggak satu botol wine karena kekacauan di dalam kepalanya. Berisik dan membuat pria itu tidak nyaman.Banyak suara sumbang yang terasa terus menelan kepalanya, semakin lama semakin sakit dan memaksanya untuk memej
Perusahaan Wilson | Ruang Kerja Alastair.Pria itu seakan kehilangan semangat hidup setelah satu minggu tidak mendapat kabar dari anak buahnya yang ditugaskan untuk mencari Aldara.Ernest mengatakan Aldara pergi ke luar kota untuk bekerja, tetapi setelah dicari ke kota manapun, tidak ada hasil. Bahkan nomor sang mantan sekretaris juga tidak aktif sampai detik ini."Ke mana sebenarnya?!" pekiknya.Raymond yang sedari tadi berada di ruangan luas itu hanya mampu menggeleng. Tatapan tajam itu begitu muak melihat Alastair yang tiba-tiba lemas seperti orang yang belum makan selama satu minggu.Namun, bukankah perumpamaan itu benar?Aldara yang biasanya memberikan semangat kepada Alastair, kini harus berpuasa saat wanita itu seakan hilang ditelan bumi. Bahkan Alastair beberapa kali kehilangan fokus saat rapat, sehingga ia harus menanggung kerugian besar karena klien membatalkan kerjasama.BRAKK!"Heh! Kenapa kau menggebrak meja seperti itu?!" sentak Raymond yang terkejut karena suara keras t
Pagi ini, Aldara bangun lebih awal karena sejak kemarin wanita itu tidur terus. Ia langsung menuju dapur dan melihat Bibi sedang mengepel. Tanpa pikir panjang, wanita itu pun langsung membantu Bibi beres-beres, meskipun perutnya masih tidak nyaman dan terasa ingin muntah lagi."Bu, istirahat saja. Ibu masih sakit, jangan dipaksain," ujar Bibi dengan lembut sambil merebut kain lap yang dipegang Aldara. Wanita paruh baya itu menuntun Aldara untuk duduk di kursi."Wajah Ibu masih pucat, takutnya nanti semakin lemas. Lebih baik sekarang Ibu sarapan dulu, ya. Bibi siapkan dulu makanannya," ujar Bibi dengan lembut."Jangan seperti ini, Bi. Saya segan kalau Bibi begini."Wanita paruh baya itu mengulas senyum manis. "Pokoknya, Bu Aldara diam saja di sini. Bibi siapkan dulu makanannya. Kebetulan tadi Bibi bikin nasi goreng setelah bangun tidur."Aldara hendak menyahut, tetapi Bibi sudah berbalik badan dan beranjak menuju meja makan. Tidak seberapa lama kemudian, Bibi datang lagi dengan membawa
Sepanjang perjalanan pulang, Aldara terus menangis di dalam taksi. Wanita itu tidak menghiraukan supir taksi yang sedari tadi mencuri pandang dari spion. Ia hanya butuh pelampiasan, melupakan segala sesak yang menghimpit dadanya.'Apa aku bisa bertahan dengan janin ini?' batin Aldara.Mungkin Aldara tidak akan memberi tahu Alastair tentang janin yang dikandungnya, wanita itu memilih membesarkannya sendiri.'Karena aku pun sudah tidak mau bertemu dengan Pak Alastair!' batinnya lagi, saat perasaan nyeri itu kembali hadir.Aldara melemparkan pandangannya ke luar kaca, entah sudah ke berapa kalinya ia menghela napas kasar. Namun, nyatanya kepedihan ini tidak kunjung mereda.'Aku pernah dituduh mandul dan dikhianati oleh cinta pertamaku, padahal aku tidak seperti itu. Aku pergi dan akhirnya terjebak dengan seorang pria yang hanya terobsesi dengan dendamnya. Aku terima semuanya, bahkan aku menerima semua pelecahan itu demi mendapatkan uang,' batin Aldara.Air mata semakin menganak sungai saa