Maya memasuki rumah sakit dengan langkah ragu-ragu, perasaan bersalah masih memenuhi hatinya. Ia menanyakan letak kamar Stella kepada perawat di meja resepsionis dan setelah mendapatkan informasi yang diperlukan, Maya berjalan menuju kamar Stella dengan hati yang berdebar. Setelah berada di depan pintu kamar, ia berhenti sejenak, menarik napas panjang, lalu mengetuk pintu perlahan. Tristan yang membuka pintu, ia terkejut melihat Maya. "Maya? Ada apa kamu di sini?" Maya menundukkan kepala. "Tuan, saya ingin bicara dengan Stella. Saya perlu meminta maaf." Tristan mengamati Maya sejenak, lalu mengangguk dan membiarkannya masuk. Stella, yang sedang beristirahat di ranjang, menoleh ketika Maya masuk ke dalam kamar. "Maya?" Stella bertanya dengan suara lemah. Maya mendekati ranjang Stella dengan hati-hati. "Stella, aku ... aku minta maaf. Aku tahu aku telah melakukan banyak kesalahan padamu." Stella menatap Maya dengan mata yang penuh perasaan campur aduk. "Maya, kenapa kamu laku
Tristan memasuki sebuah cafe, di mana sahabatnya, Evan, sebelumnya sudah menghubunginya bila ia bertemu dengan Weni di cafe, setelah mendengar itu Tristan pun langsung menuju cafe tersebut untuk menemui Weni. Tristan melangkahkan kaki panjangnya dengan lebar, semburat amarah terlihat jelas di wajahnya.. Ketika Weni melihat Tristan sedang menghampirinya, ia pun bertanya-tanya mengapa Tristan tiba-tiba datang ke sana? "Tristan, kenapa kamu di sini?" Weni begitu bingung dengan kehadiran Tristan, terlebih raut wajah Tristan yang begitu dingin kepadanya. "Weni, kita perlu bicara." Weni mengangkat alisnya, menatap Tristan dengan pandangan curiga. "Tristan? Ada apa? Kamu biasanya tidak datang tanpa janji." Tristan berjalan mendekati meja Weni, menatapnya dengan tajam. "Ini penting. Aku ingin kamu berhenti mengganggu Stella." Weni tertawa kecil, tidak menyangka bahwa Tristan akan berkata demikian. "Oh, jadi ini tentang Stella? Apa dia yang mengirimmu ke sini?" Tristan menggelengkan k
"Ya, aku tahu ini mendadak. Mereka ingin membahas proyek besar yang bisa membawa keuntungan signifikan bagi perusahaan. Aku tidak ingin meninggalkanmu, terutama dalam kondisi seperti ini, tapi ini juga kesempatan besar bagi kita," jelas Tristan dengan nada cemas. Elsa menatap Tristan dengan pengertian. "Tristan, aku mengerti betapa sulitnya situasi ini. Tapi kamu harus ingat bahwa Stella juga butuh kamu." Stella mengangguk pelan. "Aku tahu, Tristan. Ini keputusan yang sulit. Tapi kamu juga harus memikirkan masa depan kita." Elsa kemudian berbicara dengan nada menenangkan. "Tristan, kamu bisa pergi. Aku akan menjaga Stella selama kamu pergi. Aku pastikan dia mendapatkan semua yang dia butuhkan." Tristan tampak ragu. "Tapi, aku tidak bisa meninggalkannya dalam kondisi seperti ini." Stella meraih tangan Tristan dan menggenggamnya erat. "Sayang, kamu harus pergi. Ini penting untuk masa depan kita. Aku akan baik-baik saja. Elsa akan menjaga aku." Elsa mengangguk dengan penuh keyakina
Elsa memasuki ruangan Stella sambil membawa nampan yang berisi makan siang untuk Stella. Ketika sudah berada di ruang Stella. Elsa melihat Stella sedang memperhatikan ponselnya dengan tatapan penuh kerinduan. Elsa menaruh nampan di meja samping tempat tidur dan duduk di kursi dekat Stella. "Apa Tristan sudah berangkat?" tanya Elsa dengan lembut, sambil menatap Stella begitu hangat. Stella mengalihkan pandangannya dari ponsel dan tersenyum tipis ke arah Elsa. "Iya, dia sudah di pesawat sekarang. Aku baru saja mendapat pesan terakhir darinya sebelum dia naik ke pesawat," jawab Stella, suaranya terdengar bergetar, seperti tak ingin berpisah dari Tristan meski hanya beberapa hari saja. Elsa tersenyum, ia mengerti bila sahabatnya itu pasti tak ingin jauh dari Tristan, terlebih sekarang Stella sedang hamil. "Kamu pasti merindukannya, ya?" Stella mengangguk pelan, membenarkan ucapan sahabatnya itu. "Iya, sangat. Tapi aku tahu ini penting untuk pekerjaannya. Aku harus kuat dan mendukungny
Stella merasa semakin kecil di bawah tatapan ibunya yang penuh kekecewaan. Safira duduk di tepi ranjang, wajahnya memerah karena marah. "Stella, kenapa kamu hanya diam? Jawab mama, apa benar yang dikatakan dokter bahwa kamu sedang hamil?" Stella meremas sprei, mencoba mencari keberanian untuk berbicara. "Ma, aku memang sedang hamil," ucapnya pelan. Safira menggelengkan kepalanya tak percaya. "Kenapa kamu tidak memberitahu mama, Stella? Siapa lelaki yang sudah menghamilimu? Biar mama beri pelajaran kepadanya! Kenapa dia bisa menghancurkan masa depan putriku?" Urat di leher Safira sudah menonjol karena marah. "Maaf, Ma," ujar Stella dengan suara bergetar. "Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku tahu Mama pasti kecewa." Safira menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Stella, mama hanya ingin yang terbaik untuk kamu. Siapa lelaki itu? Kenapa dia tidak bertanggung jawab?" Stella menunduk, sambil meneteskan air mata. "Ma, ini bukan seperti yang Mama pikirkan. Lelaki it
Stella sudah berulang kali menegaskan bahwa ia tidak ingin meninggalkan Jakarta, tapi ibunya tetap saja bersikeras. Safira terus melipat baju-baju Stella dan memasukkannya ke dalam koper dengan cepat. "Ma, aku sudah bilang aku gak mau," rengek Stella, suaranya terdengar putus asa ketika melihat ibunya yang tak berhenti memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Safira menghela napas panjang dan menatap Stella dengan mata penuh kasih sayang. "Sebentar saja, Stella. Memangnya kamu tidak mau melihat adik-adikmu dan papamu di kampung?" Stella menghela napas panjang, ia merasa terpojok. "Baiklah, tapi aku tidak mau Mama membawa semua baju-bajuku. Aku masih punya banyak urusan di sini." Safira tersenyum sedikit, ia merasa senang karena Stella mulai luluh. "Mama hanya membawa beberapa bajumu saja. Sekarang, bersiaplah. Kamu mandi dulu. Mama takut kita akan ketinggalan kereta." Stella mengangguk dengan enggan. "Hm, baiklah." Stella berjalan gontai menuju kamar mandi, merasa berat hati
Stella baru saja selesai mandi dan berjalan ke arah meja. Wanita yang masih mengenakan bathrobe itu segera meraih ponselnya yang ada di atas meja. Ia membuka layar ponselnya dan memeriksa pesan serta panggilan yang masuk. Namun, tak ada satu pun panggilan maupun pesan dari kekasihnya, Tristan. "Apa dia begitu sibuk sampai tak mengabariku?" gumam Stella sambil memandangi ponsel yang ada digenggamannya. Rasa cemas mulai menyelimuti hatinya. Stella pun mencoba untuk menghubungi Tristan, namun ponsel lelaki itu ternyata tidak aktif. Rasa kecewanya semakin bertambah. Akhirnya, Stella memutuskan untuk mencoba menghubungi Dafina, sekretaris Tristan yang ikut pergi ke luar negeri. Ia berharap mendapatkan kabar tentang Tristan dari Dafina. Stella menunggu beberapa saat hingga panggilannya terhubung. "Halo, Dafina?" sapa Stella dengan nada penuh harap. "Halo, Stella. Ada apa?" balas Dafina dari ujung telepon. "Dafina, aku khawatir karena tidak bisa menghubungi Tristan. Ponselnya tid
Safira terlihat sedikit terkejut dengan reaksi Stella, tetapi ia tetap tenang. "Mama hanya ingin yang terbaik untukmu, Sayang. Tristan tidak ada di sini sekarang, dan mama khawatir kamu akan sendirian mengurus semuanya." Stella menggelengkan kepalanya. "Aku tidak butuh orang lain, Ma. Aku bisa mengurus diriku sendiri dan bayiku." Emir yang sedari tadi diam, kini angkat bicara. "Stella, kami hanya ingin memastikan kamu tidak sendirian. Kami tahu ini berat, tapi coba beri kesempatan." Stella mendesah, ia merasa frustrasi, begitu bingung dengan sikap kedua orang tuanya. "Aku sudah bilang, aku tidak butuh orang lain. Aku hanya ingin fokus pada kesehatanku dan bayiku." Safira mencoba mendekati Stella dan memegang tangannya. "Sayang, mama mengerti perasaanmu. Tapi setidaknya, temuilah dia. Tidak ada salahnya berteman, 'kan?" Stella menarik tangannya dari genggaman Safira. "Ma, aku sudah punya Tristan. Meski dia tidak ada di sini sekarang, aku yakin dia akan kembali dan bertanggung jawa