Alastair kembali ke ruangannya dengan langkah lesu. Ia duduk di sofa panjang sambil memijit pelipis yang terasa pening."Bukankah seharusnya aku senang? Mengapa malah memikirkan hal ini?" batin Alastair.Pikirannya seakan tidak bisa dikendalikan, bahkan hatinya terasa pedih terbayang tangis Aldara beberapa saat yang lalu."Aku tidak boleh begini!" Pria itu segera bangkit menuju kursi kebesarannya. Tangannya mulai mengutak-atik laptop dan mengecek beberapa surel.Namun, semua itu nyatanya tidak mampu menenangkan pikirannya. Ia tetap was-was, khawatir akan terjadi sesuatu pada Aldara di luar sana.'Bagaimana kalau Aldara kembali didekati Rangga?' batinnya dengan kepala yang refleks mendongak."Aaargh!" Pria itu meraup wajah menggunakan kedua telapak tangan. Kegundahan itu semakin menyelimuti hatinya.Ah, ia sendiri pun bingung. Sejak kapan ia menggunakan perasaan? Bukankah selama ini dirinya tidak pernah peduli?Alastair menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Kelopak matanya terpejam
Alastair pulang ke apartemen ketika waktu menunjukkan dini hari. Pria itu tampak acak-acakan. Kakinya melangkah menuju kamar yang pernah ditempati Aldara, ia langsung menghempaskan tubuh di ranjang putih itu.Gelak tawa terdengar memenuhi kamar bernuansa putih itu. Sesekali, pria itu akan meracau tidak jelas dan meneriakkan nama Aldara."Aku yang berniat menjeratmu, tapi kenapa akhirnya kau yang malah menjeratku, Dara?! Akh, benci... aku tidak suka seperti ini," gumam pria itu.Detik jam menjadi pengisi kesunyian, suara gelak tawa sayup-sayup berganti menjadi suara rintihan. Bibir itu merintih, memanggil nama wanita yang telah ia sakiti beberapa saat lalu."Tidak seharusnya aku merindukanmu, Dara. Seharusnya aku membencimu," batin Alastair tanpa sadar.Alastair baru saja menenggak satu botol wine karena kekacauan di dalam kepalanya. Berisik dan membuat pria itu tidak nyaman.Banyak suara sumbang yang terasa terus menelan kepalanya, semakin lama semakin sakit dan memaksanya untuk memej
Perusahaan Wilson | Ruang Kerja Alastair.Pria itu seakan kehilangan semangat hidup setelah satu minggu tidak mendapat kabar dari anak buahnya yang ditugaskan untuk mencari Aldara.Ernest mengatakan Aldara pergi ke luar kota untuk bekerja, tetapi setelah dicari ke kota manapun, tidak ada hasil. Bahkan nomor sang mantan sekretaris juga tidak aktif sampai detik ini."Ke mana sebenarnya?!" pekiknya.Raymond yang sedari tadi berada di ruangan luas itu hanya mampu menggeleng. Tatapan tajam itu begitu muak melihat Alastair yang tiba-tiba lemas seperti orang yang belum makan selama satu minggu.Namun, bukankah perumpamaan itu benar?Aldara yang biasanya memberikan semangat kepada Alastair, kini harus berpuasa saat wanita itu seakan hilang ditelan bumi. Bahkan Alastair beberapa kali kehilangan fokus saat rapat, sehingga ia harus menanggung kerugian besar karena klien membatalkan kerjasama.BRAKK!"Heh! Kenapa kau menggebrak meja seperti itu?!" sentak Raymond yang terkejut karena suara keras t
Pagi ini, Aldara bangun lebih awal karena sejak kemarin wanita itu tidur terus. Ia langsung menuju dapur dan melihat Bibi sedang mengepel. Tanpa pikir panjang, wanita itu pun langsung membantu Bibi beres-beres, meskipun perutnya masih tidak nyaman dan terasa ingin muntah lagi."Bu, istirahat saja. Ibu masih sakit, jangan dipaksain," ujar Bibi dengan lembut sambil merebut kain lap yang dipegang Aldara. Wanita paruh baya itu menuntun Aldara untuk duduk di kursi."Wajah Ibu masih pucat, takutnya nanti semakin lemas. Lebih baik sekarang Ibu sarapan dulu, ya. Bibi siapkan dulu makanannya," ujar Bibi dengan lembut."Jangan seperti ini, Bi. Saya segan kalau Bibi begini."Wanita paruh baya itu mengulas senyum manis. "Pokoknya, Bu Aldara diam saja di sini. Bibi siapkan dulu makanannya. Kebetulan tadi Bibi bikin nasi goreng setelah bangun tidur."Aldara hendak menyahut, tetapi Bibi sudah berbalik badan dan beranjak menuju meja makan. Tidak seberapa lama kemudian, Bibi datang lagi dengan membawa
Sepanjang perjalanan pulang, Aldara terus menangis di dalam taksi. Wanita itu tidak menghiraukan supir taksi yang sedari tadi mencuri pandang dari spion. Ia hanya butuh pelampiasan, melupakan segala sesak yang menghimpit dadanya.'Apa aku bisa bertahan dengan janin ini?' batin Aldara.Mungkin Aldara tidak akan memberi tahu Alastair tentang janin yang dikandungnya, wanita itu memilih membesarkannya sendiri.'Karena aku pun sudah tidak mau bertemu dengan Pak Alastair!' batinnya lagi, saat perasaan nyeri itu kembali hadir.Aldara melemparkan pandangannya ke luar kaca, entah sudah ke berapa kalinya ia menghela napas kasar. Namun, nyatanya kepedihan ini tidak kunjung mereda.'Aku pernah dituduh mandul dan dikhianati oleh cinta pertamaku, padahal aku tidak seperti itu. Aku pergi dan akhirnya terjebak dengan seorang pria yang hanya terobsesi dengan dendamnya. Aku terima semuanya, bahkan aku menerima semua pelecahan itu demi mendapatkan uang,' batin Aldara.Air mata semakin menganak sungai saa
Alastair dan Raymond benar-benar turun ke jalanan, kedua pria itu menyusuri gang-gang sempit guna bisa menemukan Aldara."Kalau kita tidak bisa menemukannya, aku akan menekan Ernest. Pokoknya aku harus segera bertemu Aldara," gumam Alastair.Raymond tidak menyahut, meskipun pria itu juga bingung, kenapa Alastair sangat terobsesi untuk menemukan wanita itu."Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi, Ray."Raymond menoleh, cengkeraman tangannya pada setir bertambah erat sambil menghela napas kasar."Kau buru-buru ingin menemukan Aldara, bukan berniat untuk menyiksanya 'kan?" tanya Raymond yang tidak mendapat sahutan.Bahkan sekadar gelengan atau anggukan juga tidak. Alastair masih bingung dengan perasaannya, yang ia tahu hanya menginginkan Aldara segera kembali."Aku tidak mau membantumu kalau kau melakukan pencarian hanya karena ingin kembali menjerat Aldara, Al," desis Raymond.Alastair menggeleng, tetapi bibirnya tetap bungkam.Detik waktu berputar kian cepat, selama itu pula pikiran
Pencarian malam ini tidak membawa hasil apa-apa, Alastair harus pulang dengan menelan kekecewaan saat ia dan Raymond tidak bisa menemukan Aldara.[Besok datang ke kantor, Al. Temani Papa untuk meeting.]Sebuah pesan dari sang papa membuat Alastair mendengus. Sudah hampir satu bulan ia tidak masuk kantor, dan selama itu pula papanya lah yang mengurus semua pekerjaan."Malas sekali rasanya," gumam Alastair.Pria itu menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang, manik matanya menatap kosong ke arah langit-langit kamar.'Aku merindukan Aldara, dan besok aku akan bekerja tanpanya,' batin Alastair.Ruangannya menjadi saksi awal pertemuan mereka, setiap sudut ruangan pernah ia gunakan untuk menjamah Aldara. Mustahil Alastair lupa hal itu.Helaan napas kasar terdengar begitu berat, wajah tampan itu terlihat sangat frustasi saat membayangkan beberapa minggu lalu Aldara yang masih menemaninya.Tangannya merogoh saku celana, Alastair mengambil ponsel dan melihat foto Aldara yang ia gunakan sebagai wall
Satu minggu berlalu dan hari ini Rangga dipanggil untuk menghadap Anthony ke ruangannya, pria itu melangkah dengan tegap dan dagu terangkat, membayangkan kalau atasannya akan memberikan promosi.Rangga duduk di hadapan Anthony dengan senyum merekah yang menghiasi bibirnya, meskipun tidak mendapati raut bersahabat di wajah atasannya itu, ia tetap berusaha menampilkan senyum semanis mungkin."Kau tahu kenapa aku memanggilmu?"Rangga menggeleng. "Maaf, Pak. Saya tidak tahu.""Aku sudah berdiskusi dengan putraku selaku pemegang pimpinan tertinggi di perusahaan ini, dan kami sepakat mengeluarkan surat ini." Anthony menyodorkan sebuah map yang langsung diambil oleh Rangga.Pria itu masih mempertahankan senyumannya, hingga saat tangannya membuka map itu dan membaca deret kalimat yang tertera di sana, sejurus kemudian matanya membelalak lebar."Pe-Pengunduran diri?" gumam Rangga.Jantungnya berpacu lebih cepat melihat atasannya memberikan berkas itu."Maaf, Pak. Apa kesalahan saya sehingga Bap
Alastair terkejut Bukan main saat membaca pesan dari papanya, pria itu tidak menyangka sang papa mengambil keputusan setegas itu.[Papa masih ada hati untuk tidak memenjarakan mamamu, Al. Ini sudah keputusan yang terbaik, setelah ini papa akan pulang ke Indonesia dan melanjutkan hidup sendiri. Semoga kamu bahagia, ya, di sana.] tulis Anthony yang semakin napas Alastair tercekat.Dia memang sudah mengatakan akan menatap di Jerman setelah menikahi Aldara. Anthony tidak masalah, malah mendukung keputusannya. "Ada apa, Al?" tanya Aldara yang sontak membuat tubuh pria tampan itu berbalik. "Sudah lima belas menit kamu diam saja di balkon, memangnya nggak dingin?"Alastair mengulas senyum, tangannya memasukkan ponsel ke dalam saku sambil merangkul bahu istrinya. "Tidak, pemandangan di sini indah sekali, Ra. Aku nggak sadar sudah berdiri cukup lama. Maaf, ya," kata Alastair.Dia belum sanggup untuk mengatakan apa yang sudah terjadi selama satu malam ini, takut moment malam pertama mereka ak
Mobil Anthony sudah berhenti di depan hotel, ia lekas masuk dan Elle mengikutinya dari belakang. Sampai di dalam kamar, Anthony langsung mengunci pintu dan meminta istrinya untuk duduk di sofa. "Ada apa, Pa? Katanya tadi mau foto sama Alastair dan Aldara? Kok malah ngajak balik ke hotel?" Pria paruh baya itu tidak menyahut, tangannya mengambil sebuah map yang ada di dalam koper. Kemudian melemparkannya ke depan Elle. "Tandatangani surat itu," katanya. "Apa ini, Pa?" tanya Elle sambil tangannya membuka map tersebut. Kedua matanya membelalak lebar dengan mulut menganga. "Akta cerai?" gumamnya dengan jantung berdegup kencang. Wanita paruh baya itu menggelengkan kepala, netranya terus membaca deret huruf yang ada di sana. Terdapat namanya dan nama sang suami. Kapan suaminya mengurus ini semua? Kenapa dia tidak tahu? "Kamu sudah nggak nurut sama aku, Ma. Aku nggak bisa mempertahankan hubungan yang seperti ini. Aku merasa tidak dihormati sebagai laki-laki, lebih baik kita berpi
"Aaargh ...!" Virly berteriak histeris saat melihat Megan ditembak tepat di jantung. Tubuhnya menggigil tak tertahan, keringat dingin semakin mengucur deras dari pelipisnya.Ia tidak bisa kabur, tidak ada celah untuk keluar dari ruang bawah tanah ini. Niatnya menghabisi Aldara, malah nasibnya yang akan berakhir mengenaskan di sini.Virly semakin gemetar saat bodyguard perempuan berjalan ke arahnya. Tubuhnya digelandang ke tempat di mana Megan dieksekusi lagi, bibirnya terus memohon untuk dilepaskan, tetapi Alastair seolah menutup telinganya. "Kita pernah tunggu bersama, Al. Kita satu kakek dan aku ini saudaramu. Kamu tega padaku? Kamu tega Mommy Sarah kehilangan anaknya dengan cara mengerikan ini?" ruang Virly dengan wajah berderai air mata. "Aku tidak akan begini kalau kau tidak memulainya. Apa kau lupa telah berbuat jahat kepada Aldara? Maka nikmati saja karmamu," jawab Alastair.Wanita itu menggeleng, sorot matanya terus memohon. Namun, bodyguard-bodyguard perempuan itu telah me
"Alastair," gumam Virly, seringai senyum tercetak jelas di sudut bibirnya. "Wanita ini menghalangiku bertemu Ryu. Padahal aku hanya ingin menyapa keponakanku."Tidak ada sahutan dari Alastair, pria itu hanya melirik ke arah Anetha dengan tatapan datar."Mampus kau," bisik Megan tepat di samping telinga Anetha.Anetha enggan menanggapi, hingga Alastair tiba di tengah-tengah mereka."Kalian berdua, ayo ikut aku," kata Alastair kepada Virly dan Megan.Pria itu kembali membawa langkah panjang menuju luar gedung, membuat Virly dan Megan terpaksa mengikuti."Kita mau diajak ke mana?" tanya Virly saat Alastair hendak masuk ke dalam mobil."Tidak usah banyak tanya, lebih baik ikut saja."Kedua wanita itu saling berpandangan, tetapi tetap mengikuti Alastair yang sudah masuk ke dalam mobil. Kendaraan mewah itu membawa mereka ke kediaman Alastair, di sana meraka disambut oleh Ernest yang berdiri di tengah pintu.Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Alastair langsung keluar dan berjalan masuk. Lagi
"Kenapa, sih, anak itu nempel-nempel terus sama orang tuanya?" ucap Virly."Iya, kita jadi nggak bisa menjalankan rencana. Harusnya 'kan dia main sama temen-temennya yang lain," sahut Megan."Sudah nggak usah berdebat, nanti akan ada saatnya kita beraksi," timpal Elle. "Kalau tidak Ryu, kita bisa membawa Aldara. Toh Alastair sudah mengira mama baik, pasti dia nggak akan curiga kalau istrinya mama ajak pergi sebentar."Virly menghela napas kasar. "Gitu saja terus, ma. Tapi nggak pernah berhasil. Nyatanya Aldara tetap bisa bebas dan kembali sama Alastair, nanti kita juga yang kena imbas."Elle memelototkan matanya, membuat Virly menghela napas kasar. Ia sudah lelah dengan rencana Elle yang tidak pernah berhasil, tetapi ia juga tidak mungkin mau menolak.Sementara Megan sibuk berperang dengan pikirannya sendiri. Kalau Aldara dibunuh, lalu Alastair untuk siapa? Sudah jelas ia akan kembali saingan dengan Virly. Namun, kalau tidak bekerjasama juga ia tidak sanggup sendirian.'Jalanku untuk
Di gerbang sebelah selatan, seorang anak laki-laki sedang menunggu kedatangan temannya. Akira, gadis kecil berusia sepantaran Ryu.Meskipun ia terlihat dingin dan terkesan angkuh, tetapi nyatanya ia selalu merindukan Akira. Bukan rindu layaknya kepada teman sepermainan, tetapi kerinduan lain yang membuat Ryu resah dan selalu terbayang wajah gadis kecil itu.'Kok nggak sampai-sampai? Padahal papa sudah mengundang. Masa nggak tahu gedungnya?' batin Ryu yang semakin resah.Ryu tidak punya banyak teman akrab di sini, wajar saja ia merindukan Akira. Setiap hari membayangkan Akira, membuat anak laki-laki itu terobsesi dengan temannya.Hingga sebuah suara bariton memecah lamunan Ryu, kepalanya menoleh dan mendapati dua orang laki-laki asing sedang berbincang dari balik pot besar tempatnya bersandar.'Pakai Bahasa Indonesia? Apa mereka temannya mama?' batin Ryu sambil memperhatikan dua pria itu.Ia hendak mendekat dan ingin menyapa, tetapi urung saat mendengar satu pria itu berkata, "kita ngg
Aldara berdandan sangat cantik untuk acara malam ini. Tubuh mungilnya dibalut gaun bertabur swarovski, tampak megah dan sangat mempesona."Cantik," bisik Alastair sambil memeluk tubuh Aldara dari belakang.Pria itu mekanika kecupan pada pundak Aldara yang terekspose, membuat wanita itu terkekeh karena merasa geli."Aku sudah siap untuk malam ini, Al. Ryu sudah ku pakaian kalungnya, begitu juga denganku. Tapi mau seperti apapun, aku berharap semuanya baik-baik saja," bisik Aldara.Siapa yang menyangka di dalam kalung berlian itu terdapat alat GPS yang berukuran sebagai kecil? Hal itu disiapkan Alastair untuk melindungi keluarganya."Ayo kita turun, kita harus tampil mesra agar orang-orang iri itu semakin panas."Wanita cantik dengan rambut digerai itu mengangguk, ia terus mempertahankan senyuman selama langkahnya menuju ballroom.Alastair tampak memegang earphone, terdengar Ernest mengatakan Megan baru saja datang diikuti oleh Virly dan satu pria asing. Berarti Rangga akan menyelinap s
Megan dan Rangga baru saja tiba di bandara pagi ini, mereka sengaja datang terlambat agar Alastair tidak curiga. Keduanya akan menjalankan misi nanti malam, sementara Elle bersama suaminya sudah sampai di gedung lebih dulu."Kita akan ke hotel yang tidak jauh dari gedungnya. Saat nanti malam aku datang ke pesta, kau harus menyelinap ke dalam gedung dan menjalankan rencana. Pokoknya aku mau semua berjalan lancar," kata Megan.Ia dan Rangga mengendarai mobil, sesekali wanita itu akan berinteraksi dengan Elle tentang situasi di gedung pernikahan."Baik, Bu.""Nanti ada Juan yang akan membantu, jadi kau tidak perlu khawatir."Rangga mengangguk patuh, pria itu fokus melihat jam tangan seakan menunggu waktunya eksekusi.Sementara di gedung pernikahan, Alastair dan Aldara baru saja selesai akad. Dua pengantin itu duduk di atas pelaminan dengan raut bahagia, ada Ryu juga yang duduk di sana ditemani oleh Anetha.Alastair tampak beberapakali membenarkan letak earphone, pria itu memantau kabar d
Hari ini Aldara sudah diperbolehkan pulang, semua orang menyambut bahagia, terutama Ryu. Anak laki-laki itu terus di samping mamanya tidak mau berpisah sama sekali.Sementara Alastair langsung menuju gudang bawah tanah bersama Ernest, di sana seorang pria tengah duduk di kursi dengan kedua tangan terikat ke belakang."Tuan," bisik Juan dengan wajah memelas. "Maafkan saya, Tuan. Saya menyesal.Alastair tersenyum smirk. Ia sudah lama tidak berurusan dengan darah, melihat Juan seperti ini membuat jiwanya kembali bergejolak."Aku tidak mengenal kata maaf," desis Alastair seraya mendudukkan dirinya di kursi lai. "Dibayar berapa kau sama Megan?" tanyanya lagi.Juan langsung menyebutkan sebuah nominal, Alastair mengakui itu sangat fantastis. Pantas saja Juan mau jadi penyusup, bayarannya saja dua kali dari gaji yang diberikan Alastair."Lalu kenapa kau langsung mengaku? Bukankah seharusnya kau melindungi nama Megan?" tanya Alastair."Saya khilaf saat itu, Tuan. Saya buta karena uang dan tida