Sepanjang perjalanan pulang, Aldara terus menangis di dalam taksi. Wanita itu tidak menghiraukan supir taksi yang sedari tadi mencuri pandang dari spion. Ia hanya butuh pelampiasan, melupakan segala sesak yang menghimpit dadanya.'Apa aku bisa bertahan dengan janin ini?' batin Aldara.Mungkin Aldara tidak akan memberi tahu Alastair tentang janin yang dikandungnya, wanita itu memilih membesarkannya sendiri.'Karena aku pun sudah tidak mau bertemu dengan Pak Alastair!' batinnya lagi, saat perasaan nyeri itu kembali hadir.Aldara melemparkan pandangannya ke luar kaca, entah sudah ke berapa kalinya ia menghela napas kasar. Namun, nyatanya kepedihan ini tidak kunjung mereda.'Aku pernah dituduh mandul dan dikhianati oleh cinta pertamaku, padahal aku tidak seperti itu. Aku pergi dan akhirnya terjebak dengan seorang pria yang hanya terobsesi dengan dendamnya. Aku terima semuanya, bahkan aku menerima semua pelecahan itu demi mendapatkan uang,' batin Aldara.Air mata semakin menganak sungai saa
Alastair dan Raymond benar-benar turun ke jalanan, kedua pria itu menyusuri gang-gang sempit guna bisa menemukan Aldara."Kalau kita tidak bisa menemukannya, aku akan menekan Ernest. Pokoknya aku harus segera bertemu Aldara," gumam Alastair.Raymond tidak menyahut, meskipun pria itu juga bingung, kenapa Alastair sangat terobsesi untuk menemukan wanita itu."Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi, Ray."Raymond menoleh, cengkeraman tangannya pada setir bertambah erat sambil menghela napas kasar."Kau buru-buru ingin menemukan Aldara, bukan berniat untuk menyiksanya 'kan?" tanya Raymond yang tidak mendapat sahutan.Bahkan sekadar gelengan atau anggukan juga tidak. Alastair masih bingung dengan perasaannya, yang ia tahu hanya menginginkan Aldara segera kembali."Aku tidak mau membantumu kalau kau melakukan pencarian hanya karena ingin kembali menjerat Aldara, Al," desis Raymond.Alastair menggeleng, tetapi bibirnya tetap bungkam.Detik waktu berputar kian cepat, selama itu pula pikiran
Pencarian malam ini tidak membawa hasil apa-apa, Alastair harus pulang dengan menelan kekecewaan saat ia dan Raymond tidak bisa menemukan Aldara.[Besok datang ke kantor, Al. Temani Papa untuk meeting.]Sebuah pesan dari sang papa membuat Alastair mendengus. Sudah hampir satu bulan ia tidak masuk kantor, dan selama itu pula papanya lah yang mengurus semua pekerjaan."Malas sekali rasanya," gumam Alastair.Pria itu menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang, manik matanya menatap kosong ke arah langit-langit kamar.'Aku merindukan Aldara, dan besok aku akan bekerja tanpanya,' batin Alastair.Ruangannya menjadi saksi awal pertemuan mereka, setiap sudut ruangan pernah ia gunakan untuk menjamah Aldara. Mustahil Alastair lupa hal itu.Helaan napas kasar terdengar begitu berat, wajah tampan itu terlihat sangat frustasi saat membayangkan beberapa minggu lalu Aldara yang masih menemaninya.Tangannya merogoh saku celana, Alastair mengambil ponsel dan melihat foto Aldara yang ia gunakan sebagai wall
Satu minggu berlalu dan hari ini Rangga dipanggil untuk menghadap Anthony ke ruangannya, pria itu melangkah dengan tegap dan dagu terangkat, membayangkan kalau atasannya akan memberikan promosi.Rangga duduk di hadapan Anthony dengan senyum merekah yang menghiasi bibirnya, meskipun tidak mendapati raut bersahabat di wajah atasannya itu, ia tetap berusaha menampilkan senyum semanis mungkin."Kau tahu kenapa aku memanggilmu?"Rangga menggeleng. "Maaf, Pak. Saya tidak tahu.""Aku sudah berdiskusi dengan putraku selaku pemegang pimpinan tertinggi di perusahaan ini, dan kami sepakat mengeluarkan surat ini." Anthony menyodorkan sebuah map yang langsung diambil oleh Rangga.Pria itu masih mempertahankan senyumannya, hingga saat tangannya membuka map itu dan membaca deret kalimat yang tertera di sana, sejurus kemudian matanya membelalak lebar."Pe-Pengunduran diri?" gumam Rangga.Jantungnya berpacu lebih cepat melihat atasannya memberikan berkas itu."Maaf, Pak. Apa kesalahan saya sehingga Bap
Rangga masuk ke dalam kamar, ia tidak mendapati Clarissa di sana, entah ke mana perginya wanita itu. Langkah kakinya beranjak ke lemari yang ada di pojok kamar, ia membukanya dan mencari berkas-berkas penting yang akan digunakan untuk melamar pekerjaan."Apes sekali nasibku. Pak Alex yang mengajak korupsi, tapi aku yang dikeluarkan dari perusahaan," gerutunya sambil terus mengobrak-abrik tumpukan berkas.Rangga mengeluarkan ijazah dan beberapa berkas penting lainnya, hingga tanpa sengaja netranya menangkap sebuah amplop putih bertuliskan nama dan logo rumah sakit.Keningnya mengerut bingung, tetapi ia tetap mengambil amplop itu dan perlahan membukanya."Hasil lab kesuburan?" gumamnya saat membaca kalimat pertama yang tertera di sana.Dengan cepat Rangga mengeluarkan kertas yang ada di dalam amplop itu, degup jantungnya naik sekian kali lipat saat menyadari isinya adalah hasil lab kesuburan yang ia lakukan bersama Aldara satu tahun lalu.Rangga membaca deret kalimat yang tertera pada ke
Berbeda dengan Rangga dan Alastair yang tampak menuai karma dari sikapnya di masa lalu, Aldara malah tampak bahagia saat pagi ini Kenneth membelikannya rujak mangga.Sejak semalam Aldara ingin makan rujak mangga, tetapi ia takut kalau keluar malam di daerah sini.Bak Dewa Penolong, Kenneth datang berkunjung dan membawa dua box rujak mangga. Padahal Aldara tidak bilang, bahkan ia juga tidak cerita kepada Bibi."Kamu suka rujak mangga, Ra?" tanya Kenneth dengan senyum manis di bibirnya.Sedari tadi Kenneth terus memperhatikan Aldara, ia kagum pada kegigihan dan kesederhanaan Aldara. Tanpa disadari benih-benih cinta mulai tumbuh di hati pria itu."Aku suka. Kebetulan sejak semalam pengen makan rujak mangga, tapi nggak tahu harus beli di mana." Aldara kembali menyuap satu potong mangga muda ke dalam mulutnya. "Sebenarnya tadi mau titip mangga waktu Bibi ke pasar, tapi ternyata kamu sudah bawakan."Aldara juga sudah terbiasa dengan Kenneth karena mereka berdua sering bertemu setiap hari. Ke
"Kau mengandung anaknya Alastair? Jadi, malam itu ....""Benar, Pak. Dua minggu setelah saya pergi, saya baru tahu kalau di dalam rahim saya bersemayam benih Pak Alastair. Makanya saya pergi jauh mencari perlindungan untuk kami berdua, saya takut Pak Alastair meminta untuk menggugurkan janin ini kalau tahu saya hamil," jelas Aldara dengan suara lirih.Wanita itu mengelus lembut perutnya yang masih rata, bibirnya memaksa senyum meskipun hatinya sangat terluka."Biarkan saya melanjutkan hidup di sini, saya tidak akan kembali ke kota itu. Tolong Bapak jangan beri tahu Pak Alastair tentang pertemuan kita, saya ... tidak mau bertemu dengannya."Raymond memejamkan mata saat melihat Aldara menitikkan air mata, pria itu dapat merasakan seperti apa beratnya Aldara menjalani kehamilan ini sendirian."Jika Anda memberitahu Pak Alastair, saya akan segera pergi dari kota ini. Dan mungkin, kalian tidak bisa lagi menemukan saya di dunia ini," bisik Aldara sambil mengelap lelehan air mata di pipi."Ak
Alastair kembali ke apartemennya dengan beban pikiran yang sangat banyak. Dia mendudukkan diri di sofa dengan napas yang terdengar kasar. "Aldara seperti hilang begitu saja, ke mana lagi aku harus mencarinya?" gumamnya. Dia memutuskan untuk pergi mencari hiburan, karena tidak tahan dengan keadaan seperti ini. Terlebih lagi, Raymond tidak ada di sampingnya sekarang, sehingga tidak ada yang bisa menghiburnya. Alastair memarkirkan mobilnya di depan Rose Hotel, dia sengaja datang ke sini untuk mengenang malam-malam indah bersama Aldara dulu. Dia bingung dengan tekanan untuk bertanggung jawab, yang semakin membuatnya merindukan Aldara. "Bukankah itu ... Rangga?" gumam Alastair sambil mengerutkan keningnya. Dia memperhatikan dengan seksama pria yang berdiri di balik meja resepsionis, dia ingat betul wajah itu adalah wajah yang pernah menatapnya dengan sinis. "Ternyata dia sekarang bekerja di sini setelah dipecat Papa," gumam Alastair sambil terkekeh lirih. Dia melangkah masuk, berhen