Dalam perjalanan pulang, Tristan mencoba memikirkan solusinya. Pikirannya bercabang ke mana-mana. Dia tidak tahu harus berbuat apa, keputusan yang akan diambilnya nanti bukan hanya berdampak pada dirinya sendiri, tetapi juga pada orang-orang di sekitarnya, termasuk Stella. Tristan menghela napas panjang saat mobilnya berhenti di depan rumah. Perasaan gelisah dan beban berat menghimpit hatinya. Pikiran tentang tawaran Abraham dan masa depan perusahaan terus berputar di kepalanya. Bagaimana mungkin dia bisa menikahi Weni, wanita yang tidak dicintainya, sementara hatinya sudah sejak lama tertambat pada Stella? Setelah memarkir mobil, Tristan turun dan berjalan cepat menuju pintu rumah. Begitu masuk, dia melihat ayahnya, Damian, dan ibunya, Imelda, duduk di sofa ruang tamu. Mereka tampak sedang berbincang serius. "Ma, Pa. Aku sudah pulang," sapa Tristan dengan suara datar. Damian menoleh dengan cepat dan tersenyum melihat putranya. "Tristan, kemarilah," panggilnya, mengisyaratkan Tris
"Tristan, kamu kenapa, Sayang?" panggil Imelda dengan cemas. Tristan yang masih memegang wastafel, berusaha menenangkan diri. "Aku tidak apa-apa, Ma. Mungkin cuma masuk angin," jawab Tristan dengan suara lemah. Imelda tidak puas dengan jawaban itu. Ia pun ingin memastikan kondisi anaknya lagi. "Buka pintunya, Tristan. Biar Mama lihat kondisimu." Tristan berjalan pelan ke arah pintu dan membukanya. Imelda langsung masuk dan melihat wajah putranya yang pucat. "Kamu kelihatan tidak sehat, Tristan. Mama panggil dokter saja, ya?" kata Imelda sambil menyentuh dahi Tristan untuk memeriksa suhu tubuhnya. "Tidak perlu, Ma. Aku cuma butuh istirahat sedikit lagi. Nanti juga sembuh," jawab Tristan mencoba meyakinkan ibunya. "Baiklah, tapi kalau sampai siang kamu masih merasa tidak enak, kita ke dokter," kata Imelda tegas. "Mama akan buatkan teh hangat untukmu." Imelda keluar dari kamar Tristan dan menuju dapur. Sementara itu, Tristan kembali duduk di tempat tidur, mencoba menenangkan pikir
“Tuan, Anda mau ke mana?!” teriak Dafina ketika melihat Tristan pergi begitu saja. Namun, Tristan sudah tidak mendengarnya. Dia bergegas menuju lift, berpikir hanya tentang Stella. Setibanya di lobi, Tristan segera memanggil sopirnya, Pak Rian. “Pak Rian, cepat siapkan mobil. Kita harus ke rumah Stella sekarang,” perintah Tristan dengan nada mendesak. “Baik, Tuan,” jawab Pak Rian sambil segera menuju mobil dan membukakan pintu untuk Tristan. Selama perjalanan, pikiran Tristan terus berkecamuk. Dia merasa sangat bodoh karena semalaman ponselnya dimatikan, sehingga membuatnya tidak tahu apa yang terjadi dengan Stella. “Kenapa aku tidak lebih perhatian padanya?” gumam Tristan pada dirinya sendiri. “Aku harus memastikan dia baik-baik saja.” Setelah beberapa waktu, mereka sampai di depan rumah Stella. Tristan segera keluar dari mobil dan berlari menuju pintu depan. Dengan cemas, ia mengetuk pintu beberapa kali.Tok! Tok! “Stella, ini aku, Tristan. Buka pintunya, Sayang!” panggil Tri
"Stella hamil?" gumamnya dengan suara hampir tak terdengar. Perasaannya campur aduk antara kaget, bingung, dan cemas. Tristan menatap alat tes itu lama, mencoba mencerna apa yang baru saja dilihatnya. Selimut yang awalnya ia cari sekarang terlupakan. Tristan merasa perlu bicara dengan Stella tentang ini, tetapi ia tidak ingin membangunkannya. Dengan perasaan berat, dia kembali ke ruang tamu, membawa selimut yang sempat diambilnya. Tristan menutupi tubuh Stella yang sedang tidur dengan selimut itu, kemudian duduk di sampingnya, matanya tak lepas dari wajah kekasihnya. Berbagai pikiran berputar di kepalanya, mencoba memahami apa yang harus mereka lakukan selanjutnya. "Kenapa kamu tidak memberitahuku, Stella?" bisik Tristan di telinga Stella dengan lembut. Tristan tahu bahwa masalah ini perlu diselesaikan bersama. Tetapi untuk saat ini, dia hanya bisa menunggu hingga Stella bangun dan mereka bisa membicarakan segalanya. Perasaannya campur aduk, tetapi satu hal yang pasti: dia akan tet
Tristan memutuskan untuk menghubungi sahabatnya, Evan, yang selalu menjadi tempatnya berbagi pikiran dan masalah. Mereka berjanji bertemu di sebuah cafe yang tenang di pinggir kota, tempat favorit mereka untuk berbincang. Setibanya di cafe, Tristan melihat Evan sudah duduk di sudut ruangan, menyesap kopi sambil membaca koran. Tristan menarik kursi dan duduk di hadapan Evan, yang langsung menyadari raut wajah sahabatnya yang tampak kusut dan penuh beban. "Ada apa, Tristan? Kau terlihat seperti membawa beban dunia di pundakmu," kata Evan sambil menaruh koran dan menatap sahabatnya dengan penuh perhatian. Tristan menarik napas panjang sebelum mulai bercerita. "Evan, ada banyak hal yang harus aku sampaikan. Ini bukan hal yang mudah untukku." Evan mengangguk, memberi isyarat agar Tristan melanjutkan. "Kemarin, Om Abraham menawarkanku bantuan untuk menyelamatkan perusahaan. Tapi dia memberiku syarat yang tidak mungkin aku terima," Tristan berhenti sejenak untuk meneguk kopinya. "Syara
Meskipun Stella sudah bilang bahwa ia merasa geli, tetapi Tristan terus saja mengelus perutnya. Tristan mengelus perut Stella dengan lembut, seolah-olah ia sedang mencoba merasakan keberadaan buah hatinya. Senyum kecil terukir di wajahnya, mata penuh dengan kasih sayang dan harapan. "Sudah, berapa lama lagi kamu akan melakukan ini?" tanya Stella, kala Tristan terus saja mengelus perutnya. "Sampai aku puas," jawab Tristan sambil terus mengelus perut Stella dengan lembut. "Aku tidak sabar menunggu untuk melihatnya." Stella tersenyum, merasa hangat dengan perhatian yang diberikan Tristan. "Dia mungkin sedang tidur nyenyak. Aku juga tidak sabar menunggu saat itu tiba, saat kita bisa melihatnya dan memeluknya." Tristan menatap mata Stella dalam-dalam. "Kita akan menjadi orang tua yang baik, Sayang. Aku akan melakukan apa saja untuk memastikan kamu dan anak kita bahagia." Stella merasakan kehangatan dalam kata-kata Tristan. "Aku tahu kamu akan menjadi ayah yang luar biasa, Tristan
Tristan menghela napas berat. Dia melirik ke arah Stella yang ada di sampingnya, lelaki itu merasa bingung, apakah ia akan pergi ke kantor atau tetap berada di sisi Stella? "Aku akan segera ke kantor," jawab Tristan tegas. "Siapkan semua yang diperlukan untuk rapat." Tristan lalu mengakhiri sambungan teleponnya. Stella sedari tadi yang mendengar percakapan itu. Dia menatap Tristan dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. "Ada apa, Tristan?" "Para dewan direksi meminta rapat dadakan hari ini. Aku harus segera ke kantor," jawab Tristan sambil bersiap-siap. Stella langsung bangkit dari tempat duduknya. "Aku ikut ke kantor. Sudah beberapa hari aku tidak bekerja, dan aku yakin Dafina juga membutuhkanku di sana." Tristan menatap Stella dengan ragu. "Sayang, kamu masih butuh istirahat. Kondisimu belum pulih sepenuhnya." "Tapi aku merasa lebih baik sekarang." Stella bersikeras. "Lagipula, aku adalah sekretarismu. Aku harus berada di sana untuk membantumu." "Sayang, aku tidak ingin kamu m
Rapat berakhir dengan suasana yang masih tegang. Semua orang yang berada di ruang rapat segera keluar, meninggalkan ruangan dalam keheningan yang sarat akan kekecewaan. Abraham berjalan keluar dengan raut wajah marah, tak bisa menyembunyikan rasa kecewanya terhadap keputusan Tristan. Weni mengikutinya, tatapan matanya kosong dan penuh ketidakpercayaan. Dia tak pernah menyangka bahwa Tristan dan Stella sudah berpacaran dan bahkan Tristan menolaknya mentah-mentah. Di dalam ruang rapat hanya tersisa Damian, Dafina, Stella, dan Tristan. Dafina masih terkejut dengan apa yang baru saja terungkap. Dia tidak pernah menyangka bahwa Stella telah memacari atasannya, terutama karena menurutnya, Stella hanya mengenal Tristan selama beberapa bulan. Sementara itu, dia sendiri sudah hampir tiga tahun menjadi sekretaris Tristan, tapi Tristan tak pernah sekalipun meliriknya dengan cara yang sama. Dafina memberanikan diri untuk berbicara, meskipun hatinya sedikit tercabik. "Tuan Tristan, maaf selama i