"Tristan," gumam Stella lirih, matanya sudah berkaca-kaca ketika melihat Tristan yang ada di hadapannya kini. Tristan malam ini tampil begitu menawan dengan kemeja hitam yang pas di tubuhnya dan celana panjang berwarna senada. Rambutnya disisir rapi, dan ia membawa buket bunga mawar merah yang cantik di tangannya. Cahaya lilin yang redup membuat penampilannya terlihat semakin mempesona. "Stella," kata Tristan ketika melihat Stella yang hanya terdiam. "Ini beneran kamu?" tanya Stella, mencoba untuk memastikan bahwa yang dilihatnya bukan sekadar ilusi. Tristan mengangguk dan memberikan buket bunga mawar yang cantik kepada Stella. Stella meraih bunga tersebut dengan perasaan kesal. "Jahat," gumamnya. "Jahat?" tanya Tristan sambil mengerutkan keningnya, ia merasa bingung. "Kamu jahat," kata Stella dengan suara serak. "Aku sudah menghubungi bahkan mengirim banyak pesan kepadamu, tapi kamu tidak membalasnya." Tristan tersenyum, lalu mengusap air mata yang jatuh di pipi Stell
Stella memandangi dirinya dalam cermin, memperhatikan gaunnya yang terlihat begitu indah. Gaun itu berwarna putih gading dengan desain klasik yang elegan. Potongan A-line yang membentuk siluet tubuhnya dengan sempurna, sementara renda halus menghiasi bagian atas gaun, memberikan sentuhan romantis. Tali bahu yang tipis menambahkan kesan anggun, dan ekor gaun yang panjang menambah kemegahan penampilannya. Veil yang panjang menutupi punggungnya, melengkapi penampilan yang sempurna sebagai pengantin. Hari ini adalah hari pernikahannya dengan Tristan. Ia tak menyangka bila akhirnya bisa menikah dengan pria yang begitu dicintainya. Stella teringat kembali saat-saat ketika ia dan Tristan pertama kali bertemu kembali di kantor. Waktu itu, Tristan menggantikan Damian sebagai CEO, dan Stella menjadi sekretarisnya. Mereka tak sengaja bertemu di ruang rapat saat Tristan baru saja mengambil alih jabatan. Stella merasa canggung, tapi Tristan dengan senyum hangatnya membuat Stella merasa nyaman. Pe
"Hay Stella," sapa Weni dengan senyum ramah. "Oh, iya, aku hanya kaget saja. Aku pikir kamu tidak akan datang," jawab Stella, yang juga tersenyum ke arah Weni. "Aku pasti datang, Stella. Selamat ya," ucap Weni dengan tulus. Stella dan Tristan memang sempat ragu untuk mengundang Weni ke pernikahan mereka, terutama dengan apa yang terjadi belakangan ini. Weni masih bersikukuh untuk mendapatkan hati Tristan kembali. Namun, Tristan tak goyah dengan pendiriannya untuk terus bersama Stella. Meskipun beberapa orang menentang pernikahan mereka, terutama karena sebelumnya Weni menginginkan pernikahan bisnis dengan Tristan untuk membantu perusahaan yang dikelola Tristan, tapi Tristan tetap menolaknya. Tristan lebih memilih cara lain. Ia bahkan pergi ke luar negeri untuk mengurus semuanya dan bekerja sama dengan perusahaan asing. Setelah kembali ke Indonesia, usaha keras Tristan membuahkan hasil. Ia akhirnya bisa membangun kembali perusahaan keluarganya tanpa harus bergantung pada perni
Keesokan paginya, Stella terbangun dengan sinar matahari yang menyelinap masuk melalui celah-celah tirai kamar. Dia merasa segar setelah tidur nyenyak semalam. Dia menoleh ke samping dan melihat Tristan masih tertidur pulas di sebelahnya. Wajahnya tampak damai dan bahagia. Stella bangkit perlahan dari tempat tidur, berusaha tidak membuat suara yang bisa membangunkan Tristan. Dia berjalan menuju kamar mandi untuk bersiap-siap menghadapi hari baru sebagai seorang istri. Ketika Stella selesai bersiap, dia keluar dari kamar mandi dan menemukan Tristan yang sudah bangun dan sedang duduk di tepi tempat tidur. "Selamat pagi," sapa Tristan dengan senyum lebar. "Selamat pagi," balas Stella sambil menghampiri Tristan dan duduk di sampingnya. "Apa kau tidur nyenyak?" tanya Tristan sambil mengusap lembut rambut Stella yang masih basah. "Ya, terima kasih. Kamu?" balas Stella sambil menatap mata Tristan dengan penuh cinta. "Aku juga. Ini hari pertama kita sebagai suami istri. Apa rencana
“Huft! Berapa lama lagi aku akan selesai bekerja?”Stella menatap layar komputernya dengan mata yang lelah. Hari ini telah berlalu begitu panjang di kantor, tapi pikirannya masih terbelenggu pada rencana spesial yang telah ia susun dengan hati-hati selama beberapa minggu terakhir. Hari ini adalah ulang tahun Ramon, kekasihnya, dan Stella tak ingin melewatkan momen spesial tersebut.“Stella, sudah pulang?” tanya rekan kerjanya, Maya, yang melintas di depan meja kerjanya.“Ya, Maya. Aku akan pulang sebentar lagi. Ada sesuatu yang harus aku lakukan di rumah,” jawab Stella sambil tersenyum tipis.Maya mengangguk mengerti dan melanjutkan langkahnya. Stella segera menutup laptopnya, mengambil tasnya, dan bergegas meninggalkan kantor.Sesampainya di kontrakan, wanita yang memiliki rambut panjang itu segera menuju ruang makan. Ia melepas sepatu high heels dan memakai sandal rumah, kemudian meletakkan tas kerjanya di atas meja. Matanya menjelajahi isi kulkas dan senyum manis terukir di wajahn
“Iya, Tuan, setelah saya lihat, wanita itu sudah tak sadarkan diri,” ucap sang sopir.Tristan langsung keluar dari mobil dan mengecek kondisi wanita tersebut. Meskipun hujan turun dengan deras, ia memutuskan untuk tetap memastikan keadaan wanita yang mereka tabrak. Bajunya sudah basah kuyup, namun itu tidak membuat Tristan berpikir dua kali untuk menyelamatkan wanita tersebut.Tristan mencoba untuk mengulurkan tangannya, melihat dengan jelas apakah wanita itu terluka parah atau tidak?Ketika Tristan berhasil menghadapkan wanita itu ke arahnya, sepasang matanya terbelalak sempurna ketika melihat siapa yang ia tabrak.“Stella …!” Tristan menaruh tangannya di leher Stella untuk memeriksa denyut nadinya. “Dia masih bernapas. Stella, bangunlah!” ucap Tristan dengan cemas sambil menepuk pelan tubuh Stella. Kepanikan Tristan semakin memuncak karena Stella masih belum sadar juga. Lelaki yang memiliki mata tajam itu segera mengangkat tubuh Stella dan membawanya masuk ke dalam mobil.“Kita per
Mobil Rolls Royce Wraith Black Badge meluncur dengan megah di jalanan yang ramai menuju Wishnutama Corporation. Suara mesin yang halus memecah keheningan pagi, menarik perhatian banyak orang yang melintas di sekitar gedung pencakar langit itu. Di dalam mobil, Tristan duduk dengan tegak, menatap keluar jendela dengan pandangan tajam. Pikirannya sibuk merenungkan tanggung jawab yang akan segera diembannya sebagai pewaris perusahaan besar, Wishnutama Corporation. Hari ini, ia akan memulai perjalanan barunya sebagai CEO di perusahaan ayahnya.Saat mobil mewah itu berhenti, Tristan turun dengan langkah tegas. Sepatu pantofel hitamnya berkilau di bawah sinar matahari pagi, menambah kesan elegan dan berkelas pada penampilannya. Beberapa karyawan yang menyambut kedatangan Tristan memberi hormat, mereka begitu terkesan dengan pimpinan baru mereka.“Selamat pagi, Tuan,” sapa salah seorang karyawan.Tristan hanya mengangguk.“Pagi, Tuan,” sapa karyawan lainnya dengan penuh hormat.“Tuan, hari i
“Tristan, kenapa kamu ada di sini?” Stella bertanya dengan suara yang begitu lirih.“Seharusnya aku yang bertanya, kenapa kamu bisa ada di sini?” Tristan sangat bingung, karena seharusnya Stella masih dirawat di rumah sakit, namun tiba-tiba saja dia muncul di kantornya. Damian yang takut akan kemarahan Tristan, bangkit dari kursinya ketika melihat Stella, sekretarisnya yang baru tiba di kantor. Damian tak ingin Tristan marah karena keterlambatan Stella.“Stella, kamu baru tiba?” Damian bertanya dengan nada suara yang tegas ketika sudah berada di depan Stella.“Oh, iya, Pak Damian. Maaf saya terlambat,” ujar Stella sambil membungkukkan kepalanya menunjukkan rasa permintaan maaf yang tulus.“Kenapa? Apakah jalanan macet lagi?” ledek Damian, karena Stella sering kali terlambat akibat kondisi lalu-lintas.“I-iya, sedikit macet,” jawab Stella sambil tersenyum gugup saat melihat Damian.“Tidak masalah. Rapat baru saja dimulai beberapa menit yang lalu,” Kata Damian dengan santai memberikan