Stella terkejut dengan tuduhan itu. "Itu bukan seperti yang kamu pikirkan! Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku dan Daniel menyukai model dasi yang sama, dan itu stoknya tinggal satu. Jadi, sebagai gantinya aku terpaksa memilihkan dasi untuknya. Aku tidak tahu kalau dia itu kakakmu, Tristan." "Jadi kamu tidak tahu siapa dia? Kamu tidak tahu bahwa dia adalah kakakku? Apa kamu tidak sadar betapa dia mencoba mengganggu hidupku?" Tristan bertanya dengan nada penuh ketidakpercayaan. "Tristan, aku tidak tahu dia adalah bagian dari keluargamu sampai tadi malam ini! Bagaimana aku bisa tahu semua ini?" Stella merasa frustrasi, suaranya mulai bergetar. Tristan menggelengkan kepala, matanya penuh dengan kemarahan dan kekecewaan. "Kamu selalu punya alasan, Stella. Tapi kali ini, kamu sudah melampaui batas. Aku sudah memperingatkanmu untuk menjauh dari dia." "Aku tidak pernah bermaksud untuk melukai perasaanmu atau mengkhianati kepercayaanmu. Daniel hanya muncul begitu saja di hidupku, dan
Plak! Suara tamparan itu begitu keras memenuhi ruangan, membuat semua orang terdiam. Wajah Stella tertoleh ke samping, ruangan itu begitu hening, hanya terdengar suara tamparan menggema yang menyakitkan di antara mereka. Namun, Stella sama sekali tak merasakan sakit pada wajahnya. Stella begitu bingung, Tristan mengarahkan tangan kepadanya, tetapi dia tidak merasakan sakit akibat tamparan Tristan. Stella langsung membuka matanya yang sempat tertutup dan melihat ke arah Tristan kembali. Namun, yang dilihatnya membuatnya terkejut—pipi Tristan yang merah, dan ternyata Tristan menampar wajahnya sendiri. "Tristan, apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu menampar wajahmu sendiri?" tanya Stella dengan kedua mata yang sudah berkaca-kaca. Namun, Tristan hanya terdiam memandangnya. Almira, yang juga ikut kaget dengan tingkah kakaknya, berteriak, "Kak! Aku menyuruhmu untuk menampar wanita ini, bukan malah menampar dirimu sendiri!" Tristan lalu menatap ke arah adiknya, Almira. "Apa kamu suda
Seorang lelaki yang mengenakan jas berwarna hitam melangkahkan kakinya memasuki ballroom yang sudah sepi. Sorot matanya begitu teduh saat ia melihat sosok lelaki paruh baya yang tengah duduk di kursi sendirian, menatap ke luar jendela gedung. "Papa," sahut Daniel yang sudah berada di dekat ayahnya, Damian. "Kamu masih ingat bahwa aku ini ayahmu?" tanya Damian yang masih fokus menatap ke luar jendela tanpa melihat ke arah Daniel. "Pa, walau bagaimanapun juga, aku adalah anakmu," kata Daniel dengan suara pelan, mencoba menahan emosinya. Damian mengetuk jari jemarinya di kursi yang ia duduki. Ia tersenyum sinis sambil berkata, "Anak? Jadi, kamu masih ingat bahwa kamu adalah anakku? Lalu di mana kamu ketika perusahaan kita mengalami kebangkrutan? Kamu malah pergi begitu saja, meninggalkan rumah saat aku menyuruhmu tetap tinggal dan membantu menjalankan bisnis keluarga kita." Damian menatap tajam ke arah Daniel. "Kamu malah pergi meninggalkan kami yang sedang terpuruk dan malah mengej
Stella perlahan membuka matanya saat merasakan sinar matahari hangat menerpa wajahnya. Sepasang bola matanya mengerjap dengan gerakan pelan, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya pagi. Namun, ketenangannya segera terganggu oleh bunyi alarm yang keras dari jam di atas nakas. Dengan cepat, tangannya terulur meraih jam tersebut, mematikannya, lalu melemparnya ke samping tempat tidur. "Kepalaku pusing sekali," gumam Stella sambil menyentuh kepalanya yang terasa berat dan berdenyut. Wanita dengan rambut panjang sebahu yang masih acak-acakan khas bangun tidur itu menyibakkan selimutnya, bersiap turun dari kasur. Namun, rasa mual yang tiba-tiba menyerang membuatnya terhenti. "Hooekk! Hooeekkk!" Stella menutup mulutnya dengan tangan dan langsung berlari ke kamar mandi. "Hooeekk! Hooeekk!" Stella membuka kran wastafel, membasuh mulutnya yang terasa sangat mual. "Kenapa aku mual sekali?" gumam Stella sambil menatap wajahnya yang pucat di depan cermin. Pikirannya mencoba mencari jaw
Stella menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, "Elsa, aku hamil." Mata Elsa membulat karena terkejut. "Apa? Kamu yakin?" Stella mengangguk, menunjukkan hasil tes kehamilan yang masih tergeletak di meja. "Aku sudah memeriksanya beberapa kali. Semua hasilnya sama." Elsa mengambil beberapa test pack yang tergeletak di meja, sepasang matanya membulat sempurna ketika melihat dua garis pada setiap test pack tersebut. "Astaga, Stella, kenapa kamu bisa hamil? Anak siapa yang ada di dalam rahimmu? Apa anak Tristan?" Elsa menatap lekat ke arah Stella, mencari jawaban di mata sahabatnya. Stella tidak bisa menahan tangisnya lagi. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, air mata mengalir deras di pipinya. "Hiks! Aku ... aku tidak tahu harus berkata apa, Elsa," isaknya. Elsa menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sebelum berbicara lagi. Ia kemudian duduk di samping Stella, menggenggam tangan sahabatnya dengan erat. "Stella, kamu harus tenang. Ceritakan semuanya dari a
"Apa kamu tidak tahu bahwa Pak Samsul memutuskan kontrak kerja dengan perusahaan kita?" tanya Dafina. "Apa? Kenapa bisa Pak Samsul memutuskan kontrak kerja?" Stella bertanya dengan bingung. "Pak Samsul sudah tahu bahwa perusahaan kita sedang ada dalam masalah karena tidak bisa memenuhi tenggat waktu proyek. Begitu juga dengan para investor lainnya, mereka menarik saham mereka," jelas Dafina. Stella terdiam, mencoba mencerna informasi yang baru saja didengarnya. Masalah perusahaan ini tentu akan menambah beban pikiran Tristan, dan kabar tentang kehamilannya mungkin hanya akan memperkeruh suasana. "Bantu aku mengurus beberapa dokumen," pinta Dafina. Stella hanya mengangguk. Ketika melihat Dafina sudah kembali ke meja kerjanya, Stella melihat ke arah ruang kerja Tristan lagi. Ia lalu memandangi test pack yang ada di genggamannya. Mungkin untuk sekarang, Stella belum bisa memberitahu Tristan. Ia tak ingin menambah beban yang dimiliki oleh kekasihnya itu. Dengan berat hati, Stella
Stella mengepalkan tangannya dan meremas test pack yang ada di genggamannya ketika mendengar ponsel Tristan berbunyi begitu nyaring. "Sebentar, aku angkat telepon dulu," kata Tristan sambil mengangkat panggilan tersebut. Stella menghela napas gusar, memasukkan kembali test pack yang dibawanya ke dalam tasnya. ‘Mungkin ini bukan waktu yang tepat,’ gumam Stella dalam hatinya. Sebenarnya ia ingin mengungkapkan kehamilannya pada Tristan sekarang juga, tetapi ia belum menemukan waktu yang tepat. Beberapa saat kemudian, Tristan telah selesai berbicara dengan orang yang menghubunginya. Lelaki yang masih mengenakan jas berwarna hitam itu menaruh ponselnya di atas meja dan kembali melihat ke arah Stella. "Om Abraham barusan menghubungiku, dia ingin bertemu denganku sekarang juga," kata Tristan. Stella menghela napas panjang ketika mendengar itu. Ia berusaha untuk tersenyum dan bangkit dari duduknya. "Pergilah, mungkin ini waktu yang tepat untukmu berbicara dengan Om Abraham," ujar Stella.
Dalam perjalanan pulang, Tristan mencoba memikirkan solusinya. Pikirannya bercabang ke mana-mana. Dia tidak tahu harus berbuat apa, keputusan yang akan diambilnya nanti bukan hanya berdampak pada dirinya sendiri, tetapi juga pada orang-orang di sekitarnya, termasuk Stella. Tristan menghela napas panjang saat mobilnya berhenti di depan rumah. Perasaan gelisah dan beban berat menghimpit hatinya. Pikiran tentang tawaran Abraham dan masa depan perusahaan terus berputar di kepalanya. Bagaimana mungkin dia bisa menikahi Weni, wanita yang tidak dicintainya, sementara hatinya sudah sejak lama tertambat pada Stella? Setelah memarkir mobil, Tristan turun dan berjalan cepat menuju pintu rumah. Begitu masuk, dia melihat ayahnya, Damian, dan ibunya, Imelda, duduk di sofa ruang tamu. Mereka tampak sedang berbincang serius. "Ma, Pa. Aku sudah pulang," sapa Tristan dengan suara datar. Damian menoleh dengan cepat dan tersenyum melihat putranya. "Tristan, kemarilah," panggilnya, mengisyaratkan Tris