Stella menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, "Elsa, aku hamil." Mata Elsa membulat karena terkejut. "Apa? Kamu yakin?" Stella mengangguk, menunjukkan hasil tes kehamilan yang masih tergeletak di meja. "Aku sudah memeriksanya beberapa kali. Semua hasilnya sama." Elsa mengambil beberapa test pack yang tergeletak di meja, sepasang matanya membulat sempurna ketika melihat dua garis pada setiap test pack tersebut. "Astaga, Stella, kenapa kamu bisa hamil? Anak siapa yang ada di dalam rahimmu? Apa anak Tristan?" Elsa menatap lekat ke arah Stella, mencari jawaban di mata sahabatnya. Stella tidak bisa menahan tangisnya lagi. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, air mata mengalir deras di pipinya. "Hiks! Aku ... aku tidak tahu harus berkata apa, Elsa," isaknya. Elsa menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sebelum berbicara lagi. Ia kemudian duduk di samping Stella, menggenggam tangan sahabatnya dengan erat. "Stella, kamu harus tenang. Ceritakan semuanya dari a
"Apa kamu tidak tahu bahwa Pak Samsul memutuskan kontrak kerja dengan perusahaan kita?" tanya Dafina. "Apa? Kenapa bisa Pak Samsul memutuskan kontrak kerja?" Stella bertanya dengan bingung. "Pak Samsul sudah tahu bahwa perusahaan kita sedang ada dalam masalah karena tidak bisa memenuhi tenggat waktu proyek. Begitu juga dengan para investor lainnya, mereka menarik saham mereka," jelas Dafina. Stella terdiam, mencoba mencerna informasi yang baru saja didengarnya. Masalah perusahaan ini tentu akan menambah beban pikiran Tristan, dan kabar tentang kehamilannya mungkin hanya akan memperkeruh suasana. "Bantu aku mengurus beberapa dokumen," pinta Dafina. Stella hanya mengangguk. Ketika melihat Dafina sudah kembali ke meja kerjanya, Stella melihat ke arah ruang kerja Tristan lagi. Ia lalu memandangi test pack yang ada di genggamannya. Mungkin untuk sekarang, Stella belum bisa memberitahu Tristan. Ia tak ingin menambah beban yang dimiliki oleh kekasihnya itu. Dengan berat hati, Stella
Stella mengepalkan tangannya dan meremas test pack yang ada di genggamannya ketika mendengar ponsel Tristan berbunyi begitu nyaring. "Sebentar, aku angkat telepon dulu," kata Tristan sambil mengangkat panggilan tersebut. Stella menghela napas gusar, memasukkan kembali test pack yang dibawanya ke dalam tasnya. ‘Mungkin ini bukan waktu yang tepat,’ gumam Stella dalam hatinya. Sebenarnya ia ingin mengungkapkan kehamilannya pada Tristan sekarang juga, tetapi ia belum menemukan waktu yang tepat. Beberapa saat kemudian, Tristan telah selesai berbicara dengan orang yang menghubunginya. Lelaki yang masih mengenakan jas berwarna hitam itu menaruh ponselnya di atas meja dan kembali melihat ke arah Stella. "Om Abraham barusan menghubungiku, dia ingin bertemu denganku sekarang juga," kata Tristan. Stella menghela napas panjang ketika mendengar itu. Ia berusaha untuk tersenyum dan bangkit dari duduknya. "Pergilah, mungkin ini waktu yang tepat untukmu berbicara dengan Om Abraham," ujar Stella.
Dalam perjalanan pulang, Tristan mencoba memikirkan solusinya. Pikirannya bercabang ke mana-mana. Dia tidak tahu harus berbuat apa, keputusan yang akan diambilnya nanti bukan hanya berdampak pada dirinya sendiri, tetapi juga pada orang-orang di sekitarnya, termasuk Stella. Tristan menghela napas panjang saat mobilnya berhenti di depan rumah. Perasaan gelisah dan beban berat menghimpit hatinya. Pikiran tentang tawaran Abraham dan masa depan perusahaan terus berputar di kepalanya. Bagaimana mungkin dia bisa menikahi Weni, wanita yang tidak dicintainya, sementara hatinya sudah sejak lama tertambat pada Stella? Setelah memarkir mobil, Tristan turun dan berjalan cepat menuju pintu rumah. Begitu masuk, dia melihat ayahnya, Damian, dan ibunya, Imelda, duduk di sofa ruang tamu. Mereka tampak sedang berbincang serius. "Ma, Pa. Aku sudah pulang," sapa Tristan dengan suara datar. Damian menoleh dengan cepat dan tersenyum melihat putranya. "Tristan, kemarilah," panggilnya, mengisyaratkan Tris
"Tristan, kamu kenapa, Sayang?" panggil Imelda dengan cemas. Tristan yang masih memegang wastafel, berusaha menenangkan diri. "Aku tidak apa-apa, Ma. Mungkin cuma masuk angin," jawab Tristan dengan suara lemah. Imelda tidak puas dengan jawaban itu. Ia pun ingin memastikan kondisi anaknya lagi. "Buka pintunya, Tristan. Biar Mama lihat kondisimu." Tristan berjalan pelan ke arah pintu dan membukanya. Imelda langsung masuk dan melihat wajah putranya yang pucat. "Kamu kelihatan tidak sehat, Tristan. Mama panggil dokter saja, ya?" kata Imelda sambil menyentuh dahi Tristan untuk memeriksa suhu tubuhnya. "Tidak perlu, Ma. Aku cuma butuh istirahat sedikit lagi. Nanti juga sembuh," jawab Tristan mencoba meyakinkan ibunya. "Baiklah, tapi kalau sampai siang kamu masih merasa tidak enak, kita ke dokter," kata Imelda tegas. "Mama akan buatkan teh hangat untukmu." Imelda keluar dari kamar Tristan dan menuju dapur. Sementara itu, Tristan kembali duduk di tempat tidur, mencoba menenangkan pikir
“Tuan, Anda mau ke mana?!” teriak Dafina ketika melihat Tristan pergi begitu saja. Namun, Tristan sudah tidak mendengarnya. Dia bergegas menuju lift, berpikir hanya tentang Stella. Setibanya di lobi, Tristan segera memanggil sopirnya, Pak Rian. “Pak Rian, cepat siapkan mobil. Kita harus ke rumah Stella sekarang,” perintah Tristan dengan nada mendesak. “Baik, Tuan,” jawab Pak Rian sambil segera menuju mobil dan membukakan pintu untuk Tristan. Selama perjalanan, pikiran Tristan terus berkecamuk. Dia merasa sangat bodoh karena semalaman ponselnya dimatikan, sehingga membuatnya tidak tahu apa yang terjadi dengan Stella. “Kenapa aku tidak lebih perhatian padanya?” gumam Tristan pada dirinya sendiri. “Aku harus memastikan dia baik-baik saja.” Setelah beberapa waktu, mereka sampai di depan rumah Stella. Tristan segera keluar dari mobil dan berlari menuju pintu depan. Dengan cemas, ia mengetuk pintu beberapa kali.Tok! Tok! “Stella, ini aku, Tristan. Buka pintunya, Sayang!” panggil Tri
"Stella hamil?" gumamnya dengan suara hampir tak terdengar. Perasaannya campur aduk antara kaget, bingung, dan cemas. Tristan menatap alat tes itu lama, mencoba mencerna apa yang baru saja dilihatnya. Selimut yang awalnya ia cari sekarang terlupakan. Tristan merasa perlu bicara dengan Stella tentang ini, tetapi ia tidak ingin membangunkannya. Dengan perasaan berat, dia kembali ke ruang tamu, membawa selimut yang sempat diambilnya. Tristan menutupi tubuh Stella yang sedang tidur dengan selimut itu, kemudian duduk di sampingnya, matanya tak lepas dari wajah kekasihnya. Berbagai pikiran berputar di kepalanya, mencoba memahami apa yang harus mereka lakukan selanjutnya. "Kenapa kamu tidak memberitahuku, Stella?" bisik Tristan di telinga Stella dengan lembut. Tristan tahu bahwa masalah ini perlu diselesaikan bersama. Tetapi untuk saat ini, dia hanya bisa menunggu hingga Stella bangun dan mereka bisa membicarakan segalanya. Perasaannya campur aduk, tetapi satu hal yang pasti: dia akan tet
Tristan memutuskan untuk menghubungi sahabatnya, Evan, yang selalu menjadi tempatnya berbagi pikiran dan masalah. Mereka berjanji bertemu di sebuah cafe yang tenang di pinggir kota, tempat favorit mereka untuk berbincang. Setibanya di cafe, Tristan melihat Evan sudah duduk di sudut ruangan, menyesap kopi sambil membaca koran. Tristan menarik kursi dan duduk di hadapan Evan, yang langsung menyadari raut wajah sahabatnya yang tampak kusut dan penuh beban. "Ada apa, Tristan? Kau terlihat seperti membawa beban dunia di pundakmu," kata Evan sambil menaruh koran dan menatap sahabatnya dengan penuh perhatian. Tristan menarik napas panjang sebelum mulai bercerita. "Evan, ada banyak hal yang harus aku sampaikan. Ini bukan hal yang mudah untukku." Evan mengangguk, memberi isyarat agar Tristan melanjutkan. "Kemarin, Om Abraham menawarkanku bantuan untuk menyelamatkan perusahaan. Tapi dia memberiku syarat yang tidak mungkin aku terima," Tristan berhenti sejenak untuk meneguk kopinya. "Syara