"Stella," panggil Dafina ketika melihat Stella sudah kembali ke meja kerjanya. "Ada apa?" tanya Stella sambil tersenyum. Sebelum mengatakan sesuatu, Dafina menghela napas panjang terlebih dahulu. "Aku ingin minta maaf." Stella mengernyitkan keningnya. "Untuk apa?" "Selama ini aku sudah berbuat jahat padamu. Maaf, aku tidak tahu bila kamu adalah wanita yang dicintai oleh Tuan Tristan." Stella terdiam sejenak, lalu tersenyum ke arah Dafina yang ada di sampingnya. "Dafina, tidak perlu merasa bersalah. Kita semua punya masa lalu dan kekhilafan. Yang penting sekarang adalah bagaimana kita memperbaikinya." Dafina menunduk, ia merasa malu karena selama ini sudah berperilaku tidak baik kepada Stella. "Aku benar-benar tidak tahu. Aku pikir wanita yang dicintai Tuan Tristan itu adalah Weni." Stella mengangguk mengerti. "Banyak yang berpikir begitu. Bahkan aku pun sempat ragu dengan perasaannya. Tapi akhirnya semua terungkap." Dafina menarik napas dalam-dalam. "Aku juga merasa iri padamu
Ting! Tong! Ting! Tong! Sejak tadi Stella menekan bel apartemen Tristan, tetapi Tristan tak kunjung membuka pintu. Setelah Stella mengetahui bahwa semua yang ia alami di gudang adalah ulah dari Maya, sahabatnya, Stella merasa kecewa. Pasalnya, selama ini ia mengira bahwa Maya adalah sahabat baiknya, tetapi kenyataannya salah. Maya malah bekerja sama dengan Weni untuk menyakitinya. Stella merasa hatinya hancur. Pikiran tentang pengkhianatan Maya dan manipulasi Weni berputar-putar di kepalanya. Stella menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Namun, rasa sakit dan kekecewaan terlalu besar untuk ditahan. Ia kembali menekan bel, berharap Tristan segera membukakan pintu. Di dalam apartemen, Tristan sedang mengancingkan kemejanya. Ia baru saja selesai mandi dan bersiap-siap untuk membuka pintu ketika mendengar bel pintu berbunyi. Tristan merasa heran siapa yang datang di sore ini. Ia berjalan cepat menuju pintu, suara bel yang terus berbunyi menambah rasa cemasnya. "Iya,
Ramon tersenyum canggung ketika melihat Stella sudah membuka pintu. "Hai, Stella. Aku tahu ini mendadak, tapi aku benar-benar perlu bicara denganmu." Stella mengerutkan kening, bingung dan sedikit waspada kepada mantannya tersebut. Pasalnya, semenjak ia mengetahui perselingkuhan Ramon dengan Almira, ia belum bertemu Ramon sampai saat ini. "Aku tidak ingin bicara denganmu. Pergilah." "Tapi aku ingin bicara denganmu, Stella. Aku hanya ... bisa kita bicara sebentar? Aku mohon. Ini penting," pinta Ramon dengan nada memohon. Stella menghela napas, mencoba menenangkan diri. "Apalagi yang ingin kamu bicarakan? Bukannya semuanya sudah berakhir?" Ramon menghela napas panjang sebelum menjawab. "Stella, aku tahu hubungan kita sudah berakhir, tapi ada sesuatu yang harus aku sampaikan. Aku menyesal atas semua yang terjadi di masa lalu. Aku merasa harus meminta maaf langsung padamu." Stella terdiam sejenak, memproses kata-kata Ramon. "Ramon, itu semua sudah berlalu. Aku sudah melanjutkan
"Stella? Stella bangun!" Ramon mengguncang tubuh Stella dengan lembut, mencoba membangunkannya. Ramon yang masih panik melihat ke arah Almira yang masih terpaku. "Almira, lihat apa yang kamu lakukan! Dia pingsan!" teriak Ramon. Almira mundur beberapa langkah, ia terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. "Aku ... aku tidak bermaksud ...," gumamnya dengan suara gemetar. Ramon mengangkat tubuh Stella dengan hati-hati dan membawanya ke dalam rumah. "Kita harus membawanya ke dalam," kata Ramon dengan nada tegas sambil menggendong Stella ala bridal style. Almira hanya bisa menatap Ramon dan Stella dengan perasaan bersalah. Dia akhirnya membantu Ramon untuk membawa Stella masuk ke dalam. Ramon membawa Stella ke sofa di ruang tamu dan meletakkannya dengan hati-hati. Dia mencoba membangunkannya lagi dengan menepuk pipi Stella perlahan. "Stella, bangunlah. Kamu baik-baik saja?" Setelah beberapa saat, Stella mulai sadar. Dia membuka matanya perlahan, masih terlihat bingung dan lemah. "
Dokter mengangguk. "Benar. Stella sedang hamil. Usia kandungannya sekitar 8 minggu. Kondisinya membutuhkan istirahat total dan perawatan yang intensif untuk memastikan kehamilannya tetap sehat." Almira menutup mulutnya dengan tangan kanan, ia merasa syok mendengar semua itu. Ramon menatap dokter dengan serius. "Apakah Stella dan bayinya akan baik-baik saja, Dok?" Dokter tersenyum tipis. "Kami akan melakukan yang terbaik. Stella perlu istirahat dan menghindari stres. Kami akan memantau kondisinya secara ketat." Ramon mengangguk, ia merasa sedikit lega meskipun masih cemas. "Terima kasih, Dok. Saya sangat menghargai bantuannya." Dokter mengangguk lagi dan kembali masuk ke ruang perawatan Stella. Ramon berbalik ke arah Almira, yang masih terlihat terkejut dan bersalah. "Almira, kamu dengar sendiri bila Stella sedang hamil," kata Ramon tegas. Almira mengangguk pelan, ia masih terguncang oleh apa yang baru saja terjadi. "I-iya, aku tidak menyangka kalau dia hamil. Apa itu anak
Stella segera meraih tangan Tristan ketika kekasihnya itu sudah menatap tajam ke arah Almira. "Tristan, aku yang salah. Aku yang tidak hati-hati. Almira dan Ramon, mereka yang menolongku." Almira tidak menyangka Stella akan berkata seperti itu. Ia pikir, Stella akan mengatakan bila dirinyalah yang telah membuat Stella masuk ke rumah sakit. Alih-alih mengatakan kebenaran, wanita itu malah menutupi kesalahannya. "Stella, kenapa kamu mengatakan itu? Aku yang sebenarnya …." Ramon menepuk bahu Almira, mencoba menenangkannya, ia juga tak ingin ada masalah baru lagi di antara mereka. "Kami tidak sengaja melihat Stella hampir terjatuh. Kami takut terjadi apa-apa kepada Stella. Jadi, kami langsung membawanya ke rumah sakit." Tristan menghela napas panjang, mencoba meredakan emosinya. "Aku mengerti. Terima kasih sudah menolong Stella," katanya kepada Ramon dan Almira, meskipun nada suaranya masih dingin. Ramon mengangguk. "Kami hanya melakukan apa yang seharusnya. Stella butuh bantuan, d
Maya memasuki rumah sakit dengan langkah ragu-ragu, perasaan bersalah masih memenuhi hatinya. Ia menanyakan letak kamar Stella kepada perawat di meja resepsionis dan setelah mendapatkan informasi yang diperlukan, Maya berjalan menuju kamar Stella dengan hati yang berdebar. Setelah berada di depan pintu kamar, ia berhenti sejenak, menarik napas panjang, lalu mengetuk pintu perlahan. Tristan yang membuka pintu, ia terkejut melihat Maya. "Maya? Ada apa kamu di sini?" Maya menundukkan kepala. "Tuan, saya ingin bicara dengan Stella. Saya perlu meminta maaf." Tristan mengamati Maya sejenak, lalu mengangguk dan membiarkannya masuk. Stella, yang sedang beristirahat di ranjang, menoleh ketika Maya masuk ke dalam kamar. "Maya?" Stella bertanya dengan suara lemah. Maya mendekati ranjang Stella dengan hati-hati. "Stella, aku ... aku minta maaf. Aku tahu aku telah melakukan banyak kesalahan padamu." Stella menatap Maya dengan mata yang penuh perasaan campur aduk. "Maya, kenapa kamu laku
Tristan memasuki sebuah cafe, di mana sahabatnya, Evan, sebelumnya sudah menghubunginya bila ia bertemu dengan Weni di cafe, setelah mendengar itu Tristan pun langsung menuju cafe tersebut untuk menemui Weni. Tristan melangkahkan kaki panjangnya dengan lebar, semburat amarah terlihat jelas di wajahnya.. Ketika Weni melihat Tristan sedang menghampirinya, ia pun bertanya-tanya mengapa Tristan tiba-tiba datang ke sana? "Tristan, kenapa kamu di sini?" Weni begitu bingung dengan kehadiran Tristan, terlebih raut wajah Tristan yang begitu dingin kepadanya. "Weni, kita perlu bicara." Weni mengangkat alisnya, menatap Tristan dengan pandangan curiga. "Tristan? Ada apa? Kamu biasanya tidak datang tanpa janji." Tristan berjalan mendekati meja Weni, menatapnya dengan tajam. "Ini penting. Aku ingin kamu berhenti mengganggu Stella." Weni tertawa kecil, tidak menyangka bahwa Tristan akan berkata demikian. "Oh, jadi ini tentang Stella? Apa dia yang mengirimmu ke sini?" Tristan menggelengkan k